Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Sampai di Tempat Tujuan

Life is a surprise.
-Winna Efendi

Kami sampai di permukiman dengan rumah-rumah yang terpampang di tebing tinggi. Rumah itu tak menonjol, seolah hanya sebuah jalan masuk ke dalam gua, tapi ternyata itu adalah rumah. Ini adalah kawasan Smilct, dan rumah-rumah yang berada di tebing itu tempat tinggal para Chiroptera----kelelawar, atau manusia kelelawar lebih tepatnya. Karena ukuran mereka yang sama seperti manusia. Cukup aneh bagiku, sekaligus unik begitu tahu mereka benar-benar sejenis kelelawar.

Kehidupan yang tak jauh beda dengan manusia, mereka berkeluarga. Bahkan mereka juga memakai baju. Bahasanya pun mudah dipahami----mereka berbicara memakai bahasa manusia.

Dari rumah-rumah itu, mereka keluar dan terbang, anak-anak kecil para Chiroptera juga bermain-main di atas tebing dekat dengan aliran air yang turun---air terjun---dengan riang. Di sisi lain terdapat jalan dan banyak madu digantung, mungkin itu adalah pasar?

Kami melewati Smilct dan beralih pada kawasan Hgurd, tempat tinggal para manusia kerdil yang gemar bekerja keras. Tingginya hanya sampai pinggangku untuk orang dewasa, dan anak kecil mungkin sebatas betis? Tampang mereka sangat garang, tapi mereka ramah pada orang yang dikenal. Rumah-rumah mereka sangat kecil, kokoh dengan tumpukan batu dan atap bata yang diselimuti oleh rumput. Jendela-jendela dibiarkan terbuka, kebanyakan jendelanya seperti dalam film bajak laut---berbentuk bulat.

Dari rumah-rumah kecil itu terdapat rumah yang cukup besar di bagian tengah, seperti kastel. Glob bilang, itu adalah rumah menteri. Di atas puncak menara yang lumayan tinggi berdiri satu bendera bergambar rumput dengan palu dan kapak---memberi tahu kalau di sana adalah kawasan para manusia kerdil itu. Ah, ya, Torra tak memberi tahu sebutan khusus untuk mereka.

Kemudian, akhirnya kami melewati lorong gelap dengan aroma yang familier bagiku. Cokelat-cokelat dan cookies manis!

"Mei, lihat!" Gaza berseru, menyuruhku untuk melihat ke luar jendela. Seketika mataku membeliak kagum.

Hamparan tanah cokelat kayu dengan rumput-rumput hijau segar, rumah-rumah penduduk yang bercet warna-warni dengan atap seperti wafer renyah. Jalanan biskuit serta lampu-lampu di sisinya seperti lollipop. Penduduknya hanya manusia biasa, mereka berjalan dan berdagang, anak-anak bermain dengan riang. Serta satu lagi, orang dewasa menaiki awan sewarna pelangi yang bertabur meses!

"Kita sampai, Torra!" Glob memeluk Torra girang. "Terima kasih, Mei, Gaza."

"Ini ...."

"Cokosallis! Kita sampai di Cokosallis!"

Kereta berhenti, kami kemudian turun. Aku bergeming di tempat. Jalanan yang aku injak sekarang membuatku merinding. Wangi cokelat benar-benar semerbak! Ya ampun! Ingin sekali kuajak Daren ke sini dan ... melihatnya ....

"Mei, ini enak. Tadi kamu bilang lapar kan?" Gaza menyenggol lenganku dan menyodorkan potongan cokelat yang tak rata. Dapat dari mana dia cokelat itu? Aku tak ingat pernah memberinya cokelat lain selain cokelat mars.

Tunggu. Ada sesuatu yang belum otakku cerna dengan baik.

"Kau tidak mau, Mei?" tanya Glob, dia juga memakan potongan cokelat. Oke. Aku mulai mengedarkan pandangan ke arah sekitar, sampai aku menemukan Torra memotong kursi kosong, kemudian memakannya.

Apa aku sekarang masuk ke dalam film Charlie and The Chocolate Factory?!

"Bisa dimakan?!" Aku antusias sendiri, mengambil potongan cokelat itu dari tangan Gaza.

"Cobain, deh."

Mataku berkedip-kedip menatap cokelat yang kini ada di tangan, sebelum kemudian cokelat itu masuk ke dalam mulut ....

Manis ....

Sangat manis ....

Manis sekali ....

Manis banget!!

Rasanya seperti melayang menuju awan dan bertemu dengan sekumpulan laki-laki tampan dalam game otome, ah! Perutku keroncongan. Apa boleh makan banyak?

"Ewnak." Aku mengunyah, memotong kursi lagi. "Boleh makan banyak?"

"Boleh sebenarnya, tapi, itu kotor." Torra meraih tanganku. "Ayo kita ke rumahku, ada banyak cokelat bersih yang bisa dimakan."

Aku menelan berat cokelat yang sedang dikunyah, lalu mengeluarkan sisanya. Tiba-tiba mual. Kotor? Iya, benar juga. Tapi perutku keroncongan. Apa tidak ada mie? Atau roti? "Kamu benar, hehe. Untungnya Gaza juga ikut makan."

Gaza terkekeh, wajah konyolnya ikut-ikut bodoh mengikuti ekspresiku.

Kami berjalan beriringan, menuju jalan besar yang sangat ramai. Ada banyak gerobak berisi sayur-sayuran dan buah yang ditarik oleh kuda. Selain manusia, di sini juga terdapat makhluk lain yang aku temui tadi; Chiroptera, manusia kerdil, dan Troll. Jangan lupakan para manusia yang berseragam! Mereka pasti penjaga di negara ini. Mungkin, bisa dibilang polisi? Seragamnya sangat unik, dengan atasan kemeja pink dan celana panjang putih. Orang-orang berseragam itu kebanyakan berambut ikal, dengan jepitan lolipop di bagian kanan dekat telinga.

Harum cokelat betul-betul semerbak, aku dapat menciumnya dari mana saja. Aku seperti ada di surga. Aku ingin makan semuanya kalau bisa.

"Annie!" Tiba-tiba saja, Glob berteriak. "Annie!"

Torra kemudian berlari. "Ayo ikuti kami!"

Aku yang tadinya sibuk melihat-lihat ditarik Gaza, ikut berlari mengejar Torra dari belakang. Ternyata, mereka mengejar sesosok Troll lain, dia sedikit lebih tinggi dari Glob dan Torra. Akan kutebak, Troll tersebut pasti yang Glob sahut, namanya Annie.

"To ... rra?" Matanya membeliak, kemudian berlari ke arah kami, langsung menerjang tubuh Torra, memeluknya. "Glob! Ah, kupikir kalian takkan kembali."

Torra menggeleng. "Aku merindukanmu, Kak. Sampai kapanpun aku akan selalu pulang jika masih bisa berjalan."

"Ah, dengan siapa? Apa kalian baik-baik saja?"

"Kami dengan manusia baik," jawab Glob yang lalu menarik satu tanganku untuk mendekat. "Mereka yang membantu kami untuk pulang."

Annie mendongak, aku tersenyum kikuk. Sebisa mungkin tak boleh bersikap mencurigakan, takut-takut Annie ternyata Troll yang jahat dan membunuh kami. Eh, apa aku berpikir berlebihan? Annie cukup jutek, tak seperti Glob dan Torra yang mudah tersenyum.

Tapi, dia tetap tersenyum padaku.

"Oh! Terima kasih. Sungguh. Maafkan jika mereka merepotkan."

Aku menggeleng. "A, enggak. Aku juga berterima kasih pada mereka karena telah membantu kami."

Annie memukul kepala Torra. "Kenapa kau malah berdiam diri? Cepat ajak mereka ke rumah. Kalian pasti lapar bukan? Aku akan menemui paman Ham," katanya, kini beralih pada Glob. "Apa kau tak bermimpi?"

Glob menggeleng. "Ayah baik-baik saja, bukan?"

Annie sempat terdiam, tatapannya berubah hangat, tapi justru terlihat seperti menutupi sesuatu, sebelum kemudian Annie mengangguk pelan. Ya, alasan utama untuk Glob kembali adalah ayahnya yang sedang sakit. Aku mengerti khawatirnya bagaimana, karena dulu aku pernah merasakannya. Saat Ayah sakit, tapi sedang di luar negeri membahas perdagangan seputar ikan-ikan langka dan jatuh sakit. Aku tak dapat mengunjunginya, atau menjaganya.

Kami hanya bertukar kabar lewat telepon. Ayah tak dapat pulang, cuaca buruk, pesawat juga diganti jam penerbangannya. Apalagi Glob yang tak dapat bertukar kabar sama sekali?

Aku tidak dapat membayangkannya. Entahlah, memikirkannya membuat hatiku sakit.

"Paman Genoa baik-baik saja. Kau pasti tidak akan puas hanya mendengarnya dariku, lebih baik segera pulang dan temui beliau. Kami juga panik begitu tahu kalian menghilang."

Glob mengangguk lemah. Akhirnya, kami berterima kasih dan berpamitan untuk pergi ke rumah para Troll.

Percaya atau tidak, aku tak mendengar Gaza bersuara lagi. Tampaknya, percakapan tadi membuatnya mengingat sesuatu. Mungkin, perihal sakit? Atau perihal seseorang yang ingin diminta jawaban, apa kau baik-baik saja?

Entahlah. Lagi-lagi aku tak dapat mengerti. Apa pun yang dia sembunyikan, aku harap aku bisa membantunya.

***

Heboh? Oh, tentu saja.

Banyak makanan tersimpan di atas meja, orang-orang bernyanyi dan menyatukan kedua telapak tangan di atas kepala kemudian turun ke wajah, mereka berdoa atas kembalinya Glob dan Torra ke sini.

Saat Torra berteriak, kami pulang! Para Troll yang sibuk berlalu-lalang tiba-tiba berhenti, memusatkan atensi mereka pada dua sosok Troll melambai-lambai di depan gerbang. Lantas, sejurus kemudian mereka kembali heboh, berbondong-bondong berlari memeluk keduanya dan membanjiri mereka dengan berbagai pertanyaan.

Aku dan Gaza juga disambut hangat. Kami diberikan banyak makanan manis. Walau Gaza sok jaga imejnya, aku tahu pasti kalau dia juga lapar. Aku juga bisa tidak peduli padanya jika sedang lapar dan melihat makanan di depan mata.

Ah ... manis!!

"Terima kasih para manusia-manusia baik," ujar Nenek Vivi. Bisa dibilang, beliau ini tetua para Troll di Cokosallis. "Jadi, nama kalian siapa?"

"Aku Gaza, dan ini Meify." Untunglah aku ke sini dengan Gaza, jadi dia bisa membantuku menjawab pernyataan dari Nenek Vivi.

"Tampaknya, kalian bukan dari dunia ini, ya."

Aku tersedak. Cepat-cepat meneguk segelas air yang diberikan oleh Gaza. Apa tadi katanya? Bukan dari dunia ini? Betul! Nenek Vivi pasti bisa menjadi pemenang lotre tahun ini!

Tunggu. Bagaimana Nenek Vivi tahu?

"Kami ...." Gaza meragu.

Nenek Vivi justru tersenyum. "Anak-anak terpilih, ya? Kalian mendapat suratnya pasti."

"Apa Nenek tahu siapa pengirim surat itu?" tanyaku cepat. Karena kupikir, bertanya seperti ini bisa saja menjadi momen terakhir aku bersama makhluk baik. Soalnya, bagaimana jika aku tiba-tiba dikutuk oleh penyihir jahat? Atau dituduh merampok?

Nenek Vivi menyimpan gelas di tangan itu ke atas meja, kemudian duduk di hadapan kami. Di sini, yang duduk di meja makan hanya ada aku, Gaza dan Nenek Vivi. Di mana Glob dan Torra? Mereka bilang ingin menemui paman Genoa---ayah Glob. Aku berharap ayahnya baik-baik saja.

"Ada banyak hal yang perlu dibicarakan jika kau ingin tahu," tutur Nenek Vivi. "Pertama, karena aku sudah bertemu denganmu lebih dulu."

Aku mengerutkan dahi. "Bertemu dengan aku lebih dulu?"

Nenek Vivi mengangguk. "Gadis penjaga itu bilang dari masa depan, bukan?" Tatapannya beralih pada Gaza. "Kau tahu siapa pengirimnya, tapi kau tidak memberitahunya."

Aku tidak paham. "Aku enggak ngerti."

"Enggak ada alasan untuk enggak kasih tahu dia, aku tahu. Tapi, aku bilang kalau aku enggak boleh memberitahunya."

"Aku?" Kini giliran Nenek Vivi yang mengerutkan alisnya.

"Aku selalu bertemu lewat mimpi."

"Lalu, Meify?"

Aku terperangah. "A-aku? A-ah, ya ... enggak pernah."

Nenek Vivi tersenyum lagi. "Mau kuceritakan?"

Aku tak berpikir banyak, melihat Gaza yang murung dan jika menolak Nenek Vivi akan pergi, akhirnya aku mengiyakan. Jujur saja, aku tak suka suasana canggung.

"Baiklah."

Dan dengan begitu, kisah seorang gadis yang gagal memahami isi dunia lewat negara ini pun dimulai.[]

1565

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro