Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 10 : Ring Inauguration Event


Untuk kesekian kalinya, Aran menelan ludah. Sorot matanya mematri ke seluruh penjuru ruangan, menghindari tatap muka pria berambut putih yang masih memperhatikannya sedari tadi. Kemarin, setelah ia dan Dayana sampai di rumah gadis tersebut, lalu mempersilahkan Aran tinggal di rumahnya, eksistensi kedua orang tua Dayana belum sempat Aran temui sebab masih memiliki keperluan di kantor kementerian. Ia lebih dulu merapihkan ransel bawaannya di kamar yang telah Dayana sediakan, membersihkan diri, kemudian tertidur sampai pukul sebelas siang. Di jam itu, tentu Andreas dan Sarah sudah berangkat bekerja, menunda kembali sapaan sopan Aran yang sudah ia persiapkan.

Bisa disimpulkan, kalau sekarang menjadi waktu yang pas setelah semalaman penuh Aran menumpang tidur di rumah ini. Namun, air muka Andreas yang tampak mengintimidasi membuat Aran berkeringat dingin, kendati ia malu mengakui. Dalam hati Aran selalu menyebut nama Dayana untuk cepat-cepat turun ke ruang tamu, setidaknya kehadiran orang ketiga bisa meminimalisir suasana tegang yang tak kunjung mereda.

“Bagaimana Dayana di sekolah?”

Saking terkejutnya Aran sampai tersedak air liurnya sendiri. Andreas jelas kebingungan, ia hanya bertanya, pikirnya. Tidak juga menjawab karena masih sibuk terbatuk, Andreas akhirnya beranjak ke arah dapur untuk mengambil segelas air putih.

“Wajahmu merah sekali, apa kau sakit, Nak?”

“Dia ketakutan karena kau terus menatapnya tajam, Andreas,” sahut Sarah sambil menggeleng, ia menuruni tangga bersama Dayana di belakangnya.

“Benarkah? Kau takut terhadap wajahku?” tanya Andreas pada Aran, sedangkan Dayana dan Sarah menepuk kening mereka masing-masing.

“T-tidak, Tuan, aku hanya ... ” Aran menjeda kata-katanya, jujur saja ia kebingungan. “A-aku hanya ... tercengang melihat Elrys secara langsung. Ya, benar, tercengang!” lanjutnya seraya memaksakan senyum.

“Ahh, begitu rupanya.” Andreas mengangguk singkat. “Jangan salah paham, aku tadi memperhatikanmu sedang menilai pemuda yang diajak Putriku menginap di rumah ini.”

Dayana melotot. “Ayah, dia hanya temanku!”

“Memangnya Ayah tadi menyebut dia apa? Eyy, kau salah mengira, Na.”

Andreas dan Sarah tertawa, menimbulkan gelenyar aneh yang sebelumnya belum pernah Dayana alami. Ia lalu beralih kepada Aran, merasakan kecanggungan yang pasti juga pemuda itu rasakan. Ayah tidak berpikir aku dan Aran berpacaran, bukan? batin Dayana menerka-nerka.

Menit setelahnya, Sarah langsung mengajak mereka semua memasuki mobil untuk pergi ke acara Peresmian Cincin di pohon Havida. Dayana memakai jaket leather berwarna cokelat terang yang dipadukan dengan celana jeans hitam. Rambut oranyenya dikucir bersama kepangan-kepangan kecil yang diikat menjadi satu, hasil tangan sang ibu. Sedangkan Aran mengenakan kemeja hitam lengan panjang yang digulung hingga siku.

Selama perjalanan, Aran hanya memfokuskan penglihatannya ke luar jendela. Memandang baskara yang hendak undur diri karena langit akan berganti malam. Pemuda itu memikirkan banyak hal, termasuk rencana mereka di beberapa jam ke depan.

“Perkataan Ayahku tadi, tolong jangan terlalu dipikirkan.”

Aran menoleh, melirik Dayana sekilas sebelum beralih ke dua orang dewasa di kursi depan yang tengah asik mengobrol. “Aku mengerti bagaimana perasaan seorang Ayah yang memiliki anak perempuan satu-satunya.”

“Aku hanya tidak ingin kau terganggu dengan prasangka aneh Ayahku.”

“Mr. Rosewood hanya khawatir, Na. Aku bisa mengerti.”

“Tiba-tiba saja aku mengingat salah satu peraturan di lingkungan manusia biasa, kau mengetahuinya?”

“Dilarang berpacaran?”

“Benar, Marley pernah menceritakannya padaku.” Dayana menjeda sebentar kalimatnya lalu melanjutkan, “Apa masa itu sangat parah? Sampai menteri kalian membuat peraturan ini.”

Aran menyandarkan tubuhnya pada kursi mobil. “Yang aku tahu, hal ini tidak hanya melibatkan manusia biasa saja.” Suaranya terdengar mengecil, menghalau orang lain selain Dayana untuk mendengarnya. Kendati musik yang dinyalakan lumayan kencang, mereka berdua tetap harus bersikap waspada.

“Maksudmu?”

“Elrys. Kau pernah mendengar tentang anak berdarah campuran?”

“Berdarah campuran, maksudmu manusia biasa dan Elrys?” Aran mengangguk. “Ada kelompok kecil di kota ini yang memang berdarah campuran, tapi mereka tidak bisa hidup selayaknya Elrys pada umumnya.”

“Karena kekuatan yang mereka miliki terlalu lemah.”

Dayana melotot. “Kau mengetahuinya?!”

“Pamanku pernah menceritakan hal ini.”

Dayana menjilat bibirnya yang terasa kering, lambat-laun kecuriganya terhadap paman pemuda ini semakin bertambah. “Seberapa banyak yang Pamanmu ketahui tentang Elrys?”

“Hanya itu.” Aran mengeluarkan ponsel dari saku celana, membuka galeri untuk mencari foto cincin kepemilikan. “Kau pasti mencurigai Pamanku, benar?”

Dayana menelan ludah. “I-itu ... a-aku pikir siapapun yang berada di posisiku pasti akan berprasangka sama.”

“Ya, kau tidak salah,” sahut Aran tersenyum getir.

Muda-mudi itu tidak lagi melanjutkan, membuat alunan lagu bergenre pop milik Westlife mengiringi sisa-sisa perjalanan mereka. Waktu yang ditempuh tak terlalu lama, bahkan kini Dayana dapat melihat bangunan bercat putih yang merangkap sebagai klinik tempat ibunya bekerja. Gerbang besi yang dihiasi tanaman merambat sudah mereka lewati, riuh sorak sorai pun mulai terdengar, tanda beberapa orang memang telah berdatangan. Setelah Andreas memarkirkan kendaraannya, mereka berempat sontak turun dari mobil.

Aran langsung tercengang oleh pemandangan yang ada dihadapannya. Lapangan rumput membentang luas bersama danau kecil lengkap dengan jembatan kayu di atasnya. Di seberang sana, Aran bisa melihat sebuah pohon beringin besar yang diapit panggung serta beberapa stan penjual makanan, ia menduga kalau pohon yang dihiasi lentera tersebut merupakan pohon Havida.

Keduanya tiba di ujung jembatan, melangkah di jalanan berbatu alam menuju pohon Havida berada. Berjarak semakin dekat, Aran bisa melihat banyaknya kunang-kunang yang mengelilingi tumbuhan tersebut. Berulang kali mulutnya berdecak kagum akibat keindahan sekitar yang benar-benar memanjakan mata. Namun, keningnya mendadak mengerut heran selepas mendapati presensi dua orang yang ia kenali, sontak Aran menoleh pada Dayana yang terlihat sibuk dengan ponselnya. Sedangkan kedua orang tua gadis itu lebih dulu berjalan mendekati kursi penonton--yang terletak di depan panggung.

“Kepala sekolah Alpha School dan Mr. Nicholas juga ikut datang,” ungkap Aran sambil menyenggol lengan Dayana.

Fokus gadis berambut oranye langsung terpecah, ia mencari keberadaan dua sosok penting yang disebutkan Aran barusan. “Sepertinya acara Peresmian Cincin tahun ini sangat spesial.”

“Apa sebelumnya tidak ada manusia biasa yang hadir?”

“Dua tahun lalu kami sempat menerima tamu, pemilik hotel terkenal di Ovlian. Lagi pula tidak setiap tahun kami kedatangan turis, aku pikir manusia biasa tidak begitu tertarik dengan acara ini.”

“Tidak, sampai mereka benar-benar datang ke tempat ini.” Aran memasukkan kedua tangannya ke saku celana.

Dayana tersenyum singkat. “Dengar, Aran! Acara ini termasuk sakral bagi kami, para Elrys. Karena itu tidak ada yang boleh mengambil foto ataupun video.”

“Aku tipe orang yang tidak terlalu mementingkan formalitas, tenang saja.”

“Ya-ya, lebih baik kita menemui Haisley dan Damian sekarang!”

Aran hanya pasrah ketika Dayana menarik tangannya menuju ke belakang panggung. Beberapa Elrys sempat memperhatikan Aran, membuat pemuda itu akhirnya tersenyum ramah sebagai tanda sopan.

Sampai, Dayana lantas celingukan mencari keberadaan dua sahabatnya. Hingga tak lama kemudian, seruan Haisley terdengar di dekat meja rias paling belakang. Gadis bersurai merah itu sudah memakai kostum tari berupa busana berbahan sutra--dengan warna gradasi putih dan biru, terdapat bordiran tumbuhan merambat berwarna emas di bagian rok, ujung lengan, serta dada sebelah kiri. Rambut panjangnya digelung begitu rapih dan dihiasi bunga gypsophila, ditambah polesan make up tipis semakin mempercantik penampilannya. Damian di sampingnya juga tak kalah menarik, pakaian serba putih telah melekat di tubuhnya, termasuk kain berbahan katun bercorak abstrak mengikat kepalanya.

“Ya ampun, aku sangat merindukanmu, Na!” Haisley memeluk Dayana erat.

“Dan sepertinya kau sudah mendapatkan teman baru.” Damian yang membawa alat musik bernama Dase bersuara. Sekilas Aran teringat gitar di kamarnya sebab bentuknya hampir sama, tetapi yang ini tampak lebih lonjong dan panjang.

Dayana tersenyum miring. “Baiklah sahabat-sahabatku, perkenalkan.” Tangannya menarik Aran untuk mendekat. “Dia Aran, anggota baru tim kita, sekaligus ... pemilik kartu as.”

“Hai ...” sapa Aran sedikit canggung.

Damian hanya memperhatikan, sedangkan Haisley lekas menjabat telapak tangan Aran lalu berujar, “Halo, Aran! Aku Haisley, pertama kalinya aku bertemu manusia biasa dengan jarak sedekat ini! Wahh, hidung kalian ternyata lebih mancung, dan memiliki rahang yang--”

Haisley mengatupkan mulutnya kala sang kembaran mengarahkan tanaman rambat dekat meja rias untuk mengikat kaki kanannya. Wajahnya berubah masam, berulang kali ia menggerakkan kakinya agar terlepas, tetapi Damian masih juga menahannya. “Apa maumu, Dami?!”

“Berhenti mengoceh! Sikap agresifmu membuat orang lain tidak nyaman.”

Lekas Haisley menatap Aran. “Apa benar aku membuatmu tidak nyaman?” tanyanya khawatir.

“Emm, aku hanya ...”

“Jujur saja, Haisley memang menyebalkan,” kata Damian sedikit berbisik. Aran ditempatnya jelas kebingungan harus merespon apa, lain halnya Dayana yang hanya terkekeh geli.

“Si kembar memang seperti ini, selalu bertengkar setiap detik,” ungkap Dayana menjawab kebingungan Aran.

“Sepertinya kita langsung ke inti saja.” Damian mengganti topik, mempersingkat waktu.

“Baiklah.” Dayana memandang sekitar, memastikan keadaan supaya tidak ada siapapun yang menguping. Di rasa sudah aman, sorot matanya menatap satu-persatu teman-temannya. “Sesuai rencana, kita akan berkumpul di tempat parkir setelah acara inti selesai, lalu menaiki transportasi umum menuju kedai penjual kentang goreng dekat sekolah. Kita tidak langsung berhenti di depan gerbang Solara ... tentu supaya tidak menimbulkan kecurigaan. Selanjutnya, kita akan menyelinap melalui jalan rahasia hingga sampai di perpustakaan.”

“Oke, jadi semuanya sudah jelas.” Haisley merangkul pundak Dayana.

“Ya, dan sepertinya aku dan Haisley harus segera bersiap,” ucap Damian setelah mendengar suara mikrofon di atas panggung.

Sesudah saling menyemangati satu sama lain, Dayana dan Aran bergegas menuju kursi penonton di barisan ketiga. Mrs. Gracewell yang bertugas sebagai pembawa acara memulai sambutan pembuka. Berbagai pertunjukan pun mulai ditampilkan, berawal dari atraksi para Penjaga yang mengendalikan air menjadi berbagai bentuk bunga, teater yang menceritakan tentang Aeleen pertama di benua Oseania, kemudian yang ditunggu-tunggu pun akhirnya mendapatkan giliran, tarian Marua.

Damian yang bertugas memainkan alat musik Dase mulai mengambil peran, disusul suara suling kemudian Lazar--alat musik pukul berbentuk lingkaran yang terbuat dari kayu dan kulit sapi yang sudah dikeringkan. Musik pengiring telah bergema, para penari langsung menaiki panggung membentuk satu baris memanjang.

“Apa kau tahu alasan kenapa penari Marua berjumlah empat orang?”

Aran melirik Dayana sekilas. “Tidak, memang apa alasannya?”

Dayana menjentikkan jari. “Berjumlah empat karena melambangkan elemen dasar bumi yaitu, tanah, air, api, dan udara. Masing-masing dari penari itu akan mengendalikan satu elemen sesuai giliran.”

Saat Aran kembali beralih ke atas panggung, salah satu penari berambut ungu berpindah posisi paling depan, kedua tangannya terangkat pada pot berisi tanah yang memang sudah disediakan. Sinar berwarna ungu mengelilingi gerakan tangannya yang gemulai, menumbuhkan tumbuhan dalam pot tersebut yang ternyata berisi biji bunga matahari. Sesuai perkataan Dayana tadi, para penari menggunakan kekuatan mereka untuk satu elemen, begitupun Haisley yang mendapatkan giliran mengendalikan air. Gadis berambut merah itu mengangkat sebagian air dari dalam baskom, lalu mengendalikannya guna membentuk berbagai pola yang begitu indah.

Semua orang terpana, termasuk Dayana dan Aran. Suara riuh tepuk tangan terdengar setelah keempat gadis itu menyelesaikan tarian mereka. Di tempatnya, Dayana lantas celingukan, ia harus segera bersiap-siap sebab tarian Marua menjadi pertunjukan terakhir sebelum acara inti dimulai. Para Elrys yang akan mendapatkan cincin kepemilikan langsung didampingi oleh beberapa Tetua menuju pohon Havida, pun dengan semua orang yang mengikuti dari belakang, menjadi waktu yang tepat untuk Dayana menganjak Aran pergi ke parkiran.

“Kita tidak menunggu Haisley dan Damian?” tanya Aran mencegah langkah Dayana.

“Mereka akan menyusul, selagi semua orang fokus pada inti acara, kita harus cepat-cepat pergi ke parkiran.”

Dayana segera menarik lengan kemeja Aran, membawa pemuda itu menyebrangi jembatan seraya menghidupkan ponselnya guna menelepon Damian. Tanpa keduanya tahu, kalau sejak tadi ada sepasang mata memperhatikan mereka dari salah satu kursi penonton.




Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro