Prolog
Kedua kakinya terus berlari, berjerih payah menghidar dari kejaran seseorang. Jalanan sepi dengan cahaya lampu temaram seolah menemani kepanikan pria berjaket parka tersebut. Bahkan udara di penghujung musim dingin tak mampu menghalau keringat--yang telah mengucur deras di sekitar pelipisnya. Di tengah-tengah kekalutan, matanya turut bergerak lincah untuk mencari tempat persembunyian.
Seperti mendapatkan genangan air di tengah padang pasir, si pria bersorak dalam hati ketika menemukan gang sempit di kanan jalan. Sesaat menoleh ke belakang, memastikan si pengejar tak mengetahui ia akan bersembunyi. Dirasa sudah aman, lekas pria itu menyandarkan tubuhnya pada dinding berbata merah, mengatur napas yang tersengal-sengal akibat insiden kejar-kejaran tadi. Ia bahkan sampai terbatuk beberapa kali, mengingat usianya yang tidak lagi muda karena hampir memasuki kepala lima.
Namun, ketenangannya harus sirna tatkala suara langkah terdengar mendekati. Reflek si pria bergerak menjauh, semakin masuk ke dalam gang. Hingga kemunculan sesosok bertudung hitam tersenyum ke arahnya, membuat sesi kejar-kejaran kembali terjadi. Sial! rutuknya dalam hati ketika mendapati jalan buntu, ia semakin kalut sebab tak menemukan alternatif lain untuk kabur.
"Berhenti! Jangan lagi membuang waktuku!"
Pria berjaket parka menautkan jemarinya yang mulai gemetaran, perlahan ia memutar tubuhnya menghadap sosok pria--terpaut usia jauh lebih muda darinya.
"Dimana letak cincinnya?"
"T-tidak tahu--"
"Bohong!"
Seolah belum cukup, pria bertudung menodongkan pistol jenis revolver pada kening orangtua di depannya. Sengaja memberi lebih banyak gertakan agar rencananya kali ini berjalan lebih cepat. Bahkan ringisan si pria paruh baya kian membuat sudut bibirnya semakin terangkat.
"Cincin itu bukan milikmu ... jadi kau tidak berhak!"
Sosok bertudung itu menyeringai. "Dan cincin itu juga bukan milikmu, jika kau lupa."
Semilir angin menerbangkan helaian rambut birunya, sekaligus tudung yang sejak tadi membungkus kepalanya, memperlihatkan bekas luka memanjang di kening bagian kiri. Sepersekian detik, kekosongan mengisi keduanya sebelum si pria lebih tua kembali mengeluarkan suara.
"Hentikan semuanya, hentikan semua rencanamu," pintanya dengan sorot mata sendu.
"Kau ... mulai memerintahku?"
"Tidak, bukan itu maksud, A--"
"Dengar!" Tangan kirinya yang bebas mencengkeram leher sang lawan bicara. "orang-orang sepertimu harus merasakan semua penderitaan yang sedang kupersiapkan!" lanjutnya tajam.
"T-tapi aku ... t-tidak akan pernah ... memberikan cincin itu padamu!" kata pria berjaket parka, menahan rasa sakit akibat cekikan di lehernya.
"Hahaha ... sepertinya aku mempunyai rencana lain."
Ia melepas cengkraman sekaligus todongan pistol seraya melangkah ke belakang. Lekas memiringkan kepala, memperhatikan pria paruh baya dihadapannya. Kondisinya lumayan memprihatinkan, menghirup rakus-rakus pasokan oksigen dengan keadaan punggung membungkuk, seolah tidak mampu untuk dirinya berdiri tegak.
Kembali menyeringai, tangan kanannya terangkat, menarik pelatuk yang sebelumnya sudah dikokang. Sontak suara tembakan menggema di gang sempit ini.
"Rencana yang sangat hebat," ujar pria berambut biru kemudian melenggang pergi.
Allo guys! Aku kembali dengan cerita baru, membawa universe baru, dan tokoh-tokoh baru, eakkk😗
Baru prolog, jadi, santai dulu ngga sih😎
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro