Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bagian Dua: The Adventure:

Padang Rumput, Pohon Ek Raksasa, dan Troll

Getting lost isn't always creepy. You can experience the adventure of the exciting way home!
Latry

DAPAT DIRASA tubuhku tertidur di atas rerumputan yang lembut, angin kencang sesekali menampar wajah, harum bunga semerbak tercium, dan terik mentari membuat silau. Aku terbangun dengan sengaja, padahal tertidur di sini nyaman sekali!

Lebih dari itu, teringat tadi Gaza menggendong tubuhku dan melompat masuk ke dalam buku yang terbuka---di perpustakaan tua, dengan gadis kecil bernama Lyola. Setelahnya, aku merasa sudah tertidur selama semalaman kemudian terbangun di tempat ini----padang rumput yang luas, beberapa petak terdapat bunga, dan panas dari matahari begitu menyilaukan mata. Tempat ini berangin kencang, sepi, dan tak terlihat ada rumah-rumah penduduk.

Aku berdiri, menepuk-nepuk rok, dan kembali mengedarkan pandangan. Di mana Gaza? Padahal tadi kami pergi bersama. Sebelum itu, ini di mana? Apakah ini dunia dalam buku yang kubuka? Tidak, lebih tepatnya, dipilih? Sudah jam berapa sekarang?

Apakah aku dapat kembali?

Sepertinya belum bisa. Aku belum menjelajah dan mengetahui aku di mana, aku belum bertemu dengan Gaza, mau berteriak seperti orang gila pun pasti takkan kembali dengan mudah.

Aku mulai melangkah, berjalan perlahan. Entah nanti sampainya di mana, yang pasti aku tidak mungkin berdiam diri di tempat sampai Gaza menemukanku, atau bahkan Gaza pergi lebih dulu dan aku tertinggal. Bagaimana aku makan? Bagaimana aku tidur? Dapat dipastikan, di sini akan sangat dingin pada malam hari.

Sejauh mata memandang, akhirnya kutemukan satu pohon ek raksasa—tinggi dan besar, maka dari itu spontan aku menyebutnya 'raksasa'. Tidak heran jika sekarang juga ditemukan bunga-bunga berukuran besar, aku seperti semut jika mendekati pohon ek itu. Rasanya ingin kembali, karena mungkin itu berbahaya. Bagaimana jika terdapat orang-orang bertubuh tinggi setinggi pohon ek raksasa itu yang suka makan manusia kecil sepertiku? Misalnya para raksasa dalam film BFG, raksasa yang jahat. Bagaimana jika ada tumbuhan yang memakan manusia dan haus darah? Bertemu serangga berukuran besar? Ke mana aku harus berlari?

Namun, saat aku benar-benar ingin melangkah pergi untuk berbelok arah, mataku menemukan sesosok laki-laki tertidur di bawah pohon ek tersebut. Dia memakai mantel hitam dan celana bahan panjang, membawa tas selempang—milikku.

"Gaza!" Aku berteriak, membuat gema. Saking antusiasnya, aku malah berlari cepat, seolah tidak peduli jika nanti akan ada tumbuhan beracun atau serangga yang memakanku hidup-hidup.

Laki-laki itu masih tidak berkutik----tertidur pulas di atas rerumputan sebelah akar kayu pohon ek yang teramat besar. Dan aku, butuh waktu sekitar lima menit untuk berlari secepat kilat, padahal jika aku setinggi pohon beringin, mungkin hanya menghabiskan empat sampai enam langkah kaki.

"Gaza?" Aku terduduk di sebelahnya, mengatur napas. "Gaza ...."

Dia mulai menggeliat. "Ehm."

"Gaza," sahutku sekali lagi, sampai anak itu---Gaza, membuka matanya dan mengambil posisi duduk. Dia memegangi kepalanya, menatapku seakan aku adalah orang asing, sampai-sampai Gaza terlonjak bangun.

"Meify?"

"Kita di mana?" tanyaku, langsung menuju poin.

Dia mengerutkan alis. Tentu saja, orang baru bangun tidur langsung dihadiahi pertanyaan, 'kita di mana?' itu cukup aneh. Terlebih, mungkin Gaza juga menyadari bahwa dia sedang tidak tertidur di dalam kamarnya, di atas kasur empuk yang nyaman tanpa gangguan sinar matahari langsung dan permukaan yang keras.

"Pohon ... ek?" Gaza mendongakkan kepala, "kita benar-benar masuk, Mei."

"Enggak bisa pulang lagi, kan? Lalu gimana? Kita enggak tahu kita ada di mana, Gaza. Terus ... pohon-pohon ini?" Aku mengedarkan pandangan, berdiri di depan Gaza ke arah bunga-bunga raksasa. "Kita jadi ... kecil."

Gaza menepuk satu bahuku pelan. "Kamu enggak takut, kan?"

Aku meliriknya ragu. "Aku takut tersesat lebih jauh."

"Bukannya kamu sudah tersesat sangat jauh?"

"Maksudnya?"

Gaza menghela napas. "Dalam hidup, namanya tersesat itu sebuah petualangan menuju jalan pulang. Tersesat berarti hilang arah, kamu enggak akan pernah tahu arah mana yang benar untuk menuntunmu pulang ke rumah. Seperti sekarang."

Tersesat dalam artian aku masuk ke dalam sebuah buku dengan Gaza? Atau tersesat karena aku tak pernah mengerti apa yang kumau selama ini, bahkan untuk apa aku merasa begitu marah padahal perpisahan bukanlah akhir dari segalanya?

"Aku tahu kamu mengerti maksudku, Mei."

Aku mengangguk. "Seenggaknya, aku tersesat sama kamu."

Gaza tertawa. "Jadi, enggak takut?"

"Udah masuk ke sini, masa takut. Lagian, kayaknya seru. Aku belum pernah bertualang dengan orang asing selain sama Ayah."

"Aku orang asing?"

Aku mengangguk lagi. "Kita belum lama kenal, Gaza."

"Kalau begitu, mulai detik ini kita resmi berteman." Gaza meraih tanganku, dia tersenyum menampilkan deretan giginya.

Entah untuk alasan apa, aku malah ikut tersenyum pada Gaza. Ada rasa senang dalam dada, sepertinya Gaza berbeda? Selama aku hidup bersosialisasi bertemu banyak anak laki-laki, belum pernah ada yang seperti Gaza. Kebanyakan bersikap sombong dan acuh, jahil juga frontal. Seringkali aku menangis karenanya. Bahkan anak laki-laki di sekolahku sekarang, mereka lebih banyak gaul untuk nongkrong di mall-mall, bergaya trendi dan berbahasa gaul.

Gaza berbeda. Dia menyukai buku dan hujan, tak suka suara petir dan alergi udara dingin. Gaza bilang dirinya pandai memasak, suka bertualang dan mencari hal-hal baru. Gaza suka laut juga benda-benda langit, menyukai sesuatu yang berbau alam---Gaza menyebut dirinya seorang petualang. Skor yang sempurna dalam pandanganku terhadapnya. Tapi seperti apa kata orang, setiap manusia memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing.

Gaza mirip denganku. Keluarganya tidak baik-baik saja---bahkan jauh---sangat jauh tidak baik-baik saja dibanding keluargaku. Tapi Gaza belum siap bercerita semuanya padaku, jadi aku juga tidak mau membocorkan hal-hal yang belum tentu benar.

"Mei?"

"Kita berteman." Kami memang sudah berteman, karena aku sebenarnya sudah menganggapnya teman saat Gaza memperkenalkan diri dengan aneh, mengajakku berkeliling rumah tua, menemukan surat yang sama, saling bercerita pada malam hari hingga kami menemukan beberapa kemiripan tanpa disadari. Aku menyebutnya 'orang asing' mungkin karena belum terlalu yakin Gaza mau berteman denganku.

Gaza mengeratkan pegangan tangan. "Sekarang, kita eksplorasi dulu sekitar, siapa tahu ada petunjuk."

Aku mengangguk mantap, lantas kami berjalan beriringan.

***

Jika aku memiliki otak yang cemerlang, sudah dipastikan kami berjalan hampir satu jam. Berkeliling tidak jelas dan hanya menemukan batang bunga raksasa yang bisa dipeluk. Kami belum bertemu apa pun lagi, dan itu cukup membuat fokusku awas. Takut-takut ada hal berbahaya yang tiba-tiba menyerang dan kami berpisah.

"Kayaknya tadi kita udah lewat sini deh, Za." Aku mendudukkan diri di atas batu bundar. "Kita cuma mutar-mutar, gimana kalau kembali ke tempat pohon ek tadi?"

"Enggak, Mei." Gaza masih mengedarkan pandangannya ke sekeliling. "Kita belum lewat sini."

Tapi batu-batu ini sudah seperti mengikuti kami! Seakan sedari tadi kami berjalan, mereka kutemui dengan posisi yang sama. Dua batu berbentuk bundar yang tidak rata, di sisi kanan jalan satu, kiri satu. Apa hanya aku yang merasa begitu? Hey! Ayolah.

"Batu-batu ini ...."

"Mei, coba buka tas kamu. Apa kamu bawa makanan?" tanya Gaza.

"Hanya cokelat. Aku enggak bekal apa-apa lagi, selain uang ... dan di sini enggak ada toko atau tukang jualan." Aku membuka tas selempang, merogoh cokelat berbentuk bulat itu---cokelat kesukaan aku dan Daren. Begitu menemukannya, hatiku terperenyak. Aku rindu Daren. Sedang apa dia sekarang? Apa dia mencariku?

Kesampingkan hal itu. Sekarang bukan waktunya merenung dan mempertanyakan hal-hal begitu.

Aku menyerahkan dua cokelat itu pada Gaza. "Buat apa?"

Gaza mengambilnya, kemudian berjalan mendekat ke salah satu batu di sisi kanan, menyimpan cokelat itu di tanah dekat batu tersebut.

"Gaza," aku menyahut acuh. Untuk apa disimpan di sana? Lebih baik dimakan. "Nanti cokelatnya meleleh kalau kena sinar matahari langsung."

"Kamu tahu para Troll di film Frozen?"

Troll? "Ya ... aku tahu. Tapi apa hubungannya?"

"Perhatikan, Mei." Gaza berjongkok tepat di hadapan batunya. Aku memperhatikan, apa benar begitu?

Aku tak melihat perbedaan apa pun sedari Gaza berjongkok, selain angin yang berhembus kencang, daun bergesekan, dan terik matahari yang menyilaukan mata berkali-kali meredup---kemudian terang benderang. Sampai sejurus kemudian, suara gemuruh seperti roda gerobak yang melaju---bukan, lebih tepatnya batu besar yang menggelinding di sisi kiri kami bergerak dengan sendirinya, memutar hingga berada di sisi batu yang berhadapan dengan Gaza.

Aku membulatkan mata begitu benar-benar melihat Troll! Batunya bergerak, berubah persekian detik untuk bertransformasi menjadi sosok anak kecil tetapi bertubuh batu---berhidung besar dan bermata bulat. Pergerakan mereka sangat kaku, seperti robot. Tidak memiliki rambut, tapi mulut mereka dapat terbuka---tersenyum. Mereka seperti pahatan patung yang dapat bergerak.

"Harumnya sangat manis, Glob!" Salah satu dari mereka bersuara, seperti anak kecil. Dan entah kenapa itu membuatku semakin menampakkan ekspresi kejut yang tak dapat disembunyikan.

"Seperti dari kastel Cokosallis, bukan? Apa mereka dari Cokosallis?" tanya salah satunya yang menatap cokelat itu lekat-lekat.

"Mungkinkah kita bisa pergi ke sana, Glob?" Dia kini menatap ke arah kami. "Apa kalian dari Cokosallis?"

"Kalian Troll?" Gaza balik bertanya, tanpa menjawab pertanyaan mereka.

Keduanya mengangguk. "Aku Torra, dan ini Glob. Kami Troll dari Utara, dan kami tersesat karena tertidur terlalu lama, sampai tertinggal kawanan kami menuju Cokosallis."

"Gaza ... mereka bisa bicara!" Aku berdiri di depan Gaza, menatapnya horor dengan kedua tangan mengguncang bahunya.

"Ya, Mei. Mereka bisa bicara, unik bukan?" Gaza tersenyum. "Kita dapat petunjuk."

Aku beralih menghadap keduanya, para Troll itu---Glob dan Torra---yang tersesat menuju Cokosallis? Apa itu Cokosallis? Sebuah kota? Kastel ... katanya? Dan apa hubungannya dengan cokelat yang kubawa?

"Apa itu Cokosallis? Kenapa kalian mengikuti kami?"

"Karena harumnya manis. Kami menuju ke tempat itu. Apa kalian datang dari sana? Bisakah kalian membawa kami? Kami ingin bertemu dengan keluarga kami. Terlebih, Glob, mendapat firasat buruk pada Ayahnya yang sedang sakit." Torra melirik ke arah Glob, kemudian menggerakkan tangannya untuk memegang satu bahu Glob. "Maaf kami mengikutimu. Kami hanya ingin pulang."

"Kalian enggak tahu di mana Cokosallis?" Kini giliran Gaza yang kembali bertanya. "Apa kalian tahu caranya keluar dari hutan ini?"

Torra mengangguk. "Ada kereta setelah menyebrangi sungai. Tapi kami tidak bisa masuk jika tidak bersama manusia."

"Apa kalian mau ikut bersama kami? Kami akan mengantarkan kalian menuju Cokosallis. Tapi sebagai imbalannya, apa kalian mau memberi tahu kami soal dunia ini?"

Torra melirik Glob, seolah meminta persetujuan. "Memangnya kalian tidak tahu? Atau ... kalian datang dari dunia luar?" tanya Torra.

Gaza mengangguk. "Kami akan bertualang. Tapi kami belum mengetahui secara garis besar dunia ini. Apa kalian mau saling membantu?"

"Tapi kalian benar-benar mau mengantarkan kami ke Cokosallis, kan?" Glob menatap penuh harap. "Aku ingin pulang ...."

Gaza mengangguk. "Tentu saja. Iya kan, Mei?"

"Y-ya."

"Setuju." Glob ikut mengangguk bersama Torra.

Gaza tersenyum, dia menatapku dengan penuh keyakinan. "Aku Gaza, dan ini Meify. Salam kenal, Glob, Torra."[]

1704

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro