Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Destructive Blazing Thunder (4)

.

.

.

(Third POV)

Suasana di kota terlihat ramai dan semarak seperti biasa. Kala malam menjelang, yang berkepentingan saat itu akan mulai keluar.

Pasar-pasar dan karnaval biasa diadakan untuk menarik minat belanja pengunjung, dan menikmati wisata di kota.

Tapi setiap daerah selalu ada daerah terlarangnya tersendiri.

Termasuk distrik Yoshiwara; daerah dengan pesona dewasa dan keindahan malamnya. Hanya para wanita dan lelaki dewasa disana. Ada yang berjalan menawarkan jasa, dan ada yang langsung masuk menuju ke tempat untuk memesan orang yang akan dihabiskan waktunya malam itu.

Tak terkecuali, dengan salah satu tempat di distrik tersebut yang terkenal.

"Ugh!!"

Sementara ini, mari kita fokuskan pada sang gadis yang terjatuh ke lantai tatami gelap tersebut.

"Argh... Sialan. Eh? Ini dimana lagi?"

Dia berdiri dan memperhatikan sekeliling. Sang gadis melihat dari pojok sudut kamar yang mewah, bahwasanya ada hawa keberadaan orang lain di ruangan tersebut.

Dia memperhatikan kalau ada sorang wanita muda yang memasukki kamar sembari melihat sekitar—yang memang cukup familiar.

Dia merasa kalau orang itulah yang ia lihat ketika di hutan salju bersama dengan pemuda lain kala di mimpi.

Lalu kenapa dia ada disini, pikir sang gadis berkimono putih seperti waktu itu mengamati dari jarak aman.

Kembali pada sang wanita, dirinya melihat berbagai ornamen dan dekorasi yang indah terpampang di seluruh ruangan. Wewangian aroma terapi khas krisan dan mawar tercium memanjakan indera penciuman.

Benar-benar rumah lacur yang tersiksa, ucap sang wanita dalam hati.

Hingga tak ia sadari, seseorang sudah ada disana dan memperhatikannya yang melihat-lihat.

"Tak ada yang menarik disini."

Suara bariton menyapa indera pendengarannya, membuat wanita tersebut membalikkan badan dengan tenang.

Seorang pemuda yang berpakaian merah gelap menggoda, kontras dengan kulitnya yang sedikit langsat dan terekspos paha serta dada—seakan membuat perhatian yang lebih untuk sang pelanggan wanitanya. Jarinya memegang pipa rokok dan menghembuskan napas asapnya.

"Jadi, kaukah... yang katanya seorang putri? Kau cukup berani karena telah memesanku. Uangmu pasti banyak." ujarnya dengan sedikit dingin dan seduktif disaat yang bersamaan.

Pandangannya menatap tajam perlahan.

Sementara yang menjadi saksi tesembunyi hanya bisa melotot terkejut melihat mereka.

"Eh... Taiga-kun? Bukan, dia..."

Suatu pemikiran dan gumaman akan keterkejutan ketika melihat perawakan sang pria tersebut.

Mirip dengannya...

"Jangan-jangan..."

Mungkinkah dia adalah moyangnya dulu sebelum diambil oleh sang Putri menjadi pewaris pertama, sama seperti pria yang ada di hutan salju itu?

Sosok putih di hutan itu ia asumsikan sebagai moyangnya Kuroko, sementara yang ia lihat ini adalah moyang dari Kagami.

"Tapi kenapa dia mengambil mereka yang berbeda?"

Dilihatnya sang pemuda berdiri dari duduknya, sebelum mengeluarkan aura yang bisa dibilang hanya kekuatan yang dimilikki oleh ayakashi.

"Aku kesini ingin berbicara denganmu, Torakoyami, sang Byakko."

Gadis itu membelalak.

Siluman harimau dari mitologi?

"Kau bahkan mengetahui seorang siluman Byakko sepertiku yang bersembunyi, ya..." seringainya menatap sang wanita yang tetap tenang.

"Diangkat oleh sepasang suami istri tua yang berprofesi menjadi pengrajin pedang dan samurai, kau dijadikan bagaikan anak kandung dan diajari banyak teknik pedang serta menempa. Lalu kau terseret banjir dan ditemukan oleh pemilik tempat ini, hingga diajari kesenian menghibur dan ranjang, bekerja disini serta memiliki gelar nomor 1 di Yoshiwara. Benar begitu?"

Sang pria tertawa terbahak. "Informasimu terlalu ganas, Yang Mulia! Memang itu kenyataannya, tapi aku tak bisa mengelak."

Mereka duduk bersama dan menikmati teh yang dituangkan sang siluman.

"Kenapa kau tidak melawan saat diambil? Kau bisa kembali kepada orang tua angkatmu atau kabur."

"Kekuatanku waktu itu belum bangkit, dan aku tak tahu arah dimana mereka berada."

Tangan kekar itu meminum pelan teh bunga sakura yang disediakan.

"...Aku sudah mencari tempat tinggal mereka berada, tapi banjir itu juga akhirnya membuat rumah hanyut dan aku tak tahu lagi apakah mereka masih hidup atau tidak."

Rasa hutang budi dan kasih sayang itu menjalar tertanam di hati sang siluman, dirawat bagaikan anak adalah anugerah baginya. Walau dia juga berhutang budi dirawat dan diperkejakan di tempat hina seperti ini, agar bisa makan dan tidur dengan layak.

Wanita tersebut yang hanya diam pun menatapnya penuh arti, "Tenang saja. Aku akan membebaskanmu."

Mata merah menyala itu menatapnya tajam. "Oi, jangan bilang kau—"

"Ya. Aku akan membelimu. Dengan itu, kau akan bebas dan bisa mencari mereka. Aku tak bermaksud menghinamu, tapi aku akan membantumu untuk menemukan mereka. Mati maupun hidup."

"Lalu keuntungannya apa untukmu?"

"Menjadi penjaga permata yang aku jaga dengan dirimu dan keturunanmu. Kau akan hidup lebih layak, dan dunia akan damai dari Hebisake. Impas?"

Pria tersebut memendekkan jarak dan memandang wanita yang menatapnya tanpa gentar.

Tangannya mengambil beberapa helai rambut dan mencium harumnya.

"Kalau ingkar, aku musnahkan dirimu dan mati di tanganku."

Senyum tipis tersebut merekah dengan rona diantara lilin penerangan kamar.

"Pegang kata-kataku, Torakoyami-san. Terima kasih sudah mau percaya padaku."

Gadis yang mengamati sedari tadi terdiam melihat mereka mengobrol sebelum terkejut. Karena ketika berkedip lagi, dia sudah ada di tempat lain.

Sepertinya di bangunan rumah pelacurannya, pikirnya sebelum melihat tak jauh disana ada dua orang tersebut sedang berkomunikasi.

Dia tak percaya akan apa yang ia dengar.

Putri yang berada di hadapannya ini membelinya dan membebaskannya dengan harga yang sangat mahal.

"Kau... tidak bohong."

Wanita itu tersenyum manis. "Tiga kali lipat dari yang ditawarkan pemilikmu. Dia tak rela melepasmu jadi aku bernegosiasi... Dan ya, begitulah."

Dia tak percaya sama sekali. Astaga demi raja dewa di atas surga.

"Untuk tentang keluargamu, ada kabar burung mereka ada terlihat di barat daya wilayah hutan. Ajaklah mereka nanti untuk tinggal denganmu. Mereka pasti senang bertemu anak nakal mereka yang hilang dari sungai selama bertahun-tahun."

Lututnya langsung hampir lemas. Orang tuanya masih hidup dan menantinya.

Wanita tersebut menatapnya tenang dengan senyum menyejukkan.

"Sekarang aku sudah membebaskanmu. Sebagai seorang putri, aku mengembalikan statusmu sebagai seorang keturunan samurai dan diangkat menjadi kesatria terhormat. Orang akan menunduk hormat pada dirimu dan kau akan hidup aman terpandang."

Pemuda tersebut menatap tak percaya pada sang lawan bicara sembari mendengarkan lanjutannya.

"Dan, aku juga anugerahkan tanggung jawab ini padamu dan keturunanmu, untuk menjadi Penjaga Permata Suci Amber hingga generasi berikutnya dan mendampingi keturunanku hingga dunia berakhir."

Diberikan kedudukan serta status agar mengangkat nama baiknya, membuat sang pria siluman bekas distrik gelap itu tersentuh akan tindakannya.

Pemuda bermata merah tersebut langsung bersujud dengan satu lutut ditekuk dan satunya di lantai.

Berlutut, sang Byakko bersumpah untuk setia demi sang Putri yang memberikan kebebasan pada harga diri dan martabatnya.

"Hamba akan dengan senang hati menerima tanggung jawab ini hingga keturunan terakhir, Yang Mulia Putri! Saya bersumpah setia padamu mewakili klan Shiki hingga akhir keturunan!"

Setelah kalimat tersebut terucap, gadis pengamat tersebut kembali lagi hanya melihat sinar putih yang menyilaukan, sebelum akhirnya terbangun lagi dari tidurnya di tengah malam.

.

.

.

Skip

.

.

.

(First POV)

"(Name)-chan, kau tak apa?"

"Eh?"

Aku menoleh, menemukan tatapan Satsuki-chan yang mengkhawatirkanku.

"Dari tadi kau melamun saja. Apa yang kau pikirkan?" tanyanya padaku.

Aku menggeleng pelan dan tersenyum tipis. "Tak apa. Aku hanya merasa mengantuk saja. Percayalah."

Akhirnya dia mengangguk mengerti sebelum berkata, "Kita akan segera sampai di kediaman Tetsu-kun. Bersiaplah."

Ah, iya.

Benar.

Saat ini kami berdua sedang dalam perjalanan menggunakan mobil jemputan menuju ke kediaman Tetsuya-kun. Aku juga sepertinya tak heran kalau mereka akan berasal dari keluarga kaya. Riko-Oneechan tengah tak bisa menemani karena bekerja di kantornya sementara Shuuzou-senpai sedang rapat Senat.

Kami mendapatkan kabar kalau permata tak bersinar terang. Menurut laporan bahwa mulai ada aura hitam di sekelilingnya, yang berarti itu sudah menjadi awal pertanda buruk. Ditambah lagi, Tetsuya-kun tak bisa menangani jadi dia meminta kami untuk datang ke tempatnya dan harus segera menyucikan permata.

Kalau tidak, entah apa yang akan terjadi.

Aku tak mau membayangkannya. Lagipula, aku ingin semua hal tak masuk akal ini cepat selesai.

Aku juga sudah mencoba mengingat cara ritual penyucian yang akan kulakukan selama aku diajari oleh kedua sepupuku dari jauh-jauh hari, setelah tahu aku memiliki kekuatan seperti ini. Melelahkan sekali.

Ugh, so much for my normal life to come back.

Tak lama kemudian, kami sampai dan keluar dari mobil setelah berhenti di depan halaman utama. Aku hanya bisa terdiam melihat bangunan tradisional yang terlihat besar namun juga sederhana. Segala dekorasinya terlihat berwarna putih dan biru. Atmosfirnya juga bisa kurasakan berbeda. Bulu kudukku merinding sesaat merasakan hawa dingin yang anehnya cukup menyejukkan. Rasanya sangat familiar dan tak asing bagiku, namun ini mungkin disebabkan oleh intuisiku yang mengatakan ini pasti karena rasa ikatan antara moyangku dan penjaganya.

Aku menoleh saat seorang pemuda dengan tampang cukup manis menyambut kami. Dirinya memakai baju berwarna biru muda dan rambutnya coklat susu dengan tinggi yang sesuai.

"Selamat datang di kediaman keluarga Kuroko. Silakan masuk. Tuan Muda sudah menunggu anda sekalian."

Akhirnya kami mengikutinya masuk ke dalam. Tempatnya cukup tradisonal, dimana pintu-pintu ruangan shoji masih dipakai dan suasananya sungguh sederhana, namun kental meninggalkan kesan.

Lalu kami dituntun menuju sebuah ruangan yang cukup jauh dari pusat rumah, dimana terdapat di belakang pojok rumah paling akhir. Sudah terdapat beberapa orang—yang kuasumsikan sebagai pelayan rumah juga. Namun, mereka beraura dingin tipis dan hampir tak terasa. Terlihat Tetsuya-kun juga berdiri di depan sebuah ruangan tertutup sebelum menoleh pada kami berdua. Rautnya terlihat lega saat kami tiba.

"Momoi-san, (Last Name)-san. Akhirnya anda berdua datang juga."

"Kudengar permatanya mengeluarkan aura hitam. Apakah benar?" tanya Satsuki-chan sambil kami mendekati dan ia menyambut dengan anggukan.

"Betul. Dari kemarin lusa sudah mulai terlihat. Kami sudah mencoba membersihkan auranya, namun tetap saja tidak bisa dimusnahkan. Satu-satunya cara yang tersisa hanyalah penyucian langsung dari (Last Name)-san sendiri." jelasnya sambil menatap kami berdua.

Oke, sepertinya pekerjaanku baru saja akan dimulai.

"Momoi-san, saya pinjam (Last Name)-san sebentar. Hanya kami berdua yang bisa masuk ke dalam ruangannya."

Satsuki-chan mengangguk. "Aku akan mengawasi dari sini."

Aku mencoba melirik pada sepupuku tapi dia tidak peka, maka terpaksalah aku untuk ikut masuk ke dalam ruangan yang tersegel dengan kertas jimat berwarna putih dan tulisan hitam.

"...!"

Jujur saja, ketika masuk ke dalam, aku merasakan bulu kudukku makin merinding dan atmosfirnya berubah seperti musim dingin yang menusuk tajam ke tulang.

"D-Dingin sekali..." gumamku, memeluk kedua lenganku sendiri.

Tetsuya-kun berucap, "Dinginnya di sini biasanya dalam keadaan sejuk. Tapi sejak aura hitam itu muncul, mempengaruhi suhu yang menjadi turun drastis. Ini sudah minus empat derajat."

"Kau bercanda? Ini dingin sekali! Seperti badai salju!" pekikku kaget mendengarnya.

Kami mencoba berjalan pelan menuju sebuah kotak kaca, yang terlihat di dalamnya terdapat sebuah permata bulat berbentuk mutiara.

Mutiara tersebut tak bersinar terang seperti yang dikabarkan, dan malah diputari oleh aura hitam yang mulai mengental di sekitar kotaknya.

"Apa yang harus kulakukan?"

"Apakah anda membawa yang disuruh?"

Aku mengangguk dan mengeluarkan pedang pisau berukuran kecil—seperti pisau dapur ukurannya.

Benda tersebut merupakan pisau suci untuk upacara penyucian. Aku bisa merasakan kalau energi spiritualnya cukup besar hanya dari visualnya yang mencolok. Dengan warna dominan emas serta ukiran yang kuno membuatku merasa kalau aku harus memakainya dengan hati-hati. Benda seperti ini sensitif di tanganku.

"Majulah ke depan dan mulailah ritual seperti yang diajarkan Aida-san."

Aku jujur saja, panik dan gugup di saat yang bersamaan. Praktek sesungguhnya benar-benar harus kulakukan. Karena kalau tidak, bisa bablas dunia ini.

Akhirnya, perlahan tapi pasti aku mendekati dan berhadapan dengan kotak yang memancarkan aura hitam tersebut.

Kutarik nafas dan akhirnya mulai memejamkan mata, menggerakkan tangan berserta pisau yang mulai kubuka dari sarungnya.

Namun, saat hendak membaca mantra, suara gema yang menakutkan dari luar terdengar. Sontak, kami menoleh ke arah pintu. Itu adalah suara erangan ayakashi liar yang mulai menyerang. Kami semua sudah tahu lambat laun pasti diriku akan diserang setelah dilacak dengan bauku yang khas. Padahal sudah dijaga ketat, bagaimana bisa masuk dari celah pagar gaib?

Kami saling berpandangan, dan aku ragu akan apa yang harus dilakukan.

"Lanjutkan saja, pokoknya anda harus menyucikannya dulu."

"Tapi—"

Aku mendadak kaget karena suara teriakan Satsuki-chan di luar bersama para anak buah yang berjaga. Karena khawatir, refleks aku berjalan menuju pintu namun ditahan oleh pemuda keturunan penjaga suci tersebut.

"Anda tidak bisa keluar dulu, (Last Name)-san! Terlalu berbahaya!"

"Tapi Satsuki-chan dan yang lainnya diserang! Aku harus membantunya!"

"Bantulah dengan menyucikan—"

Perkataannya disela oleh suara pintu kayu yang terdobrak. Sesosok ayakashi berbulu hitam berbadan tinggi memiliki kepala beruang muncul tak jauh dari tempat kami berdiri.

"Anak buah Hebisake! (Last Name)-san, serahkan ini padaku. Lanjutkan menyucikan Permata Mutiara Salju!" seru Tetsuya-kun sambil ancang-ancang untuk berhadapan dengan makhluk tersebut.

"B-Baiklah!"

Sementara aku mencoba berkonsentrasi, bisa kulihat dari sudut mataku kalau Tetsuya-kun mengeluarkan sebuah pedang panjang dari sarung pedang di pinggangnya. Cahayanya seputih salju, bersinar dengan kekuatan spiritual yang memancar di sepanjang bilahnya.

Sekejap kemudian kulihat dia sudah bersilat pedang melawan si monster hibrida yang telah memaksa masuk tersebut.

Aku langsung menolehkan kepala pada kotak Mutiara Salju dan terlihat jelas kalau energinya sudah tak stabil akibat energi negatif yang berada di sekelilingnya.

Kutatap pisau keramat yang ada di genggamanku. Aku harus melakukannya dengan benar!

Kututup kedua mataku, berkonsentrasi dengan penuh. Aku menutup kedua indera pendengaranku, layaknya menulikannya seperti orang yang tuli.

Saat kututup kedua mataku, aku membacakan mantra yang terpikir di dalam pikiran.

Tetapi sebelum selesai, ada angin besar dari sebelah kiri. Terlihat ada lubang besar yang dibuat di dinding, membuatku membuka mata dan mencoba berdiri tegak sebelum menyadari pisaunya terlempar jauh. Aku langsung mencoba berlari mengambilnya, namun pisau tersebut malah tersabet oleh burung elang yang penampakannya aneh. Api di sekeliling tubuh, kakinya hanyalah tulang dan matanya merah bagaikan telah keluar dari tengkoraknya.

Burung itu hanyalah kerangka saja. Mengerikan!

"Hei, kembalikan!!!"

Bodohnya aku, malah memerintah makhluk begitu. Harus kukejar!

Aku berlari keluar tempat penyimpanan Mutiara Salju dan menemukan bahwa apa yang kusaksikan telah membuat diriku terhenyak.

Pemandangan di sekitar taman sangatlah memilukan. Banyak ayakashi yang telah bertarung dengan para pelayan penjaga di sekitar. Beberapa ada yang sudah tumbang dan ada yang terluka. Tak terhindarkan lagi bau samar karat besi yang menghampiri hidungku ini.

Ini benar-benar kacau!

"(Name)?!"

Aku menoleh ke arah yang memanggil, melihat kalau Shuuzou-senpai tengah menebas kasar ayakashi yang menyerang sementara Riko-Oneechan menembak panahnya dengan brutal ke seluruh kepala ayakashi. Satsuki-chan meluncurkan serangan dengan kipasnya yang tajam, melewati beberapa musuh yang tengah melawan bersama dengan Paman Kagetora yang ternyata juga datang.

"Senpai! Apa yang terjadi?!" tanyaku sambil menghindari ayakashi yang tak bersenjata dan menendangnya.

"Jangan pedulikan kami! Ada yang membuka penghalang kediaman jadi semuanya masuk! Aku dan semuanya akan menahannya sementara kau menyucikan permata!" sahutnya sambil lalu menusuk dalam lengan serta menebas leher ayakashi berlengan satu tersebut hingga musnah dengan ringkihan lirih yang keras.

Riko-Oneechan yang menembak ke arah samping berucap keras, "Kau harus melakukan ritual pensucian Mutiara-nya sekarang!"

"Tapi aku tidak bisa!"

Satsuki-chan menyergah padaku setelah mengibaskan kipas pada ayakashi yang dia lawan. "Apa?! Kenapa tidak bisa? Kau harus melakukannya sekarang!!"

"Pisaunya ada pada burung itu!"

Kepalanya mengalihkan pandangan ke atas saat kutunjuk, melihat burung elang yang hanya terdiri dari kerangka dan api di sekelilingnya mencoba melarikan diri, yang akhirnya ditembak oleh anak panah kakak sepupuku yang menembus makhluk tersebut.

Ayakashi tersebut musnah menjadi debu, pisau keramat terjatuh dan ditangkap oleh Nigou dengan cekatan.

Sang anjing raksasa yang merupakan familiar Tetsuya-kun itu menghempaskan segala monster yang mengganggu dan menghampiriku yang berdiri di depan lubang.

Aku dengan cepat mengambil pisau tersebut dan mengelus singkat. "Jaga lubangnya. Tuanmu sedang bertarung."

Sang anjing menggonggong, mengerti perintah dan bertahan disana sebelum aku berlari masuk ke dalam ruangan lagi.

Ternyata Tetsuya-kun sudah tak ada di ruangan, bertarung di bagian depan luar ruang penyimpanan permata.

Aku berlutut saat sedikit tergelincir. Pakaianku berdebu karena kotoran serta udara bertebaran memasukki ruangan.

Sial, permatanya makin ditutup awan hitam.

Aku berdiri menghadap lagi untuk yang ketiga kalinya di depan kotak tersebut. Kupejamkan kedua mataku, menulikan segala gangguan dari indera pendengaran dan memulai membacakan mantra yang berada di otakkku yang bodoh ini. Kedua tanganku memegang gagang pisau, membuatnya menunjuk ke angkasa.

Singkirkan semua keraguan, kedengkian, dan kenegatifan di dalam diri, (Name)!

"Ayahku adalah Langit, Ibuku adalah Bumi, dengan seluruh isi materi dunia inilah kesatuanku.

"Naga Biru menjagaku kiriku, Harimau Putih mengawal kananku, Burung Api mengayomi di depanku, Kura-kura Hitam Darat melindungi di belakangku."

Rasanya aku ingin menangis ketika melanjutkannya, entah mengapa.

"Demi semua nama roh suci dan Dewa diatas Langit, untuk menyucikan Permata Mutiara Salju,"

Kuteriakkan di bait terakhir mantra dengan sekuat tenaga dan lantang.

"Atas nama Putri Ainamida, kupatahkan ketidak sucian ini seutuhnya!!!"

Tanganku menebas udara hingga ke bawah dengan seluruh kekuatanku di hadapan kotak Mutiara Salju.

Kumohon, demi semuanya... Aku tak mau ini gagal!

Kumohon!

Saat kubuka mataku, kotaknya tetiba retak setelah kutebas udara.

Aku mundur perlahan, firasatku tak enak.

Mutiara Salju mulai mengeluarkan sinarnya perlahan, sebelum kemudian meledakkan energi besar dan putih menyilaukan saat aku berlari cepat keluar dari ruangan penyimpanan.

Aku berguling di rerumputan sesaat, jatuh tak elitnya saat energi bersinar putih tersebut membuat angin besar, meledakkan ruangan tersebut. Debu berterbangan bekas pertarungan tersapu bersih akan hempasan tersebut. Hampir semua ayakashi yang ada meraung mengeluarkan raungan kesakitan dan musnah menjadi debu.

Tetsuya-kun membantuku berdiri, "(Last Name)-san, kau tak apa?"

Aku mengangguk dan menoleh ke arah ruangan yang meledak tersebut. Hanya ada meja yang diatasnya ada Mutiara Salju yang bersinar terang menyilaukan. Kaca kotak yang melindunginya telah berhamburan di lantai kayu.

"Apa yang terjadi? Apakah aku gagal?"

"Energinya meledak karena telah ditahan, itulah efeknya. Anda berhasil, (Last Name)-san."

Syukurlah!

Namun aku tak tahu, kalau ada ayakashi yang menyiapkan energi hitam di telapak tangannya dengan bola energi yang pekat mematikan. Yang menyadarinya adalah Tetsuya-kun.

Aku menoleh kaget, sementara Tetsuya-kun baru juga akan membuka mulut.

Ayakashi bertubuh besar, berkepala hyena dan membawa palu besar tersebut menggeram, "Matilah!!!"

Darah muncrat sesaat ketika ayakashi yang menembakkan energi negatif padaku pun malah mengenai Paman Kagetora yang meloncat melindungi kami.

"ARGH!!"

Aku dan Tetsuya-kun yang mencoba menghalangi serangannya pun kaget.

"PAMAN!!!"

Aku langsung berlari saat itu juga menuju pamanku yang tergeletak jatuh di tanah rerumputan hijau.

"Paman! Paman!"

Aku mengangkat badan atasnya sembari menggoyangkan badannya. Dari situlah baru kusadari, aku melihat lengan hingga dadanya berdarah dengan luka yang lebar.

Darah.

Aku terdiam tanpa bisa bicara. Rasanya tak bisa aku lontarkan apapun saat melihat cairan pekat tersebut mengalir keluar.

Aku tak mendengar kata-kata senpai maupun sepupuku yang berteriak.

"Oi, Paman! Bertahanlah!!"

"Ayah, bangunlah!!"

"Kagetora-san!!"

"Paman Kagetora!!"

Aku tak berguna.

"PAMAAAANNNNN!!!"

Paman.... Tolong bertahanlah!!!

.

.

.

Skip

.

.

.

Keadaan hening di koridor yang terang dan pencahayaan rumah sakit yang standar, tapi masih tidak bisa menerangi pergelutan batin di dalam hati orang-orang yang menanti kabar terbaru dari keadaan pasien yang dirawat.

Aku menunggu sembari berdiri dekat pintu UGD bersama dengan kedua sepupu perempuanku, dan Tetsuya-kun.

Aku tak tahu lagi harus berbuat apa, selain menunggu kabar terkini yang akan dibawa oleh kakak kelasku yang menemani paman di dalam.

Lalu, Shuuzou-senpai baru keluar dari kamar setelah 20 menit di dalam kamar ruang UGD.

Riko-Oneechan segera bangkit sambil menanyakan keadaannya, sementara aku, Tetsuya-kun, dan Satsuki-chan menoleh.

"Bagaimana keadaannya?"

Shuuzou-senpai membalas dengan lesu, "Lukanya parah. Bahkan Paman hampir kehabisan darah karena luka yang terbuka lebar."

DEG

Satsuki-chan menutup mulut tak percaya, "Oh, ya ampun..."

"Kagetora-san..."

"Lalu apa lagi?"

"Paman disuruh untuk rawat inap hingga membaik di ruang VIP. Dokter pun tak tahu pasti, karena dia sudah hampir kehilangan nyawa. Kemungkinan akan lama penyembuhannya."

DEG

Aku hanya bisa terhenyak dan terpaku, merosot duduk di lantai seakan gravitasi menarikku dengan kencang ketika mendengar pernyataannya.

Aku bodoh... kenapa aku sangat bodoh membiarkan kejadian seperti ini terjadi?! Karena aku, Paman Kagetora menderita begini.

"Kau tak pernah mengetahuinya sebelum semua ini terjadi, bukan?"

Aku makin terdiam saat ucapan Taiga-kun terngiang kembali di dalam pikiranku.

Aku tak tahu apa yang telah terjadi selama ini, mengira bahwa semuanya akan baik-baik saja...

Tanpa mengetahui bahwa orang-orang yang kusayangi telah terluka hanya karena demi melindungiku.

Sudah tak bisa kurasakan lagi jari-jari tanganku yang tergenggam karena mengepal dengan erat, membuatku sadar bahwa aku dari dulu sudah sangatlah lemah.

Aku selalu bertanya-tanya, kenapa aku yang diberikan kuasa seperti ini? Padahal aku hanyalah manusia biasa yang ditunjuk oleh mereka dan kebetulan mempunyai keturunan berharga ini. Tugas utamaku adalah untuk menyelamatkan orang-orang dari iblis terkutuk yang terkurung oleh nenek moyangku terdahulu.

Aku kira semua akan baik-baik saja, selama aku punya kuasa akan ini...

Tapi kenapa? Kenapa aku bahkan tidak bisa menyelamatkan keluargaku sendiri?!

"(Name)-san... tolong berdirilah."

Bahkan saat Tetsuya-kun mencegahku untuk menangis pun tak ada gunanya.

Air mataku tak bisa dibendung lagi. Rasanya dadaku sesak dan sakit. Aku masih menunduk dalam diam sambil terisak tertahan.

Aku menyesal sekali, sangat menyesal.

"Kenapa.. Hiks... Kenapa harus Paman..?"

Sela tangisku coba ditekan karena tak mau membuat histeria di koridor rumah sakit. Aku tak mau membuat malu, tapi aku tak bisa membendung rasa penyesalan dan rasa sesak di dada.

Kenapa hal seperti ini harus terjadi pada kami? Kami tidak salah apa-apa, tapi selalu diincar.
Aku hanya ingin hidup normal seperti gadis yang lainnya!!

Apakah tidak bisa?

Rasanya ingin mati saja.

Ya, mungkin aku lebih baik mati saja-

PLAK!!!

Hah?

"...Oneechan?"

Dia... menamparku?

Aku masih bingung kenapa tiba-tiba dia begitu, bahkan aku mendengar mendengar samar kalau mereka juga terkejut atas tindakan sepupuku tersebut.

"(Name)-chan."

Dia menghadapkan wajahku dan aku menatapnya perlahan.

Wajahnya terlihat raut serius sambil tersenyum padaku-walau aku tahu itu adalah senyuman tegar, tapi dia menangkup kedua pipiku. Masih kurasakan, rasanya panas ditampar begitu olehnya.

"(Name)-chan, lihat aku."

Aku terdiam mendengarnya mengucapkan namaku.

"Kau tidak boleh depresi. Aku, Momoi, dan Nijimura-kun ada disini. Bahkan Kagami dan Kuroko ada; semuanya ada disini. Ingat, Ayah melakukan ini demi dirimu. Kau harus hidup walau bagaimana pun caranya. Nanti Paman dan Bibi akan menangis di surga kalau kau putus asa begini."

Eh? Dia bisa tahu?

"Jadi, jangan salahkan dirimu dan buat pengorbanannya sia-sia."

Ah... benar. Kenapa aku bisa sebodoh dan serendah ini? Aku harus kuat demi semua orang yang kusayangi.

Termasuk Paman Kagetora yang rela mengorbankan nyawanya untukku.

"Hiks... O-Oneechan... UWAHHH!!!~.."

Karena tak bisa kubendung lagi, aku menerjang tubuhnya dan menangis dengan segala kesedihan dan penyesalan tumpah ruah dari dalam hatiku.

Riko-Oneechan mengelus kepalaku, serasa dielus oleh ibu dan ditenangkan. Aku tahu dia juga menahan tangis ketika aku menghambur padanya.

"Shhh... Tidak apa-apa. Menangislah... Bebanmu memanglah berat..." sahutnya parau.

"Hiks.. Ukh...Hwehhh~~... H-Hiks....."

Entah berapa lama aku begitu, hingga akhirnya aku sadari kalau diriku telah beralih ke alam mimpi. Lelah akan menangis dan kejadian hari kala itu.

Aku tak bisa ingat apa-apa lagi, tapi aku mengetahui satu hal sebelum tertidur: aku merasakan kalau angin alam mulai pelan menerobos jendela ruang koridor rumah sakit di sekitar kami, seakan mengetahui dan membawa rasa kesedihan kami yang mendalam keluar dari sini.

.

.

.

(Third POV)

"Saya tahu Anda pasti kesini."

Nijimura menoleh, melihat Kuroko. Dirinya ada di taman rumah sakit pada malam hari yang gelap.

"Ini 'kan rumah sakit ayah kami dirawat, jadi kau pasti tahu dari mereka."

Kuroko tersenyum kecil, pemuda bermarga pelangi tersebut bertanya padanya.

"Mana (Name)?"

"Dia sudah tertidur. Momoi-san dan Aida-san yang menemaninya."

Pemuda bermata langit cerah tersebut menghampiri Nijimura yang melihat kepadanya dan ke arah langit malam yang membentang luas. "Hanya bulan yang terlihat, tapi bintang tidak sama sekali."

Bahkan bulan pun terlihat suram dan malas untuk menuangkan cahayanya sendirian tanpa bintang yang menemani.

"Begitulah. " jawabnya singkat untuk membalas dan memberikan sekaleng kopi instan dari mesin otomatis yang tadi dia beli.

Diterimanya oleh sang pemuda, lalu meminumnya sebelum terdiam beberapa saat.

"Kuroko."

"Apa?"

"Tolong kalian awasi (Name) untukku dari dekat, kalau ada apa-apa yang menurutmu gawat maka segera hubungi aku."

Pemuda tersebut mengernyitkan dahi, "Apakah Anda mau pergi jauh lagi?"

Nijimura tersenyum tipis. "Tidak, hanya ada urusan penting yang harus dilakukan. Aku akan menemui teman lamaku yang berada di Kyoto."

Kuroko terdiam sejenak.

"Maksud Anda... Yang setengah siluman Nekomata itu?"

Dia mengangguk, membenarkan tebakannya. "Dia bisa kumintai pertolongan dalam urusan ini, dan dia punya ilmu kebatinan yang cukup bagus walaupun berdarah campuran. Kita juga harus mencari penjaga yang lainnya. Minta tolonglah pada Kagami kalau dia ada petunjuk. Aku percaya pada dirimu dan penjaga lainnya, jadi tolong jaga dia dengan segenap jiwa raga kalian."

Kuroko yang mendengar itu pun mengangguk sebelum meminum kopinya. Bukan haknya bertanya lebih lanjut. Akan ia emban tugas ini demi tuannya dan Bumi tercinta.

"Saya sebenarnya kasihan pada (Last Name)-san. Dia sudah mengalami kejadian yang banyak, pasti sungguh berat untuk seseorang yang sepertinya." Kuroko berujar, membuat Nijimura tertawa kecil dan melihat langit gelap tersebut untuk sekali lagi.

"Ya... Banyak sekali."

Hanya inilah yang bisa ia lakukan, demi gadis itu apapun akan ia lakukan.

Karena dia adalah segalanya bagi Nijimura.

.
.
.

DESTRUCTIVE BLAZING THUNDER END

============================

MAAF YA TELAT UPDATE. SILAKAN DINANTI CHAPTER DEPAN! KISE BAKALAN MUNCUL SETELAH INI JADI STAY TUNE DENGAN SABAR YA KARENA MAU SIDANG AKHIR DAN NILAI BAGUS YA! DOAKAN LANCAR AMIN QWQ

Regards,
Author

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro