Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 9 Perempuan Gerhana 4

Dua indra penglihatanku terbuka. Sesuatu yang berat menindih kepala, memaksaku untuk terus memejamkan mata. Aku mulai bergerak dan langsung mengaduh. Rasa nyeri menusuk-nusuk batok kepala, menciptakan nyeri yang teramat sangat. Menghalaunya, dua tanganku memijit pelipis. Apa yang terjadi padaku? Kenapa rasanya kepalaku seperti diberi beban 1000 Newton?

Otakku memeras energi untuk mengingat hal terakhir sebelum aku-eh, seingatku hanya meminum espresso sepulang tes kesehatan kedua. Oh ya, aku juga sempat bertemu Albar. Masuk dalam toilet lalu ponselku berdering. Ada panggilan dari Rakryan.

"Kapan pulang ke Lampung?" ia terdengar letih.

Aku menggaruk tengkuk, "Mau bareng lagi?"

Ada kasak-kusuk, kutebak ada seseorang yang memanggil Rakryan. Pria itu menjawab dengan gumaman lalu berdeham. "Kupikir, aku harus mengatakan ini padamu. Aku tidak keberatan menunggu, siapapun, berapa lama pun, selama aku mencintainya."

"Ini jawaban untuk 3 tahun?" Aku mencari kepastian. Ketika berpisah di parkir bandara Soetta, aku sempat mengatakan tiga tahun untuk menungguku. Aku perlu belajar dan berkarier.

"Apa harus diperjelas? Aku harus menemui seseorang sekarang. Nanti sore jam 16.23 di tempat yang sama seperti kemarin. Itu pun jika kamu mau pulang bersamaku." Rakryan terdengar menggodaku. Dan aku benar-benar tidak peduli setelah mendengar ajakan "pulang bersamaku". Kata pulang terdengar teduh dan hangat. Pulang seperti apa yang dimaksud pria itu? Ugh, selama melibatkan dirinya, aku bersedia dalam segala persepsi dan kondisi, tentu saja. Namanya juga jatuh cinta. Bhak! Omong-omong pertemuan yang dijanjikan Rakryan, sekarang pukul berapa?

Aku menoleh sekeliling hanya untuk menjumpai jam dinding menggantung di sudut timur dan jarumnya menujuk angka 16.41. Gawat! Aku terlambat. Sudah berapa lama aku tertidur dan ini di kamar siapa?

"Ouughh," aku mengerang kesakitan karena ketika mencoba duduk kepalaku kembali berdenyut-denyut nyeri. Kugagalkan niat untuk bangun. Ponselku di mana? Aku akan menghubungi Rakryan kemudian minta maaf.

Keningku mengerut saat meraba sesuatu di sisiku. Ini benar-benar bukan guling. Aku bergerak dengan kesulitan untuk melihat. Apa Bude menyusulku tidur? Eh, apa ini kamar Bude? Belum pernah sekalipun aku masuk kamar utama. Pertanyaannya adalah apa yang sudah terjadi sampai aku tidur di sini? Kenapa sulit sekali mengingat hal terakhir di kedai kopi tadi, sih? Jantungku langsung mencelos bermeter-meter mendapati seorang pria tidur di sebelahku. Dia bertelanjang dada. Dan dia-

"Yaa-yang mulia?" aku tergagap-gagap. Apa yang dia lakukan di sini dengan bertelanjang dad-eh, kemudian aku pun menyadari apa yang terjadi padaku. Kemana pakaianku? Tubuhku dikerat tipis-tipis melihat baju yang kukenakan teronggok di sudut ranjang. Ternyata, aku hanya mengenakan kamisol putih dan jeans. Keadaan yang hampir sama dengan Rakryan.

Apa?

Kepalaku menyentuh dashboard. Bantal yang semulai kupakai untuk mengganjal kepala, kini melayang ke nakas karena tergesek tindakan cerobohku. Kabar baiknya, bantal itu menjatuhkan lampu tidur. Kegaduhan yang kuciptakan dalam dua detik membuat Rakryan mengeliat. Pria itu mulai membuka mata. Awalnya ia mengernyit lalu membelalak shock.

"Apa yang kamu lakukan di sini, B?" pertanyaan pertama, bukan fokus, aku malah ternganga, menikmati ketampanan bukan main milik pria yang baru bangun tidur. Berantakan sih, namun siapa yang harus disalahkan karena kali ini aku melihat kekusutan yang prestisius? Eh, apa yang kupikirkan ini? Aku mendesahkan napas frustasi. "B, apa yang kamu lakukan di sini?"

"Pertanyaan yang sama." Aku bersedekap. Mau sok kabur kemudian sembunyi pun sudah terlambat. Mata Rakryan menelisik kemudian turun ke dada. "Apa yang kamu lihat?" tanganku refleks menarik selimut. Whoaaa, gerakanku sukses menyibak penutup yang membungkus Rakryan. Lagi-lagi, aku mendengar bunyi glek dari tenggorokan saat melihat perut rata Rakryan. Tidak sixpact, tapi cukup datar dan begitu sempurna dipadu dengan dadanya yang bidang. Ini dosa bukan ya, Pak Ustadz? Tapi, kalau tidak dilihat kan mubadzir. Malu, aku menutup muka dengan jemari yang kurenggangkan.

"Kamu-" Rakryan memejamkan mata. Emosi tiba-tiba menyala dan berkobar di matanya. Rasa berdebar-debar berubah jadi ngeri. Apalagi pria itu tampak ingin menelanku mentah-mentah. Ini dua kali Rakryan terlihat menyeramkan. "Apa yang kamu rencanakan, B? Apa hubunganmu dengan Albar?" ia mengelus muka dengan serabutan. "Oh, brengsek!"

"Bukankah seharusnya aku yang mengumpatmu?" mataku memicing. Waras, Tsuraiyya, WARAS! "Kenapa aku bisa tidur di sini? Apa kamu bersekongkol dengan Albar? Hanya dia yang kutemui terakhir? Apa kamu menjebakku dengan memasukkan sesuatu dalam minumanku agar aku tidak sadarkan diri lalu sekarang kamu bertingkah sok polos dan tanpa dosa?"

Rakryan mematung. Aku sangat yakin dia tidak bernapas. Apa yang sedang dipikirkannya? Sepertinya, dia terlihat mencurigaiku. Apa wajahku ada tampang maling?

"Aku akan bertanggungjawab." Putusnya. Rakryan mencoba berdiri, diraihnya kaos yang menyampir menutupi nakas di sebelahnya. Dia memakainya di atas ranjang. Omong-omong, ini adalah detik-detik terakhir melihatnya bertelanjang dada. Ampuuun, masih pengin lihat. Aku mencuri-curi pandang kemudian membuang muka saat Rakryan menatapku.

"Mau kemana? Aku butuh penjelasan." Tanyaku memasang wajah mengancam. Rakryan sudah cukup rapi. Ia menyisir rambut dengan jari. Kepalanya yang mendongak justru mengekspos leher yang luar biasa liat dan minta disentuh. Allahu Akbaaar! Rakryan Akbar adalah godaan terberat seumur hidup. Aku nggak kuat, Ya Allah. Kamera mana kamera? Aku mau melambai sekarang.

"Akan kujelaskan. Nanti." Kemudian dia melompat, berjalan begitu luwes melewatiku untuk mencapai pintu keluar.

Sial, sekarang aku kesal sekali. Apa begitu caranya meniduri Kak Ayana? Dan juga aku, yah walau ini benar-benar hanya bisa disebut tidur bersama tanpa hal-hal tanda kutip? Pakaian dalamku tidak ada yang sobek. Aku juga tidak merasa hal aneh terjadi dalam diriku atau tubuhku.

"Pakai kemeja dan jilbabmu sekarang." Rakryan muncul lagi. Kali ini dia terlihat sepuluh kali lipat lebih frustasi daripada sebelumnya. "Aku butuh ceritamu. Bekerjasamalah denganku."

Tidak perlu bertanya macam-macam, aku segera mengambil kemeja dan jilbab yang teronggok di sudut ranjang, dekat kaki. Buru-buru memakainya agar lebih pantas dilihat. Rakryan mengacak-acak laci nakas. Dia mengumpat karena yang dicarinya tidak ada. Pandangannya beralih padaku. Aku menyampirkan jilbab dengan segera.

"Ada apa?"

"Wartawan berdiri tepat di balik pintu ini. Tidak ada jalan keluar lain. Jendela kamar ini diteralis. Jelaskan padaku, apa kamu bisa mengecilkan tubuh lalu menyelip di angin-angin jendela?" Dia mulai tidak waras. Memang aku manusia apa bisa mengecil dan menyelip? Halo.

"Kamu bisa memotongku kecil-kecil." Jawabku tak kalah menantang.

"Maksudku, apa kamu punya ide?" Ia melempar tubuhnya di sofa. Jadi, begini ya perilaku Rakryan kalau sedang putus asa?

Aku mencangklong tas. Sebelumnya aku mengecek kondisi muka pada kaca rias yang bersebelahan dengan nakas. Sepertinya aku butuh cuci muka agar terlihat fresh. Ide bagus. Aku segera kabur ke kamar mandi, menyalakan wastafel, lalu membasuh wajah. Kupoleskan sedikit bedak dan mengoleskan lip tint.

"Apa yang kamu rencanakan?" Rakryan berdiri di pintu kamar mandi.

"Ada yang memanfaatkan ini semua." Sahutku mengelap bekas air di bawah mata. Albar patut dicurigai, namun aku diam saja. Setelah rekaman obrolan Rakryan dengan ayah Albar, aku tidak bisa mempercayai pria ini dengan mudah. Gamblangnya begini, aku belum bisa memastikan Rakryan adalah musuh atau kawan. Dia berada pada zona abu-abu.

Ia menyipit, "Oh ya?"

Aku mencium kecurigaan dari caranya menatapku. "Kamu bahkan tidak mempercayaiku."

Pandangan Rakryan melembut. Ada amarah yang benar-benar dia tekan. Entah seberapa besar usaha itu, hanya saja aku melihat kesungguhannya untuk tidak meladeni kejutekanku. "Aku-"

"Tidak mempercayai aku." Potongku, beranjak dari depan wastafel. Pria itu mundur agar aku bisa lewat.

"Kamu mau kemana?" selidiknya penuh rasa ingin tahu

"Kamu percaya padaku?" Aku hanya menoleh, masih membelakanginya. "Jawab aku, Yang Mulia, kamu percaya padaku atau tidak?"

Tak ada jawaban.

Apa kubilang? Rakryan mencurigaiku.

Kurasa aku tidak perlu susah-susah menjelaskan apa rencanaku padanya. Buat apa? Toh, sedetail apapun aku menceritakan kronologi kejadian usai tes kesehatan sampai tertidur bersamanya, dia tidak akan percaya.

"Oke," aku menghela napas. Buat apa sakit hati karena tahu dia punya kepercayaan yang tipis untukku? Buang-buang waktu saja. "Sekarang aku tanya, apa kamu mencintaiku?"

Bibirnya terbuka, tapi tidak ada satupun suara yang dikeluarkan.

"Jika kamu tidak mempercayaiku, setidaknya percaya saja bahwa cinta tidak akan berkhianat." Ucapku kemudian melangkah menuju pintu keluar. Ketika benda persegi panjang yang menempel karena engsel itu terbuka, belasan sinar blitz menampar retinaku. Aku pura-pura kaget dan memasang muka marah. Eiish, sebenarnya aku memang marah. Setelah itu banyak sekali pertanyaan memojokkanku. Suara mereka mendengung, menciptakan nada sendiri. Ini mengingatkanku pada moonlight sonata milik Beethoven. Pada bagian Agitato, nada-nada yang dilepaskan penuh kemurkaan. Hei, seharusnya aku yang berada pada posisi itu. Berjongkok, aku melempar sepatu kets pada guci yang ada di sudut ruangan. Benda keramik itu pecah. Deriknya terasa sangat menyakitkan. Hening. Nah, ini yang kucari.

"Apa begini etika seorang pewarta? Masuk dalam sebuah rumah, mengacak-acak privasi orang dan menuntut narasumber. Apa yang kalian rencanakan?" Kecamku tanpa menurunkan emosi. Rakryan keluar, berdiri tepat di sisiku. "Kalian pikir aku gadis bodoh yang terlibat perselingkuhan dengan Rakryan? Angkat saja berita ini. Dan siap-siap kuantar ke penjara. Aku punya cukup bukti." Tanganku bergerak, mengeluarkan sebuah tiket bus. Tiket ini pemberian Tsabit untuk keberangkatan pukul 22.00 dari agen bus di Baradatu. Bersyukur, ini akan menyelamatkanku. Aku sangat yakin, wartawan ini adalah orang-orang tedekat Albar. Mereka tidak akan mencari tahu sampai turun ke lapangan langsung untuk mengkonfirmasi kebenaran ini. Mereka hanya bertujuan mem-blow up berita, entah apa tujuannya, mungkin menjatuhkan elektabilitas Rakryan. "Perjalanan dari Lampung ke Jakarta memakan waktu 10 jam. Di tiket ini, bus berangkat pukul sepuluh malam. Menjelang siang aku sampai dan langsung mengambil surat rekomendasi dari STPI untuk mengikuti tes kesehatan hari ini sampai besok."

'Menjelang siang aku sampai', di situ tidak kujelaskan sampai di lokasi Balai Hatpen Kemayoran atau di Jakarta. Aku tidak berbohong, ini adalah trik mengelabuhi dengan tetap menjujung tinggi kejujuran. Mereka saja yang bodoh termakan kemampuanku mempengaruhi. Menyempurnkan alibi, kutunjukkan surat yang kumaksud tadi. Aku tidak berbohong. Surat ini kudownload dari email lalu kuprint. Sempurna! Muslihat dijalankan tanpa cela sedikitpun.

"Lalu aku datang ke sini. Pak Rakryan adalah sahabat almarhum kakakku. Kami merencanakan peringatan 40 hari kematiannya. Dia kenal beberapa percetakan yang menawarkan harga miring untuk mencetak buku yasin." Jelasku, kali ini aku bisa tersenyum di atas wajah-wajah masam mereka. Mampus kalian. "Jadi, apa aku harus menelpon kalian satu-satu agar jadwalku diketahui secara terbuka? Oh, aku merasa seperti artis sekarang. Mau kuberi tanda tangan?"

Salah satu di antara mereka mengucapkan permohonan maaf kemudian pamit. Mereka menggerutu dengan kawan-kawannya karena tidak berhasil. Di salah satu sudut ruangan, kulihat Albar sedang mengintip. Dia memukul dinding dengan mata penuh kelicikan yang terkalahkan. Hanya demi Kak Ayana, pria dewasa itu rela menjebakku dan Rakryan. Logis saja, yang merencanakan balas dendam seharusnya adalah aku. Bukan dia. Albar sangat aneh dan aku memutuskan untuk menyelidiki Albar setelah ini. Baiklah, sekarang ada hal genting yang harus kuurus dengan Yang Mulia. Aku memutar leher beberapa derajat. Ada Rakryan yang tampak tegang, namun tanpa ekspresi. Garis-garis wajahnya kaku menyiratkan amarah yang disembunyikannya. Ha-ha-ha-sepertinya aku harus menggodainya agar tidak tampak tua dari umur sebenarnya. Ugh..., nanti kalau dia tambah marah bagaimana?

"Sekarang masih tidak mempercayaiku?" tanyaku, menyedekapkan tangan sambil menatap Rakryan penuh sorot mencemooh.

Pria itu hanya mengendikkan bahu. "Ayo, pulang!"

Pulang kemana? Aku tergelitik untuk usil. "Pulang itu membutuhkan alasan dan juga tempat untuk menetap. Jadi, pulang yang seperti apa maksudmu?"

"Dan pulang seperti apa yang kamu pikirkan?" Rakryan balik bertanya.

Aku mendecih. Dia pandai sekali memutar keadaan. Dari yang awalnya tersudutkan, ganti menyudutkanku. Tidak ingat kalau tadi aku sudah membantunya, ya? Bukan bermaksud pamrih. Alih-alih tahu diri-dengan bersikap baik dan santun padaku-Rakryan tetap seperti biasa. Kali ini lebih beku. Seolah memasang tembok tak kasat mata. Eh, bukankah kemarin di parkir bandara dia bertingkah sok unyu dengan menangkupkan tangan di dua pipinya, ya? Hiiisssh.

***

"Apa alasanmu berbohong di depan wartawan-wartawan itu?" Baru saja mobil bergerak, dia sudah menginterogasiku. Aku mendesahkan napas putus asa. Rakryan balas memelankan laju kendaraan. Melihat caranya mengemudi, sepertinya pria ini berniat lama-lama denganku. Apalagi tujuannya? Tentu saja mengorek informasi tentang niatku tampil sebagai pahlawan kesiangan untuknya.

"Aku berbohong untuk kepentinganku." Tidak masalah mengatakan ini. Aku tidak terlihat cinta mati padanya, kan? Masak aku harus bilang, 'Yang Mulia, aku melakukan ini untuk kebaikanmu. Aku mencintaimu.' Waks, mulutku terlalu suci untuk mengatakan kalimat sampah.

Cinta adalah sampah? Yakin, Aiya? Otakku yang pendengki tertawa kencang. Dia tahu aku sedang berbohong. Ini gengsi. Oke. Gengsi.

"KEPENTINGANMU?" Nadanya benar-benar menyeramkan. Aku bersumpah, ekspresi Rakryan berhasil mengalahkan iblis Valak. Itu lho iblis dengan kostum biarawati yang menyeramkan di film The Conjuring 2, yang akhir-akhir ini booming dan dijadikan meme di mana-mana.

"Di kampusku sangat menjunjung senioritas, Yang Mulia. Kalau sampai aku punya skandal, aku bisa habis saat orientasi karena diplonco mereka. Aku tidak mau punya nasib buruk selama kuliah." Kujawab saja dengan melebih-lebihkan. "Dan, hng..., bukankah sebaiknya kamu berterima kasih? Kamu berhutang satu kebaikan dariku."

"Bee-"

Aku bertepuk tangan sekali. "Aku mempersilakan kamu menukarnya dengan tiket pulang bersama."

"Peng-go-da-" sudah, itu saja balasannya. "Pulang seperti apa yang kamu maksud?" ia ingat pertanyaanku tadi.

Kelopak mataku menyipit, "Pulang seperti apa yang kamu pikirkan?"

Rakryan menyandarkan bahu dan tetap fokus pada jalan raya. Sekali ia membunyikan klakson dan mendesah ketika lampu merah menyala. "Kamu seperti gerhana."

Kepalaku penuh tanda tanya.

"Keindahan yang terbungkus dalam kegelapan." Lanjutnya nyaris serupa gumaman. "Perempuan gerhana."

"Kamu salah. Aku adalah bintang api. Bintang yang akan tetap bersinar dan pantang menjadi katai putih sebelum-" aku menahan napas.

"Sebelum?" ia menuntutku untuk meneruskan.

"Sebelum takdir memelukku dalam wujud lain." Aku tersenyum ketika Rakryan menoleh.

"Terlalu banyak menonton star wars, fantastic four dan apa lagi koleksi filmu?" suasana tiba-tiba berubah rileks. Aku bersyukur tidak tegang lagi. Apa ini pertanda mood Rakryan berangsur-angsur membaik?

"Padahal aku sedang membayangkan seperti Neo dalam film The Matrix. Dia sangat keren ketika mampu keluar dari belenggu pemrogaman komputer. Pemberontak yang benar-benar mempesona." Kukeluarkan ponsel, mau menghubungi Bude. "Yang Mulia, boleh aku bertanya?"

"Hm."

"Boleh aku bertanya?"

"Hm."

"Bee-mu ini bertanya, bolehkah dia bertanya?"

"Yang Mulia-mu ini bilang boleh."

Aku menyengir imut. "Kalau hal buruk terjadi, apakah kamu akan tetap mempercayaiku? Apakah kamu akan memaafkanku dan tetap mencintaiku?"

Rakryan menatapku lama. "Tidak."

Deg. Jantungku serasa dipanah oleh kata itu. Dan aku tidak menuntutnya untuk diberikan penjelasan. Aku sudah cukup paham. Mulai saat ini aku akan lebih waspada. Pada Albar dan Rakryan juga.

***

Hai, selamat menyambut malam Nuzulul Qur'an, ya! Mudah-mudahan Ramadhan kali ini kita diberi kekuatan untuk beribadah.

Gimana bab sekarang? Maaf kalau ini mengecewakan. Aku sudah mencoba kemampuan terbaikku dalam mengubah narasi Aiya, untuk menunjukkan bahwa sekarang dia lebih hidup, lebih bersemangat dan jadi gila. Bhak! Sudah kubilang, aku benci karakter sempurna. Heuheu
Tabik~
SusanArisanti.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro