Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter I : Heartbeat

Mereka gila.

Mereka semua benar-benar gila!

Mana ada orang yang mau main Truth or Dare di rumah hantu?

Asal kalian tahu, sebagai kenang-kenangan terakhir kami sebelum perpisahan. John Miller—teman sekelasku—mengusulkan untuk uji nyali di rumah mansion berhantu. Dengan dia yang sebagai fotografer, tentunya.

Dan semua teman sekelasku menyetujuinya! Dan belum cukupnya kegilaan ini, ada yang mengusulkan untuk bermain Truth or Dare disana!

Pengumuman kelulusan kami akan diumumkan dua minggu lagi. Dan pesta perpisahan kami akan dilaksanakan besok lusa.

Sebenarnya aku tak mau ikut pergi kesana, tetapi teman-temanku memaksaku dengan alasan ini adalah kenangan terakhir kami sebelum kami terpisah dan mungkin tak akan pernah bertemu lagi.

Aku penakut? Tidak juga sih. Tapi mana ada yang mau masuk ke rumah mansion tua yang berumur ribuan abad! Dan aku masih waras untuk tidak menginjakkan kakiku disana.

Bisa saja aku menemukan mimpi burukku disana. Atau lebih gilanya lagi, neraka!

"Hei, Laura!" sapa seorang lelaki berambut pirang cerah menepuk pundak kananku sambil tersenyum lebar yang menunjukkan deretan giginya.

Aku yang sedang duduk sendirian tersentak kaget, lalu melotot padanya.

"Kukira siapa. Jangan mengagetiku, Aaron," ketusku masih menatapnya kesal.

Lelaki itu—Aaron Wilson—hanya menyengir sambil mengelus tengkuknya. "Ah, maaf. Habisnya kamu terlihat tidak bersemangat. Padahal kita sebentar lagi lulus, lho!" katanya duduk disampingku.

Aku kembali menatapnya tajam, "Siapa yang bilang kalau kamu boleh duduk disini?" tanyaku yang membuatnya gelagapan lalu kembali berdiri.

Dia tersenyum canggung lalu mengucapkan maaf sambil meletakkan kedua tangannya didalam kantong celana.

"Apa yang kamu lakukan disini, Laura? Ga mau lihat adik-adik kelas yang lagi bertanding?" tanya Aaron yang membuatku menghembuskan napas.

Biar kuberitahu, Aaron dan aku adalah anggota organisasi sekolah yang bertugas untuk mengawasi kegiatan sekolah. Tetapi aku memutuskan untuk duduk saja tanpa menonton mereka.

Dan seperti tahun-tahun sebelumnya, kami—anak kelas 9 yang akan lulus—diberikan kesempatan untuk menjalankan kegiatan ini karena ini adalah acara terakhir kami sebelum lulus. Tentu saja yang mengurus acara ini adalah anak-anak angkatanku—anak kelas 9 yang masuk dalam organisasi sekolah—sementara para adik kelas hanya bertugas untuk meramaikan acara.

Dan omong-omong, dalam meramaikan acara, ada salah satu adik kelas yang berkata bahwa ia akan menembakku jika kelasnya menang.

Berita itu sampai di telinga ku dan itu membuatku bingung. Siapa dan kenapa ia mengatakan itu? Setauku aku tak dekat dengan adik kelas manapun. Apa itu cuma rumor yang beredar ya?

"Aku hanya mau istirahat sebentar. Kamu sendiri?" tanyaku balik. Aaron mengeluarkan tangan kananya dari saku celana lalu mengelus tengkuknya, "Yah, disana terlalu ribut. Dan kebetulan aku melihatmu disini jadi ya ..." ujarnya sedikit menggantung, tetapi aku mengerti apa maksudnya.

Tiba-tiba salah satu temanku yang sama-sama merupakan anggota organisasi sekolah meneriakkan namaku lewat mic.

"Lauraaa! Dia menang! Siap-siap, lho!" ucapnya memanggilku. Aku segera berdiri dari tempat dudukku lalu menghampiri tempat para MC dengan Aaron yang mengikutiku dari belakang.

Salah satu adik kelas yang sedang berseru pada teman-temannya melirikku sambil memberikan senyum manisnya.

"Ecieee! Sambar dek!" kata salah satu teman laknatku—Miranda—yang juga adalah MC. Aku segera memukul kepalanya membuatnya meringis, "Yaelah. Aku cuma bercanda tahu!" katanya masih menggunakan mic sehingga satu sekolah mendengar ucapannya.

Beberapa murid tertawa ketika mendengar keluhan Miranda. Tak terkecuali adik kelas yang katanya ingin menembakku.

"Siap-siap, Laura! Dia kesini, lho!" kata lelaki disebelah Miranda—Yohan sambil tertawa cekikikan. Dan lagi-lagi, menggunakan mic.

Adik kelas itu menghampiri bagian komentator acara dan meminta satu mic.
Yohan segera menyerahkan sebuah mic yang tak terpakai pada si adik kelas.

Adik kelas itu mulai mengeluarkan suara, "Selamat pagi, Kak Laura ... namaku Nathan dan aku udah dari awal masuk memerhatikan kakak..."

"Cihui...!" pekik Miranda yang membuat perhatian semua murid menuju pada si adik kelas dan aku.

"Kakak masih ingat sewaktu kakak menjadi pembimbing kelompok MOS? Kakak waktu itu membimbing kelompokku. Dan waktu aku menatap kakak, jantungku berdebar kencang," lanjut si adik kelas—Nathan.

Suasana menjadi hening, aku juga masih menunggu kalimat-kalimat yang keluar dari bibir Nathan.

"Dan karena kakak sebentar lagi kakak akan lulus ... aku merasa ini adalah saat yang tepat untuk mengatakan semuanya." Nathan mengambil napas lalu dengan muka yang memerah menatapku tepat dimata.

"K-karena itu ... ja-jadilah pacarku, Kak Laura!" katanya tergagap. Miranda dan Yohan segera meledak, "YAK SEMUANYA! NATHAN BERHASIL MENGATAKANNYA!!!" seru mereka yang membuat semua murid ikut heboh.

Nathan masih menatapku dengan muka memerah sementara aku memberikan senyuman kaku padanya.

Miranda segera menyerahkan mic-nya padaku sambil berbisik, "Selamat ya, Laura!"

Aku berdehem, membuat semua murid menatapku meminta jawaban. "Pertama-tama, Nathan ... terima kasih karena sudah berani mengatakan perasaanmu padaku..."

Aku menjeda ucapanku lalu tersenyum padanya, "Aku bahkan tak menyangka kalau kamu punya keberanian untuk mengatakannya didepan orang sebanyak ini."

"Udahlah, tinggal jawab aja susah banget!" keluh Yohan membuatku menatapnya tajam, "Diam kamu, Yohan!" cerocosku membuat Yohan tertawa.

"Tetapi, Nathan ... aku masih belum mau pacaran ... jadi maaf ya? Lagipula kamu masih muda. Coba aja cari perempuan lain. Sekali lagi maaf ya..." kataku membuat Nathan lesu. Pernyataannya ditolak mentah-mentah.

Aku segera menyerahkan mic-ku kembali pada Miranda, lalu pergi secepat mungkin dari sana.

Aku minta maaf banget, Nathan. Tetapi aku memang belum mau pacaran untuk sekarang.

Setelah aku berada ditoilet, aku segera menarik napas kencang-kencang. Astaga, astaga, astaga! Mau diletak dimana nanti mukaku?!

"Oh~ coba lihat apa yang terjadi disini," sinis seseorang yang kukenali suaranya. Aku menaikkan kepalaku dan mataku langsung saja bertemu dengan iris biru langit yang menenangkan orang yang melihatnya.

"Liza?" tanyaku sambil mengangkah alis. Liza, perempuan berambut bob hitam dan bernetra biru langit yang dijuluki sebagai Sass Queen diangkatan kami.

"Laura, Laura~" katanya sambil berjalan anggun mendekatiku. "Berani sekali kamu menolak Nathan. Kudengar dia itu salah satu anak orang kaya, lho! Tapi malah kamu tolak," cerocosnya yang membuat segala tindakan anggun yang dia lakukan tadi terlihat seperti bualan belaka.

Aku memutar bola mataku. "Aku tidak sepertimu, Liza. Aku bukan cewek matre," gerutuku membuat Liza menatapku tajam. "SEMUA cewek itu matre, Laura. Kalau kita tidak matre, mau makan apa nantinya?" ucapnya sambil menekankan kata "semua".

Aku berjalan keluar dari toilet. "Ya bukan begitu juga, Liza. Kekayaan bukanlah incaranku. Kau tak mau melihat pertandingannya lagi?" tanyaku mengalihkan topik yang membuat Liza memutar bola matanya lalu memain-mainkan kuku-nya.

"There's nothing interesting that will happen. If so, I don't want to see it," ucapnya membuatku tersenyum sambil memejamkan mataku.

"Oh, really? Then, maybe I have to speak with Nathan again about earlier," kataku sarkastik yang membuat Liza langsung menghampiriku. Dan darimana aku bisa mengetahuinya? Aku tahu temperamen Liza seperti apa. Dan aku tahu kalau dia suka juicy stuff.

"Jadi kau benar-benar ingin memanfaatkannya ternyata?" tanyanya dengan senyum sinis. Aku menatapnya datar. "Then again, Liza. No. It was a sarcasm," jawabku yang membuat Liza menggeram kesal. Sementara aku meninggalkannya dengan perasaan puas.

Selalu seru memutarbalikkan keadaan pada Sass Queen. Apalagi dengan kenyataan bahwa teman satu-satunya adalah aku seorang. Karena dia adalah Sass Queen, tak banyak orang yang mau dekat-dekat dengannya. Well, kecuali aku. Karena kami adalah musuh bebuyutan sejak dulu.

Ketika aku kembali, Miranda menoleh ke arahku lalu menepuk punggungku. "Girl, kenapa kamu tak terima saja perasaan Nathan. Tuh, dia nangis sesugukan disana," tunjuk Miranda pada Nathan yang dikelilingi oleh teman-temannya.

"Untungnya dia punya banyak teman baik, jadi ga ada yang mau ngengejekin. Lah, kalo kamu? Habis lulus nanti jadi skandal, lho!" seru Miranda yang membuatku menatapnya kesal. "Enak aja kalau bicara. Disaring dulu!" ucapku sambil memukul punggungnya lebih keras membuatnya meringis.

"Astaga, Laura. Lembut dikit napa sama Dada," ucap Yohan yang membuat Miranda naik darah. "APA MAKSUDMU DENGAN DADA HAH?!" pekiknya sambil menutupi dadanya dengan kedua tangannya yang membuat Yohan tertawa terbahak.

"Kan itu namamu. Dada," ucap Yohan lagi membuat Miranda makin meledak. "DASAR MESUM!!!" serunya sambil memukul punggung Yohan berkali-kali.

Astaga. Seperti main oper pukul punggung. Tadi aku yang memukul Miranda, sekarang Miranda yang memukul Yohan. Haha, memikirkannya saja membuatku tertawa.

"Iya-iya, Miranda. Maaf-maaf," kata Yohan kapok setelah Miranda puas memukuli punggungnya.

"Miranda, Yohan. Mau gantian?" tawar seorang lelaki yang sekelas denganku—Zedd—ketika melihat kedua MC ini tak memperhatikan pertandingan. Ia juga membawa seorang perempuan dari kelas sebelah yang bernama Perrie bersamanya.

"Eh? Ketinggalan banyak ya? Bukannya masih istirahat?" tanya Yohan terheran. Mereka sengaja meletakkan mic dimeja MC karena sekarang adalah waktu istirahat, dan mengira bahwa mereka tak perlu mengomentari apapun sewaktu jam istirahat.

"Enggak mau ya?" tanya Perrie yang membuat Miranda dan Yohan bersama-sama saling menatap.

"Menurutku biarkan saja mereka yang jadi MC-nya, Zedd," komentarku tiba-tiba yang membuat perhatian mereka berfokus padaku. "Lagipula, Miranda dan Yohan akan pergi ke SMA lain. Sementara kita bertiga masih disini sampai tiga tahun kedepan. Kan kau dan Perrie bisa jadi MC tahun depan," kataku panjang lebar yang membuat Zedd dan Perrie mengangguk setuju.

"Yaudah, kami ngurusin lomba, ya!" kata Zedd sebelum berlari meninggalkan kami. Perrie menatapku lalu tersenyum, sebelum akhirnya menyusul Zedd.

"Aneh sekali," komentar Miranda yang membuatku dan Yohan menatapnya, "kenapa mereka tiba-tiba mau menawarkan diri menjadi MC?" tanyanya yang membuat Yohan mengangkat bahu.

"Mungkin mereka bosan menghadapi para adik kelas," terkaku yang langsung disambut tawa oleh mereka berdua. "Yakali, Ra," ucap Yohan yang masih tertawa.

Aku hanya mengangkat bahu sambil tersenyum.

🎃TO BE CONTINUE🎃

EYYYYY! HELLO ..
.....
.....
.....
WEEN!

Memang belum Halloween sih, tapi tetap aja ini termasuk bulan Halloween.

Sayangnya di Indo ga ada yang namanya ngerayain Halloween. Padahal kan seru kalo dirayain 😣

Yasudahlah!
Yang penting kita bersyukur karna udah dilahirin di Indonesia kita tercintjahhh

Ya ngawur lagi kan aku.

Yodahlah ya.

Sampe sini aja.

See you in the next chapter!
Buh-bai~!

Big Gratitude,
🎃Vanne🎃

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro