Bab 3 : A Suspicious First Day
Ransel kuning dalam dekapan menjadi pusat fokus Dayana, kendaraan beroda empat ini mulai membawanya menyusuri jalan raya yang dibangun di atas tiang pancang. Wajahnya semakin ditekuk, seolah masih belum rela jika ia telah meninggalkan rumahnya, orang tuanya, para sahabatnya, beserta Solara. Bukan hanya hal itu, Dayana merasa tidak tenang sebab 'pria bertudung hitam' masih terus mengitari isi kepalanya.
Kedua orang tuanya sengaja tidak Dayana beritahu perihal kejadian semalam, terkecuali Haisley dan Damian, itupun Dayana harus mewanti-wanti si kembar agar tetap tutup mulut.
"Ekhem! Pasti sangat sulit meninggalkan teman-temanmu. Tapi, aku bisa jamin kalau murid-murid di Alpha School juga tidak kalah menyenangkan." Mr. Nicholas memulai pembicaraan.
Dayana mendongak, pandangan matanya mulai mematri pria dewasa di sampingnya. Kemeja biru langit dengan tatanan rambut legam yang menutupi seluruh keningnya. Secara fisik, Mr. Nicholas tampak keren dan terlihat masih muda. Mungkin berumur sekitar dua puluh lima tahunan.
"Kau sangat menyukai warna-warna cerah sepertinya?" Mr. Nicholas kembali bersuara.
Dayana yang merasa tidak enak berdehem sejenak, memandang pria bermata teduh itu lalu berujar, "Ya, bisa dibilang begitu. Warna rambutku juga sangat mendukung."
"Aku pernah membaca di salah satu buku tentang warna rambut Elrys, dan tidak menyangka bisa melihat kalian secara dekat seperti ini."
"Aku rasa itu bukan suatu keistimewaan, Mr. Nicholas. Seperti contohnya sahabat laki-lakiku, Damian ... dia kembar dan lahir di bulan Juni, itu berarti bunga lahirnya merupakan bunga mawar. Karena kembar, kakaknya mendapatkan bunga mawar merah, sedangkan dia mawar putih. Hingga sekarang dia masih tidak menyukai rambut putihnya karena terlihat seperti uban," jelas Dayana panjang lebar.
"Dia bisa mewarnainya, bukan?"
"Tidak, tidak boleh! Itu melanggar aturan Elrys."
Mr. Nicholas mengangguk paham, sesaat merasa bersalah karena sudah salah ucap. "Maaf, aku akan mencatatnya di otakku."
Dayana terkekeh, ia mulai berpikir kalau calon gurunya ini merupakan pribadi yang menyenangkan. "Tidak apa-apa, lagi pula wajar jika manusia bisa tidak mengetahuinya. Tapi, aku penasaran, bagaimana pandangan manusia biasa terhadap Elrys?"
Pria di sampingnya mengerutkan kening. "Jika aku pribadi, Elrys itu seperti manusia super--"
"Pfft ... hahaha." Dayana tak tahan untuk tidak tertawa, kalimat Mr. Nicholas barusan sangat menggelitik perutnya.
"Hey, tapi aku serius, Dayana." Melihat air muka Mr. Nicholas, Dayana lantas mengendalikan ekspresi wajahnya.
"M-maaf ..."
Pria itu langsung tersenyum hangat. "Tidak apa-apa, lagi pula wajar jika kau tertawa. Opiniku barusan memang terdengar sedikit aneh."
Sudut bibir Dayana ikut terangkat, merasa bersyukur sebab Mr. Nicholas tidak sekaku yang sempat ia kira. Mungkin saja karena usia guru tersebut masih tergolong muda, dan cendrung memiliki selera humor yang sama.
"Kudengar kau istimewa dibandingkan Elrys lainnya, Mrs. Rosewood?"
Dayana mengerjap. "I-itu ... y-ya, beberapa orang dewasa mengatakan seperti itu."
"Maaf, tapi aku tidak sengaja mendengar orang kementerian berbisik tentangmu."
"Mereka memang suka membicarakan orang di belakang." Rasa kesal Dayana mendadak memuncak. Entah kenapa sekarang saat mendengar tentang kementerian--Dayana sontak mengingat malam ketika dirinya diintrogasi. Ketidakpercayaan para Elrys dewasa itu membuatnya kesal setengah mati.
"Jika perkataan tidak dapat dipercaya, aku akan membuktikannya dengan tindakan!" ujar Dayana tanpa sadar.
"Maaf?" Mr. Nicholas mengernyit bingung.
Gadis berambut oranye gelagapan, ia lantas merutuki mulutnya sendiri karena sudah keceplosan. "T-tidak, Mr. Nicholas. Bukan apa-apa."
Jika saja Mr. Nicholas masih memperhatikannya, mungkin Dayana sudah tenggelam dalam perasaan malu. Ia kembali mengucap syukur karena pria itu tidak menanyakan lebih lanjut tentang monolognya tadi. Merasa tidak ada yang perlu lagi dibicarakan, Dayana menyandarkan kepalanya ke samping kanan, menikmati pemandangan dari balik kaca mobil yang mulai menunjukkan gedung-gedung pencakar langit.
Semakin lama mata Dayana kian memberat, rasa kantuk mulai menyerangnya secara perlahan. Apalagi saat Mr. Nicholas menyalakan musik ber-genre klasik, seolah membawa Dayana untuk menyelami alam mimpi. Cukup lama gadis itu tertidur, lumayan pulas, sampai-sampai mobil yang mereka naiki mulai melewati gerbang besi, Dayana belum juga bangun.
"Dayana, kita sudah sampai."
Tidak terlalu sulit untuk Mr. Nicholas membangunkan Dayana, satu tepukan saja sudah membuat gadis itu tersadar. Sebenernya ada dua alasan, pertama karena posisi tidurnya yang kurang nyaman, kedua karena otaknya tidak benar-benar beristirahat--ada begitu banyak hal yang Dayana pikirkan. Meskipun masih terlihat ogah-ogahan, kedua kakinya tetap melangkah keluar mobil, dan saat itulah binar matanya kembali hadir.
Tugu bertuliskan 'Alpha High School' menjadi objek pertamanya, berlanjut gedung berwarna putih bercampur emas dengan dua pilar di masing-masing sisi pintu masuk, sedangkan di depan gedung tersebut terdapat pancuran tingkat tiga yang di atasnya terpahat patung berbentuk dewa Poseidon, beserta rumput boxwood yang tertanam di sepanjang jalan batu andesit. Dayana tidak berhenti tercengang, semua yang ada di sini terlihat begitu megah dan modern. Suara bising kendaraan juga tak luput dari pendengarannya, karena Alpha School terletak tepat di tengah kota. Berbanding terbalik dengan tempat tinggal sekaligus sekolahnya selama ini.
"Barang-barangmu akan diantar langsung ke kamarmu oleh satpam. Buku juga alat tulis lainnya, kau sudah membawanya, Dayana?" tanya Mr. Nicholas sambil membawa beberapa dokumen fisik, satu diantaranya sempat menarik perhatian Dayana karena terikat oleh tali rami.
"Sudah tersimpan di sini." Dayana menunjukkan ransel kuning yang telah melingkar di punggungnya.
Mr. Nicholas mengangguk. "Baiklah. Kau terlambat setengah jam di mata pelajaran pertama, tapi tidak apa-apa. Aku akan mengantarmu menuju kelas Mrs. Dawson, dia guru Fisika sekaligus penanggung jawab murid di tahun terakhir."
Dayana mengikuti langkah kaki Mr. Nicholas sambil terus mendengarkan. Jika boleh jujur, Dayana ingin sekali pergi ke kamar mandi, setidaknya mengecek kondisi wajahnya agar terbebas dari sisa-sisa air liur. Namun, tindakan Mr. Nicholas yang sangat terburu-buru memutuskan Dayana untuk mengurungkan niatnya.
Dadanya mulai bergemuruh ketika mereka berdua sampai di depan kelas. Ruangan ini cukup luas dengan tiga baris meja beserta kursi yang saling berpasangan. Dayana memindai para manusia biasa di sana yang juga tertuju padanya, seragam sekolah disini berupa almamater berwarna abu, kemeja putih, dasi merah bergaris, dan rok biru malam--seperti miliknya. Secara fisik, Dayana tentu terlihat paling mencolok karena perbedaan seragam sekaligus warna rambutnya.
"Baiklah, anak-anak, kita kedatangan teman baru yang akan belajar di sini selama tiga bulan. Mrs. Rosewood, silahkan duduk di kursi yang masih kosong." Wanita berambut cokelat tua mengarahkan Dayana menuju meja paling belakang.
Sempat membungkukkan badan tanda terima kasih, Dayana lantas bergegas menghampiri kursi yang di maksud Mrs. Dawson. Sepanjang langkahnya, Dayana sedikit risih sebab ada banyak pasang mata seolah mengintainya bahkan saat gadis itu sudah menduduki kursinya. Kening Dayana mulai mengerut saat beberapa dari mereka berbisik satu sama lain. Kendati hidup berdampingan, Elrys dan manusia biasa hampir tidak pernah berinteraksi.
Dayana mendesah, ia sempat meletakkan ranselnya di laci meja sebelum menoleh ke sebelah kiri. Teman sebangku di kelas pertamanya merupakan seorang laki-laki, satu-satunya orang yang sepertinya tidak tertarik akan kedatangannya tadi. Sebenernya tidak ada yang spesial dari pemuda berambut hitam kecokelatan ini, tetapi kelancarannya dalam mengerjakan soal sempat membuat Dayana menganga takjub.
Gadis itu sontak menggelengkan kepala, menyadarkan dirinya untuk beralih membuka buku. Papan tulis di depan sudah memberi contoh beserta soal yang harus dikerjakan. Meskipun kakinya gatal untuk kabur dari ruangan tenang ini, Dayana harus bisa menahan diri. Ia sudah bertekad, merubah kebiasaannya agar hukuman tiga bulannya tidak berakhir sia-sia. Selanja adalah satu-satunya sarana dalam mewujudkan mimpinya untuk menjadi seorang Penjaga.
Namun, Dayana langsung merutuki dirinya sendiri tatkala menyadari pulpennya tertinggal di dalam koper.
"Hey, apa kau mempunyai pulpen lebih?" bisik Dayana pada pemuda di sampingnya.
Sosok itu tampak tak acuh, bahkan tangannya dengan santai membalikkan lembar baru guna melanjutkan kegiatannya. Dayana tercengang, ia mengusap dada sabar karena sempat mengira pemuda ini sedikit tuli.
"Hey, aku lupa membawa pulpen. Jadi bisakah aku meminjam pulpenmu?" ujar Dayana sedikit menaikkan volume suaranya sembari melirik name tag pemuda di sebelahnya. "G-Galen ... Debaran ... Maven."
Dayana mengangguk paham. "Mr. Maven, bisakah aku--"
"Berisik."
Gadis itu mengerjap pelan saat pemuda bernama Galen Debaran Maven memandangnya sinis. "Hey! Pulpenku tertinggal di koper, jadi aku bertanya padamu, apa kau mempunyai pulpen lebih? Jika iya, maka--aww ... t-terima kasih."
Dayana menyengir kuda, ia memperhatikan dusgrip yang baru saja Mr. Maven berikan padanya. Dengan gesit tangan Dayana mengambil salah satu pulpen lalu meletakkan kotak pensil di mejanya tanpa dulu menutupnya. "Terima kasih, Mr. Maven, aku akan--"
"Aran, panggil aku Aran," potongnya cepat. "Istirahat kedua aku akan mengajakmu berkeliling karena Mr. Nicholas yang menyuruhku. Di mohon untuk tidak bertanya, 'kenapa tidak istirahat pertama?' karena aku ada rapat organisasi. Dan jangan lagi mengeluarkan suara sepanjang pelajaran berlangsung."
Dayana menelan ludah, otaknya masih memproses perkataan Aran. Berdehem sejenak, Dayana memutuskan untuk diam, sesaat menduga kalau teman sebangkunya ini sepertinya bukan tipe orang yang mudah berteman.
Setelah meregangkan tangan, Dayana mulai membaca soal yang akan ia kerjakan. Fisika, batinnya sambil menggaruk belakang telinga. Dalam keadaaan hampir pusing, Dayana memberanikan diri untuk melihat sekitar hingga berhenti pada Aran, kepalanya sedikit ia dekatkan--berusaha melihat buku tulis milik teman sebangkunya yang ternyata telah menyadari aksinya. Dayana berupaya mencari alasan ketika Aran kembali menatapnya tajam, tetapi sikutnya tanpa sengaja menyenggol kotak pensil tadi sampai terjatuh hingga menimbulkan suara sangat nyaring.
"Ceroboh," kata Aran menggeleng heran.
Sedangkan Dayana langsung tersenyum canggung saat semua orang mulai memandangnya dengan beragam ekspresi, ia lekas menunduk guna membereskan keteledorannya lalu kembali duduk di atas kursi.
"Aku harap maksud dari kalimat terakhirku sudah sangat jelas." Aran melirik Dayana sekilas.
Gadis berambut oranye hanya mengerucutkan bibir, ia memilih memfokuskan dirinya pada soal-soal yang belum terjawab satupun.
Sepanjang pelajaran, Dayana hanya mampu mengerjakan satu soal di antara lima soal, itupun entah salah ataupun benar. Rasa semangat yang sempat membumbung tinggi seolah sirna termakan waktu. Keningnya menempel pada meja--menunggu kelas ini berakhir, ia sudah tidak sanggup, kepalanya terasa mengepul panas. Sedangkan Aran di sampingnya hanya mengerling tak minat.
"Akhirnya!" Dayana mendesah lega kala suara bel berbunyi kencang. Kepalanya segera menunduk untuk mengambil ransel yang tersimpan di laci meja.
"Peta." Aran meletakkan lipatan kertas dihadapan Dayana. "aku harap kau bisa menggunakannya," lanjutnya kemudian melenggang pergi.
Si gadis menghela napas, mengambil pemberian Aran lalu menyimpannya ke saku rok. "Aku pikir Damian adalah orang paling dingin, ternyata ada yang lebih parah."
Setelah selesai mengeluarkan ranselnya, Dayana tak sengaja melihat sebuah kotak kecil bludru di laci Aran. Tanpa pikir panjang gadis itu lekas mengambilnya, merasa kalau Aran mungkin saja lupa membawanya.
Niatan awal ingin memberikannya pada Aran mendadak urung, Dayana mulai penasaran akan isinya. Jika saja pemuda tersebut mengetahui aksinya, mungkin saja Dayana akan ditetapkan sebagai musuh terbesarnya.
Mengedikkan bahu, Dayana tetap membuka kotak kecil tadi yang ternyata berisi cincin emas. Terdapat pahatan daun melingkar di atasnya yang tampak begitu menawan sekaligus berkilauan. Dayana sempat terlena akan keindahannya sebelum sorot matanya menangkap ukiran kata yang sangat tidak biasa.
'Elrys H'
Dayana terkejut bukan main, tangan kanannya yang bebas tergerak untuk membekap mulutnya sendiri. Memorinya lekas terfokus pada ciri cincin kepemilikan--berupa ukiran Elrys beserta inisial nama pemiliknya. Masalahnya adalah, bagaimana bisa berada di sini, dan milik siapa? Dayana kebingungan sekaligus waspada, apalagi kala pandangan matanya tak sengaja melihat Aran--yang tengah berbincang dengan salah satu siswa, dari balik jendela. Tanpa pikir panjang, gadis itu lekas menempatkan cincin emas tadi ke dalam wadahnya.
"Mencurigakan." Dayana menyipitkan mata, besar hasratnya untuk segera menemui Aran guna menanyakan banyak hal.
Vote-nya jangan lupa❤️🔥
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro