Chapter III : It's Begin!
Sesampainya kami dilokasi, Miranda segera membangunkanku dan kami bersama-sama keluar dari mobil John. Gerombongan mobil yang berisi para lelaki kelas kami juga sudah datang sedetik setelah gerombongan kami sampai.
Mansion ini terdiri dari 3 bagian. Bagian kiri, tengah, dan kanan—itu yang kulihat dari luar. Dan mansion ini terlihat sangat besar dan tua. Aku dapat merasakan aura zaman 90an disini. Seperti rumah hantu pada umumnya, mansion ini tak terawat sama sekali. Semua jendelanya terdapat bercak darah abstrak—yang kuharap bukanlah darah sungguhan, juga tingginya yang mungkin mencapai 20 meter.
Warna dinding mansion ini putih susu, yang sudah terdapat berbagai macam lumut dan pasir. Tiang-tiang penyangga disepanjang mansion ini juga terdapat tulisan-tulisan dari spray-can hitam yang terbaca, "DIE!", "YOU BELONG IN HERE", "Rest in Hell", dan lain sebagainya.
Dari luar saja sudah mengerikan, apalagi didalamnya?
Winna membunyikan peluit yang entah darimana ia dapat—padahal aku yakin sekali tadi ia tidak memakainya didalam mobil—membuat kami semua memberikan perhatian padanya.
"Semuanya hadir?" tanyanya yang dijawab seruan kami semua. Kecuali Liza, anak itu selalu menganggap segala kegiatan kami tak berguna. "Bagus! Semuanya ambil barang-barang kalian lalu mari kita bersama-sama masuk kedalam!" perintah Winna yang langsung melangkah masuk tanpa takut disertai teman-temannya.
Tasku kubuka dan aku langsung mengecek barang-barangku. Botol minum, snack, senter, masker, yup! Semuanya ada. Aku pun segera menutup kembali tasku lalu masuk bersama Miranda yang menungguku daritadi.
Winna segera memilih ruangan tengah mansion ini, secara disinilah ruangan paling luas yang ada. Bahkan ada sofa berwarna abu-abu melingkar yang entah mengapa terlihat seperti baru dibeli, juga meja kaca berbentuk lingkaran yang diameternya hampir 50 sentimeter ditengah-tengah. Padahal ini adalah mansion yang sudah tua sekali.
Aku memutuskan untuk duduk disofa sebelah kanan bersama Miranda dan Liza disebelah kiri dan kananku. Sementara Zedd duduk disebelah Liza, dan Aaron disebelah Miranda. Winna memutuskan untuk mengeluarkan barang-barangnya dari dalam tas, lalu ia letakkan diatas meja.
Winna juga meletakkan 4 tabung plastik berisikan gulungan kertas pada masing-masing sisi.
Aku juga dapat melihat John yang sedang bersiap-siap untuk merekam dengan kameranya. Dengan dia yang menjadi kameramen, maka dia tak ikut dalam permainan ini.
"Baiklah, apa kalian semua siap?" tanya Winna. Kami mengangguk mantap, sementara Liza kembali memutar bola matanya. "This is getting more ridiculous," ucapnya membuat beberapa teman sekelasku memberinya tatapan sinis. "Hey, hey, calm down! Liza, kalau kamu tak mau ikut main, silakan kamu pergi dari lingkaran ini," pinta Winna yang dengan senang hati dituruti oleh Liza. "With pleasure. Aku tak sudi bermain dengan orang-orang seperti kalian. Lebih baik aku pergi." Ketika Liza berdiri, ada sebuah kecoak yang merayap ke punggungnya, dan seketika Liza menjerit. "Ahhh!! Singkirkan serangga menjijikkan itu dari tubuhku!!" jeritnya keras-keras, bahkan sampai menggema.
Zedd yang duduk disebelahnya membantu dengan menangkap antena kecoak itu. Kami semua tertawa. "Jadi?" tanyaku sambil menarik turunkan alis. Liza menatap jijik kecoak yang ditangkap Zedd. "BUANG MAKHLUK ITU!! PERGI BUANG!!" pekiknya membuat kedua orang yang duduk disebelahnya—aku dan Zedd—meringis ngilu. Keras sekali suaranya.
Setelah Zedd membuang kecoak itu, barulah Liza duduk kembali. "Okay ... jadi kamu ikut main?" tanya Winna meminta kepastian. Liza membuang muka. "Aku ga pengin kemana-mana juga. Cepat dimulai!" serunya membuatku menyikutnya.
Dia melotot padaku. "Apa?" sinisnya.
Heh, kau kira aku takut padamu?
"Kondisikan suaramu. Kau mau hantu-hantu disini menghantuimu?" tanyaku membuatnya menatapku malas. "Kau percaya dengan mitos itu? Pathetic," jawabnya.
Entah mengapa aku merasa konyol sendiri. Jelas-jelas dikelas ini tak ada yang merasa takut. Apa aku saja yang terlalu overthinking?
"Baiklah, ayo kita mulai!" seru Winna.
🎃
John memberi sinyal pada Winna, yang dibalas anggukan oleh Winna.
Winna mengambil sebuah gulungan kertas dari sebuah tabung plastik yang ia letakkan diatas meja. Ketika ia membuka gulungannya, ia membaca apa yang tertulis di kertas itu. "Hetal! Truth or dare?" tanyanya sambil menatap Hetal.
Hetal mengerjabkan matanya, lalu dengan yakin ia berkata, "Dare."
Beberapa dari kami menyorakinya. "We started of with the spicy one," ucap Miranda sambil tertawa.
"Aku menantangmu untuk memberitahu kami apa yang kamu lakukan pada katak eksperimen biologi saat kita praktek waktu itu! Setauku kamu membawa pulang katak itu," ucap Winna lantang.
Ah, aku ingat soal itu. Waktu itu kami disuruh untuk mengamati katak eksperimen kami sebagai penilaian kelompok. Tetapi entah mengapa, Hetal memutuskan untuk membawa katak itu pulang. Tentu saja guru biologi kami marah besar, tetapi Hetal sudah menyelesaikan masalah itu dan tak pernah buka mulut sampai sekarang. Bahkan sewaktu kami menanyai guru biologi kami, beliau bilang tanya saja sama Hetal.
Hetal menelan ludahnya. "Apa ga ada dare lain? Yakin mau dengar jawabannya?" tanyanya memastikan. "Dare adalah dare! Jawab atau kukasih hukuman!" Winna menunjuk benda-benda yang diletaknya di atas meja untuk menghukum para pemain yang menolak perintah.
Hetal bergidik ngeri ketika melibat benda-benda itu. Akhirnya ia menghela napas. "Jadi ... yang terjadi waktu itu ... agak konyol," ucapnya membuatku makin penasaran.
"Teruskan," ucap Winna. Hetal duduk gelisah. "I-itu ... aku ga sanggup membunuhnya!" serunya dengan muka tertunduk.
Seketika hening.
A-apa? Membunuh?
"...jadi kamu disuruh untuk membedah katak itu?" tebak Winna. Hetal mengangguk pelan. Kami saling tatap. Hanya gara-gara itu? Memang sih, hanya kelompok Hetal yang disuruh untuk mengamati bagian tubuh atau organ-organ katak.
"A-aku ini buddhism. Aku ga diperbolehkan membunuh makhluk hidup!" serunya lagi membuat kami ber'oh' ria. Karena itu toh.
"Kukira kau melakukan hal yang lebih kejam padanya," ucap Liza membuat Hetal mengangkat kepalanya. "Huh? Maksudmu?" tanyanya. "Oh, mungkin menjualnya?" sarkas Liza membuat mata Hetal terbelalak. "Aku ga pernah menjualnya! Itu sama aja kayak penyiksaan!" bantah Hetal.
"Oke-oke. Kami mengerti," tengah Winna. "Silakan diambil, Hetal."
Hetal mengambil sebuah gulungan kertas dari tabung plastiknya, lalu membaca nama orang yang terpilih, "Miranda! Truth or dare?" tanyanya sambil menatap Miranda.
Miranda tersenyum. "Truth," jawabnya.
"Apakah benar, kalau kamu punya perasaan pada Yohan?" tanya Hetal membuat pipi Miranda memerah. "K-kok kamu nanya beginian?" tanyanya tiba-tiba gugup. Kami semua memberikan tatapan menggoda padanya.
"Bener ya, Mi?" godaku membuat mukanya makin merah. Akhirnya ia memutuskan untuk menutup wajahnya dengan kedua tangan. "Ah, udah keliatan banget ya?" tanya Miranda membuat kami tertawa kecil. "Jangan-jangan kalian backstreet selama ini?" tuduh Aaron membuat Miranda tersentak. "Enggak!" bantahnya masih menutup wajahnya.
"Ini alasanmu mau pindah ke SMA lain ya?" tanya Winna membuat Miranda mengangguk. "Tenang aja, girl. We'll support you with him," ucapku membuatnya tersenyum. "Thanks, Ra," ucapnya sambil menjauhkan tangannya.
"Si Yohan ga peka ya, sama perasaanmu?" tanya Hetal membuat Miranda kembali tersentak. Ia tersenyum miris. "Ya. Dia ga peka sama sekali. Dia cuma bilang kalau dia bersyukur karena bukan cuma dia sendiri yang pindah. Punya temen yang nemanin," jawabnya membuat kami menghela napas berjamaah.
"Kasihan, di friendzone-nin," ejek Liza membuat Miranda menatapnya tajam. "Udah-udah. Silakan, Miranda," ucap Winna. Miranda mengambil gulungan selanjutnya. "Oh! Aaron, truth or dare?" tanyanya. Aaron berpikir sebentar. "Truth. Jangan nanya macam-macam," cerocosnya membuat Miranda mencebik. "Iya-iya. Apa kamu punya seseorang yang kamu suka sekarang?" tanyanya membuat beberapa temanku bersiul, seperti ingin menggodanya.
Aaron terdiam sebentar. "Uh, iya?" jawabnya ragu. Miranda tertawa kecil. "Apa kamu mau beritahu siapa orangnya?" tanyanya lagi. Aaron berdecak. "Aku tak mau," tolaknya sambil memberikan tatapan sinis pada Miranda. "Oh ayolah. Setidaknya beri kami hint," mohon Miranda. Aku menatap wajah Aaron yang terlihat gelisah. Begitu mata kami bertemu, aku hanya mengangguk, memberinya sedikit kekuatan.
"Namanya punya huruf akhir 'a'," jawab Aaron. Kami bersorak, terkecuali aku. "Di kelas ini?" tanya Miranda lagi. "Hei, hei! Kamu sudah bertanya, dan aku sudah menjawab pertanyaanmu. Sekarang giliranku!" Aaron memasukkan tangannya ke dalam tabung lalu mengambil sebuah gulungan.
"Aize, truth or dare?" tanya Aaron.
Aku membuang muka ke arah lain. Aaron sedang menyukai seseorang? Kuharap orang itu bukan aku. Karena ada banyak orang di kelas ini yang memiliki huruf akhir "a". Bisa saja orang itu Liza, Miranda, Winna, atau siapapun.
Aku memutuskan untuk melihat hal lain sejenak. Aku menyandarkan diriku ke sofa sambil menatap langit-langit. Begitu mataku menatap ke atas, suara-suara yang kudengar secara perlahan menghilang dan menyisakan kesunyian ketika mata kami bertemu.
Aku melihat sebuah wajah pucat dengan matanya yang tajam dan tampak senyum mengerikan diwajahnya.
Aku membulatkan mataku. Kami cukup lama bertatapan sampai suara Miranda menyadarkanku.
"Laura!" seru Miranda sambil menggoyangkan bahu kiriku.
Aku terkaget. "A-a-apa?" tanyaku gagap.
Semua orang memandangku aneh.
"Kamu daritadi dipanggil ga nyaut-nyaut. Ada apa memangnya?" tanya Miranda ikut-ikutan melihat ke atas.
"Jangan!" pekikku sambil menarik tangan Miranda. Kan tidak lucu, kalau tiba-tiba dia teriak lalu semuanya ikut panik. Bisa-bisa makhluk itu menerkam kami semua.
Miranda tersentak, lalu kembali menatapku. "Huh? Kenapa sih?" tanyanya lagi-lagi melihat ke atas.
Miranda mengerutkan keningnya. "Tidak ada apa-apa pun. Bikin paranoid saja," omelnya sambil melepas tanganku dari tangannya.
Aku kembali melihat ke atas.
Tidak ada apa-apa.
Tunggu, jangan bilang kalau cuma aku yang bisa melihatnya.
"Oh, baiklah! Mari kita lanjutkan!" seru Winna.
Aku kembali menatap ke atas.
Dan ternyata tak ada apa-apa disana.
🎃TO BE CONTINUE🎃
Hey.
Kembali lagi bersama saya, sang Author yang tak pernah didengar.
//nangis dipojokan//
Baiklah, baiklah.
Aku tahu kalau ini sudah hampir tanggal 31 dan aku sama sekali BELUM memublis sampai 10 chapter.
...
Aku merasa konyol.
Padahal aku sendiri yang janji bakalan nuntasin challenge ini tapi aku sama sekali ga ngelakuin challenge nya.
Ya sudahlah.
Mungkin besok aku bakal dobel atau triple apdet biar deadline nya terkejar.
Ya sudahlah.
Sampai sini dulu ya.
Salam hangat,
🎃Vanne🎃
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro