Chapter 1
Tarian pedang menghibur rembulan yang kesepian. Tanpa bintang dan awan, langit sangat menarik untuk dinikmati.
Akan tetapi, hal itu tidak membuat seorang pria bersantai. Di usianya yang sudah berumur ratusan tahun, ia justru dikirim untuk melakukan tugas penting.
Ayunan demi ayunan pedang ia lancarkan untuk menebas lawannya hingga membuat lawannya menghilang bersama sang angin.
Manik biru gelap dengan siluet keemasan menatap lawannya dengan tenang nan dingin.
"Aku rasa sudah cukup sampai disini."
Ia berbalik menatap lawannya yang tidak lain tidak bukan adalah pasukan pengubah sejarah yang berniat mengubah masa depan negaranya.
Akan tetapi, pasukan itu tidak tinggal diam. Mereka tidak mempedulikan pria itu dan langsung melancarkan serangan bagi siapapun yang menghalangi rencana mereka.
"Hahahaha, majulah!" titah pria itu.
Senyuman tidak pernah luntur diwajahnya. Ia masih tersenyum, meskipun lawan mulai menebas kesana-kemari.
Pria itu menikmatinya dan mencoba mencari cela untuk menghancurkan semuanya dalam sekejap. Dan saat ia sudah mendapatkan apa yang ia cari, rencananya digagalkan oleh tangisan bayi yang berada dalam genggaman salah satu pasukan itu.
Dengan langkah ringan namun terpaksa, pria itu mengambil rencana kedua. Membunuh mereka satu-persatu tanpa menyakiti ataupun membuat bayi itu ketakutan.
Zrash!
*****
"Selamat datang, Mikazuki Munechika," sapa pria paruh baya dengan pakaian mirip seorang penjaga kuil.
"Ah, Aruji. Senang melihat Anda baik-baik saja hingga saya kembali," balas pria bermanik biru gelap dengan pakaian khasnya yang memiliki gambar bulan sabit emas, Mikazuki Munechika.
"Hahaha, tentu saja. Aku selalu baik-baik saja disini," balas pria paruh baya itu dengan senyuman di wajahnya.
"Hahahaha... dan sekarang, aku merasa jika pinggangku mulai sakit."
"Mikazuki, disini aku yang tua, hahahaha."
"Bagiku, Aruji tidak pernah terlihat tua. Justru, aku sudah hidup ratusan tahun lamanya. Jadi, aku yang tua disini."
"Permisi." Suara seorang gadis memotong suasana keakraban mereka.
Gadis itu membuka pintu itu perlahan. "Aku membawakan teh dengan camilan," ucap gadis itu dengan wajah malu-malu.
"Ah, silakan, Nak," ucap pria paruh baya itu.
Mikazuki tidak berkata apapun. Ia hanya diam sembari melihat teh nya disajikan bersama beberapa makanan manis dalam piring kecil.
Setelah menyajikannya, gadis itupun pamit dan meninggalkan mereka untuk berbicara kembali.
"Kenapa kau diam saja, Mikazuki?" tanya pria itu.
"Rasanya ... waktu berlalu begitu cepat ya, Aruji," ucap Mikazuki setelah menyeruput teh nya.
"Ya. Anak bayi yang kau selamatkan, sekarang sudah tumbuh menjadi gadis remaja."
"Aku masih tidak percaya jika sejarah tidak berubah saat Aruji memintaku untuk membawa anak itu kembali ke honmaru."
"Hahahaha, ada saatnya kau tahu dengan sendirinya, Mikazuki. Karena, apapun yang kita pikirkan akan selalu terbentang pemikiran lain yang akan menghantui mu."
Disisi lain, gadis yang mengantarkan teh itu kembali ke dapur untuk membantu penghuni honmaru yang gemar memasak, Shokudaikiri Mitsutada.
"Ah, rasanya selalu canggung jika Mikazuki ada disana," eluh sang gadis sembari menaruh nampan ditempatnya semula.
"Mikazuki Munechika? Mungkin kau hanya terpesona pada tenka goken, Neko," ucap Mitsutada sembari meracik masakan untuk makan siang nanti.
"Benar juga. Mikazuki masuk dalam tenka goken. Dan selama ini, tenka goken yang sudah ada disini hanya Mikazuki. Pantas saja aku merasa canggung."
Mitsutada tertawa ringan mendengarnya. Seperti yang ia pikirkan, Neko masih polos. Sama seperti anak-anak tantou, hanya saja Neko adalah versi perempuannya.
Hm, rasanya lebih pantas jika disebut sebagai Midare versi nyata.
"Neko," panggil Mitsutada.
"Hm?"
"Bagaimana kalau makan siang nanti, aku akan membuatkan yang spesial untukmu."
"Spesial? Apa itu kesukaannya Tuan Masamune Date?" tanya Neko dengan tatapan polos.
"Kalau itu yang kau inginkan, maka akan aku buatkan."
"He!? Kalau begitu, aku ingin itu saja sebagai makan siang nanti."
Dengan senang hati, Mitsutada menuruti keinginan gadis yang selalu siap membantu tuannya dalam kondisi apapun.
*****
Saat makan siang tiba, Neko sangat antusias pada makanan yang ada dihadapannya. Makanan sendai yang telah disusun sedemikian rupa akan mengundang selera makan bagi siapapun yang menatapnya.
Ditambah lagi, Mitsutada yang memasaknya. Jadi, tidak diragukan lagi jika masakannya sangat enak.
"Tampaknya kau sangat suka makanan seperti itu ya, Neko," ucap Mikazuki yang memang duduk disebelah kanan sang gadis.
"Mitsutada memberikanku hadiah ini karena sudah bekerja keras selama ini," lirih Neko.
Mikazuki pun tersenyum mendengarnya. Dan hal itu memang benar adanya. Disaat para touken danshi telah dikirim untuk ekspedisi serta misi, hanya Neko lah yang menjaga honmaru hingga tim lainnya kembali. Mengingat, tuannya yang sekarang belum bisa memanggil touken danshi yang lain.
"Selamat atas kerja kerasnya. Dan, pasti kau mau ini, kan?" Mikazuki mengambil sepotong ikannya untuk Neko.
"A-ah, tidak usah. Aku sudah dapat cukup makanan," ucap Neko.
Tentunya, perbincangan antara Mikazuki dengan anak angkat Aruji mereka menjadi topik yang selalu dinanti oleh touken danshi lainnya.
Tingkah Neko yang imut dan parasnya yang manis, entah mengapa sangat cocok dengan Mikazuki.
Mungkinkah karena mereka sama-sama menggambarkan keindahan?
Tidak. Diantara mereka, yang paling indah tetaplah mereka yang berasal dari golongan tenka goken.
"Hei, hei, apa kalian tahu?" Imanotsurugi keluar dari barisan dan berdiri ditengah lingkaran, "Tiga hari lagi festival Tsukimi akan dimulai. Aku punya saran, bagaimana kalau Tsukimi kali ini kita usahakan agar tidak ada yang ekspedisi ataupun misi? Hitung-hitung membuat Aruji lebih senang dari sebelumnya."
"Ya! Aku juga setuju. Belakangan ini, kita jarang menghabiskan waktu dengan Aruji," ucap Iwatooshi.
Tiba-tiba saja, Gotou mengangkat tangannya dan membuat suasana yang antusias menjadi diam.
"A-aku ada saran, apakah boleh aku menampilkan kemampuan anak-anak macan ini?"
"Tentu saja. Anak-anak macan itu sangat lucu. Aruji pasti suka juga," ucap Kogitsunemaru.
Mendengar pujian itu, Gotou menjadi semangat. Ia sudah terpikirkan penampilan apa yang akan ia bawakan.
"Tsukimi?" tanya Neko dengan nada yang sangat pelan pada dirinya sendiri.
"Hahahaha."
Tawa Mikazuki membuat Neko bingung. Memang, tawa seperti itu adalah kebiasaan pedang tertua disini. Tapi terkadang, tawanya justru mengundang kecurigaan.
"Apa kau bingung dengan Tsukimi?" tanya Mikazuki tanpa menatap Neko sedikitpun.
"U-um."
"Kalau begitu, lebih baik kau mengetahuinya nanti sebagai hadiah karena telah membantu Aruji untuk menangani kami."
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro