Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 4 : One-on-One Talk

“Bagaimana bisa? Bukankah aku sudah memberitahu kalian untuk tutup mulut.”

layar ponsel Dayana menampilkan wajah Haisley beserta Damian, kedua sahabatnya itu tiba-tiba menelepon panggilan video setelah Haisley mengiriminya banyak pesan mengenai Solara dan dirinya. Alhasil Dayana terjebak di salah satu bilik toilet, kendati tidak menemukan tempat sepi setelah mondar-mandir di koridor lantai lima. Menurutnya, pembicaraan mereka cukup rahasia.

Bukan kami, Na, tapi orang kementerian. Berita tentang dirimu langsung menyebar, bahkan sampai ke telinga Ayah kami, itu berarti Ibumu juga tahu,”  balas Damian.

Dayana memejamkan mata, hatinya semakin dongkol jika memang benar orang kementerian yang menyebarluaskan perkara semalam. “Aku pikir mereka tidak akan melakukannya setelah staf keamanan tidak memercayai perkataanku.”

Aku rasa bukan Mr. Maedowbrook, tapi staf lain yang berada di ruangan yang sama denganmu. Kau bilang ada beberapa orang saat sedang diintrogasi, bukan? Rumor mudah menyebar, Na.” Damian kembali menjelaskan.

“Mr. Maedowbrook?” Dayana mengernyit bingung.

Iya, staf keamanan yang semalam mengintrogasimu bernama Julius Maedowbrook. Orangtua kita pasti mengenalnya,” jawab Haisley.

Dayana mendesah lelah. “Ibuku dan Ayah kalian satu pekerjaan, tapi Ayahku ... ataukah Ibuku sudah memberitahu Ayahku tentang masalah ini?”

Si kembar lantas menggeleng. “Untuk Ayahmu, kami tidak tahu, Na. Yang pasti sekarang, di Solara, hampir semua orang membicarakanmu.”

“Kira-kira mereka memercayainya atau tidak?” tanya Dayana merespon ucapan Damian.

Ada yang mengatakan kalau kau hanya mengada-ada, ada juga yang percaya sebab statusmu sebagai seorang Aeleen.” Haisley menyisir rambutnya selepas selesai berbicara.

Dan aku mulai memikirkan 'bencana' yang dimaksud,” sahut Damian, kedua gadis itu lekas berekspresi tegang.

Dayana menggigit bibir, ia mulai merasa panik untuk alasan yang belum jelas. Sesaat mempertanyakan kelahirannya yang di gadang-gadang sebagai 'sosok pelindung'. Semuanya terlalu nyata jika hanya dianggap sebatas kebetulan semata.

Guys, aku menemukan cincin kepemilikan.” Dayana beralih topik begitu teringat kotak bludru yang tersimpan di ransel kuningnya. Tindakannya memang terbilang lancang, tetapi ia terpaksa melakukannya untuk menyelidiki masalah ini lebih jauh.

Haisley dan Damian langsung melotot kaget. “Bagaimana bisa?” Gadis berambut merah semakin mendekat ke kamera.

“Jadi, teman sebangku di kelas pertamaku orang yang menyebalkan ... tapi bukan itu masalah utamanya.” Dayana mengambil kotak bludru tersebut lalu mengeluarkan cincin emas di dalamnya. “saat sebelum kalian menelepon, aku tidak sengaja melihat kotak ini di lacinya, dan ternyata berisi cincin kepemilikan.”

Damian tampak berpikir. “Kau melihat ukiran Elrys dan inisial nama?”

“Tentu saja! Karena itu aku langsung mengetahuinya kalau cincin ini merupakan cincin kepemilikan.”

Tapi milik siapa? Tidak mungkin milik teman sebangkumu, atau mungkin dia bukan manusia biasa?” Haisley membekap mulutnya dramatis.

Dayana mengerling malas. “Dia manusia biasa, warna rambutnya hitam kecoklatan.”

Lalu milik siapa? Apa mungkin bukan milik teman sebangkumu?

“Tapi kotak ini berada di lacinya, Dami--”

Iya aku tahu. Maksudku, kenapa kau tidak tanyakan dulu padanya?

Lekas Dayana menjentikkan jari. “Aku berniat mengajaknya bicara, tapi katanya dia sedang ada rapat organisasi.” Kedua sahabatnya sontak mengangguk paham.

Setelah memperingati si kembar untuk merahasiakan pembahasan cincin kepemilikan yang dirinya temukan, Dayana memutuskan panggilan. Ia beranjak keluar toilet, melangkah santai sambil celingukan mencari keberadaan Aran. Denah pemberian Aran masih tersimpan di rok biru malamnya, kendati malu mengakui kalau Dayana tidak bisa membaca peta.

Sesaat perjalanannya terhenti ketika ponselnya kembali berdering, Dayana menggigit bibir resah setelah mengetahui ibunya-lah yang menelepon. Maaf, batinnya merasa bersalah sebab terpaksa menolak panggilan dari Sarah. Sekarang bukan waktu yang tepat untuk membahas persoalan semalam, dan untungnya mata bulat Dayana sudah menangkap presensi Aran yang baru saja keluar dari sebuah ruangan bertuliskan 'Student Council', seorang diri.

Pemuda berkulit kuning langsat itu sontak terkejut tatkala lengannya ditarik paksa. Semuanya terjadi begitu cepat, bahkan sekarang Aran sudah menempel pada dinding bersama gadis berambut oranye menahan kedua bahunya, dahinya lantas berkerut bingung saat Dayana memandangnya begitu sengit. Celah antara dua bangunan--tempat Dayana dan Aran berdiri, tampak sepi sekaligus sempit, membuat si pemuda mulai merasakan keringat di sekitar pelipisnya.

“Apa yang kau--”

“Kau!” Dayana menunjuk Aran tepat di depan wajahnya, ia harus mendongak karena perbedaan tinggi keduanya yang terpaut lumayan jauh. “Katakan padaku siapa sebenarnya dirimu?”

“Aku? Tentu saja Aran, apa para Elrys memiliki ingatan yang buruk?”

“Kau menghina kami?!”

“Lalu?” Aran menaikkan sebelah alisnya. “kau bisa langsung bicara ke inti tanpa harus banyak drama seperti ini.”

Dayana menelan ludah, sepintas membenarkan kalimat Aran sebelum menggeleng singkat. Jangan terkecoh! batinnya memperingati. Kedua tangan yang mencengkram pundak pemuda itu perlahan terlepas, berganti menahan dada Aran menggunakan lengan kanan yang menyebabkan laki-laki tersebut mendengkus kasar.

“Apa kau kehilangan sesuatu?” Dayana mulai membuka ritsleting ranselnya. “karena aku telah menemukan sesuatu yang seharusnya berada di tempat Elrys, bukan manusia biasa sepertimu,” lanjutnya sembari mengeluarkan kotak bludru.

Tampang tak minat Aran mulai berganti, ketegangan di wajahnya kian kentara. Embusan napas yang mengenai lengan Dayana terasa memberat, bola matanya pun bergerak kesana-kemari seolah menghindari tatapannya. Semakin Aran mengelak, semakin Dayana curiga.

Sang gadis langsung menyeringai. “Kau tahu cincin yang tersimpan di sini merupakan cincin kepemilikan, bukan?”

Diluar dugaan, pemuda berambut hitam kecokelatan ini tersenyum hingga memunculkan dua cekungan di kedua pipinya. Dayana mengerjap heran sekaligus tercengang, pertama kalinya ia melihat Aran tersenyum sejak satu jam lebih mereka bertemu. Termasuk ketidaktahuannya tentang lesung pipi yang laki-laki itu miliki.

“Aku baru tahu kalau ternyata Elrys selancang ini.” Aran mengangkat telunjuknya setelah melihat Dayana ingin membuka suara. “seharusnya kau tahu kotak ini bukan milikmu, tetapi kau malah mengambilnya dengan tidak tahu malu.”

Kening Dayana semakin mengernyit marah, pun angin di sekitar mereka mendadak berembus cukup kencang, sesaat membuat Aran bergidik. “Aku pikir kau yang lancang, Mr. Maven. Coba katakan, bagaimana bisa cincin kepemilikan seorang Elrys ada di tangan manusia biasa sepertimu?”

“Kau yakin cincin ini merupakan cincin kepemilikan?”

“Ada ukiran Elrys dan inisial--”

“Inisial nama pemiliknya. Ya, aku tahu,” potong Aran. “Kenapa kau begitu yakin? Kau pikir pembuat cincin tidak bisa mengukir hal serupa meskipun perhiasan ini bukan cincin kepemilikan.”

“Itu ...” Tenggorokan Dayana terasa tercekat, ia mulai kehabisan kata-kata untuk kembali beradu argumen dengan Aran.

See? Aku rasa kau harus berpikir panjang sebelum bertindak.” Cekatan Aran mengambil kotak bludru dalam genggaman Dayana ketika gadis itu mulai lengah. “Kau benar. Kotak dan cincin di dalamnya merupakan milikku.”

“Kau!” Dayana berusaha mengambil balik kotak tersebut sebelum Aran mendorongnya menjauh.

Lengan Dayana yang sempat menahan Aran telah terlepas, keduanya saling melempar pandang bersamaan Dayana yang berusaha menghalangi jalan. Aran mengerling malas, ia rasa mereka tidak perlu lagi membahas persoalan cincin kendati Dayana tak berpikir demikian. Gadis itu tetap pada keyakinannya kalau cincin yang ia temukan merupakan cincin kepemilikan, dan mungkin saja berkaitan dengan pria bertudung hitam.

“Apa lagi yang kau mau? Apa membuat keributan termasuk rencanamu selama berada di sini?” tanya Aran beruntun.

“Di mana kau membeli cincin itu, dan untuk siapa? Aku tahu lingkaran cincin laki-laki tidak sekecil itu.” Dayana menilik Aran beserta kotak bludru secara bergantian.

Pemuda itu menyugar rambutnya frustasi. “Dengar! Kau termasuk orang asing, jadi bukan urusanmu untuk mengetahui dari mana aku mendapatkan cincin ini--”

“Kau terlihat mencurigakan,” ungkap Dayana memotong perkataan Aran. “Pembuat cincin memang bisa mengukir hal serupa, tetapi untuk apa mereka melakukannya? Kau tahu kekuatan kami bukanlah sesuatu yang bisa dipermainkan.”

Aran membasahi bibir bawahnya, memindai Dayana yang tengah melangkah ke belakang kemudian bersedekap. “Kau tidak perlu tahu!”

“Aku perlu tahu!”

“Kau--”

“Kenapa?”

“Kenapa kau begitu penasaran? Bukankah kau di sini hanya untuk melakukan hukuman karena nilai akademikmu yang hancur--”

“Jangan bahas tentang nilai akademikku!”

“Tapi itu kenyataannya. Dengar! Kita sama-sama seorang murid, dan aku ... ditugaskan Mr. Nicholas untuk membantumu. Jadi fokuslah pada tujuanmu selama berada di Alpha School.”

“Tidak bisa.”

Aran terlihat mengusap keningnya yang semakin berpeluh, berkali-kali ia berupaya meredam emosi kala menghadapi Elrys keras kepala seperti Dayana. Sementara gadis berambut oranye mendesah pelan, ia hanya perlu mengulur waktu untuk bisa mengambil alih kotak bludru yang sekarang tersimpan di kantong celana pemuda itu.

“Terserah! Aku sudah lelah.”

Dengan sigap Dayana menahan Aran yang hendak pergi. “Katakan yang sebenarnya, Aran! Aku tahu kau mengetahui hal lain tentang cincin ini.”

“Menyingkir, Dayana.” Ekspresi Aran kembali datar.

“Maaf, tapi aku tidak akan menyingkir sebelum mendapatkan jawaban yang masuk akal.” Dayana berdehem lalu merentangkan kedua tangannya, berusaha menghalangi Aran.

“Memangnya apa yang akan kau lakukan jika mengetahui cincin ini merupakan cincin kepemilikan?”

Dayana lekas tersenyum. “Aku akan mencari siapa pemiliknya.”

Pemuda di depannya melirik sekilas, entah benar atau tidak, Dayana merasakan sorot mata Aran mulai tertarik dengan kalimatnya barusan. “Kenapa kau tidak mencoba untuk memakainya?”

Kedua alis Dayana menukik. “A-aku tidak bisa memakainya.”

“Kenapa?”

“Karena cincin ini bukan milikku. Jika aku memakainya, pemilik aslinya tidak lagi bisa menggunakannya.”

“Jadi pemiliknya masih hidup?”

“Apa?”

“T-tidak.”

Sangat jelas. Dayana mendengar monolog Aran meskipun pemuda itu sedikit berbisik. Niatan awal ingin kembali bertanya mendadak gagal, bel masuk jam pelajaran kedua berbunyi kencang hingga Dayana kecolongan sebab Aran berhasil hengkang. Meskipun kesal karena harus masuk ke kelas, gadis tersebut masih bisa tersenyum senang lantaran berhasil mengetahui satu fakta. Semakin membuatnya penasaran dan harus mengintrogasi Aran di lain waktu. Namun, getaran saku rok sekolahnya memutuskan Dayana untuk mengambil ponsel yang tersimpan di dalamnya.

Ayah tidak akan membahas tentang kejadian semalam, jadi fokuslah belajar untuk memperbaiki nilai akademikmu. Percayalah Dayana, semuanya akan baik-baik saja.

Dayana amat sangat mengerti maksud dari pesan yang Andreas kirim. Ia mengetahui jika kedua orangtuanya berusaha menjaganya, dan semua orangtua pasti melakukan hal sama. Apalagi ini tentang dirinya, tentang Dayana yang merupakan seorang Aeelen. Seolah sejak lahir Dayana memang sudah mengemban tugas untuk melindungi semua orang, melindungi mereka dari bencana--yang kebenarannya belum terlalu jelas.















Siapa, ya, Aran ini? Bikin kepo Dayana ajaa 🧐

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro