Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 2 : Incidents


Dayana menutup laptopnya, mengambil ponsel dari atas kasur yang sejak tadi tidak berhenti bersuara. Setelah menekan tombol send, Dayana beralih berdiri, menghampiri cermin berbentuk lingkaran yang terletak di atas perapian. Sweater kuning, celana kain berwarna cokelat, tas selempang anyaman yang melingkar di lehernya--beserta kupluk berbahan rajut terpasang di kepala.

“Bu, aku pergi keluar sebentar!”

“Ke mana?”

“Swarys.”

“Dengan siapa?”

Dayana membuang napas sejenak. “Menyusul Haisley dan Damian.”

Sarah berjalan tergopoh-gopoh dari arah dapur sambil membawa panci beserta spon cuci piring, pandangan matanya memindai Dayana dari atas kepala sampai ujung kaki. “Dengar! Besok kau akan pergi, melakukan perjalanan lumayan jauh, dan langsung mengikuti sesi belajar-mengajar--”

“Aku tidak akan kabur, Ibu,” potong Dayana seakan tahu arah pembicaraan ibunya membahas ke mana.

“Baiklah.” Sarah hendak membalikkan badan sebelum kembali melanjutkan, “kopermu?”

“Sudah siap semua.” Dayana menyengir di akhir kalimatnya.

Sedangkan sang ibu malah menilik curiga. “Ibu akan memeriksanya ... pergilah! Jangan pulang terlalu larut.”

Sontak Dayana berjingkrak gembira, ia lekas berlari keluar rumah lalu menyegat transportasi umum yang biasa lewat. Meskipun matahari telah berganti bulan, kota kecil ini masih ramai akan aktivitas para Elrys yang memang memiliki kesibukan, bahkan ayahnya juga kembali berangkat ke rumah kaca tatkala senja tiba.

Swarys--pusat ekonomi dan tempat belanja para Elrys di bagian utara Sandyara. Pasar yang dekat dengan taman kota itu terisi oleh berbagai macam pedagang, mulai dari makanan, minuman, sayur beserta buah-buahan, pakaian, perhiasan, bahkan juga cincin kepemilikan yang masih kosong. Hampir seluruh bangunan di kota kecil ini bergaya Eropa kuno, termasuk Swarys, dan rumah Dayana sendiri. Lampu-lampu antik menyinari jalanan berbatu alam, mengiringi langkahnya yang tengah mencari sepasang Elrys kembar di antara kerumunan orang. Swarys seolah tak kenal waktu, tidak peduli siang ataupun malam, jual-beli tetap terlaksanakan.

“Dayana!”

Si pemilik nama langsung tersenyum kala menemukan sumber suara. Dayana segera menghampiri dua sahabatnya yang sedang duduk di kursi taman dekat pancuran tingkat tiga. Rambut keduanya begitu kontras dengan perbedaan warna yang sangat mencolok.

“Duduklah, kami membelikan satu untukmu,” kata Haisley--gadis berambut merah bergaya layer panjang yang memiliki senyuman seindah bulan sabit, sambil menyerahkan sebungkus kentang goreng pada Dayana.

“Kau terlambat 34 detik, Na.” Kali ini Damian yang bersuara, pemuda berambut putih yang selalu memasang wajah datar hampir sepanjang hari. Jangan lupakan ketelitiannya yang nyaris sempurna itu.

Sontak Dayana berdecak sinis. “Aku sedang mempersiapkan antipati untuk besok pagi, kau tahu?! Menonton beberapa video YouTube tentang 'pandangan manusia biasa terhadap Elrys' tidaklah buruk?”

Haisley menggeleng heran. “Kau pikir manusia biasa memandang kita sebagai apa, Na? Peri bersayap?”

“Tapi memang kita masih keturunan peri,” sahut Damian tiba-tiba.

“Dari mana kau mengetahuinya?”

“Ini.” Damian mengangkat buku bersampul hitam berjudul 'About Elrys and Aeleen'.

“Si pintar Damian.” Dayana melipat kedua tangannya lalu melanjutkan, “Ini Damian mode serius, jadi semua yang keluar dari mulutnya merupakan kebenaran.”

Haisley sedikit berdecak mendengar bisikan Dayana. “Kalau begitu ceritakan pada kami tentang sejarah Elrys.”

“Malas.”

“Ayolah, Dami,” bujuk Haisley menarik-narik lengan kembarannya.

Di sisi lain, Dayana hanya tersenyum sembari memakan kentang goreng. Sudah biasa baginya mendapati pemandangan si kembar tengah berselisih tegang. Namun, meskipun kembar, Haisley dan Damian tidak mirip sama sekali.

“Bagaimana jika menceritakan tentang Aeleen?” Dayana memecah pertikaian sejoli tersebut kemudian duduk bersila di antara keduanya. “Ayo, Dami, ceritakan. Aku ingin mendengar takdirku.”

Damian menelan ludah, sesaat melirik Haisley sebelum kakak beda 6 menitnya itu membuang muka ke arah lain. Suara embusan napas terdengar kasar, Damian sebagai tersangka hanya memutar bola mata tak acuh sambil membuka buku hasil pinjaman dari perpustakaan Solara.

“Aeleen ... atau bisa disebut sebagai 'anak matahari'. Seorang Elrys yang memiliki kemampuan lebih ketimbang Elrys lainnya. Dicirikan berupa, bunga matahari sebagai bunga kelahiran ...”

Warna rambut setiap Elrys menyesuaikan warna bunga sesuai bulan lahir mereka. Accion, acara yang berisi rasa syukur para orangtua Elrys karena telah dikaruniai seorang anak. Dayana ingat betul ketika orangtuanya menceritakan tentang bagaimana daun dari pohon Havida jatuh ke atas tubuhnya, yang kala itu masih berusia bayi 10 hari. Daun tersebut seharusnya berubah menjadi bunga marigold yang melambangkan bulan Oktober.

Namun, yang terjadi malah di luar dugaan semua orang. Bunga matahari, daun tersebut berubah menjadi bunga matahari. Bunga sakral bagi para Elrys karena melambangkan seorang Aeleen. Kala itu para Tetua mulai merasakan kekhawatiran, sebab kelahiran Aeleen terakhir terjadi saat ratusan tahun lalu.

“... Hadirnya seorang Aeleen membawa hal baik dan buruk, karena kelahiran mereka menandakan adanya perlindungan dari bencana yang akan terjadi.”

Dayana merasakan usapan lembut di kedua bahunya, senyuman hangat lekas ia berikan ketika mengetahui aksi Haisley seolah memberinya sedikit ketenangan. “Terkadang aku bingung mengapa diriku menjadi seorang Aeleen, apa yang spesial dariku?”

“Banyak.” Damian menutup buku hitam tadi lalu menyimpannya ke dalam saku hoodie. “Semua kekuatan yang kau miliki hampir ditingkat tinggi--”

“Dan tubuhmu juga sangat kuat, Na,” sahut Haisley memotong perkataan Damian. “Coba katakan, anak perempuan mana yang mampu menghajar laki-laki berbadan tinggi besar di taman sekolah sampai babak belur?”

Dayana langsung tertawa. “Itu karena amarahku sudah di ujung tanduk. Yang jadi pertanyaan adalah, bencana apa yang akan terjadi?”

“Bencana?” beo Haisley.

“Bisa saja bencana yang dimaksud adalah masalahmu saat ini,” ujar Damian membuat Dayana dan Haisley saling pandang. “Hukuman yang kau dapatkan--”

pfft ... ”  Satu-satunya pemuda di sana lantas mengerutkan kening, keheranan mendengar suara tawa kembarannya. “Pendapatmu sangat konyol, Dam.” Sebelah tangan Haisley bergerak ke arah pohon apel dekat mereka duduk, lekas si dahan pohon mendekati gadis tersebut untuk menyerahkan satu buah apel yang sudah matang sempurna.

“Dasar jorok!” Damian memandang jijik saudaranya yang sedang memakan buah apel tanpa dulu mencucinya, sedangkan Haisley hanya mengedikkan bahunya santai.

“Entahlah, sekarang tugasku hanya perlu memperbaiki nilai akademikku.”

“Wow, wow, apakah Dayana yang pintar akan segera hadir?”

“Haisley, fokusku sekarang adalah, bagaimana cara untuk memasuki Selanja, dan hukuman ini satu-satunya cara.”

“Benar,” sahut Damian tiba-tiba, tangan kanannya tergerak untuk mengendalikan air pancur lalu mengarahkannya ke wajah Haisley.

“Damian!”

Sang tersangka langsung tertawa, kedua matanya menyipit seperti bentuk bulan sabit. Jika seperti ini, Damian terlihat seperti Haisley versi rambut pendek. “Lebih baik memakan buah dalam kondisi sudah dicuci.”

“Kau tidak hanya mencuci apelku, tapi juga wajahku!” pekik Haisley, wajahnya memberengut kesal.

“Na, di mana cincinmu?” tanya Damian mengambil alih perhatian Dayana.

Haisley yang mulanya dongkol pun kini ikut menyorot jari tengah Dayana yang tampak kosong. “Kau melepasnya?”

“Selama masa hukuman aku tidak boleh menggunakan kekuatanku jadi ... Ibu menyimpan cincinnya.” Semua orang--terkecuali Dayana, membelalak kaget.

“Ya ampun, Na, ternyata hukumannya seberat ini. Mungkin perkataan Damian benar, kalau bencana yang dimaksud adalah hukumanmu sendiri. Tapi, tetap saja! Menyita cincin kepemilikan Elrys' merupakan hal tidak etis! Jika aku menjadi dirimu, mungkin aku sudah frustasi!”

Dayana memejamkan mata, mendengar rentetan kalimat dari mulut sahabatnya. Dayana tahu Haisley memang seberisik itu, tetapi ia tak menyangka jika sampai se-lebay ini. Jangan tanya kondisi Damian, ekspresi pemuda tersebut seperti ingin muntah.

“Tapi, Na! Bukankah cincinmu yang sebenarnya berada di kantor kementerian?” tanya Haisley mulai beralih topik.

Kening Dayana mengerut bingung. “Maksudmu cincin Almais?”

“Iya benar--

“Itu cincin milik Aeleen pertama di Oseania!” sahut Damian mengoreksi kalimat Haisley.

“Tapi, Dayana juga seorang Aeleen--

“Tidak begitu, Na,” potong Dayana tidak habis pikir.

“Kau lihat, Na, betapa bodohnya dia,” ujar Damian sambil menggaruk pangkal hidung.

“Kasar sekali, Bocah, ini!” balas Haisley sewot. “Maksudku adalah, Dayana juga seorang Aeleen, mungkin saja bisa mengetahui letak cincin Almais,” lanjutnya kemudian bersedekap.

“Tentu saja di kantor kementerian.” Dayana memandang dua sahabatnya bergantian.

“Cincin Almais merupakan cincin kepemilikan terkuat se-Oseania, dan benar, letaknya di kantor kementerian, tapi ... ” Damian sedikit memelankan suaranya lalu melanjutkan, “berada di lorong tersembunyi yang terletak di gedung sebelah kiri.”

Sontak Dayana dan Haisley mengangguk paham.

Sepersekian menit kekosongan mengisi ketiganya, menikmati suara gemercik air pancur yang mengalun lembut seperti musik pengantar tidur. Namun, anak kembar di samping kanan-kirinya segera beranjak ketika menemukan pedagang gula kapas yang kebetulan lewat. Dayana hanya diam, ia lebih memilih untuk tertawa tatkala dua sahabatnya itu mengantri bersama anak-anak kecil.

Saat gadis berambut oranye itu mencoba mengeratkan pelukan pada tubuhnya sendiri, arah matanya tak sengaja melihat sosok bertudung hitam, berjalan mengendap-endap ke arah belakang kantor kementerian. Reflek tubuhnya beralih berdiri, terus memperhatikan sosok yang sepertinya seorang laki-laki. Karena penasaran bercampur khawatir, Dayana nekat mengambil langkah untuk membututi pria tersebut.

Taman pusat kota dan kantor kementerian letaknya berseberangan, sebelah kanan bangunan berlantai satu itu ditumbuhi banyak pohon cemara, yang ketika malam tidak ada satupun penerangan. Dayana mengeluarkan ponselnya untuk menghidupkan mode senter, menyinari sekitar seraya berjalan begitu pelan, mengikuti jejak sosok bertudung tadi. Tempat ini sepi, sayup-sayup hanya terdengar riuhnya orang-orang di Swarys. Jika boleh jujur, jantung Dayana mulai berdetak tidak karuan, keringat sebesar biji jagung pun turut membasahi area keningnya. Semakin ia berjalan, mendekati tembok tinggi yang membentang lebar, Dayana celingukan, ia tidak melihat siapapun di sini.

Debaran jantungnya semakin menggila tatkala mendengar suara tapak kaki. Dayana menelan ludah susah payah, dan dengan sigap mematikan senter ponselnya agar tidak menimbulkan kecurigaan. Kepalanya menoleh ke segala arah seraya memasang kuda-kuda, takut jika ada serangan mendadak. Dalam kekalutan, Dayana masih bingung memikirkan, ke mana perginya sosok bertudung tadi?

“Apa yang kau lakukan di sini, Nak?”

Dayana hampir berteriak jika saja ia tidak reflek membekap mulutnya sendiri. Helaan napasnya terdengar lega setelah mengetahui siapa yang barusan bersuara--pria dewasa berseragam security. Dayana baru saja hendak membuka mulutnya untuk melaporkan kejadian 'pria bertudung hitam', sebelum pria berbadan kekar itu membawanya masuk ke kantor kementerian untuk diintrogasi.

Bangunan besar nan megah yang biasanya hanya bisa Dayana lihat dari jarak jauh, kini tak disangka-sangka ia bisa masuk ke dalamnya. Sayang, bukan dalam maksud baik, batin Dayana menduga begitu. Lantai berkeramik granit, dinding ber-cat putih, serta ornamen-ornamen berwarna emas mengiringi langkah Dayana selama berada di lorong ini. Hingga dirinya diarahkan untuk memasuki sebuah ruangan minimalis, dan saat itulah Dayana merasa seperti tersangka.

“Dayana Rosewood, siswi tahun terakhir Solara, benar?”

Dayana hanya mengangguk, ia berasa dikuliti hidup-hidup saat semua orang menatapnya penuh curiga. Namun, satu pria berambut hitam sempat mengambil alih perhatiannya, Dayana sempat menduga kalau laki-laki dewasa itu merupakan manusia biasa.

“Kudengar, besok kau harus pergi ke Alpha High School untuk menjalani hukuman?”

“Benar.”

“Ternyata kau lumayan bermasalah, ya?”

“Maaf?” Dayana memandang pria berkemeja hitam di depannya dengan tatapan tidak suka.

“Jadi, kenapa kau berada di sekitaran kantor kementerian?”

Meskipun sudah dongkol, Dayana tetap harus menjelaskan. Masalah ini akan menjadi besar, apalagi jika menyangkut 'benda keramat' yang tersimpan di bangunan ini. Entahlah, Dayana mulai gelisah mengenai keberadaan cincin Almais.

“Aku melihat pria dewasa, tinggi, bertudung hitam, dan berjalan mengendap-endap di sekitar area tadi,” jelas Dayana sembari menatap semua orang, berharap para Elrys ini memercayai perkataannya.

“Kau yakin?”

“Sangat yakin.”

“Tapi, kami tidak menemukan siapapun selain dirimu di area yang kau sebutkan, Nak.”

“Tuan, aku benar-benar melihatnya! Pria bertudung itu terlihat sangat mencurigakan! Mungkin saja dia berhasil masuk, karena itu para security tidak menemukannya.”

Pria berkemeja hitam yang merupakan staf keamanan itu tertawa, bahkan beberapa orang di ruangan ini juga melakukan hal sama. “Nak, saranku jangan terlalu sering menonton film action, jelas-jelas kami tidak menemukan siapapun selain dirimu.”

“Tapi, Tuan--”

“Pulanglah ... mungkin kau tadi hanya salah lihat. Lagipula semua yang ditugaskan di sini sudah sangat berpengalaman, jadi tidak mungkin bila kami kecolongan.”

“Jika memang berpengalaman, mengapa tidak ada satupun orang yang melihat pria yang kumaksud?” Pria dihadapannya sedikit terkejut setelah mendengar perkataan Dayana yang cukup berani.

“Dengar, Nak! Pergilah sebelum masalah ini semakin melebar!”

Dayana tidak mempunyai kesempatan untuk kembali menjelaskan, karena kini dirinya sudah diantar keluar ruangan bersama seorang manusia biasa yang ia ketahui bernama Mr. Nicholas--salah satu guru dari Alpha High School yang ditugaskan untuk menjemputnya. Satu hal yang Dayana tangkap sebelum benar-benar meninggalkan ruangan ini adalah, semua Elrys di sana mulai berkumpul dan berbisik tentang dirinya yang merupakan seorang Aeleen.













Bukan bisik-bisik tetangga, tapi bisik-bisik Elrys 🤫

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro