Bab 9 : Travel and Plans
Perpustakaan Solara cukup sunyi, Damian yang duduk di salah satu bangku dekat jendela berupaya mengawasi seseorang melalui celah-celah buku. Mr. Gracewell--adik dari kepala sekolah Solara, pria berambut ungu yang bertugas sebagai penjaga perpustakaan. Damian masih terus mengintip seraya berpikir cara menyelinap ke ruang penjaga, meskipun mustahil bagi Mr. Gracewell meninggalkan tempat kerjanya.
Pemuda bersurai putih itu berdecak ketika dua orang murid menutupi objek penglihatannya. Kendati menahan kesal mati-matian, Damian hanya bisa beralih menghadap kembarannya dalam keadaan diam. Ekspresi Damian lekas tertarik tatkala Haisley memandangi ponselnya sambil tersenyum lebar. Besar hasratnya untuk bertanya, tetapi kakak beda lima menitnya tersebut lebih dulu bersuara.
“Dayana akan kemari,” kata Haisley seolah mengetahui isi kepala sang adik.
“Maksudmu ke Solara?”
“Acara Peresmian Cincin, Damian! Dayana mendapatkan izin karena acara ini. Jadi, besok malam setelah kita tampil, kita akan menjalankan misi.”
Damian langsung mengangguk paham, kehadiran Dayana tentu menjadi kemudahan untuk aksi mereka. Semoga saja semua yang sudah direncanakan dapat berjalan lancar, minus halangan satupun. Damian berharap.
Berganti memandang sekitar, suasana sekeliling terdengar bising, membuat pria berambut ungu memindai tajam sebagai tanda peringatan. Perpustakaan Solara merupakan gedung satu lantai dengan tata letak rak yang ditempatkan dua baris memanjang. Celah antara dua rak digunakan sebagai jalan berlalu-lalang, adapun beberapa bangku serta meja bundar yang terletak di pojok kanan perpustakaan. Sementara bagian dekat jendela, tempat si kembar berada, bersebelahan dengan ruangan khusus Mr. Gracewell yang juga berisi berkas-berkas data murid Solara.
“Benar, Dayana harus ikut, dia yang paling tahu jalan tikus di seluruh Solara.”
“Sebegitu cepat tanggapnya dirimu?!” ucap Haisley tercengang, pasalnya ia belum menceritakan seluruh pesan Dayana kepada Damian.
“Dan kau baru menyadarinya? Payah!”
“Bedebah ini!”
“Sepertinya aku harus menelpon Ibu karena anak perempuannya sudah berbicara kasar.”
Lekas Haisley menahan gerakan tangan Damian yang hendak mengambil ponselnya dari saku celana, bola matanya pun turut menatap jengkel akibat tindakan kembarannya yang suka sekali mengadu.
Damian mengulum bibir, berusaha keras menahan tawa lantaran dirinya tidak benar-benar akan menelpon ibu mereka. Meledek Haisley sangat menghibur jiwa dan raga, sepertinya Damian harus kembali melakukannya di lain waktu. Menggeleng pelan, ia mengambil salah satu buku yang terletak pada rak tepat dihadapannya. Atensinya langsung tertarik dengan sampul cokelat jadul yang terlihat kontras ketimbang buku lainnya.
“Aeleen's First Ring ...” Damian membaca judul buku tersebut. “Ahh, aku mengetahuinya.”
“Memangnya buku apa itu?” tanya Haisley mulai tertarik, seolah melupakan kekesalan tadi.
“Buku yang membahas tentang cincin Almais.”
“Benarkah?” Haisley menggeser tubuhnya mendekati Damian. “Kau pernah membacanya? Jadi buku ini yang semalam dibicarakan Ibu dan Ay--”
“Kau juga mendengarnya?” potong Damian terkejut.
“Tentu saja, aku belum benar-benar tidur semalam.” Gadis berambut merah mencoba mengingat-ingat obrolan kedua orangtua mereka. “Buku ini memiliki salinan yang tersimpan di kantor kementerian, benar?”
Damian mengangguk. “Benar, dan sesuai yang kita dengar semalam, salinan Aeleen's First Ring yang terletak di kantor kementerian Elrys ... telah hilang.”
•••
Satu hal yang paling Dayana sukai di bulan September adalah, saat dirinya menikmati perjalanan menuju kota Utara Elrys di sela-sela masa hukumannya. Sederhana, tetapi sudut bibirnya terus terangkat sampai pemuda di sampingnya turut mengernyit heran. Kemauan Aran yang memutuskan ikut serta pun sempat menjadi keterkejutan yang sulit Dayana terima. Lebih tepatnya, Elrys muda itu tidak menyangka jika Aran bersungguh-sungguh akan tawarannya.
Namun, yang paling penting, mereka sudah mendapatkan izin dari Mrs. Dawson sekaligus membuatkan surat pengantar untuk Dayana, mengingat salah satu peraturan dari hukuman yang tertera sangat mengikat Dayana sebab ia tidak diperbolehkan keluar lingkungan sekolah Alpha School bila tidak ada kepentingan ataupun hal mendesak. Mr. Nicholas juga yang mengusulkan Dayana dan Aran menggunakan mobil miliknya bersama sang sopir pribadi, alasannya supaya pihak sekolah bisa memastikan kalau kedua murid tersebut benar-benar pergi ke tempat yang diusulkan.
Aran berfirasat lain, ketersetujuan para guru tersebut yang memperbolehkannya menemani Dayana pulang kampung, pasti tak jauh-jauh dari kesempatan mempertambah interaksi antara manusia biasa dan Elrys. Bisa ia prediksi akan sebanyak apa wartawan nanti ketika dirinya kembali ke Alpha School. Kendati begitu, Aran tidak peduli. Karena yang paling utama merupakan misi besok malam.
“Kau benar-benar memercayaiku sekarang?” Dayana memecah keheningan mereka dengan sebuah pertanyaan.
Aran yang mulanya sibuk memikirkan ini itu lekas menatap Dayana. “Aku rasa kita memiliki keinginan yang sama ... mencari pemilik asli cincin emas tersebut.”
“Jika kau masih ragu, aku bisa meminta sopir Mr. Nicholas untuk berputar arah.”
“Kenapa sekarang jadi dirimu yang tidak memercayaiku?” tanya Aran bingung.
Dayana membuka mulutnya, berniat mengeluarkan suara yang malah tertahan di tenggorokan. Sebenarnya bukan ia tidak memercayai Aran, tetapi ia hanya ingin mengetes seberapa kuat niatan pemuda itu untuk mencari pemilik asli cincin tak bertuan tersebut. Namun sepertinya, Aran lebih dulu diselimuti oleh perasaan kesal.
“Maaf ... aku hanya ingin tahu tujuanmu yang sebenarnya.” Dayana berdalih.
Aran mendesah pelan. “Tujuanku tentu saja ingin mencari keberadaan Pamanku, hanya itu.”
“Baiklah.” Dayana menyandarkan tubuhnya pada kursi mobil kemudian kembali memandang Aran. “Apa ceramahan dari sahabatmu waktu itu membuatmu mendapatkan pencerahan?” tanyanya menggoda.
“Kau menyadari keberadaanku?” Memori Aran langsung berputar saat dirinya mencurahkan keresahannya pada Rafael di taman dekat gedung asrama.
“Tentu saja, aku juga merasakan tatapanmu berkali-kali.”
“Apa kekuatan para Elrys juga bisa membaca pikiran?” Aran bertanya penasaran.
Detik setelahnya, bukan jawaban yang ia dapatkan, melainkan suara tawa Dayana yang kian membahana. Gadis itu pun memegangi perutnya yang terasa menggelitik. “Tidak ... seperti ... itu, Aran. Hahaha, jarak kita tidak terlalu jauh, jika kau lupa,” katanya seraya mengusap ujung mata yang berair.
Aran hanya mengangguk singkat, menyadari kebodohannya yang jujur saja membuatnya malu setengah mati. Untung saja ia pandai mengendalikan ekspresi wajah. “Y-ya, aku baru mengingatnya. Tapi, kau tidak marah karena aku telah menceritakan hal ini pada Rafael?”
“Selagi dia bisa menjaga apa yang seharusnya tidak disebarluaskan, why not?”
Kesunyian kembali mengambil alih, muda-mudi itu mulai asik dengan pikirannya masing-masing. Jalanan yang mobil mereka lewati kini telah menyusuri jembatan layang, matahari pagi pun terlihat benderang hingga Dayana menutupi setengah wajahnya guna menghindari sinar mentari yang begitu menyilaukan mata. Lambat-laun, senyuman Dayana semakin terpatri tatkala pepohonan pinus tampak di depan mata.
Pohon-pohon pinus ini ibaratkan perbatasan antara ibukota Sandyara dan kota Utara Elrys, menandakan jarak yang mereka tempuh tentu berselang tidak lagi lama. Terbukti dari tugu bertuliskan The Northern City of Elrys langsung menyapa keduanya, sebelum mobil yang mereka naiki berhenti di gerbang besi bermotif tanaman merambat. Sontak ketiganya--termasuk sopir, turun dari kendaraan beroda empat tersebut.
Ada dua security yang memang bertugas di gerbang pintu masuk, yang sepertinya sudah diberi informasi sebab setelah melihat presensi Dayana, salah satunya lantas meminta surat pengantar yang dibuat oleh Mrs. Dawson. Lalu mereka beralih pada sang sopir beserta Aran, karena keduanya merupakan manusia biasa, pengecekan yang dilakukan lebih panjang ketimbang Dayana tadi. Aran digeledah, tas yang ia bawa diperiksa, hoodie hitam yang dipakai pun diminta untuk dilepas sementara. Hingga semuanya diputuskan aman, Aran lantas mendapatkan kartu berisi nama lengkapnya dengan keterangan batas waktu kunjungan selama berada di kota Utara Elrys.
Selesai, mereka lekas memasuki mobil untuk melanjutkan perjalanan. Baru beberapa detik setelah Aran memakai hoodie-nya kembali, pandangan takjub sontak terpancar begitu sorot matanya memindai suasana kota kecil ini. Bangunan di sini terlihat tinggi dan megah, ornamen-ornamen rumit juga semakin menambah praduga Aran mengenai arsitektur bangunan bernama gotik. Pemuda itupun semakin tercengang ketika melihat banyaknya Elrys secara langsung, warna rambut mereka yang warna-warni seolah menjadi keistimewaan tersendiri.
Detik selanjutnya, Aran terfokus kepada seorang wanita tua bersurai merah yang tengah menggunakan kekuatannya untuk memekarkan bunga mawar putih. Ia terperangah, sangat. Menyadari kekuatan Elrys yang memang benar-benar ada, bukan sekedar bualan semata. “K-kau bisa melakukan itu juga?” tanyanya pada Dayana.
“Tentu, aku paling hebat dalam menumbuhkan tanaman.” Dayana menggerakkan jemarinya di depan Aran, seperti membentuk pola yang Aran sendiri tidak tahu apa maksudnya. “Andaikan aku bisa menggunakan cincin kepemilikan milikku, aku akan menunjukkan banyak keajaiban padamu.”
Aran mengerjap, entah mengapa hatinya menghangat. “Jika kita tidak menemukan pemilik asli cincin ini,” tangannya menunjukkan foto cincin emas yang dimaksud, “kau boleh menggunakannya sebagai cadangan.”
Dayana terkejut bukan main. “Kau! Bagaimana bisa?!” Gadis itu meletakkan punggung tangannya di atas kening Aran.
“Aku serius!” katanya tegas.
“T-tapi--tidak ... maksudku, mendadak sekali kau bersikap manis seperti ini. Aku masih mengingat bagaimana protektifnya dirimu terhadap cincin itu.” Dayana menilik Aran curiga.
Sedangkan si tersangka hanya mengangkat bahunya tak acuh. “Entahlah, terpikir begitu saja.”
“Tapi tetap saja, aku tidak boleh sembarangan mengklaim cincin kepemilikan Elrys lain. Terkecuali, jika ada kejadian mendesak.”
“Kalian sangat menghormati barang milik orang lain ternyata.”
“Prinsip. Setiap Elrys harus mempunyai prinsip ini!” tegas Dayana sebelum menyadari sesuatu. “kita berbicara tentang misi kita sejak tadi, pria itu tidak mendengarnya, bukan?” lanjutnya menurunkan intonasi suara.
Aran yang menyadari lekas memandang sang sopir yang tampak tidak terganggu. “Pria itu sudah cukup tua untuk menguping pembicaraan anak remaja, seperti seumuran Pamanku.”
“Pamanmu sudah setua itu?”
“Perlu kau tahu, Paman dan mendiang Ayahku terpaut usia sepuluh tahun.”
Dayana mengangguk mengerti. “Maaf sebelumnya, apa Pamanmu tidak pernah menikah? Memiliki kekasih ataupun terlibat romansa bersama wanita yang--”
“Tidak,” potong Aran cepat, tatapan matanya sempat menajam sebelum kembali normal. “aku tidak pernah melihatnya menyimpan foto seorang wanita, tidak juga pergi bersama wanita manapun ... hidupnya cenderung monoton, dan sangat menggilai pekerjaannya sebagai seorang Arsitek.”
Dayana beralih memandang ke luar jendela, sudut bibirnya lekas terangkat kala melihat bangunan berhias tanaman merambat ivy. “Itu sekolahku, itu Solara!” Tangannya menarik tali hoodie Aran guna menunjukkan gedung Solara yang menjulang megah.
“Terasa seperti berada di akhir abad ke-12,” ucap Aran tanpa sadar.
“Itulah keistimewaan kota ini.”
“Jika Pamanku ikut pergi ke sini, pasti dia sangat senang. Arsitektur bangunan di sini sangat luar biasa.” Aran mengangkat jari telunjuk dan ibu jari membentuk persegi, memindai beberapa bangunan yang mereka lewati.
Dayana mendesah. “Karena itu aku sangat merindukan tempat ini.”
“Tapi, di mana letak kantor kementerian? Apa kita sudah melewatinya?”
“Belum. Kita harus memasuki taman pusat kota untuk melihat kantor kementerian Elrys.”
Mobil yang mereka naiki terus melaju ke dalam kota, beberapa rumah pun terlihat semakin padat. Suasana bertambah ramai, apalagi ketika Aran melihat taman rumput luas dengan pancuran tingkat tiga di tengahnya. Taman itu membentuk bundaran yang mempertemukan tiga jalan dari arah yang berbeda.
“Itu kantor kementerian Elrys, dan itu kantor para Penjaga.” Tunjuk Dayana ke arah dua bangunan pada Aran.
“Jadi, kemarin kau melihat pria bertudung itu di halaman depan kantor kementerian?”
“Bukan, tapi di samping kanan bangunan yang terdapat banyaknya pohon cemara,” jelas Dayana.
Aran menyipitkan matanya. “Aku tidak melihat ada lampu satupun, bukankah kau bilang, kau melihat dan mengikutinya saat malam hari? Keberanianmu boleh juga.”
Dayana langsung tersenyum pongah. “Jangan lupa kalau aku ini Elrys istimewa.”
Aran mengerling malas, ada rasa sesal karena telah memuji gadis tersebut. “Jalan itu mengarah ke mana?” tanyanya kala mereka berbelok ke sebelah kanan.
Dayana menoleh mengikuti sorot pandang Aran. “Jalan di sebelah kiri mengarah ke pohon Havida, dan klinik tempat Ibuku bekerja.”
“Apa itu pohon Havida?”
“Pohon Havida adalah ... akan kujelaskan nanti, ceritanya terlalu panjang.” Dayana menyengir, tak menghiraukan Aran yang sudah memandangnya begitu tajam.
Lanjut besok aja ya, Ran :)
Vote-nya jangan lupa sengkuhh❤️🔥
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro