Bab 14 Menenun Api 1
Selain licik, aku baru tahu bahwa Albar seorang yang manipulatif. Kalau ada Panasonic Award atau even sejenis, dia layak mendapat piala atas aktingnya yang di depan hakim. Dia sok bersedih dan bicara tersendat-sendat. Cerita yang keluar dari lisannya, busuk semua. Rasanya, jika Rakryan tidak duduk di sebelahku, memegangi tangan kananku, aku sudah berlari lalu menendangnya habis-habisan.
"Yang Mulia Hakim..., ketika itu terjadi, aku mendengar bisikan kalau Ayana adalah seorang iblis dan dia ingin mengacaukan tatanan di muka bumi. Dia harus dibunuh kalau kita ingin selamat." Katanya, meraung-raung di depan sidang. "Dan bisikan itu benar, aku melihat punggung Ayana memiliki sayap berwarna hitam. Dia nyaris melukaiku. Karena itulah ada darahku pada pakaian yang dia kenakan. Dan mengenai kandungan obat tidur yang ditemukan dalam darahnya, aku tidak tahu apa-apa. Yang kulakukan saat itu adalah melindungi diriku dari Ayana. Dia benar-benar iblis. Aku berani bersumpah. Taringnya sangat panjang. Dia pernah menghisap darah seperti vampire. Kuku Ayana juga tajam, menusuk kulitku saat berusaha mencekikku."
Argumen itu adalah argumen paling tidak masuk akal yang kudengar di usia 19 tahun. Tidak kusangka, pria terdidik sepertinya bisa mengatakan hal mistik sebagai upaya pembenaran atas pembunuhan yang sudah dilakukan. Selagi hidup, aku bersumpah, dengan mata kepalaku sendiri melihat kakakku butuh makan, butuh tidur, tidak punya sayap, hanya punya dua tangan, lengkap sepuluh jemari, satu-satunya taring yang dia miliki hanyalah gigi taring yang tidak seberapa tajam, gigi yang sering digunakan untuk mengoyak makanan, bukan menusuk leher lalu menghisap darah. Bahkan, kuku Kak Ayana tidak pernah lebih dari satu senti. Dia selalu menceramahiku, kuku panjang itu tempat tinggal para jin. Nasehat yang dogmatis sekali. Aku lebih suka mendengar, kuku panjang dan kotor adalah salah satu tempat berkembangbiaknya bakteri dan jadi salah satu perantara kuman jahat masuk dalam tubuh.
Namun, keputusan hakim pada sidang itu membuatku kalut. Hari ini diakhiri dengan menunda persidangan untuk menghadirkan tim medis untuk menganalisis jawaban Albar. Karena sang pengacara tertuduh mengatakan bahwa kliennya sedang mengidap skizoprenia. Aku harus mengumpatnya atau memuji kecerdasan mereka memburamkan kejahatan?
"Pulang?" Rakryan menyadarkanku.
Aku tersenyum separo kemudian lari dari sisinya. Albar dan pengacaranya sibuk menangkis pertanyaan wartawan saat keluar. Tanpa ba-bi-bu, kuhantamkan tinju di rahang kemudian satu tendangan di selangkangannya. Setelah itu, aku menghampirinya yang terkapar sambil memegangi paha bagian tengah.
"Maaf, aku tadi mendengar bisikan kalau kamu adalah Dajjal!" Sewotku sambil melengos.
Albar sok menangis seperti anak kecil kehilangan permen. Pengacaranya menatapku menyelidik.
"Nona, Anda bisa kami laporkan atas tuduhan penganiayaan." Tegas si pria berjubah hitam padaku.
"Ohoo, jangan salahkan aku. Aku tadi mendengar bisikan, kamu tahu? Dia adalah Dajjal dan kalau aku tidak menghabisinya, Albar akan membawa manusia dalam kehancuran." Jawabku tidak kalah gertak.
Si pengacara gusar, akhirnya memutuskan menolong tuannya.
Untuk semua rekam jejak Albar yang buruk, masih ada ya pengacara yang sudi mendampinginya sampai sebegitu rupa? Penjahat tidak pantas mendapatkan belas ksaihan dari hukum, sebagaimana mereka tidak memiliki simpati dan iba pada korban.
"Sudah, ayo pulang." Rakryan menangkap lenganku, membawaku menjauh kemudian pergi dari kerumunan.
Di mobil, aku masih kesal sampai kehilangan mood untuk bicara.
"Bee." Dia memanggilku. Aku memutuskan untuk diam, menurunkan jilbab sampai menutup muka lalu pura-pura tidur. "Aku tahu kamu sedang jengkel."
Aku ingin menyobek mulut tidak tahu adat Albar. Bukan jengkel.
"Seseorang yang kuat itu, bukan mereka yang memiliki jabatan, atau yang mempunyai ribuan pasukan sebagai pelindung atau yang paling tega membunuh orang yang menentangnya. Orang yang kuat itu adalah orang yang bisa bersabar. Orang kuat itu adalah orang yang mampu menahan amarahnya." Suaranya berdenting seperti piano pada nada-nada mayor. Gaya bicara, juga intonasinya sangat jelas sedang berusaha mengecohku. Dia berharap aku melupakan Albar, kemudian berubah fokus untuk menggilainya, untuk mengaguminya seperti gadis lugu yang kehilangan otak karena dimakan zombie. "Amarah itu umpama api yang melalap kayu bakar. Umpama api yang melalap kebaikan."
Rakryan sekarang mirip ustadz-ustadz selebritis di tivi. Kondang di seantero jagad dengan ilmu yang seujung kuku. Dan makin mirip dengan utadz, seluruh omongannya berisi petuah hidup yang menjemukan.
"Kenapa aku tidak boleh marah? Kenapa aku harus sabar? Albar sedang berbohong di depan hakim. Albar mengarang cerita sinting." Lihat, aku tidak tahan untuk tidak mengomel, kan? Rakryan sudah memancingku. Jadi, apa boleh buat? Akan kutunjukkan bagaimana seorang Tsuraiyya Aghni dalam mode quit-never-more-and-welcome-to-the-hell. "Aku tidak akan diam saja. Aku akan menyeretnya ke penjara. Akan kubuat dia busuk di sana."
Rakryan menanggapiku dengan seutas senyum, sembari menyetir. Respons yang sangat tidak ingin kulihat. Aku kembali menurunkan jilbab sampai menutup wajah.
"Aku mengerti." Kemudian hening. Hanya suara mesin yang terdengar di antara kami.
Kok aku jadi memusuhinya, ya? Dia hanya menasehati agar aku bisa mengontrol emosi. Alih-alih berterima kasih, aku malah membentak-bentaknya. Kuperbaiki jilbab yang kupakai, melirik ragu padanya.
"Ada apa? Aku terlalu ganteng untuk dilewatkan, ya?"
Cih.
"Atau kamu mau menciumku?"
Hoek.
"Hmm, sebentar..., aku sudah memaafkanmu. Jangan sungkan begitu."
Sarkatis abis, Brooooh. Setelah mendengarnya, bukan surut, emosiku makin pasang. "Aku mau mencekikmu."
"Wah, kamu dapat bisikan lagi, ya? Kali ini apa yang kamu dengar? Aku seorang malaikat?" Sindirnya terang-terangan.
Aku mendesis-desis di atas kursi, nyaris tidak ada beda dengan ular kelaparan. Gusar bukan main. "Kamu termasuk salah satu monster PokemonGO yang menginvansi bumi."
"Oh, kamu harus menyediakan bola pokemon untuk menangkapku." Dia tertawa sampai matanya berbentuk segaris.
Memang ini lucu? Aku sedang marah, lho, dan dia meladeniku seolah aku hanya selembar daun yang menolak untuk jatuh. Me-nye-bal-kan. Bagaimana bisa aku cinta mati pada makhluk ini? Mungkin kemarin otakku salah setting. Oh, kemarin sampai hari ini.
"Bee, carikan karet di laci." Ia sedikit menyentak dagu ke depan.
"Buat apa?"
"Menguncir bibirmu yang sudah memanjang 30 senti." Tengilnya sambil tertawa puas. Candi Prambanan mana? Akan kukutuk dia jadi patung batu, menemani Roro Jonggrang yang kesepian berabad-abad.
Aku memutar mata, menghempaskan bahu lebih keras pada dashboard, siap menangis. Niatku untuk meraung-raung di mobilnya gagal karena Rakryan memutar murattal Al-Qur'an. Aku sudah megap-megap dan hanya bisa melongo sambil merasakan sesuatu yang sejuk mencubit jantungku.
"Nah, begini adem." Desahnya sambil mengerling padaku.
"Aku mau dipeluk." Aduku sambil berlinang airmata. "Siapa yang mau memelukku? Aku tidak punya siapa-siapa lagi...."
Rakryan langsung mengerem mendadak sampai bahu kami terantuk. Ditatapnya aku dengan mata elang. Lupakan airmata. Lupakan teriakan. Lupakan semuaaaa. Aku mencicit lemah. Sekarang aku merasa seperti seekor anak ayam yang menunggu dimangsa oleh Rakryan, sang predator paling berbahaya di abad ini.
"Maaf," ia mengedip, kemudian meraih tissue. Kupikir akan mendapat perlakuan romantis darinya, seperti menyeka airmataku, jarinya mengelus pipi, pelukan dan sebuah ciuman di puncak kepala, mungkin. Dan, yah, semua prediksi itu raib ketika Rakryan mengambil ponsel yang digeletakkan di laci. Ponsel itu diusap-usap memakai tissue dengan mata berbinar tanpa dosa.
AKU NGAMBEK! N.G.A.M.B.E.K!
***
Keluar dari mobil, aku masih cemberut. Rakryan tidak berhenti menggoda dengan menowel-nowel pipiku. Kemudian dia tertawa kuat-kuat kalau kuhadiahi pelototan. Sampai kami masuk dalam rumah, dia belum bosan bertingkah iseng.
"Abang?" Seorang remaja yang kutaksir berusia belasan tahun berdiri menghadang kami. "Kak Aiya?" matanya terarah padaku.
Apa bocah ingusan ini yang bernama Rudana, adik bungsu Rakryan yang sekarang kelas X SMA?
Dia menyalami kakaknya, sopan. Dan ketika berdiri di depanku, dengan songong dia menyamakan tinggi. Setelah tahu aku hanya se-telinganya, dia tersenyum puas. Tangannya terulur dan kami berjabat tangan.
"Yah, meskipun aku lebih tinggi, aku tetep menghargai yang lebih tua kok." Ia mencium tangan. Aku tidak tersentuh gara-gara kata "lebih tua" ditekankan sedemikian hingga untuk mengejekku.
"Dana, ngobrol dulu dengan Kak Ipar, ya. Abang mau kembali ke sekretariat." Rakryan menyarankan. Rudana berseru jijik ketika kakak sulungnya mencium keningku.
"Cengengesan. Kelihatan banget ya tergila-gila dengan Abangku." Selanya. Rudana mencibir kemudian memutari tubuhku. "Biasa saja. Terlalu biasa untuk dipuja seorang Rakryan. Hng, kupikir Abang punya selera bagus memilih wanita. Huh, dia pasti sedang sakit jiwa saat menikahimu." Ia menilai penampilanku lalu membuat prediksi konyol. "Atau kamu hamil duluan sampai Abang menikahimu grusa-grusu?"
"Iya, bahkan bayinya sudah lahir." Jawabku ogah-ogahan.
"APA?"
"Kecuali kamu mau dibawa ke dokter THT, aku akan mengulang kalimat tadi." Senyumku licik. Jangan suruh aku bermanis-manis ria di depan cowok menyebalkan ini.
"Apa kamu mau mengatakan bahwa aku tidak punya sopan santun?"
Wah, dia sudah berburuk sangka padaku. "Aku tidak suka menyudutkan orang karena kamu hanyalah siswa SMA kelas X. Dalam teori perkembangan otak, masa remaja adalah masa yang minim empati dan dipenuhi berbagai bentuk keegoisan. Tapi, kalau kamu menghinaku lagi, aku tidak segan-segan untuk membalas. Bukan karena aku membenci kepribadianmu, tidak suka perilakumu. Tetapi, karena kamu kehilangan simpati dan tidak bisa bersikap penuh tanggung jawab untuk menghormatiku sebagai kakak iparmu. Dengar, Rudana, AKU ADALAH KAKAK IPARMU. Seyogianya, kamu memperlakukanku dengan santun, dengan penuh etiket seorang adik. Dan tentang pernikahan kami, kamu berkewajiban menghargai keputusan abangmu sebagai orang dewasa. Bukan remaja yang masih memakai seragam putih-abu-abu."
Terkena skakmat dariku, Rudana ternganga. Namun, dia kembali mengemukakan pendapat. "Baiklah, aku memang salah karena sudah menilaimu dari fisik. Tapi, coba lihat dari caramu berbicara, aku sangat yakin kamu bukan orang baik, santun, ramah, dan cerdas."
Wah, mengajakku bersilat lidah, ternyata. Ini baru pertemuan pertama, dia sudah cari perkara. Tidak tahu ya kalau moodku benar-benar buruk gegara Albar?
"Dalam hidup ini, kita memang memerlukan orang baik. Tapi, kita juga perlu kenakalan untuk merenungkan kembali norma lama agar pemikiran kita dapat berkembang. Kita perlu menjadi anak yang sopan, tapi kita juga perlu sedikit kekurangajaran untuk menekan ego orang-orang yang merasa terhormat hanya karena dia dilahirkan dalam keluarga kaya, berpendidikan dan punya segalanya." Aku ganti memutari tubuhnya, sok menilai kemudian tersenyum mencemooh ketika Rudana menatapku. "Kita memang salut pada sosok yang ramah, tapi kita juga perlu sedikit kegalakan agar tidak ada yang melunjak atau berusaha memanipulasi karena kelembutan sikap kita. Dan, Rudana..., kita memang harus tumbuh menjadi anak cerdas, tapi juga perlu sedikit kebodohan agar kita selalu merasa tidak cukup dengan pengetahuan yang dimiliki sehingga terus belajar, tidak terlena dengan titel cerdas." Aku tersenyum. Omong-omong, aku telah memenangkan perdebatan ini. Telak.
***
"Tsabit, apa yang bisa membuat seseorang bisa lepas dari hukum?" Tanyaku, tidak sabaran. Seingatku, Tsabit adalah mahasiswa Fakultas Hukum di Universitas Lampung dan mengambil kelas akhir pekan-heuh, apa istilahnya? Eksistensi? Ekstensi? Entahlah.
"Ada dua alasan untuk menghapus pidana, yaitu alasan pembenar dan alasan pemaaf, Ai." Jawabnya singkat. "Ada apa?"
"Jelasin."
"Yang pertama alasan pembenar, hmm..., seingatku ada di pasal 50 KUHP, alasan yang menghapus sifat melawan hukum suatu tidak pidana. Misal, seorang eksekutor penembak mati terhadap terpidana mati. Kedua, alasan pemaaf tercantum di pasal 44 KUHP, yaitu alasan yang menghapus kesalahan dari si pelaku tindak pidana. Misalnya, lantaran pelakunya tidak waras atau gila sehingga tidak bisa mempertanggungjawabkan perbuatannya." Jawaban Tsabit membuka selubung gelap di otakku.
"Albar tadi bilang di pengadilan kalau dia membunuh Kak Ayana karena dia mendengar bisikan bahwa Kak Ayana adalah iblis dan menceracau seperti orang gila." Aku berhenti sejenak. "Aku curiga kalau dia ingin lepas tanggungjawab."
"Apa kata Albar?" Tsabit ingin tahu. Kemudian berceritalah aku kronologi persidangan tadi dari awal sampai akhir. Minus pukulan dan tendanganku pada Albar. "Kalau dia memang tidak waras, seperti idiot, dia bisa lepas dari tanggung jawab. Tapi lain hal jika masuk dalam kategori berubah akal. Gila, misalnya. Setahuku, menurut pasal 44 KUHP ayat 2, hakim memerintahkan memasukkan dia ke rumah sakit jiwa selama-lamanya setahun untuk diperiksa."
Aku merenung. Albar tidak mungkin berencana masuk Rumah Sakit Jiwa (RSJ). Lalu kenapa dia berakting dengan cukup memukau di depan khalayak? "Bulu Landak, kalau setahun diperiksa tim medis dan Albar dinyatakan gila, apakah dia akan lepas dari tanggung jawabnya?"
Tsabit diam, ketakutanku akan jadi kenyataan. Awas saja, jika sampai hukum dipermainkan, aku tidak akan memaafkannya. Aku sangat yakin, sususan saraf Albar normal. Bukan mau buruk sangka, tapi aku yakin 100%, dia sedang pura-pura.
"Ai..., kamu tidak boleh tertekan selama persidangan Albar. Jangan emosional seperti biasanya, 'kay?" Nasehatnya kemudian. Heran, hidupku dipenuhi pria-pria yang hobi ceramah. Tidak tahu saja kalau aku tadi sudah melampiaskan seperempat emosiku pada Albar, pengacara Albar, Rakryan dan Rudana.
Ah..., aku kangen Rakryan, by the way. Dia pulang tidak, ya? Akhir-akhir ini Yang Mulia sibuk di sekretariat pemenangan. Berangkat pagi-pagi dan pulang terlalu larut. Alasannya sederhana, dia belum sanggup bertemu banyak orang yang memergokinya mengigau. Bhaks, kadang sifat pemalu Rakryan melebihi malu yang dimiliki gadis-gadis perawan.
Anyway, malam ini Mama bilang akan makan malam bersama karena Saras dan Rudana berakhir pekan di Way Kanan. Jadi tebakanku, Rakryan tidak akan terlambat datang. YESSS!
***
Kalau ada yang memintaku untuk mendeskripsikan Rakryan, aku pasti bakal kebingungan. Bukan karena tidak mengenalnya, melainkan lebih pada kenyatan di mana aku memiliki gambaran yang sangat hidup tentangnya. Masalah lain, belum tentu si penanya punya waktu banyak, sekadar mendengar celotehku yang tidak penting sama sekali. bualan seseorang yang sedang dimabuk asmara, begitu aku menyebutnya. Karena itu, setelah dipikir masak-masak, ditambah sedikit meditasi dengan memanfaatkan music klasiknya Mozart, aku menemukan definisi yang tepat, singkat dan Rakryan tasted.
Beautiful in a very masculine way. Sebuah perpaduan antara pria kekinian yang maskulin dan pria konservatif yang mendebarkan. Hiiyy, apa sih istilahku ini? Ck.
"Sedang merindukan aku?" suaranya seperti coklat panas yang lumer di mulut. Terkesan seksi, lembut dan cowok banget. Dia memakai kaos lengan pendek dan celana jeans pendek. Kasual dan anak muda sekali.
Mataku mengabsen tubuh bagian atas. Wajah Rakryan benar-benar kinclong seperti ditanam permata di lapisan kulit jangatnya. Pandanganku bergerak, kemudian tersenyum. Rambut Rakryan masih basah, aroma shampoo dan sabun menguar darinya.
"Kenapa harus merindukanmu?" meskipun kemarin lusa Rakryan sudah menegur untuk tidak menjawab pertanyaan dengan pertanyaan pula, aku tetap melakukannya. Ini adalah strategi bertahan paling tokcer. Tidak mungkin kubiarkan harga diriku terlupas tanpa perlawanan sedikit pun.
"Karena aku juga memikirkanmu. Kurasa itu sebuah timbal balik yang adil. Oh ya, apa memikirkan dan merindukan pasangan itu sesuatu yang terlarang?" Rakryan mulai mengeluarkan kemampuannya beretorika. Dia punya dialektika yang bagus, maka wajar memiliki karier politik yang cemerlang. Bersuami seorang politisi bukan hal yang menyenangkan. Aku tahu pasti, Rakryan sedang mempengaruhiku agar membenarkan pertanyaannya di awal.
"Yang Mulia, bisakah kamu tidak menyerang logikaku? Premis-premis yang kamu katakan itu menggiringku untuk mengakui bahwa aku memikirkanmu, bahwa aku merindukanmu."
Dia tersenyum, "Yah, aku ketahuan." Nadanya slutty, seperti anak abege mendapat kado ulang tahun untuk jalan-jalan ke Mars. "Bee, sebelum makan malam dengan keluarga besar, kamu tidak-"
Aku buru-buru mundur untuk mempertahankan radius mustahil bersentuhan. "Haid, kamu tahu?"
"Not even an Isya kiss, Bee?" Rayunya dengan suara mendayu yang minta digigit. Dan ketika dia mendekat, aku tidak bisa kabur kemana-mana. Lha, kakiku saja berakar menembus inti bumi. "Aku sudah lama tidak merasakan seperti ini." Tangannya melingkari pinggulku dengan posesif, kemudian meletakkan dagu di puncak kepalaku. Kami sama-sama memejamkan mata, menikmati kehangatan yang mengalir dari tubuhnya ke tubuhku, juga sebaliknya.
"Aku pernah memiliki teman kencan yang lebih cantik, lebih seksi dan punya selera fashion yang bagus. Tetapi, ternyata hubungan yang kuinginkan bukan sekadar hal-hal remeh-temeh seperti itu. " Ia membawaku mendekati ranjang. Jantungku berdetak-detak karena Rakryan mendudukkanku di atasnya.
"Pernah dengar kisah seorang pria yang cinta mati pada seorang gadis sampai pria itu gila?" ia berjongkok, membuat wajah kami sejajar. Ketika berbicara, mulutnya berbau mint, sebuah aroma yang tidak kubenci, juga tidak kusukai.
"Laila Majnun, maksudmu?"
"Bukan. Pria itu aku, Rakryan Akbar."
"Kalau boleh tahu, siapa yang jadi Laila-mu?"
"Lihat mataku, dia ada di sana." Pungkas Rakryan sebelum kami buru-buru keluar karena Rudana menggedor-gedor pintu kamar seperti orang kesurupan. Kami menggeleng bersamaan saat menjumpai anak SMA itu di tengah pintu, cengengesan sambil menjual wajah innocent.
"Diajak makan malam, Bang. Sudah ditunggu Papa, Mama dan Kak Saras." Matanya mendelik padaku, mengirim ancaman. Dipikirnya, aku ini adalah balita yang gampang menangis karena dipelototi, ya?
Rakryan merangkul pinggangku. Kalimat yang tadi mau kumuntahkan hanya jadi udara dan melayang-layang bebas di sana. Ughh, dia tidak membiarkanku menabuh permusuhan dengan adiknya yang songong. Sebagai pria, dia tidak mengerti bahwa wanita yang sedang emosi hanya butuh mencak-mencak sambil mengomel tidak jelas.
★★★★★★
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro