Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

6. Tenggat Waktu

Peraturan pertama ketika kau di toilet sendiri dan tiba-tiba pintu tertutup: jangan menoleh ke cermin.

Insting Paranormal—aneh sekali menyebut istilah itu, karena aku masih belum merasa seperti salah satu bagiannya—membuatku menatap pantulan di belakang. Seharusnya aku tahu akan ada sosok di sana, tapi tetap saja aku berjengit. Seorang gadis berambut sebahu dengan ujung pirang terang menyandarkan bawah punggungnya ke pinggiran wastafel sambil melipat lengan. Sebelah kakinya tertekuk, hanya ujung sepatunya yang menyentuh lantai di seberang kakinya yang lain sehingga membentuk silang. Mata kucingnya menatapku penuh permusuhan.

Tarik napas dalam-dalam ... hembuskan.

Ini bukan pertama kalinya ada cewek yang memberimu wajah seperti itu, Daisy. Bertha, Helga, dan Ismelda, geng dangkal yang membencimu, melakukan ini sepanjang hari dan kau baik-baik saja.

Tapi yang satu ini bisa meremas ususmu jika dia mau, kata suara lain di kepalaku.

Diam, Daisy Pesimis, balas Daisy Optimis.

"Apa lagi?" tanyaku, berusaha terlihat bosan. Aku ikut bersandar di wastafel sebelah.

"Kita belum selesai ...." Dia melihat nama di seragamku. "Daisy Wu."

"Kita bahkan tidak pernah memulai," balasku, mau tidak mau menyadari percakapan kami cukup ambigu.

"Aku Mila."

Yeah, akhirnya permulaan bagus. Perkenalan. "Jadi kenapa kau mengganggu temanku, Mila?"

Mila mengangkat kedua alis hitamnya yang tipis. "Jaga sopanmu, bocah, aku jauh lebih tua darimu."

"Yang Mulia Paduka Ratu Abadi Mila," ulangku, "kenapa gerangan Anda mengusik sahabatku yang baik hati dan tidak sombong itu?"

Tampaknya kesabaran Mila hampir hilang. Setelah mengambil selangkah maju dan tertahan oleh benang perak di ujung capitan jariku yang kubentangkan di antara kami, akhirnya  dia memutar bola mata dengan sikap merendahkan dan kembali ke tempat. Mila mengingatkanku pada kakak MOS menyebalkan, tipe cewek kaya manja yang tahu bagaimana caranya tampil keren dan menghina orang. Dengan kaus bermerek ketat yang memamerkan dua inchi perut, celana jins sobek-sobek, kuku panjang tajam yang dihias cantik serta riasan tipis segar di wajah, Mila jelas merupakan gadis sosialita, dan aku tidak akan heran kalau dia populer di kampus—jika dia kuliah.

"Aku bukannya takut sama benda itu," dengusnya. "Nggak usah sombong, tapi itu hanya memberi efek seperti kejutan listrik dadakan yang pernah kau rasakan di charger ponsel. Sebenarnya aku tidak ingin bertengkar denganmu."

Aku menunggu Mila untuk melanjutkan, tapi dia tidak menunjukkan tanda-tanda ingin melontarkan kalimat baru yang informatif. "Jadi?"

"Aku tahu kau teman baiknya Rebecca. Kau tentu tidak ingin aku menyakitinya." Mila tersenyum lebar dengan ekspresi yang malah terlihat menyeramkan. "Sahabat yang baik. Sangat manis. Seandainya aku juga punya teman yang membelaku seperti itu. Hah ... tapi kurasa aku harus cukup puas dengan seorang kekasih yang memahamiku kan?"

"Pacarku memang cowok yang perasa dan baik banget, jadi nggak jarang cewek-cewek salah paham padanya, termasuk temanmu itu. Aku belum pernah mencintai seorang pria sebesar itu, sehingga aku merasa akan melakukan apa pun—apa pun—untuknya. Menggunakan koneksi ayahku sehingga dia mendapat beasiswa dengan mudah, membelikannya sebuah sepeda motor, mengajaknya berlibur ke negeri impiannya. Aku kuliah di luar negeri, karena aku mengambil desain dan, kau tahu, nggak banget deh jurusan desain di sini. Selama ini aku menyempatkan diri menemuinya. Dia tidak akan sanggup menanggung lebih dari dua tiket pesawat Jakarta-Batam dalam dua tahun, apalagi ke Singapur. Aku ke sana maksimal setengah tahun sekali. Aku berjuang untuknya. Untuk kami. Lalu mati karenanya. Romantis bukan, mati dalam perjalanan menuju tempat kekasih?"

Mendengar kisah kematian bukan bagian favoritku. Bahkan untuk ukuran hantu yang hampir—maksudku, dia bisa saja melakukannya—mencekik Rebecca dan membuatku ketakutan setengah mati, dia masih mendapat sedikit simpatiku. Hawa dingin merambat ke sekujur tubuhku, membuat bulu kuduk berdiri dan meninggalkan sensasi tidak nyaman.

"Apa yang terjadi?" tanyaku pelan.

"Pesawat jatuh." Nada ketus Mila menyiratkan seolah dia masih menyalahkan kejadian itu. "Di laut. Tapi ironisnya aku tidak tenggelam karena tubuhku sudah hancur duluan oleh ledakan."

Aku termenung, memikirkan kata-kata untuk kubalas padanya. Jika aku sedang duduk di kursi panas, mungkin di bawah wajahku akan ada pilihan seperti ini:

(A) 'Aku menyesal'. Sepertinya semua hantu sudah bosan mendengar kalimat itu.

(B) 'Tragis sekali'. Cara bagus untuk memperburuk keadaan dengan air mata.

(C) 'Aku pernah mendengar kematian yang lebih buruk lho ....' Hanya jika aku ingin babak belur.

(D) 'Tidak apa-apa. Semuanya akan baik-baik saja dan satu-satunya hal yang bisa kau lakukan hanya melanjutkan langkah ke jalan berikutnya.'

Audiens akan memilih (D). Aku yakin, jika aku menelepon Pak Asia, beliau juga mengatakan (D).

Untunglah kesempatan untuk membalas Mila sudah berlalu. Tampaknya dia juga tidak mengharapkan reaksiku, karena kemudian dia ...

"Apa kau punya kekasih, Daisy Wu? Oh, tidak perlu jawab," kekeh Mila, kemudian dia mendekat sambil menatapku tajam. "Biar kuberitahu. Ketika kau punya kekasih, kau tidak akan senang melihat gadis lain menggodanya, tepat di depan matamu sendiri. Rasanya panas dan sesak."

Ingin kubilang kalau mustahil dia bisa sesak, tapi Mila terlalu mengerikan untuk disela ketika dia menekan kuku-kuku tajamnya ke dada.

"Kau menyaksikan lelakimu berpaling dan melupakanmu. Setelah semua yang kalian lalui. Setelah semua yang terjadi padamu karenanya!" lanjutnya dengan suara meninggi.

Aku tidak berani berkedip pada wajah marahnya yang berjarak kurang dari tiga puluh senti dariku. Entah hanya imajinasiku, atau sekilas memang ada pendar merah tipis di kedua mata hitam Mila. Selama sesaat bayangan Mila di depanku bergoyang seperti televisi yang mau rusak, dan sebelum sesuatu yang buruk terlihat, aku terus mengulang mantra di kepalaku. Aku bisa menghadapinya. Aku bisa menghadapinya. Jangan kedip, jangan kedip, pokoknya jangan kedip.

Mila hanya hantu putus asa yang tidak bisa melepaskan pacarnya, kemudian mengganggu Rebecca hanya karena ... karena ....

Oh, sial. Kenapa aku baru sadar sekarang?

"Charles," ucapku dengan napas tertahan. Mila tersenyum, tapi kali ini terlihat manis. Sepertinya dia suka mendengar nama kekasihnya disebut. Tidak seperti beberapa orang, yang justru ingin berubah menjadi Hulk saat mengingat nama orang yang disukai. "Tidak, tidak, Mila, kau tidak boleh merusak hubungan Charles dan Rebecca. Kau sudah mati, dan Charles berhak melanjutkan hidup seperti orang normal lainnya."

Aku sadar ucapanku barusan agak kasar. Tapi aku tidak sempat membuka buku semacam 'Panduan Kalimat yang Sopan Digunakan Untuk Orang-Orang Mati', apalagi orang yang kuhadapi sudah mengibarkan bendera permusuhan pada teman dekatku.

Mila tampaknya sudah terbiasa dengan ketidaksopananku, jadi dia hanya berdesis seperti ular. Persis, karena huruf 's' yang diucapkannya memang terdengar tajam dan menusuk pendengaran. "Asal kau tahu, Daisy Wu, aku dan Charles belum putus. Selama itu belum terjadi, aku akan menyingkirkan siapa pun yang berusaha menggantikan posisiku, termasuk sahabat genitmu."

Sssss. Kalau reinkarnasi memang ada, seperti yang dipercayai keluarga Tenggara, Mila pasti adalah ular di kehidupan sebelumnya.

"Kau tidak bisa menyakiti siapa pun," gelengku, puas karena gerakanku tegas. "Karena tidak hanya aku yang akan menghentikanmu, Mila. Jumlah kami banyak."

"Aku tidak akan menyakiti siapa pun," balas Mila sambil melipat lengan, "kalau kau melakukan apa yang kuminta. Jauhi sahabat genitmu dari Charles. Aku berjanji tidak akan menyentuhnya sehelai rambutpun."

"Itu egois dan tidak masuk akal."

"Kau hanya punya satu tugas. Waktumu tiga hari," kata Mila dingin. "Dan, lain kali, benang itu tidak akan mempan untukku lagi."

Setelah Mila menghilang, suhu ruang toilet naik beberapa derajat. Aku melirik arloji, menyadari sudah menghabiskan hampir seluruh waktu istirahat. Sambil mengutuk Mila dan berharap dia lenyap selamanya, aku membuka pintu toilet, menghadapi beberapa siswi yang mengantri di depan melirikku ketus—hei, kami punya enam set ruangan toilet di sini—kemudian perhatianku jatuh pada seorang siswi bertubuh kecil dengan rambut pendek mengembang yang diberi bando kain berwarna biru tua. Di sebelahnya, alih-alih hantu gadis bergaun pesta hitam yang setia menemaninya, berdirilah hantu pria remaja tanpa alas kaki yang bersandar di pagar balkon, di mana kami bisa melongok ke lobi yang terletak tiga tingkat di bawah.

"Klien yang sulit, ya?" sapa Ellen dengan senyum tanpa ekspresi khasnya.

***

SMA St. Yohanes tidak pernah benar-benar sepi setelah jam pulang sekolah. Seakan kegiatan pendidikan masih berlanjut, di sepanjang koridor yang mengelilingi lapangan upacara terbuka di tengah gedung dipenuhi siswa yang lewat, hanya saja kali ini mereka memikul ransel besar dan tas tambahan—di sini, jika kau tidak membawa tas kanvas tambahan atau menenteng lima buku cetak tebal di tangan, kau akan dikira sedang membolos. Beberapa kelompok murid berkumpul di pinggir lapangan, mendiskusikan beragam hal. Sebagian grup berlatih musik, yang lainnya tampak asyik melakukan koreografi tarian modern mereka, dan di seberang lapangan sana, tampak murid-murid kelas sepuluh yang berkerumun di depan laboratorium Fisika yang sibuk mengatur posisi lensa pada tabung paralon panjang.

Bahkan kantin masih seramai waktu istirahat. Ada satu meja dengan laptop berjejer, di mana murid-murid sedang mengerjakan tugas desain CorelDraw yang dibimbing seseorang, terlihat seperti kegiatan workshop desain ala-ala. Lalu meja lain yang ramai dan bising berisi anak-anak seangkatan yang berdebat soal alur naskah drama mereka. Penghuni kantin sisanya adalah murid kelas dua belas yang menyantap makan siang dengan wajah lesu karena harus mengikuti pemantapan. Serius, dengan semua tugas kelompok ekstrim dan kegiatan tambahan yang tidak ada hentinya ini, jam pulang sekolah yang seharusnya pukul dua siang hampir terdengar seperti omong kosong.

Tapi, tidak seperti alasan-alasan biasaku saat pulang terlambat, kali ini aku malah nongkrong di kantin bersama seorang Paranormal dan dua hantu. Dan alih-alih membahas tugas sekolah, kami justru menggosipkan hantu lain yang kedengarannya lebih gawat dari nilai praktek kelompok.

"Kurasa kita lakukan eksorsisme saja," usulku sambil mengunyah roti. Aku terpaksa membeli sebungkus roti cokelat karena Ellen tidak memesan apa pun, dan rasanya tidak enak pada penjaga kantin.

"Tidak mungkin papaku akan setuju," kata Ellen, menerawang ke arah pintu laboratorium Fisika di depan pandangannya. Dia sering melakukannya. Selama ini kukira dia sedang memerhatikan makhluk yang hanya bisa dia—maksudku kami—lihat, tapi setelah menyadari semua orang yang berdiri di sana adalah makhluk bernapas, kusadari Ellen hanya suka melamun. Ironis, karena sebagai Paranormal tentu saja dia paham kalau itu terlarang.

Well, setelah dipikir-pikir lagi, Ellen tidak pernah kehilangan kendali sedikit pun. Mungkin itu semacam kekuatan supernya, selain jadi peramal seperti yang diungkit Jeremy—kalau bocah itu tidak membual.

"Kita tidak perlu persetujuan Pak Asia," kataku santai. "Bukan bermaksud apa, tapi begini, kali ini aku tidak akan mencari papamu. Kita tidak bisa terus bergantung pada orang dewasa jika ingin mandiri."

"Kata seseorang yang merengek ke rumah kami karena ketemu hantu galak," timpal Katrine yang duduk di samping Ellen dengan alis terangkat.

"Itu karena aku sedang ...." Aku mencoba menemukan kata yang tepat. "Nervous breakdown."

"Seperti yang terjadi padamu dua puluh empat jam," decak Anthony. Dia menunjukku seakan aku benda tidak berguna. "Aku sudah cerita belum kalau dia mengusirku di hari pertama reuni?"

Katrine tertawa penuh arti sambil mengibaskan rambut keriting pirangnya ke belakang bahu. Tidak seperti Mila yang berwarna pirang terang, rambut Katrine dicat pirang kemerahan yang cocok dengan warna kulit cokelat gelapnya. "Soalnya kau jauh di bawah ekspektasi sih."

"Kalau kau tanya pendapatku dengan jujur, Daisy hanya tidak terbiasa ketemu hantu cakep." Anthony mengibaskan kerah kausnya.

"Extraordinary," kata Katrine, mengutip kaus Anthony.

"Hei, awalnya aku ingin meminta maaf, tapi tidak jadi," decakku pada Anthony yang entah bagaimana memainkan tempat duduknya sehingga hanya satu kaki bangku plastik yang menumpu lantai. "Dan tolong duduk seperti orang normal, sebelum ada yang melihat bangkumu bergoyang-goyang sendiri."

"Extraordinary," ulang Anthony sombong, menunjuk tulisan di kausnya dengan kedua tangan. "Dan omong-omong, awalnya aku ingin memaafkanmu, tapi tidak jadi."

Aku memutar bola mata. Rasanya seperti menghadapi dua Jackson.

"Jadi apa yang akan kau lakukan?" tanya Ellen setelah keluar dari sesi lamunan tanpa batasnya, kemudian benar-benar melirik kami untuk pertama kali.

"Eks—"

"—traordinary," potong Anthony yang membuatku mendeliknya. "Sori, jangan sebut kata itu. Hormati para arwah di sini dong."

"Sebenarnya, Daisy, eksorsisme itu lebih berfungsi untuk roh jahat," jelas Katrine. "Dengan melakukan itu, kau sudah memberinya tiket satu arah langsung ke ... well, tempat paling buruk yang pernah ada."

"Neraka," timpal Ellen.

"Yah, apa pun deh istilahnya," kata Katrine sambil mengangkat bahu. Bertahun-tahun tinggal bersama keluarga Tenggara dengan kepercayaan mereka yang kental rupanya tidak memberi banyak pengaruh terhadap religiusitas Katrine.

Setelah gigitan terakhir, aku melipat bungkus plastik dan menyimpannya di saku kemeja. Biasanya akan kubuang setelah menemukan tempat sampah, atau terlupakan selamanya sehingga Mama sering mengeluh soal fosil-fosil sampah di sakuku. "Nah, kedengarannya cocok sekali untuk Mila. Apa tiga hari cukup untuk persiapan?"

"Mila bukan roh jahat," kata Ellen. Nada datar sepanjang masanya sering kali membuatku sulit menangkap maksud ucapannya. Aku tidak akan pernah tahu jika Ellen sedang serius atau santai. Jadi, ketika aku menyindirnya di depan toilet tadi dengan mengatakan, 'Melanggar wilayah kekuasaan, huh?' kukira dia akan tersinggung atau semacamnya. Tapi Ellen hanya menggeleng pelan, 'Yang ini tidak main-main, Daisy.'

Lucunya, orang yang kubayangkan tidak akan kujadikan teman berakhir sebagai satu-satunya teman curhatku—tentang dunia perhantuan, sayangnya.

Sesuai prediksi Ellen dulu, ketika kami pertama kali berbincang di UKS. 'Aku punya firasat kalau kita akan lebih sering berhubungan di kemudian hari.'

Oh, Jeremy benar.

"Dia mengancamku, Ellen," kataku mengingatkan. "Dan memberiku waktu tiga hari. Memangnya siapa dia, rentenir?"

"Mila cukup pintar dan berpengalaman, dilihat dari cara dia mengganggu Rebecca tanpa membuatnya berada di posisi yang akan membahayakannya." Ellen menggeleng dengan sangat lambat. "Akan sangat sulit mengeksorsisnya."

"Kita bisa melawan, tahu," kata Katrine.

"Tahu. Aku pernah menonton film horor," ucapku sambil menghela napas.

"Serius? Kita bisa?" tanya Anthony takjub.

"William, para hantu juga punya hak asasi," kekeh Katrine.

"Aku Anthony," balasnya jengkel.

"Oh, maaf, aku lupa." Katrine terkekeh lagi.

"Jadi apa yang harus kita lakukan?" Aku, Daisy, akhirnya melontarkan pertanyaan terbaik sepanjang masa.

"Melindungi Rebecca," jawab Ellen singkat.

"Minta saja dia putus sama pacarnya itu. Gampang," usul Anthony sambil melipat lengan, yang pasti seratus persen akan didukung adiknya.

"Oke, besok aku akan bilang ke dia, 'Bec, aku tahu kalian baru jadian, tapi kau harus putus dengan Charles segera. Kalau tidak Mila, mantan pacar Charles, bakal menghantuimu kayak di The Conjuring.'"

Anthony memberiku dua jempol. "Mantap."

Tolol.

"Hei, kita tidak boleh menuruti kemauan hantu jahat," bantah Katrine. "Itu tidak seru."

"Mungkin itu alasan hantu itu masih di sini. Membiarkan pacarnya melajang selamanya," kata Anthony. "Oke, begini, sebagai hantu yang pernah dipaksa pergi—pertama oleh Rylan, lalu kedua olehmu," kata Anthony sambil menunjuk Katrine, "aku harus menyampaikan pandangan dari sisi hantu. Menurutku Mila ada urusan yang belum selesai dengan Charles."

"Setelah enam tahun?" Aku mengernyitkan dahi tidak yakin. Ketika istirahat kedua tadi, aku menyempatkan diri ke perpustakaan setelah makan dan meriset sekilas tentang kecelakaan pesawat dengan jalur penerbangan Batam—Jakarta. Tahun yang kutemukan adalah 2008, dan mengingat usia Charles yang seharusnya sama dengan Mila, segalanya cocok.

"Aku butuh waktu dua tahun hibernasi dulu, ingat?" Anthony sekarang berputar di tempat dengan satu ujung kaki kursi yang bertumpu pada lantai. Aku terpaksa menekan pijakan kursi supaya dia berhenti.

"Kita hanya bisa mencegah Mila," kata Ellen akhirnya. Dia beranjak sambil memikul ransel hitam yang kelewat besar untuk ukuran tubuhnya yang mungil. "Jika suatu hari ternyata eksorsisme dibutuhkan, artinya sudah tidak bagus lagi. Berdoalah supaya itu tidak terjadi, Daisy."

Aku ikut berdiri dan mengambil barang-barangku. Pembicaraan usai, dan hasilnya tidak memuaskan. "Hanya penasaran, um, apa kau memang bisa meramal?"

Ellen menelengkan kepalanya sambil tersenyum tipis. "Aku hanya sering dapat firasat."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro