Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Quattro

Harusnya aku menikmati waktu-waktu ini.

Tidak semua orang bisa mendapatkan kesempatan untuk bersekolah di salah satu sekolah seni terbaik. Seharusnya aku menikmati kesempatan ini dengan sungguh-sungguh.

Tapi tinggal jauh dari kampung halaman tidak pernah terasa mudah. Aku melewatkan beberapa momen yang tahun sebelumnya bisa kurasakan bersama keluargaku. Aku melewatkan perayaan Tsukimi. Dan ... kalau boleh jujur, sebenarnya minatku akhir-akhir ini agak menurun, kalau saja aku bisa pulang walau hanya sebentar ....

Aku tahu, aku tidak boleh tenggelam dalam perasaan rindu ini. Jika nilai-nilaiku menurun karenanya, bisa-bisa beasiswaku terancam.

Seandainya aku bisa menemukan sesuatu yang bisa menaikkan semangatku walau sedikit ....

"Hei, (Name), mau makan bareng siang ini?"

Entah kenapa Feli sering sekali muncul tiba-tiba di hadapanku. Mentang-mentang dia jauh lebih tinggi dariku. Tentu saja, aku juga sudah pernah mengomelinya karena membuatku kaget.

"Memang kita akan makan dimana?" tanggapku sambil memainkan helai rambut Feli yang mencuat. Hal yang selalu kulakukan setiap kali dia membuatku sebal, karena aku suka reaksinya.

"Aw aw, aduh ... (Name) ... hentikan dong~"  Dia baru berhenti mengerang ketika aku melepaskan tanganku. "Ve ... sebenarnya aku ingin mengajakmu makan di restoran milik kakakku, bagaimana?"

Feli sudah sering menceritakan tentang kakaknya yang membuka restoran Italia selepas lulus sekolah. Katanya itu resto masakan Italia paling lezat di daerah sini, meski aku belum pernah pergi ke sana, sih.


Jadilah siang itu, kami berdua pergi ke Vargas's Pasta e Pizza, restoran milik kakak Feli. Waktu di Jepang, aku jarang makan makanan Italia. Soalnya kupikir, akan terasa aneh kalau makan makanan khas daerah tertentu yang tidak dibuat oleh orang dari daerah tersebut. Tapi karena keluarga Vargas sudah tinggal selama bergenerasi-generasi di Italia (kata Feli silsilah keluarganya bisa diurutkan sampai zaman Roma, tapi itu tidak penting) jadi masakan buatan mereka pasti bisa dipercaya.

Restoran ini tidak terlalu besar, tetapi kesannya sejuk. Ketika kami masuk, seorang pemuda menyambut kami dari meja kasir. "Selamat datang. Oh, Feli ya, hola Feli, 'pa kabar?"

"Antonio, ciao, aku datang buat makan siang, nih." Kelihatannya Feli sudah mengenal pemuda itu dengan baik. "Fratello, aku datang, lho~"

Terdengar suara sahutan dari pintu di belakang kasir. Sesaat kemudian, pintu itu terbuka dan kepala seorang pemuda lain menyembul dari sana.

Kakak Feli adalah Feliciano versi ketus. Warna rambutnya sedikit lebih gelap dari adiknya, dengan satu helai yang menyembul di sebelah kanan atas.

"Buset, udah berani bawa cewek aja nih anak," katanya waktu melihat kami. Karena kakak Feli memakai celemek masak, kuduga pintu di belakang kasir itu tersambung ke dapur.

Pemuda penjaga kasir, Antonio, sepertinya baru menyadari keberadaanku saat itu. "Wah, iya, ya. Jangan-jangan kamu pacarnya Feli?" katanya padaku.

"Bu-bukan, kok," kataku cepat. Aku ingin menjelaskan bahwa hubungan kami bukan seperti itu, tapi lidahku kelu. Untung saja, Feli menyelamatkanku.

"Bukan, kok. Kenalkan, ini (Name), teman sekelasku. (Name), ini kakakku Lovino, dan Antonio. Mereka berdua yang mengelola restoran ini," jelas Feli.

"Oh ... dia anak Jepang yang pernah kau ceritakan itu, ya?" sahut Lovino sambil memperhatikanku. Ya, ampun, apa saja yang diceritakan Feli soal diriku?

"Ternyata kamu manis juga. Semoga betah di sini, ya." Antonio menimpali. "Jadi, kalian berdua mau makan apa?"

"Minta dua porsi napolitan spesial!" sahut Feli. "Tolong ya, Fratello. Masakan buatan Fratello 'kan yang paling lezat di daerah sini."

Lovino menyunggingkan senyum bangga. "Huh, tentu saja, tidak ada yang menyangkal hal itu. Dan kau nanti juga harus mengakui betapa hebatnya hasil masakanku." Dia mengatakan itu sambil menunjukku. Kemudian, Lovino berbalik kembali menuju dapur.

"Dua porsi napolitan spesial. Baiklah, kalian duduk saja, nanti kuantar." Antonio tampak menulis sesuatu di meja kasir.

"Yuk, (Name)."

Aku mengikuti Feli menuju bangku berhadapan di samping jendela. Seketika, aroma spaghetti yang dibumbui memenuhi udara.

"(Name) jangan sedih, ya," kata Feli tiba-tiba.

Aku mengerjap. "Hm? Apa maksudmu? Tapi aku tidak--"

"Belakangan ini aku lihat (Name) sering melamun, kupikir ada sesuatu yang sedang membebanimu," potong Feli. "Makanya, kamu kuajak kemari biar nggak sedih lagi."

Percakapan kami terpotong oleh kehadiran Antonio, yang membawa nampan berisi dua porsi spaghetti napolitan hangat. "Kutraktir churros juga ya, soalnya kalian berdua manis banget," katanya sambil meletakkan jajanan itu di meja kami. "Yah, aku ingin mentraktir kalian lebih banyak. Tapi kalau nggak hemat, nanti aku nggak bisa pulang ke Spanyol waktu natal."

Feli tergelak. "Tidak apa-apa. Begini saja sudah cukup, kok. Makasih Antonio."

Antonio melemparkan kekehan kecil, sebelum kembali ke meja kasir. Aku menatap sepiring spaghetti napolitan hangat di depanku, aromanya sungguh menggoda.

"Antonio bukan orang asli sini?" tanyaku, mengingat kata-katanya tadi.

"Bukan," jawab Feli. "Dulu dia teman sekolah kakak. Tapi alih-alih kembali ke Spanyol, Antonio sendiri yang memutuskan untuk bekerja di sini."

"Uhm ... kita kembali ke yang tadi, ya. Kalau makan sesuatu yang barasal dari kampung halamanmu, kuharap (Name) bisa kembali ceria," lanjut Feli sambil menyiapkan garpunya.

Ah, jadi begitu. Tapi memang benar, akhir-akhir ini aku sering melamun. Sampai membuat temanku mengkhawatirkanku seperti ini, kurasa aku agak berlebihan.

Aku menghela napas. "Kamu benar. Akhir-akhir ini ... aku agak merindukan rumah. Tapi seharusnya aku nggak terbawa suasana seperti itu, 'kan?"

Tapi Feli menggeleng. "Tidak apa-apa, kok. Tinggal jauh dari rumah memang bukan hal mudah, tapi jangan terlalu sedih, ya. (Name) 'kan juga punya banyak teman di sini."

Mau tak mau jawabannya membuatku tersenyum. "Iya juga, ya. Terima kasih Feli, kamu memang temanku yang baik."

Feli ikut terkekeh, "Tentu saja, sekarang kita makan dulu, ya?"

Ngomong-ngomong, rupanya dari awal Feli berniat mentraktirku. Aku senang sekali.

-----

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro