Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 8 : Will We be Partners?


Lagu berjudul November Rain milik Guns N' Roses menjadi pilihan Aran, berlanjut memasangkan earphone tanpa kabel yang baru ia beli kemarin malam. Membuka buku bersampul hitam kemudian bersandar pada kursi taman, menikmati alunan musik serta embusan angin yang menerbangkan rambut bagian depan. Pemuda itu berusaha memfokuskan matanya pada bacaan, tetapi tanpa diperintah atensinya kini beralih ke arah bangku panjang dekat gedung perpustakaan. Di sana, Dayana dan Marley tengah sibuk bersama buku tulis di genggaman masing-masing.

Aran memandangi keduanya sebelum benar-benar terpusat pada gadis berambut oranye. Seumur hidupnya, ia tidak pernah mengira akan berurusan dengan Elrys menyebalkan bernama Dayana. Namun, kehadiran gadis itu juga menjadi kesempatan untuk dirinya mencari tahu tentang keberadaan David. Bisa dibilang, Aran mulai memercayai kalau cincin yang ia temukan di ruang kerja pamannya merupakan benar cincin kepemilikan Elrys. Meskipun belum seratus persen.

"Kau menyukainya, ya?"

Aran hampir mengumpat, ia memejam sesaat akibat kehadiran tiba-tiba Rafael yang membuat jantungnya jumpalitan. Keterkejutannya tak ayal membuat Rafael tertawa, seolah menikmati wajah kesalnya. Pemuda yang menyampirkan almamater di pundak kanan itu akhirnya menyudahi aksi tergelaknya, memilih duduk di samping Aran yang berhadapan langsung dengan pancuran tingkat tiga.

"Berhenti membuatku serangan jantung!"

"Latihan sebelum benar-benar mendapatkan serangan jantung di masa tua."

"Sialan." Aran berdecak, menutup buku bersampul hitam lalu melirik Rafael yang malah menyengir lebar.

"Ayolah, Aran, hidupmu ini terlalu serius. Cobalah santai, lagi pula kau tidak akan langsung turun ke peringkat akhir jika sekali saja tidak belajar." Rafael mengambil buku pemuda itu dan tak sengaja membaca judulnya. "About ... Elrys," lanjutnya sambil menatap sahabatnya penuh curiga.

Aran lekas mengernyit. "Apa?"

"Pantas saja tadi kau memperhatikannya, ternyata benar kau menyukainya!" Rafael berseru heboh kemudian merangkul Aran erat, menyebabkan empunya menyentak kasar akibat kesulitan bernapas.

"L-lepaskan, R-Raf ... kau membuatku hampir pingsan!" Aran melepas paksa rangkulan Rafael, bersandar pada kursi taman lalu melanjutkan, "dan ... aku tidak menyukainya. Catat itu!"

Rafael mendengkus. "Tidak usah malu, Aran. Aku akan merahasiakannya, tenang saja," ungkapnya sambil menaik-turunkan alisnya menggoda.

Sedangkan Aran mengerling malas. "Aku hanya mencari tahu tentang perkataannya."

Pemuda berambut hitam mengerutkan kening, senyuman jenaka di wajahnya lantas menghilang. "Maksudmu?"

Aran membasahi bibirnya yang terasa kering, melepas earphone untuk menyimpannya ke dalam charging case kemudian memandang sahabatnya yang masih menunggu jawaban. Benaknya mengatakan ada keraguan, tetapi sosok di depannya merupakan seorang Rafael, sahabat semasa kecilnya. Kendati menyebalkan, orang ini yang sering menjadi tempatnya berkeluh-kesah.

"Kau masih ingat Pamanku yang hilang, bukan?"

"Paman David, tentu. Meskipun bodoh dalam pelajaran sekolah, ingatanku tidak sedangkal itu, sialan."

Aran terkekeh, sorot matanya melirik Dayana sekilas sebelum kembali beralih pada Rafael. "Dan kau masih ingat tentang cincin emas dengan ukiran daun?" Pemuda berambut hitam mengangguk. "Di hari pertama Dayana masuk, aku duduk dengannya, dan bodohnya lagi aku melupakan cincin itu di dalam laci ketika jam istirahat. Dayana menemukannya, dia menuduhku macam-macam kemudian berkata, cincin itu merupakan cincin kepemilikan Elrys."

"Tunggu, dari mana Dayana mengetahui--maksudku, apa bedanya cincin kepemilikan dengan cincin biasa?" tanya Rafael kebingungan.

"Cincin kepemilikan memiliki ciri berupa ukiran Elrys serta inisial nama pemiliknya, dan cincin yang kutemukan memiliki ukiran itu."

"Jadi berarti--"

"Tapi aku masih ragu." Aran menyugar rambutnya, tatapan tajamnya mengarah ke sana kemari seolah memikirkan sesuatu.

"Kenapa? Dayana merupakan seorang Elrys, dan sudah pasti dia langsung mengetahuinya, bukan?"

"Aku takut dia berbohong. Informasi yang kuperoleh dari Mr. Nicholas, jika cincin kepemilikan Dayana sedang disita sekarang, dan mungkin saja setelah mengetahui cincin kepemilikan yang ada padaku dia langsung memanfaatkannya. Belum lagi dia murid bermasalah di sekolahnya."

"Memangnya Dayana meminta cincinnya?"

"Tidak. Dayana bilang dia ingin meminjamnya untuk mengetahui siapa pemilik aslinya."

Rafael lekas menjentikkan jari. "Bukankah ini hal bagus? Kau mungkin saja bisa mengetahui di mana Pamanmu berada, Aran!"

"Tidak semudah itu, Raf. Aku tidak bisa memercayainya begitu saja, apalagi aku baru mengenalnya selama beberapa hari."

"Lalu? Apa yang kau katakan saat Dayana ingin meminjam cincinnya?" tanya Rafael sambil memakai almamater sekolahnya.

"Aku mengizinkannya untuk sekedar memotretnya, sebenarnya aku berpura-pura memercayainya," jawab Aran pelan.

Kedua alis Rafael menukik bingung. "Memangnya apa saja yang kau bicarakan pada Dayana?"

Aran menelan ludah, jauh dalam lubuk hatinya terbesit rasa bersalah karena berakting sebegitu hebatnya di depan Dayana. Ia seperti orang paling licik, mementingkan masalah pribadinya dengan memanfaatkan Dayana yang bersikeras mencari tahu pemilik cincin kepemilikan tersebut.

"Dia bilang sebelum berangkat ke Alpha School, dia melihat seorang pria bertudung hitam mengendap-endap di sekitar kantor kementerian Elrys. Dayana merasa curiga dan ... khawatir." Aran mengingat-ingat kalimat yang sering kali Dayana ucapkan. "Dia bilang, dia seperti memiliki firasat atau semacamnya, masalahku dan masalahnya saling berkaitan. Dayana seperti ... berbeda ketimbang Elrys lainnya."

"Pria bertudung hitam? Berbeda?" Ekspresi Rafael terlihat terkejut.

Aran mengangguk mantap. "Aku tidak terlalu paham apa yang dia maksud. Dayana juga mengatakan, pria bertudung hitam itu seperti mengincar cincin Almais, cincin kepemilikan terkuat se-Oseania."

Rafael menggaruk pangkal hidung, sedikit tidak menyangka kalau hubungan sahabatnya dan Dayana menyimpan hal-hal yang mungkin tergolong rahasia. "Jadi, apa rencanamu selanjutnya?"

"Rencanaku?"

"Benar. Kau mengizinkan Dayana memotret cincin itu, berarti kau memperbolehkan Dayana mencari tahu siapa pemiliknya."

"Aku masih tidak yakin--"

"Apa yang membuatmu tidak yakin?"

Aran mengerjap. "Kau tahu aku bukan tipe orang yang mudah percaya, Raf."

Rafael terkekeh geli. "Iya, aku tahu. Tapi kau bisa saja menyia-nyiakan kesempatan jika masih berfokus pada ketidakyakinanmu."

Aran memandang tidak mengerti. "Maksudmu?"

"Dengar! Jika kau masih ingin mencari tahu keberadaan Pamanmu ... mudah saja, ikuti rencana Dayana. Meskipun kalian masih terbilang asing, tapi kau bisa memposisikan dirimu sebatas 'rekan profesional'. Ibaratkan, kalian harus mengarungi sungai yang sama untuk menepi di daratan yang berbeda. Dayana dengan masalahnya, dan kau dengan masalahmu sendiri," jelas Rafael panjang lebar.

Aran termenung, perkataan sahabatnya berupaya ia cerna sebaik mungkin. Lambat-laun pemuda itu membenarkan pendapat Rafael, dirinya dan Dayana memang mempunyai misi yang serupa saat ini, satu fakta yang perlu Aran pertimbangankan sebelum benar-benar mengambil keputusan.

"Ya ... sepertinya kau benar."

"Bukan sepertinya, tapi memang benar!" ujar Rafael membenarkan, tangannya pun turut bersedekap pongah.

Aran yang melihat kelakuan sahabatnya tersebut langsung terkekeh geli. "Aeleen," katanya setelah mengingat sebutan Elrys 'spesial' seperti Dayana. "Dia bilang dia seorang Aeleen, Raf."

Rafael menautkan kedua alisnya. "Aeleen? Perlukah kita mencari tahu?"

Aran menggeleng. "Tidak ada buku yang membahas soal Aeleen di perpustakaan Alpha School. Lagi pula aku sudah memiliki rencana lain bersama Dayana."

"Bukankah kau tadi tidak memercayainya?" tanya Rafael menggoda.

"Ayolah, Raf, sekarang aku berubah pikiran." Aran tersenyum simpul, menimbulkan cekungan di kedua pipinya. "Meskipun belum seratus persen, aku akan berusaha memercayai Dayana."

"Benar. Jangan hanya karena Dayana bermasalah di sekolahnya itu berarti dia pribadi yang buruk. Berhenti memandang orang lain hanya dari satu sisi."

"Apa yang kau makan hingga sepintar ini, Raf?" Aran menepuk-nepuk pundak sahabatnya, bergaya layaknya seorang ayah yang bertanya pada anaknya.

Rafael sontak menyengir. "Tentu saja, sandwich Also."

Keduanya lantas terbahak, menertawakan lelucon yang mungkin bagi sebagian orang tidak lucu sama sekali. Aran memegangi perutnya yang kian melapuk, sementara Rafael memukul-mukul pinggiran kursi sambil sesekali menutup mata. Mereka menikmati gurauan yang hanya bisa dipahami oleh keduanya, cukup lama, sebelum Aran menyadari rahangnya terasa kaku bersamaan satu opini tiba-tiba terbesit di kepalanya.

"T-tunggu, Raf, aku menyadari sesuatu." Kening berkeringat Aran mulai mengerut, berusaha mengambil atensi sahabatnya yang masih sibuk tergelak tawa.

Rafael mengusap ujung matanya yang berair. "Ada apa? Ekspresi wajahmu serius sekali."

"Pria bertudung hitam yang Dayana katakan." Aran mengubah posisi duduknya menjadi menghadap Rafael. "kita tahu Elrys merupakan pribadi yang sangat menghormati tradisi serta leluhur mereka, dan Dayana bilang kalau pria bertudung itu seperti ingin mencuri cincin Almais untuk mendapatkan keuntungan. Itu berarti, pria bertudung hitam adalah seorang manusia biasa, karena tidak mungkin jika seorang Elrys berani mengusik benda keramat milik leluhur mereka," lanjutnya berbisik.

"Manusia biasa?" Rafael melotot kaget.

"Benar. Sayangnya sedari awal, Dayana tidak memikirkan identitas asli sosok bertudung itu, padahal sangat diperlukan guna mempermudah Dayana mencari tahu."

"Jika benar manusia biasa, bagaimana caranya masuk ke lingkungan Elrys?"

Aran mengangkat kedua bahunya. "Aku tidak tahu, tapi sepertinya sekarang, fokus kami hanya perlu mencari tahu pemilik cincin kepemilikan."

"Tapi ..." Rafael berdehem sejenak lalu melanjutkan, "Apa Dayana tidak marah jika kau memberitahukan hal ini padaku? Kupikir ... rencana kalian ini terbilang sangat rahasia."

"Tidak ... kurasa," jawab Aran sedikit ragu, sorot matanya lekas memandang Dayana yang kini telah memasuki kamar asramanya.

Rafael menggaruk belakang kepala. "Tapi kau tenang saja, aku tidak akan menceritakannya pada siapapun."

"Ayolah, kau ini Rafael, aku sudah mengenalmu sedari kau masih mengompol," ungkap Aran menyeringai.

Pemuda berambut hitam lantas mendengkus jengkel. "Sial--"

"Hello, boys!"

Aran dan Rafael sama-sama menoleh ke sumber suara, keduanya langsung berdiri begitu mendapati Mr. Nicholas tengah menenteng tas kerjanya. "Maaf, sepertinya aku mengganggu waktu istirahat kalian."

"Tidak, Mr. Nicholas, lagi pula aku dan Rafael hanya berbincang kecil," kata Aran membenarkan, sementara Rafael di sampingnya hanya memainkan batu kerikil yang berada tepat di bawah sepatunya.

"Syukurlah jika aku tidak menggangu. Aran, istirahat kedua nanti, bisakah kau datang ke ruanganku? Ada yang ingin aku sampaikan tentang acara prom night tahun ini."

Sontak Aran mengernyit bingung. "Tapi, bukankah acara prom night dilaksanakan Desember nanti, sedangkan sekarang masih bulan September, bahkan kami belum melakukan ujian kelulusan."

"Ada sedikit perubahan setelah aku melakukan rapat dengan kepala sekolah kita, serta kepala sekolah Solara."

"Kepala sekolah Solara? Solara sekolah Dayana, sekolah Elrys?" tanya Aran keheranan, sampai-sampai Rafael mulai memandang guru serta dirinya bergantian.

Mr. Nicholas mengangguk. "Untuk pertama kalinya, ada interaksi langsung antara manusia biasa dengan Elrys di lingkungan sekolah, menjadikan kesempatan untuk mempererat hubungan kita dan para Elrys. Karena itu, sebelum Dayana menyudahi masa hukumannya, kita memajukan acara prom night di akhir bulan November."

"Berarti kami akan berpesta sebelum melakukan ujian kelulusan? Itu sama saja seperti bersenang-senang sebelum perang dimulai!" tukas Rafael tajam.

Aran lekas menyenggol lengan sahabatnya akibat berkata tidak sopan, kendati Mr. Nicholas tidak tersinggung ataupun marah, tetapi tetap saja dia adalah seorang guru. "Kendalikan nada bicaramu, Raf!"

"Tidak apa-apa." Pria berkemeja biru itu tertawa kecil. "Aku sudah menduga, pasti banyak dari kalian yang tidak setuju. Sebagai Waka Kesiswaan, aku tidak bisa berbuat apa-apa karena perubahan ini sudah ditetapkan."

"Konyol--"

"Rafael!" potong Aran tegas, ia melirik sahabatnya yang hanya mendengkus malas.

"Baiklah, sepertinya hanya itu yang bisa aku sampaikan. Aran ... jangan lupa untuk datang ke ruanganku." Tatapan Mr. Nicholas beralih pada Rafael. "Satu lagi. Rafael, aku masih menunggu tugas Sejarah yang belum kau kumpulkan Minggu lalu," lanjutnya seraya meremas pundak muridnya kemudian pamit pergi.

Di tempatnya, Rafael menelan ludah, ia mengusap kening sambil mengingat tugas yang dimaksud sebab belum ia kerjakan barang satupun. Sepeninggal gurunya tersebut, bel masuk berbunyi tak lama setelahnya. Aran langsung mengambil buku dan earphone tanpa kabelnya lalu berniat mengajak sahabatnya memasuki gedung utama.

"Raf ..." panggilnya gamam kala melihat Rafael menyorot Mr. Nicholas di koridor perpustakaan.

"Y-ya? O-ohh ... ayo! Kau hampir membuatku jantungan." Rafael tertawa canggung, ia membuang muka ke arah manapun guna menghindari Aran yang menatapnya heran.

Kendati masih kebingungan, pemuda berlesung pipi itu hanya menggeleng kecil. "Dasar manusia aneh."













Awkward-nya kerasa sampe sini, Raf 😀

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro