
Bab 13 Detak, Napas dan Pupus 3
"Sudah empat malam kamu tidak pulang, Yang Mulia."
"Aku butuh menenangkan diri."
"Apa kamu tidak ada agenda untuk membriefing tim kampanyemu? Sebentar lagi hari H pencoblosan. Apa tidak ada rencana mengantisipasi serangan fajar dari lawan politikmu?"
"Haruskah kita membicarakan hal ini, Bee?"
"Kurasa, aku perlu mengingatkanmu. Aku tidak mengerti bagaimana orientasimu sekarang. Tapi, Yang Mulia, semua yang sudah kamu persiapkan dengan matang, energi yang kamu keluarkan, juga materi-"
"Bee, apa kita akan bertengkar? Aku dengan senang hati akan melayani amarahmu. Dengan amarahku pula."
"Yang Mulia-"
"Berhenti memanggilku dengan sebutan paling menjijikan itu!"
Dan pagi itu adalah salah satu obrolan buruk yang kami lewati. Tertekan oleh keadaan memicu emosiku meninggi. Akal sehatku sembunyi entah di mana. Aku sedang kecewa pada diriku sendiri. Belum percaya bahwa aku sudah menikahi Manora.
Aku berpoligami.
Tsuraiyya.... Apakah aku bisa adil? Apakah cinta yang kubagi pada dua wanita bisa memiliki porsi yang pas? Aku tidak tahu apa yang terjadi di masa depan. Lebih tepatnya tidak sanggup melihatmu terluka dan meneteskan airmata. Setelah mengucapkan ijab-kabul untuk Manora, aku tahu pasti, aku tidak berhak mengekangmu atau memilikimu seegois mungkin. Aku benar-benar brengsek karena telah menghancurkan kebahagianmu dengan cara seperti ini.
Aku kembali menekan dada yang terasa kebas. Jantungku sudah lama mati. Tidak ada dokter yang mampu membuatnya berdetak lagi. Sekarang yang dilihat orang-orang hanya seonggok robot yang lupa cara bernapas, lupa cara mencinta dan lupa untuk apa hidup ini.
***
"Saya sudah mencegahnya masuk. Maafkan saya, Pak." Galih berlari, nyaris menabrak Tsuraiyya yang datang tergopoh-gopoh. Kuberi isyarat agar dia keluar dari ruanganku. Setelah pintu tertutup kembali, menyisakan Tsuraiyya yang mematung di dekat saklar, aku berdiri.
Mengamati keadaannya, memastikan jika selama aku pergi, dia baik-baik saja. Dan yah, seperti harapanku, dia baik-baik saja. Tunggu, ada yang aneh di tangan kirinya. Sebuah buku hijau kecil terselip, instingku langsung siaga. Dari caranya menatapku, aku yakin, Tsuraiyya menyimpan lahar amarah yang siap disemburkan padaku.
Aku mencoba rileks, merentangkan tangan agar dia memelukku. "Sudah mencoblos hari ini, Bee? Bagaima-"
"Aku menemukan ini di antara paket kilat yang dikirim kurir." Ia menyerahkan buku nikah suami dengan tenang. Tanpa berniat memelukku padahal aku sudah memberi kode terang-terangan. "Buku nikah suami, iya kan?"
Jantungku berdentam-dentam saat menerima buku yang dimaksud. Tanpa membukanya, aku tahu pasti, ada namaku dan Manora di sana. Tinggal menghitung detik, semua hal yang paling kutakutkan akan segera terjadi. Dan kali ini aku tidak bisa berkelit atau berbohong.
"Menurutmu, apa yang harus kulakukan sekarang? Aku menghubungi KUA Pahoman-Bandar Lampung dan mereka membenarkan pernikahan kalian." Sebuah senyum tersungging, menambah ironi dalam obrolan kami. "Yang Mulia, mungkin sekarang adalah momen yang tepat untuk menyadari siapa aku. Aku hanya lulusan SMA, tidak punya keluarga lagi, juga tidak berasal dari keluarga kaya raya. Cantik? Siapapun pasti tahu, Manora lebih cantik dariku, berkepribadian baik dan cerdas. Kalau aku merasa lebih baik darinya, pasti aku sedang sinting karena tidak tahu diri." Ia berhenti untuk menghela napas. Setiap kata yang dilepaskan seperti silet yang mencacah kulitku. "Apa... apa aku tidak terlambat kalau mengatakan selamat untuk pernikahan kalian?"
Airmataku menetes pelan-pelan. Rasa sesak membuat bibirku terbuka. Aku segera mengisi paru-paruku penuh-penuh agar bisa mengusir beban yang menghimpitnya.
"Sebenarnya, aku ingin membunuh Manora, tapi sejak menerima buku sialan itu, aku seperti manekin rusak. Ada yang menekan tombol off di jantungku." Dia tidak menangis, justru akulah yang meneteskan airmata. "Dan sekarang, setelah berdiri di depanmu, membayangkan apa yang akan terjadi pada rumah tangga kita. Aku..., aku tidak bisa melihatmu tersenyum pada Manora seperti kamu tersenyum padaku. Aku tidak sanggup melihatmu menyentuh Manora seperti kamu menyentuhku. Ya-ya-yang Mulia, bukan hubungan seperti ini yang kucari. Bukan cara ini yang kupercaya bisa membawaku ke surga."
Aku memeluknya, erat. "Jangan bicara lagi, Bee. Jangan."
"Maaf," dia mendorong dadaku, menjaga jarak. "Aku minta maaf untuk hatiku yang sempit; untuk nyaliku yang pecundang. Tapi, jujur..., seberapapun aku mencintaimu, aku tidak bisa hidup bersamamu lagi."
"Kamu akan tetap hidup bersamaku. Dan kamu tidak akan kemana-mana." Egoku mulai keluar. Kucengkram bahunya kuat-kuat. "Aku akan mempertahankanmu, selamanya."
Dia tertawa sambil mundur beberapa langkah, gesture tubuhnya sangat defensive terutama kalau aku berinisiatif mendekat. "Mempertahankan? Ya Ampun, itu gombalan paling konyol yang pernah kudengar. Setelah ini, aku tidak tahu harus mengadu pada siapa. Orang yang bisa menghentikan airmataku adalah orang yang membuatku menangis." Saat itu juga kristal bening mengalir di pipinya. Airmatanya adalah hal yang paling menakutkan bagiku. Tangannya serabutan mengelap wajah agar tidak ketahuan menangis. "Jadi, Yang Mulia, ayo, kita akhiri hubungan ini."
"Tidak! Aku tidak akan membiarkanmu pergi!"
"Sejak menikahi Manora, kamu sudah melepaskanku."
"Bee, jangan mengada-ada. Kamu tetap di sini. Tidak boleh meninggalkan aku."
"Ralat, kamu yang meninggalkan aku."
Aku berjalan ke arahnya, sementara dia mundur. Sampai akhirnya, bahu Tsuraiyya menyentuh tembok. Iblis menyarankan agar aku memerangkap tubuhnya, mengintimidasinya dan kalau dia tetap ngotot, bukankah aku harus menguncinya dalam ruang isolasi sampai dia berubah pikiran?
"Jangan memancingku untuk jadi iblis." Ancamku sungguh-sungguh. Bukan mengerut takut, dia malah balas menatapku dengan mata angkuhnya yang sembab. "Kamu hanya bisa pergi jika aku mati."
"Kamu memintaku bertahan, tapi kamu sendiri tidak bisa mempertahankan rumah tangga ini. Omong kosong dengan cinta, omong kosong dengan seks, omong kosong dengan masa depan. Bagiku, kamu tidak lebih dari seonggok sampah yang menggadaikan apapun agar bisa berkuasa."
Aku memegang tengkuknya, memaksanya berciuman. Tangan dan kakinya memberontak, hanya di awal, setelah lemas, dia luruh di dadaku. Menerima ciuman sebanyak yang kuberikan. Aku baru berhenti saat merasakan asin di lidah. Ketika menarik diri dan melihat api di matanya, aku baru sadar, luka yang ada di sana, alih-alih sembuh justru semakin menganga, lebar dan dalam. Telunjuknya menuding padaku.
"Kamu..., MONSTER."
Adakah yang lebih empedu dari mendengarnya mengataiku monster? Apa yang akan kamu lakukan jika wanita yang kamu cintai sepenuh hati, ternyata tidak bahagia bersamamu? Tsuraiyya tidak bersalah, akulah yang brengsek. Kutukar dirinya dengan sebuah jabatan yang hanya berumur lima tahun. Aku membakar sendiri kebahagiaan seumur hidup untuk satu periode berkuasa. Dia benar, aku memang monster.
"Yang Mulia. Hei. Yang Mulia. Heeeiiii."
Yang ada di depanku adalah wajah polos Tsuraiyya. Tidak ada luka di matanya. Posisi kami juga tidak saling berimpit di tembok. Tetapi di meja. Ia ikut bertelekan di meja, menggerak-gerakkan kepalanya.
"Aku-"
"Akhirnya, kamu bangun juga. Ck. Susah sekali sih bangunnya. Mengigau lagi. Memanggil-manggilku pula. Kamu sangat memalukan. Di sana ada pak Rum, Pak Darus dan Bu Supadmi." Dia menunjuk tiga orang yang menunduk. Apa yang mereka sembunyikan dariku? "Kamu konyol, Yang Mulia. Mereka mendengarmu mengigau, tahu."
Tidak penting igauan itu. Aku segera menyeret Tsuraiyya, membawanya di depan tiga orang itu.
"Ada yang harus kukatakan, Pak Darusman." Aku merasa tenggorokanku kering. Jangan memintaku untuk minum, sekarang aku tidak peduli dengan air atau bahaya dehidrasi. Tsuraiyya lebih berbahaya dari apa saja di muka bumi ini. "Aku menolak tawaranmu. Tentang parpolmu yang berkhianat, aku tidak akan ambil peduli. Aku akan memenangkan pilkada ini dengan partai yang punya integritas dan komitmen."
Darusman tertawa terbahak-bahak. "Ya, ya..., setelah mendengarmu mengigau begitu, aku tidak akan memaksamu lagi, Rakryan."
Keningku berkerut-kerut.
"Oh ya, ini Bu Supadmi Mangindaan. Beliau adalah wakil ketua Majelis Tinggi Partai Persatuan Rakyat. Dan jauh-jauh dari Jakarta ke sini untuk bertemu kamu." Lanjut Darusman, menyembunyikan tawa agar terlihat berwibawa.
Supadmi menatapku. Dia tersenyum lembut. "Bersyukur karena Aiya menghubungiku dan memberitahu apa yang terjadi. Aku belum terlambat, kan?"
"Senang berkenalan dengan Anda." Kuulurkan tangan. Supadmi berdiri, menjabatku.
"Aku sangat senang karena akhirnya Aiya menemukan pria yang benar-benar mencintainya." Bisiknya. "Oh ya, mengenai Darusman yang menekanmu untuk menikahi putrinya, itu atas intruksiku. Maafkan aku. Sebenarnya, aku hanya ingin menguji apakah Tsuraiyya benar-benar menikahi pria yang tepat. Dan kamu lulus ujianku."
Oh!
"Bagaimana kalau sekarang kita ke ruang rapat? Kudengar ada 1200 kader partai, 1000 simpatisan dan 1100 rakryat menunggumu." Wanita itu tersenyum lagi. Setelah melepas jabat tangan, dia mendekati Tsuraiyya. Entah apa yang diobrolkan, tapi hari ini wanita yang kucinta tertawa lebar. Kebahagiannya berhasil mempengaruhiku. Aku tersenyum meski tidak tahu apa-apa. Aku malas mencari tahu yang telah terjadi. Asal tahu saja, kepalaku masih pusing. Mimpi buruk itu nyaris menyita seluruh kewarasan otakku.
***
"Aku bisa mati kalau kamu memelukku terus." Omel Tsuraiyya, tapi malah merapatkan kepalanya di dadaku. Kami bertindih-tindihan dengan cara yang tidak elegan. Untuk saat ini, lupakan kata santun. Soal ranjang, semua tidak butuh etika. Aku hanya butuh dia menyentuh setiap incihi tubuhku, tidak boleh ada yang luput.
"Aku mati kalau kamu melepas pelukanku." Kataku, bukan gombal, sungguh. Setelah mimpi sialan itu memporak-porandakan mentalku, apa yang kukatakan barusan adalah kenyataan.
"Ih, norak!"
"Sebentar, sebentar...," Aku sok berpikir serius, kemudian mengangkat tubuhnya agar tidak menimpaku lagi. Setelah dia telentang dengan pasrah, aku menempelkan kepalaku di dadanya. "Aku mendengar jantung kuda di sini."
"Ouch...," ia mendramatisir ejekanku. "Kasihan sekali kamu punya pasangan kuda."
Aku menyeringai, "Tidak juga. Aku sangat bersyukur malah."
Ia menatapku, menagih jawaban.
"Tenaganya sangat luar biasa. Dia mampu memberiku visual 3D yang selama ini mengendap dalam fantasiku sebagai pria."
"Itu terdengar..., lumayan."
"Bukan lumayan, tapi istimewa." Aku memeluknya lagi. Tidak membiarkan hengkang walau cuma se-senti. "Bee, apa hubunganmu dengan Supadmi? Kenapa kamu kenal orang itu?"
Dia menyengir kemudian membekap mulut.
"Cerita padaku!"
Dia menggeleng-geleng. Ah, aku punya cara agar dia membuka mulut. Jariku menggelitiki pinggangnya. Ia tertawa sampai tersedak. Khawatir, aku segera mengambilkan air mineral di meja, di dekat lampu tidur.
"Yang Mulia, hidungku pengar!" Ia menyerahkan gelas tadi.
"Sini, aku obati." Segera kucium hidungnya dan Tsuraiya membeku. "Kenapa?"
Ia mengusap hidung.
"Tidak sopan. Ciuman suami malah diusap. Aku cium lagi."
Meskipun jago memberontak, aku tahu kelemahannya. Jadi, maaf, aku tidak memerlukan waktu yang lama mengalahkannya. Tsuraiyya sekarang sudah takluk di bawahku. "Mau bercerita?"
Napasnya besar-besar karena mengeluarakan tenaga berlebih untuk melawanku tadi. "Iya, aku cerita."
Aku menyandarkan punggung pada kepala ranjang, sementara Tsuraiyya merebahkan kepalanya di dadaku lagi. Dia pernah bercerita, bagian tubuhku yang paling disukainya adalah dada. Ketika kutanya apa alasannya, dia hanya mengendikkan bahu. "Karena aku merasa nyaman bersandar, barangkali," sahutnya sambil lalu.
"Kami pernah bertemu saat aku ikut lomba baca puisi di FLS2N di Jakarta. Karena dia pemilik yayasan tempatku sekolah, aku diajak menginap di rumahnya. Nah, ternyata..., almarhum ayah adalah sahabat karib beliau. Sejak saat itu, Bu Padmi menganggapku anak sendiri. Kemarin malam, sebelum kamu pulang dan memergokiku membaca puisi, Bu PAdmi menelponku. Dia bertanya mengenai sekolah pilotku. Awalnya beliau kesal karena aku memutuskan untuk mundur. Kemudian, dia memancingku agar bercerita tentangmu. Aku benar-benar tidak tahu kalau dia begitu peduli padaku. Sampai terbang ke Lampung hanya untuk bertemu kamu. Lima jam menunggu kedatangannya dari Bandar Lampung, aku menyiapkan makanan favoritnya; ikan Gurame bakar, sambal trasi mentah, dan lalapan. Yang menyebalkan, aku sudah capek, masuk dalam ruanganmu malah mendapatimu tidur sambil berteriak-teriak, "Bee, jangan tinggalkan aku. Jangan memancingku jadi iblis. Aku tidak akan membiarkanmu pergi." Diiihhh, malu-maluin. Semua tim suksesmu sampai berkerumun melihatmu. Untung Pak Rum menghalau mereka dengan mengajak dua tamu penting masuk dalam ruangan."
'Apa...," Aku menggigit bibir. "Semua orang yang ada di sekretariat pemenangan mendengar?"
Ia mengangguk.
"Pak Rum, Pak Darus dan Bu Padmi juga mendengar?"
Kepalanya bergerak-gerak seperti shockbreaker motor melewati jalan terjal. Rasanya, aku mulai gila sekarang. Besok aku ke sekretariat harus memakai apa agar terhindar dari tatapan "kasihan" mereka? Aku tidak punya muka lagi.
"Kamu mimpi apa, Yang Mulia?"
Giliranku yang menggeleng. Sumpah lahir batin, aku tidak akan menceritakan apapun tentang mimpiku. Tidak akan pernah!
"Aku sudah bercerita, dan sekarang kamu malah main rahasia-rahasiaan." Gerutunya tidak terima, ia mengusap-usap pipiku. Akhir-akhir ini, aku paham caranya merayu. "Yang Muliaaaa...."
Kutangkap tangannya, lalu menatapnya intens sambil berkata, "Dengar baik-baik, Bee. Aku tidak memiliki pengampunan jika kamu berani berpikir untuk meninggalkanku."
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro