Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 9 Perempuan Gerhana 2


Sudah pernah kukatakan, Adnan adalah saudara bungsu almarhum ayah. Jarak usia kami tidak terlalu jauh, 5 tahun. Dia mengambil jurusan arsitektur. Sebagaimana kisah anak fakultas teknik yang lambat wisuda, Adnan pun demikian. Aku tidak tahu secara spesifik apa yang menghambatnya, namun hobi fotografi yang sejak lama digelutinya bisa jadi sebagai salah satu sebab dia belum lulus kuliah. Mungkin, dia juga malas. Dan baru tahun ini dia berencana menyelesaikan tugas akhir. Dari cerita Pak Tuan, suami Bude, semua itu dilakukan karena pacar Adnan minta menikah dan mengajukan syarat lulus kuliah sebelum hubungan mereka diresmikan. Mendengar cerita itu, aku tertawa sampai terpingkal-pingkal. Benar-benar tidak menyangka kalau Adnan ternyata begitu lemah dan tak berdaya di hadapan cinta.

Heuh, cinta?

Barangkali cinta menjadi alasan seorang pemalas menjadi rajin, jahat menjadi baik, yang semula tampil kumal menjadi necis dan wangi. Lantas dengan semua fenomena itu, apa perasaanku pada Rakryan adalah cinta? Aku tidak mengalami perubahan-perubahan itu, kan? Aku justru merasa jadi orang idiot yang tingkat kedunguannya berada pada level atas, tidak tertandingi. Selain bertingkah bodoh, seperti mencium Rakryan tiba-tiba, aku juga sering bertingkah konyol. Dan Rakryan hanya membalasku dengan senyum tertahan. Hal lain yang kualami selanjutnya, yaitu kekurangajaran jantung dan tulang-tulangku. Aku sebenarnya benci mengakui ini. Terlihat sinting karena cinta bukanlah kabar baik. Mungkin aku butuh curhat pada psikolog atau dokter spesialis penyakit dalam. Kali saja aku mengidap penyakit jantung atau tulang tidak sempurna. Oke, akan aku lakukan lain waktu. Bisa jadi nanti seusai tes kedua di STPI Curug. Dengan tahu hasil diagnosis dokter, aku pasti lega. Dan tentu lebih hati-hati setelah mendengar saran-saran tim medis.

Baiklah, sekarang aku punya tugas untuk kuselesaikan sebelum berangkat ke Banten sore nanti bersama Bude. Apalagi? Tentu saja mengantar Adnan mengumpulkan data tentang Arsitektur Tradisional Suku Lampung di Kampung Wisata Gedung Batin yang berada di kecamatan Blambangan Umpu. Kata Adnan, untuk hari ini cukup berkenalan dengan pemuka adat dan melihat-lihat dulu. Sebagai keponakan yang baik, aku tidak menolak. Lagipula, dekat juga jaraknya. Tidak sampai 20 menit. Apalagi kalau berkendara bareng Tsabit. Ups, bagaimana Tsabit sekarang? Aku semalam memutus percakapan dengan tega, nyaris tak punya nurani. Apa kuhubungi saja, ya?

"Adnan, bangun dulu. Begini kalau shubuh tidur lagi. Bangun, sudah siang. Aiya sudah bersiap mengantarmu." Bude berkata dengan nada enam oktaf, sedikit lagi memekakkan telinga.

Aku cengengesan. Bahagia karena akhirnya ada yang mencereweti Adnan. Kapan lagi gih cowok pemalas itu bisa menghargai waktu? Untuk tipe-tipe begini, Bude sudah mahir.

"Bu Tuan, aku masih ingin tidur." Adnan terdengar malas-malasan.

"Jangan memanggilku Bu Tuan!" Petir kalah dengan suara Bude. Kudengar, ada sesuatu yang dipukul. Lalu Adnan mengaduh kesakitan. Aku membekap mulut, tidak mau tawaku meledak saat ini juga.

"Bude, Ya Ampun!" Adnan masih mengeluh.

Tapi, bukan Bude kalau luluh dengan cepat. "Ya Allah, bukan Ya Ampun!"

"Bude! Aduuhh. Adduuhhh." Adnan terdengar kesakitan lagi.

Aku tidak perlu melihat kegaduhan yang terjadi di kamar sebelah. Mendengar saja cukup melatih visual otakku. Dengan geli, aku merapikan rambut. Di sudut ranjang ada kerudung yang kusiapkan. Pakai tidak, ya? Rakryan pernah berpesan agar aku-

Kenapa harus mengingat pria arogan itu?

Pintu kamarku diketuk, ada Adnan yang masih bermuka bantal. Dia berjalan malas ke arahku kemudian ambruk di ranjang. Ditariknya selimut yang sudah kurapikan. Astaga, dia ke sini hanya untuk pindah tidur.

"Tut, mandi gih biar seger." Kataku sambil membuka lipatan kerudung. "Aku tunggu sepuluh menit. Kalau enggak, jangan harap aku mau nganterin."

Dia hanya menggumam.

"Kata Bude, nanti kita ziarah juga. Ke makam Jad, Jidah, Ayah, Bunda dan Kak Ayana." Aku menghadap ke cermin, memasang kerudung menutupi kepala dan menyisakan wajah. Tanganku menggapai-gapai jarum pentul yang kuletakkan di bagian atas lemari rias. "Nanti Aiya telat kalau Buntut malas-malasan gini. Katanya mau cepet-cepet wisuda."

"Apa gue udah sampai di neraka, sih?" Gerutunya, menguap kemudian membuang selimut. Dia duduk bersandar kemudian menatapku. Bayangannya terpantul lewat cermin, aku bisa mengetahui ekspresinya yang kesal setengah mati.

"Ih, Buntut diipeduliin malah berpikir udah di neraka. Ntar kalau di neraka beneran gimana?" Cibirku kemudian beranjak dari kursi. Adnan hanya mendengus. Aku tidak perlu mengomel, kurasa. Dia sudah cukup cerdas untuk menangkap maksudku.

***

Lagi-lagi, datang ke sini adalah sebuah kesalahan. Apa hidupku sudah berubah jadi bulan-bulanan yang paling konyol sedunia? Atau jangan-jangan sekarang Tuhan sedang menertawaiku yang tampak kacau? Ugh, ini bukan keluhan anak TK yang tidak sengaja pipis di celana. Oke, oke, aku akan mencoba sedikit objektif. Hampir mirip anak kecil yang cengeng, memang. Bagaimana aku tidak menggerutu mati-matian? Rakryan berada di dekatku sedang mengadakan audiensi bersama masyarakat adat Gedung Batin, begitu kata seorang warga yang ditanyai Adnan. Dia barangkali tertarik menghidupkan kampung wisata sesuai prasasti yang terbuat dari fosil kayu yang ditandatangani oleh Sekjen Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata tahun 2007; Dr. Sapta Nirwandar. Menunggu kampanye selesai, Adnan mengajakku berkeliling melihat bangunan rumah tradisional yang berbentuk panggung. Dia membawa sebuah alat-yang tidak kuketahui namanya-dan melakukan beberap kegiatan yang tidak kumengerti juga.

"Tebak, Ai, berapa usia kayu ini?" Ia menyentuh kayu penyangga rumah yang berupa bulatan setelah memasukkan alatnya dalam tas.

"20 tahun mungkin," jawabku malas-malasan kemudian duduk cangkung di dekat parit.

Adnan melotot kesal. "Ini 200 tahun, Ai."

"Yakin, Tut?" Aku yang kaget sekarang. Antusias, aku berdiri dan memegang kayu itu, mengetuk-ketukkan jari dan menatap Adnan peuh rasa ingin tahu. Usia bangunan ini mencapai 2 abad namun masih kokoh, tidak ada bagian kayu yang lapuk atau dimakan rayap. "Ini 200 tahun, ya? Kayu apa ini, Tut?"

"Kayu mampang." Adnan mendongak lalu menunjuk engsel jendela, "Sekarang lihat engsel itu. Made in England. Bukankah 200-an tahun lalu, Inggris yang mengalami revolusi industri? Barang-barang buatan mereka dijual sampai sini. Beda dengan sekarang di mana pasar kita didominasi oleh produk China. Pas gue baca artikel tentang Kampung Wisata Gedung Batin di Arsip dan Perpustakaan Nasional, di jaman Hindia-Belanda kampung ini merupakan jalur perdagangan yang ramai. Dulu ada kantor dan lapas milik Belanda di sini, meski sekarang tinggal puing-puing bangunan."

"Jadi, sungai besar di sana itu sebagai salah satu jalur perdagangan sungai, sebagai jalur masuk pedagang Eropa, ya?" Seingatku di sini ada Sungai Way Besai. Sungai itu cukup lebar dan deras. Aku tahu pasti pada jaman kuno, tepatnya sebelum masehi, peradaban dunia dibangun dari peradaban sungai. Misal peradaban lembah sungai Nil di Mesir, sungai Efrat dan sungai Tigris di Mesopotamia, sungai Indus dan sungai Gangga di Asia Selatan, dan Sungai Hwang Ho dan sungai Yang Tse di China. Peradaban-peradaban itu berada di kawasan sungai dianggap sebagai peradaban paling kuat pada masanya karena air diperlukan untuk membangun suatu masyarakat agraris. Begitu juga di Lampung atau daerah-daerah lain.

Dalam kacamata anak muda kekinian, aku selalu membayangkan bagaimana kalau sungai Way Besai dijadikan sebagai salah satu spot arung jeram. Jadi, wisatawan selain disuguhkan pada arsitektur bangunan tradisional, pentas seni khas suku Lampung, juga punya kesempatan menguji hormon adrenalin mereka.

Eh, tidak mungkin. Aku cemberut lagi. Bukankah di aliran sungai Way Besai itu ada ikan Tapah? Dengar-dengar, ikan karnivora tersebut memiliki ukuran yang sangat besar, mampu mencapai 2,4 meter panjangnya. Ikan monster ini memiliki gigi tajam yang digunakan menggigit bila merasa terancam. Bisa kacau kalau pemain arung jeram ada yang terjatuh ke sungai lalu dimakan ikan raksasa ini. Suasana gembira akan berubah jadi suram dan mencekam kemudian efek jangka panjangnya adalah objek wisata Gedung Batin akan ditinggalkan wisatawan.

"Mikirin apa?" Adnan melempariku dengan kerikil kecil. Berhasil membuatku geragapan. Belum selesai rasa kagetku, rombongan Rakryan kembali membuat jantungku bekerja keras. Pria itu berjalan dengan langkah yang memukau. Jenis langkah yang membuat pria-pria lain menggigit bibir karena iri. Bagaimana bisa kaki-kakinya tampak luwes dan kuat sekaligus? Dia tidak gemulai, aku jamin itu. Juga tidak seperti robot, percayalah padaku. Wanita mana pun akan jatuh cinta meski hanya melihatnya berjalan.

Rakryan terus melangkah. Di sisi kanan-kirinya ada beberapa pria berpakaian adat. Aku sudah bersiap-siap memberikan senyum ketika dia lewat di depanku. Namun, aku meragu. Sejak semalam Rakryan sama sekali tidak mau menoleh padaku. Sikap cueknya memicu emosi. Aku ingin mengamuk kemudian mencakar-cakar kemeja yang dipakai. Uuggghh.

Deg.

Deg.

Deg.

Rasa nervous menghantam kuat-kuat jantungku ketika Rakryan berada di depanku dan menatapku. Kali ini benar-benar melihatku tanpa pura-pura menganggapku makhluk gaib. Memandangi matanya yang sendu membuat kehangatan merayap pelan-pelan ke sekujur tubuh. Betapa aku rindu pandangan itu, desahku dalam hati, nyaris menyerupai keluhan.

'Kamu tidak marah padaku lagi kan Yang Mulia?' Itu adalah pertanyaan yang berdengung nyaring memenuhi kepala. Ingin rasanya meneriakan kalimat itu, namun aku takut membuat Rakryan malu. Dia sedang menjadi tokoh publik yang harus menjaga citra. Lalu pada akhirnya, aku menurunkan ego, menekan keinginan terkuatku untuk menyapanya, menyimpan kembali kata-kata yang sebentar lagi meledakkan batok kepalaku. Deminya, aku akan menahan diri.

"Elo kayak mau makan orang, Ai." Adnan sudah berdiri di samping kanan, lengkap dengan sorot menyelidik. "Jadi, dia yang bernama Rakryan?"

Untuk ukuran lelaki, Adnan punya kepekaan, ya. Rakryan sudah berlalu, menyisakan sedikit kelegaan karena dia sudah mau melihatku. Ini aneh. Aku benar-benar bahagia hanya karena ada seseorang sedang menggunakan indra penglihatannya untuk menatapku beberapa detik. Dunia sebentar lagi kiamat. Halo.

"Lumayan." Ia mulai menilai, tentu saja dalam kacamatanya sebagai cowok yang sudah punya banyak pengalaman bertemu manusia berbagai karakter. "Tapi, yakin menyukainya? Kalau elo berjalan bersamanya, elo terlihat menyedihkan."

Saudara macam apa dia? Bukan membela, justru mengejekku semau sendiri. Jangan pikir aku akan diam saja ketika dihina. Hinaan harus dibalas sepadan agar para penghina itu tahu rasa sehingga mampu menjaga setiap kalimat yang dikeluarkan. Bukan untuk merendahkan. Lihat saja, aku punya pembalasan yang tidak kalah getir.

"Akan jauh menyedihkan kalau Buntut nggak wisuda tahun ini." Aku tertawa jahat dalam hati. "Sudah siap lihat pacar kesayangan menerima lamaran pria lain?" lalu tawaku benar-benar meledak melihat wajah Adnan tertekuk, masam bukan main.

***

"Bude, tiket pesawat mahal, lho." Aku masuk dalam terminal keberangkatan. Mengikuti langkah Bude yang cepat-cepat. Masih berupaya mempengaruhi Bude agar naik bus saja. Sayang kalau membuang uang. Padahal dengan bus, aku bisa sampai di Jakarta tanpa terlambat ikut tes kesehatan besok pagi.

"Biar nanti malam sampai tujuan dan kamu sempat istirahat, Ai." Bude antri di depan konter check in. Aku manyun di belakangnya. "Adnan yang nyariin tiket pesawat lewat aplikasi online. Sudah dibayar, masak harus dibuang?"

Selain mengiyakan, kurasa tidak ada satu pun yang bisa kulakukan. Setelah petugas mencatat data kami, Bude mengajakku masuk ke ruang tunggu. Melewati metal detector, aku langsung menyedekapkan tangan. AC disetel terlalu dingin. Kuamati sekitar, terlalu ramai. Aku tidak suka. Bude menarik kemejaku. Aku segera mengekor di belakangnya kemudian duduk nyaman di sebuah kursi besi yang disediakan.

"Sambil nunggu keberangkatan, kamu bisa baca-baca buku. Belajar untuk tes besok." Usul Bude, menyentuh punggung tangan.

Aku tersentak. Kaget karena aliran emosi dari kulitnya. Aku menggeggam tangan Bude dengan perasaan haru. Apakah genggaman tangan ibu selalu hangat seperti ini, ya? Segera kutendang jauh-jauh perasaan melankolisku. Tidak mau sentimentil, sebenarnya. Juga menangis di tempat umum.

"Besok hanya medex, Bude." Kataku menenangkan. "Maksudku, medical examination untuk calon pilot."

"Apa saja tes-nya?" Bude ingin tahu.

Aku mengambil napas sejenak, "Cek laboratorium untuk tes urine dan darah, tes audiometri, cek gigi, cek mata, rontgen, ECG-tes jantung, maksudku, Bude-cek fisik, EEG. Semua tes, kecuali EEG, dilakukan di Balai Kesehatan Penerbang di Kemayoran. Untuk EEG atau Elektro Ensefalografi dilakukan di Lakespra Saryanto."

"Bude temani besok." Bude mengejutkanku.

"Jangan. Besok Mbak Vivi mau berangkat koass, Bude bisa mengantar Mbak Vivi aja. Nanti kalau Bude menemani Aiya, yakin deh Bude bakal jadi patung." Tolakku tak enak hati. Sebagai keponakan, aku tidak mau merebut perhatian seorang ibu. Mbak Vivi pasti akan merasa tersaingi olehku dan tidak diperhatikan oleh orang tuanya. Aku tidak mau itu terjadi.

"Aiya-"

"Bude, percaya sama Aiya. Seusai medex, Aiya akan langsung pulang. Oke?" Aku memotong. Bersyukur karena ada pengumuman dari sistem audio bandara yang mengumumkan keberangkatan pesawat yang akan kami tumpangi. Bude memejamkan mata, mengajakku berdiri kemudian ikut antri untuk check in terakhir sebelum menuju apron.

***

Bude mengelus bahuku yang cemberut karena duduk terpisah. Dia menasehatiku bahwa kami masih satu pesawat dan tidak akan meninggalkanku. Kalau dipikir-pikir benar juga. Aku bukan balita lagi. Beda tempat duduk itu bukan berarti diasingkan. Setelah memasang wajah "ya, sudahlah" pada Bude, aku duduk di bangkuku, sementara Bude terus berjalan ke bagian belakang pesawat untuk mencari tempat duduknya.

Matikan ponsel, intruksi otakku dan dipatuhi langsung oleh alat gerak. Ambil majalah dan baca, pikirku kemudian. Halaman yang kubuka pertama kali adalah berita tentang pengolahan limbah. Sedang asyik membaca, ada seoang penumpang yang duduk di sebelahku. Aroma parfumnya mengingatkanku pada-

Rakryan!

Pria itu tersenyum miring. Benar-benar jenis tarikan bibir paling maut. Rakryan bukan membagi senyum ramah dan manis, melaikan senyum yang memadukan dua hal yang bertolak belakang; malaikat dan iblis. Yang bodohnya, sangat menarik untukku. Otakku sekarat. Jangan salahkan aku kalau tidak objektif lagi. Aku rela-rela saja tersedot dalam kegilaan kemudian jatuh dihempaskan dengan perasaan kacau balau.

"Aku sudah melihat spidol yang kamu tumpulkan." Rakryan merendahkan nada bicara.

Suaranya benar-benar kurindukan. Aku sampai mengerjap-kerjapkan mata untuk meyakinkan diri bahwa aku tidak salah dengar. Tetap Rakryan kok yang bicara. Aku sangat bersyukur karena sedang duduk. Kan embek kalau aku langsung bersimpuh karena tulang-tulang penyanggaku melemas.

"Sepertinya aku harus minta ganti rugi." Lanjutnya dengan wajah tanpa dosa. Tiba-tiba, aku ingin meremas-remas sesuatu dan sadar bahwa yang ingin kuremas sampai kumal adalah Rakryan. "Kenapa? Aku aneh?"

"Setelah cuek padaku, tidak menganggapku ada, kamu hanya membicarakan ganti rugi? Sku seharusnya yang minta ganti rugi karena kamu sudah membuang-buang waktuku." Aku mendelik, mengirim intimidasi lewat mata.

"Seingatku, aku tidak menyuruhmu." Ia mengerutkan kening, masih mempertahankan wajah innocent.

"Aku merasa bersalah dan ingin minta maaf." Tetap saja, aku yang paling mudah emosi kalau sedang ngobrol. Walau sebenarnya, aku masih belum percaya sedang berbicara dengannya. Serupa mimpi, serius.

"Lalu?" balasnya singkat. Rakryan menyilangkan kaki dan menatapku penuh penghargaan.

"Kamu masih marah padaku?" Terkesan buru-buru menyahut. Sebodo-lah!

"Ya?" Kali ini dia benar-benar menoleh. Tubuhnya sampai ikut miring menghadapku.

"Ya? kenapa ya-mu terdengar tidak meyakinkan?" tanyaku, mempertahankan nada judes. Rakryan tertawa dengan jenis tawa yang renyah, yang benar-benar kurindukan. Ternyata, banyak ya yang kurindukan darinya?

"B, dengar, aku tidak suka caramu, itu memang benar. Tapi aku tidak akan menyimpan amarah selama itu. Selain rasa takut karena tersentuh wanita yang bukan mahramku, naluriku sebagai lelaki sangat tersiksa." Ia mengulum satu senyum. Sementara, aku diam agar leluasa mendengarnya.

"Aku monster? Ya." Rakryan kembali menggunakan nada rendah. Jantungku berdentam-dentam tidak karuan. "Asal kamu tahu, rasa-rasanya aku ingin mencicipi setiap inchi bibirmu dengan bibirku atau lidahku. Atau merasai setiap jengkal kulitmu dalam sentuhan-sentuhan intim." Rakryan memainkan jemarinya di udara kemudian menatapku dengan pandangan iblis. Ada sesuatu yang bergelenyar dan panas berasal dari tubuhku. "Tapi, tidak mungkin aku melakukannya sekarang. Percayalah, ciumanmu kemarin nyaris membuatku gila."

"Om-om ganjen." Kemudian aku tertawa bersama. Begitu mudah ternyata berkomunikasi dengan Rakryan. Kupikir kami akan melewatkan adegan berdarah-darah yang menguras airmata. Nyatanya, dia cukup mengeluarkan kalimat flirting dan aku mengejeknya. Hanya sesederhana itu. Masalah personal yang kupikir membutuhkan penyelesaian yang luar biasa, bisa dipecahkan dengan duduk bersama, beberapa menit.

Allah, apa rahasiaMu saat menciptakan pria ini? Dia begitu suami-able.

"B, aku masih 26 tahun." Sanggahnya di sela-sela tawa.

"Eyuuh?" aku berhenti tertawa, menatap menimang kemudian mencibir.

"Apa harus kuberikan KTPku agar kamu percaya?" Rakryan mengambil dompet dari kantong celana belakang. Dia benar-benar tidak suka kupanggil om. Mungkin dia ingin aku memanggilnya kakek.

"Aku lebih suka diberi kartu kredit." Jawabanku berhasil membuat Rakryan senyum tertahan. Dia mengulurkan dompet. Aku terpaku dibuatnya.

"Yang Mulia..., jadi..., kita udah baikan?" Kuterima dompetnya.

"Sependek ingatanku, kita tidak pernah bertengkar," ia membuat dadaku gempa. Lagi.

"Kamu tidak suka kucium. Aku ingat itu." Ingatkanku sambil bersungut. Dia tidak boleh menghindar. Maksudku begini, kalau tidak suka ya bilang saja tidak suka. Tidak susah, kan?

"Aku suka, sangat suka, sungguh. Namun, waktu yang tidak tepat. Seharusnya kamu memintaku menikahimu sebelum menyentuhku. Kalau sudah begini kan, itu artinya mau tidak mau, bisa tidak bisa, terpaksa atau sukarela, kamu harus menikah denganku." Katanya semau sendiri.

"isshhh."

"Aku suka kamu bilang isshhh. Apalagi kalau sudah menikah dan mendesah dalam pelukanku." Dan Rakryan balas menatapku dalam-dalam ketika kuhadiahi pelototan. Dasar, jago banget sih bikin melting! Rakryaaaaaaan. Aaaaaaaaaaa! Selamatkan kewarasanku, kumohon. Kumohon...

****

Assalamualaikum. Ciiee yang pulang tarawih dan seneng Bintang Api apdet... Hahaha
Cie yang senyum-senyum karena Yang Mulia. Bhak!
Aku bikin bab ini dengan segunung rindu menggebu-gebu pada Bang Raky. Heeuuu

Gimana setelah baca bab ini? Yuk, cerita gih ama aku di kolom komentar! :DDD

Tabikpun~
SusanArisanti.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro