Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 14 Menenun Api 2


Aku baru tahu bagaimana rasanya menerima keputusan orang lain tanpa diijinkan sekali saja mengemukakan ide atau pendapat dari diriku sendiri. Notabenenya, hal ini berkaitan erat denganku. Juga Rakryan. Tapi, ibu mertuaku seperti sebuah karang. Ombak tidak mampu melengserkan posisinya. Dan semakin mirip dengan karang, setiap sabdanya serupa hukum alam. Siapa saja yang menentang, matilah tertindih karang. Rakryan beromong sama besar dengan ibunya. Aku tidak punya kongsi untuk membelot, sedikit mengulur-ulur waktu atau apa saja, yang penting jangan mencari gaun pengantin akhir pekan ini. Masalahnya, ada beberapa temanku akan datang berkunjung. Tapi, apa boleh buat? Aku harus menunda janji pada mereka demi menaati keluarga baruku.

"Nggak tidur, Muda?" Saras tahu-tahu duduk di sebelah kiri. Sekarang-karena kami adalah keluarga-dia memanggilku dengan sebutan itu. Dalam adat kesukuan, Lampung memiliki nama panggilan yang cukup variatif.

"Belum ngantuk." Jawabku sambil meluruskan kaki. Moodku sedang hancur, dan kali ini aku tidak mau bikin perkara. Saras tidak seperti si songong Rudana. Jadi, berkata menusuk bukan pilihan bijak.

"Aku tahu kamu tidak suka dengan keputusan Mama pas makan malam tadi." Diangsurkan satu tangannya di atas punggung tanganku. "Tapi, apapun alasan kamu, Mama punya pertimbangan yang masak untuk kebaikanmu dan Abang. Beliau tidak ingin menggantungmu dengan nikah siri. Bukankah dalam agama kita, mengumumkan pernikahan adalah sunah? Bahkan nabi pernah berpesan pada sahabatnya agar mengadakan walimah walau dengan seekor kambing."

"Omonganmu sekarang berat, ya. Aku nggak kuat bawa nih." Kemudian kami tertawa bersama. Setelah tenang, aku menghela napas lalu menyahut, "Karena hakikatnya, orang tua selalu sok tahu dengan apa yang dibutuhkan anak."

"Mereka memang tahu." Saras meralat ucapanku. "Dan itu kedengarannya sangat menyebalkan. Dulu sebelum diterima di fakultas kedokteran, aku ingin masuk fakultas seni, mengembangkan bakatku bermain piano. Tapi, Mama tidak setuju. Beliau bilang, 'Nilai pelajaran eksakmu sama bagusnya dengan kemampuanmu berpiano. Jadilah dokter yang bisa bermain musik.' Dan akhir-akhir ini aku mengerti apa yang Mama inginkan. Buktinya, kuliahku tidak menghalangiku bermain piano. Tentu akan berbeda jika sejak awal aku memilih fakultas seni, aku tidak akan bisa menjadi dokter, tidak akan tahu bagaimana rasanya menjadi mahasiswa kedokteran."

"Bukan itu sebenarnya yang jadi alasanku, Ras. Justru orang sepertiku sangat merindukan rasanya diatur orang tua. Rindu diomeli karena kesalahan sepele. Dan rindu pada perhatian-perhatian sederhana yang sering luput saat kita masih punya orang tua yang utuh." Aku tersenyum pada diriku sendiri. "Mungkin kamu belum merasakan bagaimana kebebasan yang pernah kualami. Aku diberikan pilihan yang tidak mengikat, namun harus bertanggungjawab oleh Kak Ayana. Di satu sisi aku beruntung punya kakak sepertinya. Tapi di sisi lain, aku ingin tangan-tangan posesif memelukku penuh perlindungan. Aku ingin menyerahkan kuasa diriku sepenuhnya pada mereka. Tapi, keadaan berbicara lain. Aku harus kuat, mandiri, tidak mudah mengeluh dan mencapai segala sesuatunya sendirian."

Saras merangkul bahuku. "Hei, mulai sekarang kamu tidak akan sendirian lagi."

Aku tertawa di atas lengannya yang menyampir di bahu. "Ya, ada kamu, iya kan?"

"Keluarga Abang adalah keluargamu juga. Jadi, jangan segan. Mama pasti tidak keberatan kalau kamu butuh sesuatu dan meminta bantuannya. Papa juga. Apalagi Abang, dia pasti akan melakukan apa saja yang kamu inginkan." Lalu Saras menggigit bibir. "Mungkin Rudana belum bisa menerimamu. Dia butuh beradaptasi dan belum mengenalmu dengan baik."

"Aku tidak keberatan menyunatnya lagi kalau dia kurang ajar." Candaku berubah ketegangan karena saat itu juga kudengar suara deheman.

Ketika kami menoleh, remaja labil yang masih dipengaruhi oleh pubertas berdiri di depan pintu, menyandarkan lengan dan menatap kami penuh perhitungan. "Lihat, dua orang sedang menggunjingku tengah malam. Kira-kira, apa yang akan dilakukan Batman saat tahu ada yang sedang berkonspirasi untuk menghancurkannya?"

"Kamu bukan Batman, Dan!" Saras memutar mata. "Duduk sini. Kamu kayak orang asing, tahu."

"Duduk bareng dia?" Telunjuknya mengarah padaku. "Aku mencium bau ketidakmungkinan."

"Jangan tersinggung." Saras berbisik di telingaku.

Aku mengangguk, "Tenang saja, Nabi saw-manusia terbaik di dunia-pun dicaci dan dibenci banyak orang. Satu, seribu atau sejuta orang yang membenci dan meremehkanku tidak serta merta menentukan kualitas diriku. Hidupku tidak ditentukan oleh orang lain dan tak seorang pun berhak merusak kebahagiaanku. Aku adalah tuan bagi diriku sendiri."

"Aku selalu percaya, wanita yang disukai Abang bukan wanita sembarangan." Saras tidak bisa menyembunyikan kelegaan karena aku tidak membalas kebencian Rudana. "Sejak bertemu denganmu saat kompetisi dulu, aku langsung menyukaimu. Meskipun kamu sulit menerima kehadiran orang baru, kamu memiliki sesuatu yang istimewa dan malam ini aku sudah melihatnya. Abang benar, Muda, kamu itu seperti bintang. Bisa menghasilkan cahaya, bukan sekadar memantulkan seperti bulan."

Aku tertawa atas pujiannya. "Mau membuatku terbang, ya?" kemudian aku memutuskan untuk berdiri. "Aku masuk dulu. Udaranya dingin. Jangan terlalu lama di sini, Ras. Angin malam nggak bagus buat kesehatan."

***

Bersyukur aku sudah ada di dalam kamar. Jika masih duduk di teras samping, di dekat kolam renang, ada Rudana pula di sana, aku tidak yakin cowok itu tidak berhenti untuk menghinaku. Daripada menghabiskan waktu mendengarnya, lebih baik masuk kamar kemudian menyiapkan rencana untuk esok hari.

Tanganku bergerak untuk mengunci pintu, melepas baju lalu membuangnya di keranjang. Malas pindah, aku menggapai-gapai meja rias, mengambil penyegar dan serum wajah. Sampai aku sadar, ada tangan yang menangkup pipi, mengusap dengan kapas yang sejuk. Nyaris menjerit kemudian sadar bahwa orang itu adalah Rakryan, langsung kuganti dengan mendesahkan napas lega. Dia membantuku, mengusapkan penyegar sebelum memakaikan serum pada wajahku.

"Apalagi?" pria itu bertanya dengan nada kasual setelah selesai mengoleskan serum.

"Lip balm." Jawabku di antara napas yang putus-putus. "Bulat, kecil, pendek, wadahnya berwarna putih." Menyebut warna terasa konyol. Kamar ini terselubungi kegelapan. Cahaya yang ditangkap mata hanya berasal dari lampu-lampu taman. Namun, bukan Rakryan namanya kalau tidak cekatan. Dia menyentuh bibir bawahku, mengoleskan lip balm.

"Aku punya ide." Katanya, berhenti sejanak untuk menunduk. Ketika aku mau bertanya apa idenya, sudah ada bibir yang parkir di atas bibirku. Aku mengerang frustasi karena saat membuka mulut, bibirnya sudah pergi. Kekosongan mengisiku sekarang.

"Nah, selesai."

Apa yang selesai? Dia baru saja memulainya.

"Ada yang mengganggu pikiranmu, Sayang?" Ia malah menanyaiku tanpa dosa. "Coba ceritakan padaku."

"Aku akan membunuhmu kalau kamu tidak menyelesaikan apa yang barusan kamu lakukan." Aku masih menahan diri untuk tidak berkata frontal. Berbicara dengannya harus sopan, namun tetap mematikan.

"Coba jelaskan 'apa yang barusan kamu lakukan' padaku." Dia duduk di sofa, menjauhiku yang mematung di ranjang.

"Yang Mulia, kamu cukup cerdas untuk memahami maksudku." Desisku tidak sabaran. Kuhampiri saja dia. Duduk di pangkuannya jadi ide paling masuk akal sekarang. Aku mendorong Rakryan agar pasrah di bawahku. Dan entah setan mana berhasil menyihirku jadi wanita agresif, karena sekarang dengan kalap, nyaris megap-megap juga, aku menciuminya seolah-olah kiamat akan segera terjadi dan sekarang adalah waktu tersisa yang kami miliki.

"Katamu tadi, kamu sedang haid." Rakryan menahan tanganku yang sudah bergerak melepas tali pada kimono yang dipakainya.

Apa?

Otakku baru kembali dan saat itu aku menjerit. Kubenamkan kepalaku di cerukan lehernya yang wangi. Aku malu.... Ada toko yang menjual harga diri tidak? Aku mau beli selusin deh.

"Aku tidak keberatan, Sayang. Sshh, tenanglah." Ditepuk-tepuknya bahuku. "Apa kamu ada usul untuk melakukan sesuatu yang aman tanpa melanggar syariat? Aku merasa bersalah kalau tidak membuatmu puas. Apalagi tidur dengan menahan diri sepanjang malam."

Aku mengulum senyum. Frustasi yang sedetik lalu memenuhi pikiran berganti kebahagian karena Rakryan kembali menyentuhku, menghangatkanku, dan menjadikan aku sebagai pusat dunianya.

***

Seperti janji Rakryan semalam, kami hari ini akan pergi camping berdua. Tidak jauh-jauh, hanya ke kampung Jukuh Batu. Di sana ada air terjun Putri Malu. Beberapa tahun lalu aku sudah pernah ke sana, tapi karena medan terjal dan cocok untuk trail adventure, sementara aku hanya memproduksi sedikit hormone adrenalin, sejak saat itu aku memutuskan untuk tidak ke sana lagi. Padahal, air terjun di sana sangat mewah dan luar biasa bagus.

"Siap?" Rakryan muncul dengan rambut yang masih basah. Dia memakai kaos, celana jeans pendek warna kuning gading dan sepatu boots. Benar-benar tampak 10 tahun lebih muda, aku tidak yakin sudah menikah dengan pria dewasa.

"Bekal makan siang, kompor portable, gula aren, madu, kopi Kintamani. Emm, apalagi, Yang Mulia?" Aku ngeri karena tas gunungku sudah penuh.

"Baju ganti. Aku ingin berenang di sana." Ia menghampiriku, menyentuh kening lalu merapikan anak rambutku yang keluar. Sentuhan telapak tangannya sangat halus, romantis dan posesif. Aku tersenyum karena sensasi yang ditimbulkan sangat menyenangkan.

"Sudah. Apa aku perlu membawa bikini?" Tawarku sambil tertawa karena melihat bibirnya menipis. "Bercanda geh."

"Pakai perlengkapan trail." Rakryan menunjuk alat pengaman yang digeletakkan di meja. "Kita berangkat sekarang sebelum Rudana pulang jogging dengan Saras."

Ide Rakryan sangat cemerlang, aku setuju, sangat setuju malah. Kalau sampai ketahuan, heeeuuuh, remaja itu pasti merengek-rengek untuk bisa ikut. Niat kami menghabiskan waktu berdua bisa kacau dengan kehadiran adik bungsu suamiku. Masa bodoh dibilang kakak ipar jahat. Tidak akan pernah ada yang menyalahkan keinginan sepasang kekasih untuk pacaran, iya kan?

***


"Ya-yang Mulia!" Aku menjerit ketika Rakryan menanjak. Berapa sudut kemiringan tanjakan ini? Entah, pokoknya nyaris 90 derajat. Kalau dia tidak professional, motor trail yang kami kendarai pasti terbalik. Sepanjang jalan, kurang lebih 7 km, aku tidak putus membaca ayat Al Qur'an, shalawat, dzikir atau apa saja yang nemplok dalam memori otak. Yang Jelas, aku percaya dengan membaca dan menyerahkan perlindungan sepenuhnya pada Allah, semua akan baik-baik saja.

"Yang Mulia!" Aku mengeratkan pegangan di pinggangnya, menenggelamkan kepala dan terus berdoa. Rakryan sekarang melewati turunan curam yang samping kanan jalan berupa tebing. Begini saja terus agar aku mengidap gagal jantung di usia muda. Pria yang sedang memboncengku, sekaligus pria yang mengaku mencintaiku seluas samudra dan daratan, perlu mencarikan dokter kardiologi terbaik sedunia kalau hal buruk terjadi pada organ pemompa darahku.

Ketika jalan yang kami lewati agak landai, Rakryan mengelus punggung tanganku sekali kemudian fokus lagi. Sejak melewati satu tanjakan terjal, satu turunan curam, aku tidak mau membuka mata. Di kepalaku sudah penuh ketakutan. Aku tidak mau jantungan karena melihat medan yang mengerikan. Setelah kupikir-pikir, dokter kardiologi bisa professional, tapi belum ada toko jual beli jantung. Kalaupun ada, itu hanya jantung pengganti yang terbuat dari plastik dilengkapi klep, tetap tidak sempurna untuk disebut sebagai jantung.

"Bee...." Ia memanggil dengan lembut

"Hng?"

"Buka matamu." Dia merayu. Selain lembut, suaranya sangat manis. Menyaingi madu hutan.

"Nggak. Aku takut." Kueratkan lagi peganganku di pinggangnya. Dia tertawa berderai-derai. Sial, dia menertawakan ketakutanku. Minta dicekik, ya?

" Yang Mulia nggak lucu!" aku mulai ngambek lagi.

"Kita sudah sampai."

Sampai?

Maksudnya?

Tiba-tiba otakku berfungsi, bahwa kami sudah tidak melaju di atas motor. Bahwa sekarang, motor yang kami kendarai berhenti dengan cantik di bawah pohon besar.

"Turun?" dia menoleh. Aku segera melompat dan nyaris terjungkal kalau dia tidak buru-buru memegangi pinggangku. "Hati-hati."

"Tasnya berat." Aduku sambil tersenyum salah tingkah.

Rakryan meraih tas gunung yang kucangklong. "Biar aku yang bawa."

Dengan senang hati! Aku mengangguk-angguk seperti orang bodoh kemudian mengekori langkah Rakryan, menuruni tebing dan melonjak-lonjak gembira ketika kakiku menyentuh air yang dingin.

Air terjun itu melengkung, seperti punggung seorang putri yang menyembunyikan wajah karena malu. Air yang jatuh dari ketinggian 100 meter, sebagian mengalir, sebagian lagi mental ke atas menjadi partikel yang berukuran lebih kecil. Batu-batu besar teronggok sempurna di pinggir, membentuk sebuah danau. Sementara batuan-batuan kecil terdifraksi sempurna oleh cahaya.

"Indah." Desisku kemudian melafalkan tasbih. Tidak sia-sia perjalanan 7 km tadi karena pada akhirnya aku bisa menikmati air terjun yang megah.

"Mau kopi, Sayang?" Rakryan berteriak, suaranya teredam gemerisik air.

Aku memasang wajah hah mutlak. Di salah satu dataran berbatu tidak hanya menyuguhkan pemandangan yang fantastis; Rakryan hanya memakai celana speedo yang super ketat dan seksi, tanpa memakai kaos lagi sedang duduk cangkung di depan kompor portable yang sudah ada teflon mini berisi air. Kuhampiri saja dia.

"Hot amat sih Bang. Mau menggoda siapa Abang ganteng?" Godaku lalu duduk di sebelahnya.

Dia hanya tersenyum sekedarnya, meracik kopi pada gelas. "Dirikan tenda, geh. Kamu anak pramuka, kan?"

"Maaf ya, tidak ada tenda dan aku hanya bawa matras. Kuharap kamu tidak menangis karenanya." Jawabku sambil mengeluarkan matras dari bahan waterproof. Kuhamparkan matras itu di atas daratan berbatu, menata bekal yang kami bawa kemudian duduk nyaman sambil menikmati Rakryan. Kenapa hari ini dia terlihat gigit-able, ya? Seperti buah apel merah yang masak di pohon, melambai-lambai minta dipetik.

"Ini namanya kopi Raja Sulaiman." Katanya, menyerahkan segelas kopi padaku. "Kamu tidak suka?"

"Apa rasanya tidak aneh?" Aku mencium aromanya. Ternyata, legit sekali aroma kopi Kintamani yang citrus banget ditambah madu dan gula aren.

"Huh?" Dia meletakkan gelas kopi pada sebuah batu ceper kemudian berdiri.

Ya Allah, itu beneran suamiku? Aku nggak keberatan kalau dia membuang celananya. Serius.

"Per-per-perpaa-duan...." Otakku sekarat.

Rakryan miring agar bisa melihatku. Kalau aku tadi bisa melihat bahu dan otot pahanya yang liat. Sekarang terhampar di hadapanku dada bidang yang menawarkan kehangatan plus perut rata. Tidak sixpact sih, namun ada beberapa tonjolan kecil yang terlihat. Kalau aku menurunkan pandangan, aku bisa menjumpai otot paha depannya yang kencang.

"Gagu." Ejeknya sambil menjulurkan lidah.

"Bagaimana aku bisa berpikir kalau seseorang sedang menggodaku di depan mata, tanpa malu sama sekali?" Aku menggerutu. "Kamu pikir, aku kebal menahan pesonamu?" Dan detik itu juga aku langsung membekap mulut. "Astaga, apa yang barusan kukatakan?"

"Bukan astaga, tapi astaghfirullah." Ralatnya, menjauh empat langkah. "Dan apa aku sudah bilang kalau matamu seolah-olah ingin mengajakku bercinta di atas air, lalu di sela-sela bebatuan?"

Rakryan terbahak-bahak ketika sebuah batu melayang mengenai perutnya.

"Kalau sudah anarkis begitu, aku minta ampun, deh." Tapi wajahnya tetap tengil. Minta ampun apa? Dia saja makin sableng begitu.

Omong-omong, memang mataku mesum banget, ya?

*****

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro