Bab 6 : The Beginning of a Plan
“Sumber kekuatan Elrys di Sandyara adalah pohon Havida.”
Andreas memandangi pohon beringin besar dengan akar gantung menjulur lebat, menerka-nerka usia pasti pohon Havida, yang bahkan lebih tua dari negara Sandyara sendiri. Panggilan melalui surat yang Tetua ini kirim, membuat sepasang suami-istri itu akhirnya datang ke sini.
Pria tua tanpa rambut sehelai pun, beserta busana serba putih--mendekati dua orang tersebut untuk mengambil kotak kaca berisi air bercampur bunga matahari. Bunga kelahiran milik Dayana. Saat si Tetua kembali berjalan, Andreas dan Sarah lekas mengikuti pria berkepala plontos guna mendekati pohon Havida.
Setiap Elrys wajib menyimpan bunga kelahiran yang muncul di acara Accion. Bunga itu tidak akan mati ataupun layu selagi Elrys kepunyaannya masih hidup, begitupun sebaliknya. Saat Elrys kepunyaan sudah tiada, bunga kelahiran akan layu, termasuk air di dalamnya berubah keruh, dan ikut dikubur. Hanya para Tetua--penjaga pohon Havida, yang boleh mengisi kotak kaca bunga kelahiran dengan air danau dekat pohon Havida.
“Sedangkan kekuatan Aeleen bersumber pada matahari, dan Putri kalian sudah menemukan satu dari tanda bencana.” Suara Tetua terdengar serak.
“Tidak bisakah Dayana hidup seperti layaknya remaja pada umumnya?” tanya Sarah parau, sebagai seorang ibu ia tidak bisa menyembunyikan kekhawatirannya.
Pria tua itu tersenyum, menimbulkan kerutan di sekitar matanya semakin kentara. “Sang pemilik alam tidak mungkin salah memberi tugas. Dayana telah terpilih, itu berarti dia mampu untuk melindungi kita semua, termasuk melindungi dirinya sendiri.”
“Tapi Dayana masih terlalu muda,” sahut Andreas.
“Aku tahu kalian berdua khawatir, dan benar Dayana masih terlalu muda, karena itu tugas kita sebagai orangtua perlu membimbingnya.”
“Soal pria bertudung hitam yang Dayana lihat, apa pria itu dalang dari bencana yang dimaksud?”
“Bukan, tapi dia ada kaitannya,” ujar Tetua menjawab pertanyaan Sarah.
“Kau mengetahui siapa penjahatnya, bukan?” Andreas mendekati pria tua tersebut.
“Aku tidak tahu, kami para Tetua hanya menerima potongan-potongan mimpi mengenai bencana yang akan terjadi, itupun samar. Untuk siapa yang menjadi dalang, hanya Dayana yang bisa mengetahuinya.”
Sarah mengerutkan kening. “Bagaimana caranya?”
“Perdebatan Dayana dengan Julius Maedowbrook sudah menjadi jawaban. Aeleen, secara naluriah memiliki ikatan khusus terhadap hal-hal yang berhubungan dengan ancaman.” Tetua meletakkan bunga kelahiran Dayana di atas papan bercat putih sebelum melanjutkan, “mau seberapa keras menteri serta orang kementerian tidak memercayainya, Dayana tetap pada pendiriannya dan akan membuktikan apa yang dia lihat.”
Andreas meneguk ludah kasar, ia menoleh menatap Sarah yang juga memandang ke arahnya. Mereka seperti berbicara melalui tatapan mata, merasakan keresahan masing-masing tentang anak semata wayangnya. Danau jernih yang terdapat jembatan kayu di atasnya, menjadi objek peralihan Sarah. Ia menggigit bibir sesaat kemudian ikut mendekati sang Tetua di samping suaminya.
“Adakah hal yang harus Dayana pelajari? Aku pernah membacanya di salah satu buku ... tapi aku lupa namanya,” tanya Sarah.
Tetua memposisikan kedua tangannya yang saling bertautan ke atas perut. “Arcluz. Dayana harus bisa membuat Arcluz.”
“Apa itu Arcluz?” Andreas memandang sang Tetua dan Sarah bergantian.
“Sinar kehidupan yang bisa menyembuhkan apapun. Secepatnya, aku harus membimbing Dayana untuk bisa membuat Arcluz.”
•••
Sekonyong-konyong Dayana memprediksi hidupnya di masa depan, ia tidak menyangka akan bertahan lebih dari dua puluh menit di perpustakaan. Demi mengamati pemuda berlesung pipi yang ternyata maniak membaca, Dayana rela duduk diam di salah satu kursi sambil memegang buku paket yang ia ambil secara acak. Saat Aran terlihat mendekat ke mejanya, Dayana bergegas menunduk, menyembunyikan wajahnya di balik buku dalam genggaman.
Namun, Aran semakin berjalan menjauh menuju pojok sebelah kanan, Dayana yang berada di tengah-tengah perpustakaan lekas berdiri untuk mengikuti pemuda tersebut. Posisinya dan Aran berjarak dua rak, Dayana menyimpan asal buku paket tadi selepas sosok berlesung kembali berpindah tempat. Saat masih berfokus memperhatikan Aran, ia tersentak kaget ketika sebuah tepukan menyentuh bahunya.
“Hai, Dayana, mencari sesuatu?” Wanita dewasa yang ia ingat bernama Mrs. Dawson tersenyum ramah.
Dayana mengerjap, mencoba mengendalikan air mukanya agar tidak terlihat mencurigakan. “Emm, t-tidak, Mrs. Dawson, aku hanya melihat-lihat.”
“Apa ada buku yang ingin kau cari? Aku bisa membantumu.”
“Terima kasih, Mrs. Dawson, tapi aku tidak sedang mencari apapun.”
“Baiklah.” Mrs. Dawson mengaitkan kancing blazernya yang tak sengaja terlepas. “Bagaimana hari kedua di Alpha School, Dayana?”
Kendati kesal sebab aksinya harus terjeda, Dayana tetap tersenyum sopan kemudian menjawab, “Semuanya berjalan lancar, Marley banyak membantuku.”
“Aku dengar kau sekamar dengannya?”
“Benar. Marley juga sempat mengajakku berkeliling gedung utama saat istirahat kedua tadi.”
“Oh, apa kemarin Aran tidak mengajakmu berkeliling, dia yang ditugaskan oleh Mr. Nicholas, bukan?”
Bodoh! batinnya merutuk.
Dayana mengulum bibir, otaknya lekas berpikir keras untuk mencari jawaban yang terdengar masuk akal. Tidak mungkin ia menceritakan, kalau Aran menghindarinya karena menyimpan cincin kepemilikan. “A-Aran mengajakku berkeliling, Mrs. Dawson, tapi aku ... pelupa. Sekolah ini begitu besar.”
Beruntungnya, wanita bersanggul itu mengangguk paham. “Syukurlah. Jika ada sesuatu yang menyusahkan ataupun membuatmu tidak nyaman, jangan ragu untuk bercerita, Dayana.”
Setelah Mrs. Dawson meninggalkannya, Dayana sontak mendesah lega. Ia kembali celingukan untuk mencari keberadaan Aran yang hilang dari pandangan. Perpustakaan di Alpha School sangat luas serta memiliki buku bermacam-macam. Tidak hanya buku pelajaran, tetapi beberapa novel terkenal juga bisa Dayana temukan di beberap rak. Sesuai yang Marley katakan, setiap murid wajib menyumbangkan satu buku sebelum kelulusan, mungkin karena hal itu pula buku-buku di sini begitu beragam.
Dayana tersenyum puas kala melihat keberadaan Aran di pintu masuk perpustakaan. Gadis itu memutuskan untuk berjalan sembunyi-sembunyi sampai pemuda incarannya menapaki perbatasan gedung perpustakaan dan gedung utama. Secepat kilat Dayana menarik tangan Aran lalu membawanya ke taman belakang, bertepatan memori pemuda tersebut yang mendadak mengingat kejadian kemarin siang. Lagi, seperti de javu. Dayana menyudutkan Aran ke dinding perpustakaan dengan menahan kedua bahunya.
Ekspresi terkejut Aran lantas berubah masam. “Apa lagi yang kau mau?”
Dayana berdehem sejenak, melepas kedua tangannya dari bahu Aran lalu mundur beberapa langkah. “Sepertinya aku tidak perlu lagi menjelaskan.”
“Harus berapa kali kukatakan kalau cincin itu bukan cincin kepemilikan?”
“Tapi kemarin kau tampak tertarik dengan pemilik aslinya, bukan?” Dayana mendudukkan dirinya di kursi taman. “Aku tahu kau bukan pemiliknya.”
Aran merotasikan matanya. Awalnya ia berniat diam saja, tetapi pandangan Dayana yang seolah ingin menelannya hidup-hidup memutuskan Aran kembali berkata, “Cincin itu bukan urusanmu, bukan ranahmu untuk mencari tahu. Jadi, simpan saja rasa penasaranmu dan berhenti bertingkah seperti seorang detektif!”
Mulut Dayana terbuka, menahan suaranya di tenggorokan ketika melihat Aran melangkah menjauh. Namun, tepat saat pemuda itu hampir menapaki lantai koridor, secara lantang Dayana berujar, “Bagaimana dengan Pamanmu yang hilang?”
Sontak Aran bergeming. Ia merasakan napasnya mulai memberat, bulir keringat juga membanjiri area pelipisnya, apalagi sewaktu presensi Dayana sudah berdiri tepat dihadapannya. Satu pertanyaan berputar di kepalanya, dari mana Dayana mengetahui perihal anggota keluarganya? Kendati di Alpha School isu ini bukanlah hal ganjil. Aran bagai melupakan fakta terakhir.
“Apa itu benar, Pamanmu menghilang?” tanya Dayana. Sorot matanya tidak menelisik ataupun penuh curiga, hanya mata bulat yang menginginkan jawaban pasti.
“Kita tidak sedekat itu.”
“Ya, tapi--”
“Tidak bisakah kau berhenti mencari tahu? Aku sudah lelah dengan semua sikapmu yang memaksa masuk ke kehidupan pribadiku! Tidakkah kau mengerti?” Aran mengetatkan rahang, memandang Elrys di depannya dengan tatapan terlampau tajam.
Dayana menelan ludah, ia bergaya seberani mungkin berupaya menampik rasa takutnya. “A-aku harus mencari tahu, Aran. Entah percaya atau tidak, sebelum keberangkatanku ke Alpha School ... terjadi insiden di tempat kami, kota Utara Elrys.”
“Dan hubungannya denganku? Dengan cincin--”
“Cincin itu!” potong Dayana Cepat. “Sebagai seorang Elrys aku merasakannya, kalau cincin itu merupakan cincin kepemilikan. Mungkin saja berkaitan dengan pria bertudung hitam yang aku lihat di malam itu.”
“Pria bertudung hitam?” beo Aran kebingungan.
Dayana mengangguk. “Benar. Mungkin juga ada kaitannya dengan ... Pamanmu yang hilang.
Pemuda itu tertawa getir. “Aku benar-benar tidak mengerti, kau memaksakan semua hal untuk saling berkaitan.”
Dahi Dayana mengerut. “Tidak! A-aku merasakannya, pria bertudung itu berjalan di belakang kantor kementerian, seperti mengincar sesuatu. Lalu, entah kebetulan atau bukan, aku menemukan cincin kepemilikan Elrys yang ada padamu ... belum lagi persoalan Pamanmu yang hilang secara misterius. Semuanya terjadi di waktu yang saling berdekatan.”
“Kau tidak menuduh Pamanku sebagai pria bertudung itu, kan?”
Kedua mata Dayana membelalak. “Mungkinkah?”
Sontak Aran mendengkus, sudah ia tetapkan kalau Dayana merupakan Elrys paling menyebalkan. “Memangnya kau melihat pria bertudung mengambil sesuatu? Meletakkan bom ... atau menyelundupkan senjata tajam?”
“Bom, senjata tajam?” Dayana menggeleng keras. “Tidak, bukan itu! Pria itu seperti mengincar cincin Almais.”
“Dengar! Kau hanya tak sengaja melihatnya, dan kau langsung mengambil keputusan kalau, pria bertudung hitam mencoba mencuri cincin Al--apalah itu, yang tersimpan di kantor kementerian. Wow, tindakan impulsif yang bagus!” ungkap Aran kemudian bertepuk tangan.
Dayana mengusap dada, berupaya sabar. Kepalanya berusaha merangkai kalimat agar Aran mengerti perihal yang ia maksud. “Baiklah, intinya aku akan mencari siapa pemilik cincin yang ada padamu.” Aran menoleh cepat. “Aku tahu kau penasaran dengan pemilik aslinya, benar?”
“Jangan sok tahu!”
“Tapi memang begitu kenyataannya,” balas Dayana pongah. Senyumannya tersirat kemenangan sebab ekspresi Aran seperti menimbang-nimbang sesuatu.
“Kau sangat yakin kalau cincin itu ada kaitannya dengan pria bertudung yang kau maksud?” Dayana mengangguk mantap. “Tapi dalam segi apa?”
“Karena itu aku perlu mencari tahu siapa pemiliknya.” Tangan gadis itu mengepal gemas. “Dengar, Aran! Kantor kementerian Elrys menyimpan cincin Almais, yaitu cincin kepemilikan terkuat se-Oseania, tentu saja keberadaannya bisa memicu siapapun yang berniat mengambil keuntungan. Belum lagi cincin yang ada padamu merupakan cincin kepemilikan Elrys, kemudian Pamanmu yang tiba-tiba menghilang.”
Aran menyugar rambutnya, kedua alisnya masih bertaut gamam. “Lalu?”
Lantas Dayana menjentikkan jari. “Kita memiliki masalah yang hampir sama. Kau kehilangan Pamanmu, aku berusaha mencari tahu siapa pria bertudung hitam.”
“Tapi aku tetap tidak mengerti, Dayana. Di mana letak keterkaitan semuanya?” Aran sempat mencoba menyambungkan perkara mereka, tetapi otaknya tidak juga menemukan jawaban.
Semilir angin berembus pelan, membawa rambut terurai Dayana hingga menutupi sebagian wajahnya. Sepersekian menit keduanya diam tak berkutik, tampang Aran sudah pasti masam sedangkan Dayana hanya mendesah pelan. Gadis itu mengakui kalau keterkaitan masalah mereka memang sangat samar, tetapi benaknya selalu berkata sebaliknya. Dayana seperti mempunyai firasat yang kuat, tentang sesuatu yang belum ia ketahui.
“Aku berbeda dari Elrys lainnya,” ungkap Dayana. Entah apa yang ia pikirkan, dirinya hanya mengikuti arahan yang hatinya katakan.
Aran yang mulanya menunduk lekas mendongak. “Berbeda?”
“Benar. Entah kalian, manusia biasa memercayainya atau tidak ... aku memiliki kekuatan lebih kuat dibandingkan Elrys lainnya. Kelahiranku merupakan tanda perlindungan sekaligus bencana yang akan menimpa Sandyara.”
“Kau sedang tidak mendongeng, kan?”
Dayana mengerling malas, kakinya melangkah mendekati kursi taman lalu mendudukkan tubuhnya di sana, memandang pemuda jangkung bernama Aran yang masih memasang ekspresi masam. “Aku merasa, pria bertudung hitam merupakan salah satu dari bencana yang dimaksud.”
“Terdengar tidak masuk akal,” ungkap Aran pelan. “tapi keberadaan serta kekuatan Elrys selama ini, mungkin termasuk hal tidak masuk akal yang baru kusadari,” lanjutnya seakan telah memahami sesuatu.
Dayana tersenyum simpul. “Jadi, bisakah aku meminjam cincin kepemilikan yang ada padamu? Aku akan mencari tahu siapa pemilik aslinya, dan hal ini akan menjadi rahasia kita.”
Aran belum merespon, hanya sorot mata tajam yang semakin lama kian menatap melembut. Tanpa sadar, tangannya merogoh saku celana untuk mengambil sebuah kotak bludru. Dayana di tempatnya lantas mengerjap cepat, besar harapannya agar Aran segera menyerahkan kotak tersebut kepadanya.
“Aku tidak akan meminjamkannya, tapi ...”
Tapi bersambung :)
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro