Page 5
.
.
.
❝Shall we watch the moon like the day of our promised?❞
Setelah cukup lama berada di samudra dan menemukan treasure island, Senkuu bersama yang lainnya kembali untuk menyelesaikan tujuan utama, menyembuhkan Tsukasa melalui petrifikasi. Pemuda berambut putih dengan shade kehijauan tersebut sesuai dugaan, berhasil. Siapa sangka alat yang pernah menghancurkan peradaban manusia selama 3000 tahun lebih, ternyata dapat dijadikan sebagai bahan immortal untuk para manusia?
Kumiko tak ingin berpikir lebih jauh, hanya memperhatikan pemandangan mengharukan dari jauh. Iris biru tua tersebut menatap lekat pada Mirai yang menangis setelah Tsukasa mengelus lembut kepalanya.
Tentu saja, siapa yang tidak merasa sedih ketika ambang kematian sang kakak telah berhasil diatasi? Gadis kecil itu bahkan mengawasi dan merawat Tsukasa selama kru milik Senkuu dan Ryuusui berlayar demi mendapatkan alat petrifikasi tersebut.
Tak ingin air matanya diketahui oleh orang lain, lantas Kumiko berjalan menjauh dari orang-orang. Gadis dengan helaian biru muda itu berjalan menuju sungai, mencuci mukanya lalu menghela napas.
"Hah! Aku tidak boleh menangis, Okaa-san ... akan marah jika melihatku seperti ini," ujar Kumiko menahan tangis, lalu kembali mencuci wajahnya yang putih pucat, "apa mungkin aku menikmati waktu dengan mereka? Pfft, lucu sekali!"
Sang gadis diajarkan untuk tidak mempercayai siapapun, bertingkah seolah itu adalah sifat aslinya meskipun ia tak berniat sama sekali membuka hati. Hanya kakak angkatnya saja yang dapat ia percaya, walaupun hubungan mereka berdua hanya sebatas layaknya simbiosis mutualisme.
"Kumiko?"
Yang dipanggil segera kehilangan keseimbangan, terkejut, jika saja pemuda berjulukan primata SMA terkuat tersebut tidak menangkapnya dengan cepat. Tsukasa memeluknya ringan, seolah ia adalah sebuah bulu angsa, "Tolong, hati-hati."
"Oh, oke ... baiklah," balas Kumiko kikuk. Tak bertingkah seperti biasanya. Namun, tak butuh waktu lama, Kumiko balik bertanya pada Tsukasa.
"Apa reunimu dengan Mirai dan Senkuu telah selesai?"
"Hm, kau benar. Setelah minta maaf dengan Gen, aku juga mencoba menemui untuk membicarakan sesuatu. Tapi, aku tak melihatmu."
"Makanya Tsukasa mencariku? Buat apa? Aku tidak mengerti!"
Alis kanan milik sang gadis terangkat, kebingungan. Sementara, lawan bicara hanya mengulas senyum lembut juga berkarisma, yang nampaknya tak memiliki pengaruh sama sekali pada Kumiko. Topi kecil berwarna abu-abu tersebut, ia buka, mengelus pelan helaian berwarna biru muda.
Kedua iris dengan warna berbeda, lekas saja bertubrukan satu sama lain. Di masing-masing sirat tatapannya, terdapat arti yang berbeda.
Kumiko menghela napas ketika sadar ia masih berada di pelukan Tsukasa, lalu ia berseru dan melepaskan pelukan itu, "Aku lapar!"
Tingkah kekanakan yang biasa telah kembali. Tsukasa menikmati perubahan Kumiko menjadi free-spirited, terbukti dari kekehan kecil yang ia keluarkan. Ekspresi kaku dan gelap yang dulunya, telah berubah menjadi senyum penuh kilauan dan harapan. Pemuda bermarga Shishio tersebut hanya bisa berharap kalau tidak ada yang berubah, tak ada yang bisa merenggut tujuan sang gadis.
"Aku tertidur cukup lama, bukan? Namun, apa kau masih ingat janji kita? Tsukimi."
"Piknik di bawah bulan, 'kan?"
"Haha, ya, kalau itu yang kau artikan."
Tawa riang Kumiko lepaskan, lantas ia merentangkan tangan, mulai merasa nyaman, "Apa harus sekarang? Senkuu tidak akan memarahi kita kalau kita slack-off untuk sejenak, 'kan?!"
Aneh, aku seharusnya tidak merasa sesenang ini.
Ini hanya sikap, bukan sifat asliku.
Ini hanya topeng.
Tapi, kenapa?
Suara bariton milik Tsukasa mencoba menggapai pendengaran Kumiko, mengacaukan lamunan sang gadis. Pemuda itu terkejut ketika mendapati air mata mulai menetes dari pipi si pemilik helaian rambut berwarna biru muda di hadapannya, lantas tangannya sontak membuka, panik.
"Apa jangan-jangan ... kau terluka?" tanya Tsukasa, khawatir. Ulasan senyum dan air mata tampil bersamaan di wajah Kumiko, membuat gadis itu segera menyahut dengan teriakan sumbang dan penuh penekanan, "LAPAR!"
Tsukasa menyadari sebuah white lie yang diutarakan sang gadis, namun ia memilih untuk diam dan menyimpannya dalam hati. Lengan kekar tersebut kembali mengelus pelan kepala Kumiko, seolah sosok di hadapannya akan hancur jika tak diperlakukan dengan baik.
Ia akan menganggap kalau respon Kumiko saat ini adalah penyambutan akan kebangkitannya. Tsukasa memutuskan untuk loyal kepada kerajaan sains sebagai bentuk bayarannya akan jasa Senkuu, juga melindungi Mirai dan gadis di hadapannya ini.
"Baiklah, akan kuberitahukan pada Senkuu agar kita mendapatkan hari libur untuk beberapa hari," ujar Tsukasa.
Kumiko diam, membersihkan wajahnya yang berantakan di sungai. Kemudian, ia mengangguk kencang dan melompat-lompat kecil seraya menunjuk ke arah langit yang telah menjadi gelap, namun dipenuhi dengan bintang dan dipandu oleh bulan. Bibirnya membuka, "Makan satoimo di zaman batu terdengar sangat biasa. Aku akan memalak Senkuu untuk membuat dango!"
"Lebih baik gunakan kata minta tolong daripada memalak, Kumiko," tegur Tsukasa seraya mengulurkan tangan.
Kekehan kecil Kumiko keluarkan sebagai balasan. Ia pun menerima uluran tangan Tsukasa dan menggandengnya. Rutinitas sewaktu mereka masih kecil seolah kembali lagi pada tempatnya.
"Aku menyukaimu, Kumiko," ujar Tsukasa serius, di tengah-tengah langkah mereka berdua.
Kumiko sama sekali tidak menolehkan kepalanya dan mengulas senyum polos, lalu tertawa, "Hehe, aku tidak tahu Tsukasa bisa bercanda seperti ini! Benar, aku juga menyukaimu dan Mirai ... oh, juga Ukyo-san dan yang lain! Hm, tapi aku kurang suka Gen, dia suka main kotor."
Sementara Kumiko mengoceh, helaan napas Tsukasa lepaskan, lantas pemuda itu kembali fokus pada langkahnya. Tsukasa merasa, ia masih bisa menunggu. Kebahagiaan Kumiko lebih penting daripada apa yang ia rasakan saat ini. Ia takut jika memaksakan kehendak maka akan berakhir seperti kerajaannya.
Ia benar-benar menolak hubungan romantis akibat traumanya waktu masa kecil secara tidak sadar, huh? Tsukasa membatin, miris.
.
.
.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro