Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

3. Titik Temu

"Sudah makan?" Candra yang merupakan Ayah Rai bertanya saat merasakan kehadiran Rai di belakangnya.

Rai yang baru saja pulang dari acara festival di sekolahnya pun berhenti sejenak. Menatap Candra yang tengah menonton televisi. "Sudah," jawabnya.

Candra mematikan televisi, lantas berjalan ke arah meja makan. Mengeluarkan beberapa kotak makanan dari kantong plastik yang sudah lebih dulu ada di sana. Rai melirik jam dinding. Jam 9 malam. Ayahnya pulang lebih awal dari biasanya. Bahkan lebih dulu dibanding dirinya.

"Kamu memang tidak pintar berbohong," Candra melirik Rai sekilas, "... persis seperti Ibumu."

Rai terhenyak. Kemudiam meletakkan tasnya di sofa, "Aku mau cuci tangan dulu."

Candra melirik tas Rai yang baru saja ditaruhnya. Fokusnya tertuju pada bagian pangkal tas ransel anaknya. Pegangannya sudah robek, mungkin tinggal menunggu hari sampai pegangan tas itu putus dengan sendirinya. Bahkan untuk hal sekecil itu pun anaknya tetap tak memberitahunya. Dia pun akhirnya menarik kursi di meja makan, dan menyiapkan makanannya. Tak lama kemudian Rai muncul dengan kaos hitam dan celana tidurnya. Keheningan masih menyergap keduanya.

"Gimana sekolahnya?" Pertanyaan Candra itulah yang mengawali perbincangan makan malam kali ini.

"Ayah sudah lihat penampilanmu tadi kewat channel youtube sekolah." Karena tak ada jawaban Candra kembali menambahkan.

Rai yang masih mengaduk nasinya pun berhenti. Mendongak untuk menatap Ayahnya. Namun, Rai tak mendapati tatapan Ayahnya yang mengarah padanya. Pun, Candra yang melakukan hal yang sama seperti Rai dengan pandangan yang masih menunduk.

"Apa Ayah marah?" tanya Rai penasaran.

Kali ini pertanyaan Rai berhasil membuat Ayahnya mendongak untuk bersitatap dengannya. Membiarkan makanan yang sudah disendok tergantung begitu saja di tangannya. Sekali lagi, Rai memerhatikan wajah Ayahnya lamat. Kerutan kecil di wajah Ayahnya semakin kentara.

"Ibumu dulu juga suka musik," Candra kembali menunduk seraya menghembuskan napas berat, "dia juga merupakan sebuah vokalis band di klub musik SMA."

Mendengar itu Rai meletakkan sendoknya di pring. Kemudian menegakkan tubuhnya. Rai memang merindukan Ibunya, tapi ia enggan untuk mendengar cerita Ibu dari mulut Ayahnya sekarang ini. "Kenapa Ayah menceritakan tentang Ibu? Apa Ayah ingin aku menemuinya?"

"Tidak," sergah Candra dengan cepat, "...jangan sekarang," imbuhnya.

"Kalau Ayah enggak mau aku bertemu Ibu, setidaknya biarkan aku bernapas dengan tenang tanpa cerita apapun yang berhubungan dengan Ibu" Rai beranjak dari duduknya, tanpa menyentuh makanannya sedikit pun.

"Aku sudah lelah dengan semua ini, Ayah." Rai kembali bergumam pelan.

Candra masih bergeming di tempatnya. Kini, ia bahkan sama sekali tak mampu menatap kepergian anaknya. Candra mendongak hanya untuk mendapati sebuah foto keluarganya yang terpajang rapi di dinding. Foto yang terdiri dari empat orang itu tanpa sadar membuat sudut bibirnya terangkat, lantas kembali ke asalnya ketika dia menyadari bahwa dia tak pantas untuk tersenyum saat ini.

Masih jelas dalam ingatannya hari-hari dimana keluarganya menjalani kehidupan normal seperti manusia pada umumnya. Sebelum kejadian itu merenggut kebahagiaan mereka satu persatu. Candra bangkit dari tempatnya seraya membawa makanan yang sudah dibukanya ke dalam kulkas. Nafsu makannya hilang sudah. Dia meraih foto keluarga itu untuk mengambil secarik kertas di belakang foto. Lembaran surat kabar tentang kasus bunuh diri 7 tahun lalu. Dadanya kembali sesak sampai rasanya menangis pun tak cukup mampu untuk menggambarkan perihnya.

Kejadian 7 tahun lalu benar-benar mengubah keluarganya.

-oOo-

Sejak malam itu, tak ada perubahan yang terjadi secara drastis. Rutinitas Rai masih seperti biasanya. Makan malam mereka juga masih tenang seperti sebelum-sebelumnya. Candra membelikannya tas baru, dan Rai hanya membalasnya singkat dengan ucapan terimakasih.

Hari-hari terus berlalu, dan dalam untaian hari-hari itu pula Rai kembali memikirkan tawaran Faheel serta ucapan Ayahnya. Ibunya menyukai musik. Jika dirinya mengikuti klub musik Faheel apakah ada kemungkinan Ibunya akan memandangnya? Setidaknya untuk satu kali, satu kali pun sangat cukup untuk Rai merasakan kasih sayang dan kebanggaan Ibunya. Saat tengah berpikir seperti itu, Rai melihat bayang sosok tinggi yang tak asing baginya. Mereka berpasan. Sosok tinggi itu adalah teman yang biasanya pergi bersama Faheel. Namun kali ini dia sendirian.

"Kak!" panggil Rai. Ketika sosok tinggi yang merupakan Zafran itu berhenti. Rai baru menyadari bahwa penampilannya hari ini sangat lusuh, berbanding terbalik dengan terakhir kali mereka bertemu.

"Rai?" Zafran terlihat tersenyum kelabakan. "Kenapa?" tanyanya.

"Ah, gue cuma mau tanya apa kakak punya nomor telpon Kak Faheel?"

"Punya. Kenapa?" Zafran yang semula bingung karena Rai tiba-tiba meanyakan nomor telpon Faheel lantas tersadar sesuatu. "Ohoooo, lo mau join klub musiknya, ya?" tanyanya penuh semangat.

"Bakal gue pertimbangin lagi kalau udah dapet nomornya," balas Rai.

Zafran tersenyum bangga. Tanpa berbasa-basi lagi, ia memberikan nomor telepon Faheel kepada Rai.

"Terimakasih" Rai mengatakan itu sambil berlalu. Namun, sebelum benar-benar pergi Rai kembali teringat sesuatu. Lantas berbalik.

"Apa kakak perlu ke UKS?" tanyanya.

Zafran kembali menoleh. "Aku?" dia tersenyum. "Nggak, nggak perlu." Kemudian pergi meninggalkan Rai.

Rai masih terdiam di tempatnya. Dia merasa ada yang aneh dengan kakak kelasnya itu. Akan tetapi sedetik kemudian Rai menepis prasangkanya. Lagi pula itu bukanlah urusannya.

-oOo-

Hari mulai gelap saat Rai masih bimbang dengan keputusannya. Dia sudah berulang kali mengetik dan menghapus pesan yang akan dia kirimkan kepada Faheel. Sampai semua itu berakhir dengan dirinya yang tak sengaja mengirim pesan yang langsung dibaca oleh Faheel. Begitu pesan itu dibaca Faheel langsung menelponnya. Rai yang kelabakan spontan mematikan panggilan tersebut. Sampai sebuah pop up pesan dari Faheel muncul. Memintanya untuk bertemu besok di gudang belakang sekolah. Tanpa membalas ataupun membuka pesan tersebut, Rai meletakkan ponselnya. Kemudian merebahkan badannya.

Rai kembali bangkit saat merasa ada yang mengganjal punggungnya. Ah, itu gantungan kunci berbentuk rubah yang lepas dari tasnya. Dia lantas memungutnya. Gantuntan kunci itu masih ada dalam genggamannya. Gantungan kunci milik kakaknya dulu yang merupakan hadiah ulang tahun dari dirinya sendiri. Sepersekian detik fokus Rai berpindah pada cincin perak di jemarinya. Menatap bergantian dua benda penting itu, sebelum menghela napas panjang.

"Apakah kakak sudah bahagia?" Rai tahu pertanyaannya ini tak akan pernah didengar oleh siapapun, termasuk kakaknya. Dia memejamkan matanya. Lelap.

-oOo-

Ada 3 orang di gedung kosong belakang sekolah yang sudah menunggunya. Sebenarnya Rai cukup terkejut dengan alat musik lengkap yang sudah lebih dulu ada di sana. Keterkejutannya bertambah karena ia mendapati Ishan juga merupakan salah satu yang tiba di sana. Namun, meski ia terkejut, ia tetap tak menunjukkan perbedaan raut wajah yang jelas.

"Ohooo!!! Vokalis band kita sudah datang." Ishan berteriak menyambutnya, diikuti oleh kekehan kecil dari Faheel dan Zafran.

Namun, alih-alih membalas sambutan Ishan. Rai justru gagal fokus dengan langkah kaki Ishan yang sedikit pincang, juga seragam celana abu-abunya yang terlihat baru saja tergores sesuatu.

"Sepeda lo udah bener?" tanya Rai yang langsung dibalas anggukkan kecil oleh Ishan. Tentu saja bukan itu yang dimaksud Rai sebenarnya. Namun, sebelum ia bertanya lebih lanjut, Ishan sudah menyuruhnya untuk duduk dan Faheel mulai membuka suara.

"Sebelumnya kita sudah menetapkan posisi. Zafran memilih drummer, Ishan pianis, kalau gue sendiri memilih gitar. Sedangkan kalau dilihat dari potensi, sepertinya lo cocok untuk jadi vokalis," jelas Faheel.

"Tapi tenang aja, kalau lo mau ambil bagian lain juga boleh. Kita bisa rundingkan lagi," lanjutnya.

"Gue ngikut," ucap Rai.

"Oke, sesuai dugaan. Kalau begitu... kita tinggal nyari satu orang lagi untuk gitar bass, kan?" ujar Ishan.

Zafran dan Faheel mengangguk-angguk. Sementara Rai yang baru bergabung di dunia musik hanya diam mengamati. Rai tiba-tiba teringat sesuatu. Pada pensi kemarin ada satu penampilan yang menyita perhatiannya. Bukan karena mereka pantas juara satu atau apa, tapi karena hanya ada satu anak yang menjadi perwakilan. Dia menyanyikan satu lagu sambil bermain gitar. Sendirian. Tapi entah kenapa, tidak ada satu orang pun yang menyoraki penampilannya meski wajah dan suaranya terbilang cukup bagus.

"Bagaimana kalau kita merekrut anak yang bermain solo kemarin?"

Usulan Rai itu sontak membuat ketiga temannya terkejut. Rai menatap mereka kebingungan. Ishan menepuk bahu Rai pelan.

"Lo beneran nggak tahu, ya?"

-oOo-

♬♩♪♩𝘛𝘳𝘶𝘴𝘵 𝘔𝘦♩♪♩♬

Thanks and See You

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro