story
"Ini tentang sebuah luka yang dapat disembuhkan, namun kembali dikoyakkan.
Ini tentang kisah yang berakhir dengan duka.
Ini tentang kata 'aku merindukanmu' yang tak bisa diakhiri dengan suka."
-
AIRU Miyano menatap kosong ke kereta yang baru saja lewat dengan kencang, meniupi surai berwarna dirty blonde miliknya. Manik matanya berkelana, melihat sekitar. Getaran dari tasnya, membuat dia merogoh kantung tasnya, mengeluarkan sebuah ponsel.
Di ponsel itu, tertera jelas nama si penelpon. Airu lalu mengangkatnya.
"Hei," sapa Airu.
"Baru pulang?"
"Iya," jawab Airu. "Klub orkestra latihan sampai sore. Aku baru mau naik kereta menuju rumah."
"He~eh, orkestra ya? Airu banget. Kamu main apa?"
"Biola, seperti biasanya," kikih Airu. "Kau sendiri? Bagaimana tim voli kebangganku?"
"Kami kalah di babak ketiga Interhigh," ucap lawan bicara Airu. "Tetapi klub ini sangat sulit diatur. Terutama anak kelas satu."
"Iya 'kah?" Airu tersenyum. "Tapi kamu kalian hebat loh. Latihan tanpa kenal lelah, dan bisa masuk Interhigh."
"Tapi karena itu, aku jadi kesulitan menelponmu. Maaf."
"Tak apa, aku paham kok, Daichi," ucap Airu.
"Oh iya," ucap Daichi. "Aku mengirimimu sebuah paket, untuk hadiah ulang tahunmu. Sudah sedikit terlambat 'sih."
Airu tersenyum. "Makasih, Daichi."
Kereta yang biasa ditumpangi Airu berhenti di depannya.
"Maaf, aku harus menutup telpon. Keretaku sudah sampai." Airu buru-buru menyelesaikan pembicaraan.
"OK. Hati-hati di jalan, Airu," ucap Daichi.
"Iya." Airu lalu menutup telpon dari kekasihnya itu. Gadis itu melompat masuk ke dalam kereta. Dia sengaja untuk berdiri di dekat pintu, lagian tujuannya tak begitu jauh.
Manik biru jernih miliknya menatap nanar ke pemandangan dibalik jendela. Salju sudah mulai turun. Lalu, kepala Airu menerawang. Dan dia seolah ditarik kembali ke musim dingin pada kelas dua.
━❰・❉・❱━
- Desember -
musim dingin kelas dua
"Miyano."
Airu, yang sedang mendengarkan lagu dari earphone, mencabuti sumpalan tersebut dan menoleh. "Kenapa, Sawamura-kun?"
Daichi Sawamura, itulah lelaki yang tadi memanggilnya. Dengan sedikit gugup, dia menggaruk ubun-ubunnya. "Kelas kita akan pergi ke karaoke bersama. Kau mau ikut?"
"Gomen, Sawamura-kun. Setelah ini, aku harus mengikuti les tambahan," jawab Airu.
"Oh, begitu..." Terdengar nada kecewa dari ucapan Daichi. "Kalau begitu, sampai tahun depan, Miyano."
Airu mengangguk. Gadis itu berdiri dari kursinya, membawa tasnya di bahu. Dia memasang salah satu earphone di telinganya, membiarkan yang satu lagi menggantung bebas. Musim dingin kala itu, telah meniupi negeri Sakura. Airu memerbaikki syal miliknya yang berantakan karena terpaan sang angin.
Gadis itu memasukki tempat lesnya, belajar seperti biasanya. Semenjak kelas satu SMA, dia sudah menetapkan targetnya untuk berkuliah di Tokyo. Itu mimpinya sejak kecil. Itu alasan mengapa Airu selalu belajar dengan giat, entah di sekolah ataupun di tempat les. Dia bahkan rela mengabiskan waktunya di tempat les sampai pukul delapan.
Seperti sekarang.
Airu berjalan keluar dari tempat les, malam telah menggantung dengan seenaknya di udara yang dingin. Bahkan, deru napas Airu berubah menjadi kepulan-kepulan yang dapat dia lihat.
Jalan menuju rumah Airu terkadang harus melewati daerah-daerah untuk orang dewasa, itu makanya Airu melangkahkan kakinya lebih cepat dibandingkan sebelumnya.
Namun kali ini, perasaannya sama sekali tak enak.
"Nona Kecil, masih SMA?"
Airu tak menoleh, dia hanya berjalan.
"Jangan jual mahal dong, atau memang harus dibayar?"
Airu tetap tak menoleh, dan berusaha berjalan lebih kencang.
"Wah, ketus sekali, Nona Kecil."
Tangan Airu kali ini ditahan. Ternyata, ada seorang pria berumur tiga puluh-an yang menggodainya sedari tadi.
Airu berusaha untuk tetap tenang, dia menarik kencang tangannya, berusaha melepaskannya. "Maaf, aku harus pergi."
"Oh? Secepat itukah?" pria itu mengunci pergerakan pergelangan tangan Airu.
Airu mengaduh. Dalam hati, dia berseru-seru untuk pertolongan. Dia tak bisa berteriak sekarang, mengingat bahwa kejadian seperti ini sangatlah biasa di daerah seperti ini.
"Ke hotel yuk, Nona Kecil. Biar aku bayar." Kali ini, pria itu hendak menyeret Airu menuju salah satu hotel dewasa.
"Lepaskan!" Airu berusaha untuk memberontak. Andai saja, tadi dia menerima tawaran Daichi untuk ikut ke karaoke. Mungkin hal sepert ini tak akan terjadi...
"Halo? Pak Polisi. Iya, saya ingin melaporkan sebuah pemaksaan seorang pria dengan gadis SMA!"
Mendengar itu, pria yang sedari tadi berusaha menyeret Airu melepaskan tangan Airu. Lantas, pria itu berlari menjauh sembari mendecak sebal.
Airu jatuh dan berlutut di atas trotoar. Napasnya memburu, dia tampak syok.
"Kau tak apa, Miyano?"
Tanpa menoleh pun, Airu tahu itu siapa. Setelah sekelas bersama dia selama nyaris dua tahun, pastilah Airu familir dengan suara itu. Pemilik suara itu, Daichi Sawamura.
Lelaki bersurai hitam itu berjongkok dihadapan Airu. "Semuanya sudah tak apa-apa, OK?"
Airu mengangguk. "Terima kasih.... Sawamura-kun." Lantas, gadis itu berusaha menampakkan sebuah senyuman di wajahnya. Sebuah senyuman, yang gadis itu ulaskan dengan tulus.
━❰・❉・❱━
- April -
musim semi kelas dua
Sudah tiga bulan sejak kejadian itu, dan sudah sebulan kedua insan berbeda jenis itu menjalin kasih. Hari itu, keduanya sedang melaksanakan lari pagi di hari Sabtu. Kebetulan, Daichi sedang tak ada kegiatan klub, itupun berlaku bagi Airu. Jadilah Airu meminta Daichi untuk lari pagi-pagi buta.
"Untuk apa kita lari sepagi ini, Airu?" tanya Daichi, yang memang telah memanggil Airu dengan nama depan.
"Aku ingin melihat mentari pagi di puncak gunung, Daichi," jawab Airu di sela-sela napasnya yang memburu. "Dan..."
"Dan...?" Daichi melanjutkan, dengan nada tanya tentunya.
Airu menggeleng. "Nanti saja." Dan gadis itu berlari mendahului Daichi.
"Oi, tunggu!" Daichi berlari sedikit lebih cepat. Dan saat dia berhasil menyusul, ternyata mereka telah sampai di puncak.
Mentari baru saja mulai terbangun, cahayanya menyinari kedua insan tersebut.
"Indah sekali ya?" ucap Daichi.
"Iya..." Airu telah tenggelam menatap sinar lembut itu. Lalu, barulah gadis itu mengakui. "Kelas tiga nanti, aku akan pindah ke Tokyo."
Daichi menoleh ke arah Airu, dan Airu menoleh ke arah Daichi.
Airu tersenyum, pahit. "Gomen."
━❰・❉・❱━
Daichi berpesan, supaya Airu berhati-hati disana. Supaya Airu tetap mengingatnya, menghubunginya selalu. Iya, itulah yang Airu lakukan hingga saat ini.
Langkah kaki Airu memberat, seolah dia dihisap oleh salju yang dia pijaki. Begitu dia sampai di rumahnya, dia menatap sebuah kardus yang sepertinya telah ditinggalkan beberapa waktu yang lalu.
"Ini kardus yang dimaksud Daichi?" gumam Airu.
Airu mengangkat kardus yang berasa ringan itu kedalam rumah. Setelah menutup pintu, dia membuka kardus tersebut. Manik biru jernihnya menangkap dua hal: sebuah boneka beruang berukuran sedang, dan sepucuk surat.
Tangan Airu mengambil surat itu, membuka dan mengeluarkan selembar kertas. Kertas itu berisi... sebuah puisi?
"Astaga, sejak kapan dia pandai membuat seperti ini?" kikih Airu sembari mulai membaca.
Di Kala Fajar
Hai...
'Kuingin menanyakan kabar
kamu di kala fajar
Hai...
Apakah semuanya baik-baik saja?
Apakah senyum masih kau sampirkan?
Rindu...
Hanyalah keluhan
Bertemu...
Namun sulit untuk di realisasikan
Pelukan...
Yang kerap engkau berikan
Senyuman...
Yang selalu kau tampakkan
Apalah daya diri
Hanya bisa menahan hasrat
Untuk pergi berlari
Dan melepaskan rindu yang berat
Diri hanya bisa
Menatap para gemintang
Menunggu sang asa
Menunggu mentari datang
Hei...
Cobalah kau membuka pintu
Aku sedang menungguimu
~Daichi Sawamura
Airu menatap bait terakhir dengan kerutan di kening. Dia mebuka pintu rumahnya. Manik matanya melebar.
"Daichi?"
Lelaki itu tersenyum. "Aku merindukanmu, Airu."
━❰・❉・❱━
"Hei, lihatlah. Miyano-san sepertinya tertidur."
"Iya, aku tahu."
"Kau tak membangunkannya."
"Tidak. Dia pasti sedang memimpikan Sawamura-kun."
"Siapa itu? Pacarnya?"
"Iya, pacarnya meninggal karena serangan jantung disaat Airu dan dia bertemu kembali."
- e n d -
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro