Para Goblin dan Hutan Tersihir
Every day is an adventure,
and no two days are the same.
—Scott Borchetta
Kembali yang kulihat hanyalah kawanan pohon dan pohon----tinggi besar dan rindang. Sangat teduh, tidak panas atau bahkan membuat kami kelelahan karena haus. Selama kami dalam perjalanan, Torra memberi tahu pada kami tentang dunia dalam buku ini, semua yang diberi tahu membuatku betul-betul berpikir keras, kalau kami memang sedang berada di dunia fantasi.
"Ada enam kerajaan yang menjaga perdamaian dunia," tutur Glob. "Salah satunya Cokosallis. Cokosallis adalah negara penuh cokelat, ada putri cantik bernama Eldora, dia sakit-sakitan. Sejak dulu, Cokosallis tidak pernah mau berhubungan dengan kerajaan lain. Mereka kecewa karena tak ada satu pun yang mau membantu putri Eldora untuk sembuh dari penyakitnya."
"Menjaga perdamaian dunia, tapi Cokosallis enggak mau berhubungan sama negara lain. Maksudnya gimana? Terus kenapa kalian pergi ke Cokosallis?" tanyaku.
"Ya, seharusnya mereka menjaga hubungan agar dunia ini damai, tapi tidak begitu adanya sekarang. Selain Cokosallis yang mengundurkan diri dan tak mau menjalin hubungan dengan kerajaan lain, batu kristal dari laut Siren menjadi rebutan para keluarga kerajaan dan mengundang permusuhan." Glob menunduk, dia terlihat sangat sedih. "Kerajaan Foulmation menyatakan perang pada kerajaan Grisillie. Karena kurangnya militer, Grisillie meminta bantuan pada kerajaan para penyihir, kerajaan Villians. Tapi entah apa masalahnya, saat perang akan dimulai, kerajaan Villians murka dan ikut mengibarkan bendera hitam, permusuhan dan memutuskan hubungan dengan kerajaan-kerajaan lain. Termasuk Grisillie."
Aku mengerti. Dunia ini sedang tidak baik-baik saja.
"Alasan kami, para Troll pergi ke Cokosallis karena kerajaan kami para monster darat sedang dalam kekuasaan para Quendi. Kami pergi ke sana untuk menemui Tetua kami."
"Quendi?" Gaza mengerutkan dahi. "Quendi itu termasuk ke dalam mitologi Yunani."
Peri hutan. Aku tahu karena sering muncul dalam game yang kumainkan. Tapi, kenapa? Kenapa para Quendi atau Elf mengambil alih kekuasaan para monster darat? Aku masih belum paham.
Jelasnya, dunia ini terdapat enam kerajaan yang seharusnya menjaga perdamaian dunia; Cokosallis, Grisillie, Villians, Foulmation, Anumare, dan Zelloux. Tapi karena tiba-tiba muncul batu kristal dari wilayah Zelloux (kerajaan bawah laut) yang dapat mengabulkan keinginan tanpa perlu bersusah payah, kerajaan-kerajaan lain mulai serakah dan menginginkan batu kristal tersebut. Beberapa mulai menyatakan perang, dan beberapa memulai permusuhan. Dengan kata lain, dunia ini tidaklah aman. Permusuhan di mana-mana, serta pernyataan perang memperburuk semuanya.
Kemudian, wilayah kami sekarang terbilang sedang berada di wilayah kerajaan Cokosallis paling ujung, tapi masih termasuk wilayahnya. Hanya saja, ibukota dan negeri kerajaan Cokosallis masih jauh. Kami perlu naik kereta untuk sampai ke sana.
"Kami ingin dunia ini damai kembali, tapi kehadiran batu kristal itu seolah mencegahnya," ujar Torra.
"Gaza," panggilku. "Selanjutnya apa?"
Gaza menoleh padaku, senyum aneh khasnya itu terukir di bibirnya. "Kita pikirkan nanti. Lebih baik, sekarang kita pergi ikut mereka ke Cokosallis."
Aku mengangguk, lantas kami kembali berjalan bersama, menuju kastel Cokosallis.
***
Setelah kami berjalan sekitar, 12 menit, mungkin? Aku tidak tahu. Kakiku mulai pegal teramat sangat. Inilah akibatnya aku selalu menolak diajak olahraga oleh Daren. Selain malas, aku lebih suka mendekam diri di kamar dengan tumpukkan buku. Bahagia sudah masa liburan.
Masih di dalam hutan, tiba-tiba Torra merentangkan tangan, dia mengisyaratkan kami untuk tidak bersuara. Tatapannya waspada, aku jadi ikut was-was karenanya.
"Ada apa?" tanyaku berbisik.
"Goblin," jawab Glob membuat mataku membeliak. Aku tahu Goblin. Makhluk nakal yang jahil dan buruk rupa. Tapi, dalam salah satu anime yang ditonton, ada juga Goblin baik hati, tapi juga bodoh. "Goblin yang membuat ras Troll menjadi dijauhi oleh para manusia."
"Hubungan kalian enggak baik?"
"Mereka suka mencuri padi dan keju di ladang kami. Mereka jahat, bahkan mereka berani menenggelamkan bayi-bayi kami."
Aku tak mendengar atau ada sesuatu yang mencurigakan. Tak ada yang aneh. Suasananya masih sama, sepi, hanya terdengar gesekan daun-daun dan suara burung berkicau. Akar-akar pohon di sini yang terbilang besar juga hanya mengeluarkan suara kreeek seperti kayu yang keropos.
Tunggu. Seperti kayu yang keropos?
Aku segera menoleh ke belakang, melihat batang kayu yang bengkok dengan dua lubang seperti mata dan satu lubang seperti mulut, warna batangnya yang semula cokelat tua perlahan-lahan berubah menghitam. Di dahan pohon terdapat dua anak kecil yang mengerikan, tidak lain dan tidak bukan, mereka adalah Goblin!
Aku terkejut, lantas berteriak sekencang mungkin melihat dahan-dahan yang bergerak dengan sendirinya. Begitu mengerikan, ujungnya runcing seolah dapat menusukmu kapan saja. Gaza yang mendengar aku berteriak sepertinya ikut terkejut, karena tanganku langsung ditarik paksa dan diajak berlari.
Suara anak kecil tertawa membuat gema, kemudian tanah seolah bergetar dan terbelah dua. Ternyata akar-akar pohon keluar dari tanah. Begitu aku menoleh ke belakang sejenak, nampak pohon-pohon yang menjulang tinggi itu bergerak mendekat ke arah kami, bersamaan para Goblin yang berlarian ke sini.
Kami dikejar, aku semakin panik dan berkeringat. Torra dan Glob juga berusaha berlari walau tak sekencang aku dan Gaza.
"Terus lari, Mei," ujar Gaza, dia sama lelahnya denganku.
Aku mati-matian menelan dahaga serta meredam rasa takut. Tapi, sepertinya Gaza melihat kepanikan itu dariku. Dia melepas cengkraman tangannya dari lengan, kemudian beralih menggenggam jari-jemariku. Aku menatap matanya dengan keringat yang bercucuran di pelipis. "Jangan takut, Meify."
Aku melipat bibir, lantas mengangguk, mengeratkan genggaman tangan dan terus berlari.
"Ke sini!" Torra berteriak, berlari ke arah kanan. "Ada pohon trombo!"
"Pohon trombo?" tanyaku, masih berlari.
"Nanti kami jelaskan, pokoknya sekarang ikut kami!" Glob mendahului.
Kami berlari ke arah kanan, tempat semak belukar tumbuh dengan liar. Beberapa saat kemudian, tampaklah Glob dan Torra berhenti berlari, mereka menggali sesuatu pada tanah yang ditumbuhi semak belukar itu. Aku mengatur napas, masih panik. Saat bangun dan melirik ke belakang, pohon-pohon itu masih berjalan ke arah kami bersamaan dengan para Goblin. Tawa mereka yang menggema, ekspresi mereka yang seram----seperti kamu hanya akan menemukan mereka dalam film horor atau thriller berbalut fantasi kental, atau juga mimpi buruk.
Mereka benar-benar mengerikan!
"Apa yang kalian cari?" tanya Gaza, berlari mendekati mereka dan ikut membantu menggali tanah.
"Buah pohon trombo," jawab Glob.
"Dapat!" Torra mengangkat sebentuk bola----tidak, itu seperti buah mangga, tapi lebih besar. Berwarna hijau kecokelatan. "Kita aman. Meify, Gaza, kalian lari lebih dulu sampai sana, ada sungai. Kami akan menyusul."
Aku melirik ke arah Gaza, tapi Gaza hanya mengangguk, kembali menarik tanganku untuk berlari.
Aku melirik ke belakang, tepat saat pohon-pohon itu mendekat, mereka melempar buah pohon trombo tersebut ke arah pohon-pohon yang bergerak itu. Sejurus kemudian, tampaklah batang pohon yang yang kecil---tidak lebar---tapi tumbuh dengan cepat, meninggi dan terus meninggi. Bahkan jumlahnya tak hanya satu atau dua batang, terdapat lebih dari dua puluh dan terus bertambah!
Torra menarik Glob untuk segera berlari mengekori kami. Pohon-pohon itu yang mencoba menerobos tapi tak berhasil, mereka terjebak. Tapi para Goblin kebanyakan berhasil lolos, membuat Torra berteriak, "Sial!"
Menyadari itu, kami terus berlari sampai keluar dari hutan berisi pohon mengerikan ini. Terdapat sungai dengan air mengalir yang cukup kencang, tapi tak ada perahu.
"Enggak ada perahu," ujar Gaza. "Kalau kita lewat juga, kita bakal kebawa arus."
"Kita harus memakai sihir," usul Torra.
"Tapi kita tidak punya sihir, Torra." Glob kemudian melirik ke arah kami.
Apakah aku dan Gaza punya sihir? Oh, tentu tidak. Mana ada sihir. Aku hanya manusia biasa meski sangat ingin memiliki kekuatan dan bisa terbang di langit. Atau bertemu penyihir baik yang mau mengangkatku menjadi muridnya. Tapi ini adalah dunia nyata, dan hal-hal begitu hanya ada di dunia fantasi. Kecuali jika aku pergi ke dukun dan meminta bantuan para iblis.
Tunggu, dunia fantasi? Bukankah aku sekarang sedang berada di dunia fantasi?
"Mei, mungkin petunjuknya ada di dalam buku?" tanya Gaza.
Aku segera merogoh tas selempang, tak terdapat buku apa pun di sana. "Enggak ada bukunya, Za."
"Kita butuh kayu."
"Tapi enggak mungkin bikin perahu!"
""HAHAHAHAHA!!"" Suara tawa itu menggema, kami bersamaan menoleh ke belakang, mendapati para Goblin berlarian dengan membawa buah pohon trombo. Sejurus kemudian, mereka melemparnya ke arah kami, dan terjadilah, pohon trombo itu tumbuh dengan cepat.
Aku hampir saja kembali berteriak dengan panik, sebelum Gaza menepuk bahuku agar tenang dan Torra mengatakan, "Kami punya caranya!"
"Apa?!" tanyaku, panik.
"Kami yang akan berenang, kalian naik di punggung kami."
"Hah?"
"Oke." Gaza mengangguk.
"Tapi!"
"Mei?" Tidak tahu kenapa, kalau Gaza menatapku seperti memohon dengan raut wajah konyolnya, aku tak dapat menolak atau dibuatnya tenang. Ada rasa risih di dadaku melihatnya. Aku tak suka. Itu mengganggu.
Glob dan Torra loncat ke dalam air, mereka memerintah kami agar duduk di punggung mereka. Menggelikan! Tapi mereka hanya batu, tidak lebih dari batu. Ketika aku duduk pun, aku seperti duduk di atas alas yang keras.
Dengan cepat, mereka berenang melawan arus. Ternyata, cara Troll berenang itu cepat, dan kelemahan Goblin adalah air. Mereka takut air.
Kami terus berenang melawan arus, mencoba menjauh dari hutan itu dengan para Goblin.
"Perasaan hutannya tadi gak apa-apa deh. Kenapa jadi horor banget, sih?" Aku mulai menggerutu. "Pertama kali ketemu Goblin asli. Kenapa serem banget rasanya?"
"Sepertinya Goblin memengaruhi pohon ek. Ras ekorald itu baik, tapi semenjak Goblin jahat itu ada, semuanya berubah. Mereka menjadi musuh yang harus dihindari," jawab Torra.
"Parah banget."
"Tadi itu seru," ujar Gaza. Apanya yang seru, hei! Dia memang aneh! "Ini baru pertama kali buat aku lari sama-sama."
"Kamu emang aneh, Za. Kita lagi bertahan hidup, kamu malah bilang seru."
"Tapi bukannya bertahan hidup itu menyenangkan?" Ya, menyenangkan. Aku tidak akan merasa gabut di rumah, dan bersitegang dengan hidup, karena harus bertahan hidup. Ini juga kali pertama untukku berlari bersama dari hal yang mengerikan.
Tidak buruk.
Glob tertawa. "Kalian berdua sama-sama aneh."
Aku menarik senyum. Ya, kami memang aneh. Sangat aneh. Bahkan kami sekarang berada di dunia yang aneh, tapi kami termasuk orang-orang yang beruntung, mungkin? Bertemu makhluk yang takkan pernah orang lain temui di dunia nyata, seperti pohon ek raksasa yang jahat beserta para Goblin, juga bertemu Torra dan Glob, para Troll. Haruskah aku berterima kasih pada orang yang mengirimiku surat dalam amplop hitam itu?
Kalau begitu, hei, terima kasih.[]
1632
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro