Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

5. Rahasia

"Daisy, ini keren banget," kata Rebecca sambil menutup lembar terakhir naskah drama setebal dua puluh lima halaman yang kuketik ketika aku kembali ke bangku. Dia adalah orang pertama yang membaca, setelah Bu Ria yang memeriksa hasil naskah pagi ini dan meninggalkan coretan seperti beberapa format yang salah serta saran atas detail adegan tertentu. Rebecca memandang jilidan tipis di genggamannya dengan terpana, lalu segera berbalik pada Jackson dan William yang duduk di belakang kami.

"Coba kalian baca naskah drama kita. Keren banget," seru Rebecca, membuat pipiku merona karena bangga. Aku tidak yakin kalau tulisanku sekeren itu, tapi setelah mendengar pengakuan Bu Ria dan Rebecca barusan, aku jadi mempertimbangkan Sastra sebagai jurusan kuliah.

"Nanti, deh," kata Jackson, lalu sibuk berkomat-kamit dengan tatapan menerawang. Saat ini sedang pelajaran Bahasa Mandarin. Seperti biasa, Lao Shi Lin yang paruh baya meminta kami menghapal sebuah cerita pendek di buku dan mempresentasikannya di depan kelas. Sesuatu yang kami benci, kecuali William, karena hanya dia satu-satunya yang dianugerahi ingatan kuat serta bisa melafalkan kalimat Mandarin dengan nada tepat. Jackson, walaupun logat Mandarin-nya sekental orang Singapur, rupanya tidak berbakat mengingat alur cerita sehingga seringkali dia mengarang.

Setidaknya, hal terbaik dari kelas ini adalah, tidak ada satu pun yang akan memerhatikanmu di depan, karena selain mereka akan sibuk mempersiapkan diri, mendengar cerita sama yang disampaikan berulang kali benar-benar membosankan.

"Coba lihat." William mengambil naskah dari tangan Rebecca, lalu mengamati judul dengan ekspresi tertarik. "A twisted version. The dark one or ...?"

"Not really," balasku. "Tidak ada yang berdarah-darah."

"Daisy, dark itu tidak harus selalu berdarah-darah," kata William.

"Tidak mengerti, deh. Baca saja." Aku mengangkat bahu.

"Sstt!" desis Jackson. Dia memejamkan mata, mengulang kalimat yang sama berkali-kali sambil berusaha mengingat. "Tu ran xiao zhu shuo ... tu ran xiao zhu shuo ... ugh! Ni qu si ba."

Aku dan Rebecca bertukar pandang sambil mengernyit, tidak mengerti apa yang dikatakan Jackson. Menilai dari ekspresi geli William, aku yakin itu bukan arti yang bagus.

"Kau sudah menghapalnya?" tanyaku pada Rebecca ketika kami memutar tubuh kembali ke depan. Cewek itu terlihat santai, padahal kemampuan Mandarinnya di bawahku (sesuatu yang diam-diam dan secara memalukan kubanggakan, karena setidaknya aku sedikit mengunggulinya dalam satu hal).

"Namaku tidak akan dipanggil hari ini," jawabnya kalem. Mendadak aku bisa melihatnya. Ketenangan di mata Rebecca, senyum tipis yang seakan mengatakan segalanya akan baik-baik saja ... semua itu mengingatkanku pada seseorang.

"Ada apa? Bukannya kau sudah selesai ya?" tanya Rebecca saat melihatku menghembuskan napas dengan keras.

"Yeah, maksudku ...." Aku menggaruk bawah telinga. "Bagaimana keadaan lehermu?" tanyaku mengalihkan topik, padahal jawabannya dapat kulihat dengan jelas. Hantu itu tidak kembali lagi. Tentu saja Rebecca akhirnya mendapat kembali tidur nyenyaknya tanpa gangguan yang tidak diinginkan. Taruhan, jauh lebih nyenyak ketimbang malamku setelah kemunculan Anthony.

Bukannya Anthony menggangguku lagi seperti dulu (apa aku pernah menyebut hantu kamarku yang pernah merasuki William selama seminggu? Dia tersangkanya. Cepat tangkap). Terakhir kali aku berinteraksi dengannya adalah ketika dia masih merasuki William dan bergulat dengan makhluk-makhluk hitam di atap, kemudian tiba-tiba dia sudah meninggalkan tubuh itu dan aku tidak pernah melihat tanda-tanda kehadirannya. Kuasumsi Anthony pergi bersama Jordan. Entah ke mana. Apalagi Anthony sempat mengancam kalau dia akan menarik Jordan pergi bersamanya, secara sukarela maupun paksaan.

Aku memaafkan Anthony karena pergi tanpa pamit, padahal aku penasaran bagaimana wujudnya dan kepingin menempeleng kepalanya dulu sebelum dia pergi. Orang-orang datang dan pergi, sebagian tidak pamit, aku paham itu.

Jadi kenapa tiba-tiba Anthony kembali lagi?

Reaksi pertamaku tidak bisa dibilang senang. Aku hanya mengernyit dengan mulut setengah terbuka, mencoba memproses informasi yang ada, lalu ketika otakku mulai berputar lagi, aku mengerjap. Segera saja, sebuah hal langsung terbersit di pikiranku, dan kau pasti bisa menebak apa. Rupanya Anthony juga cukup pintar untuk menebaknya—atau dia cukup perasa—jadi sebelum aku bertanya, dia segera menjawab dengan kalimat yang meruntuhkan semua harapanku lagi menjadi serpihan kecil.

"Hanya aku," gelengnya. Untuk pertama kalinya, setelah semua tatapan jenaka Anthony, dia terlihat prihatin.

"Kenapa?" Suaraku terlalu kecil, seperti bisikan. Kenapa kau kembali? Kenapa hanya kau? Kenapa dia tidak kembali?

"Jordan sudah ... um, apa istilahnya, berangkat." Anthony mengangkat bahu, kemudian duduk di atas bebatuan petak yang membatasi kebun mini rumah kami dengan jalan.

"Lalu kau?" Nadaku mungkin terdengar agak menuduh, tapi biarlah.

Anthony menarik napas. Dia tidak benar-benar membutuhkan udara sebenarnya, jadi aku tahu Anthony hanya mengekspresikan kegugupan. "Begini, sebelum kau menghakimiku—"

"Coba tebak, kau tidak berangkat?" Kali ini aku tidak malu-malu untuk menudingnya dengan telunjuk. Aku tertawa sarkas. "Oh. Apa perkataanmu soal 'Aku tidak mau tahu, pokoknya aku akan menyeret Jordan ke neraka bersamaku! Kan tidak adil jika aku tersiksa sendiri'."

"Hei, aku tidak bilang akan menyeretnya ke neraka," bantah Anthony. "Dan jangan memotongku dulu. Aku memang sudah akan berangkat kok, lalu bertemu dengan Jordan—"

"Lalu, setelah kau mendorongnya ke neraka, kau bersikap pengecut dan kembali ke sini?"

"Hei!" Anthony melempar sebuah kerikil ke kakiku. Kubalas dengan dua, tiga, empat lemparan hingga dia mengaduh sambil melindungi kepala dengan tangannya yang besar. "Jordan menyuruhku—ouch—tinggal—ouch—dasar bodoh."

"Untuk apa?" tanyaku tajam.

"Aku tidak akan bilang," gerutunya. Kemudian Anthony memutar bola mata. "Baiklah, ini konyol, tapi seseorang harus menjagamu setelah kau bisa melihat."

Aku mengeluarkan kata umpatan kasar yang akan membuat Papa menghukumku mencuci satu rak sepatu jika ketahuan. "Kenapa?"

"Aku kan sudah bilang," decak Anthony. "Kenapa sih cewek banyak tanya."

"Apa yang kau bilang soal 'lebih baik reinkarnasi jadi serangga ketimbang jadi pesuruh manusia'?

"Dan aku tidak bilang mau reinkarnasi jadi serangga." Anthony melempar kerikil lagi, kali ini mengenai betisku. "Oke, oke, kuakui sebagian alasanku kembali lagi memang karena takut. Silakan tertawa. Tapi," lanjutnya dengan penekanan sebelum aku sempat memotong lagi, "Jordan benar. Kau butuh pendamping sementara."

Aku menggeleng, merasa agak pusing akibat teriknya sinar matahari. Pandanganku menggelap, sehingga aku tidak bisa melihat jelas sosok Anthony yang mulai berdiri dan pepohonan di belakangnya. Semuanya hitam. Kupaksakan untuk melangkah ke arah yang kuyakini menuju ke teras, lalu duduk di sebuah kursi rotan, tidak peduli ada setumpuk koran di atasnya.

"Dramatis sekali," komentar Anthony. Sekarang dia muncul di kursi rotan satunya lagi, tepat di seberang meja kaca di sampingku.

Kabut gelap itu perlahan memudar. Aku menyandarkan kepala ke jendela di belakang, mengelap keringat dingin di dahi, dan memutuskan untuk tidak perlu repot-repot menjelaskan kalau itu gejala anemia ringan. "Kenapa tidak dia sendiri yang tinggal saja?"

Anthony mengangkat bahu, mengalihkan pandangan ke dinding putih di sebelahnya untuk menghindari mataku. Dia tahu. Aku juga tahu.

''Aku tidak ingin membiarkanmu terikat padaku, Daisy.'

Saat itulah aku semakin sadar, setelah berbulan-bulan mencoba melupakan Jordan dan menganggap dia sama tidak pentingnya dengan tugas menyalin buku cetak PKN, jauh di dalam hatiku, aku masih merindukannya. Dua sel otak terakhirku yang bodoh masih mengharapkannya. Tapi apa yang kudapat?

Hantu alumni penghuni kamarku yang menyebalkan. Alias kakak laki-laki Jackson.

Aku memutar bola mataku ke atas, menatap langit-langit teras dan lonceng angin yang berdentang halus. Biasanya posisi mata ini selalu berhasil menahan tumpahan tetesan cairan asin yang akan keluar. Dengan sentakan keras yang mengagetkan Anthony, aku bangkit dari kursi, mengeluarkan kunci pintu di saku dan masuk ke dalam rumah.

"Jangan masuk," desisku sebelum membanting pintu tepat di hadapan wajah melongonya.

Malam itu aku menangis lagi. Seperti malam ketika Jordan pergi. Dan beberapa malam berikutnya yang dingin. Juga di beberapa mimpi yang putus asa. Aku membenamkan wajah ke bantal, menangkap sepasang mata Anthony yang mengintip di balik tirai. Setelah bangkit untuk merapatkan tiraiku, aku kembali berbaring dan membalikkan tubuh supaya tidak menghadap jendela. Anthony mungkin tidak berani masuk ke kamarku—baguslah, karena aku pasti akan menendangnya keluar.

Keesokan harinya, aku masih melihatnya duduk di halaman rumah, memainkan lonceng angin sehingga menimbulkan kebisingan dan Papa berkali-kali mengintip keluar dengan wajah heran. Tidak ada air mata yang jatuh ke bantal malam itu, tapi aku ingat berteriak dan berlari seperti orang gila di mimpi yang membuatku terbangun dengan pikiran lelah paginya.

Anthony tidak terlihat di mana pun sampai saat ini. Entah karena dia bersembunyi lagi atau kesal dan memutuskan tidak akan mencariku. Well, kuakui sikapku kemarin bukan termasuk sambutan yang ramah. Lagipula dia tidak salah apa-apa ....

Sebuah sosok semi transparan yang menembus dinding kelas membuatku refleks menegakkan punggung, mengira itu Anthony, tapi ternyata hanya almarhum tukang kebun tua yang memakai celana longgar dan hobi keliling.

"Aku merasa jauh lebih baik. Sudah normal seperti sedia kala berkatmu," kata Rebecca cerah, membuyarkan lamunanku pada satu titik di dinding tempat tukang kebun itu menghilang barusan.

"Omong-omong, apa yang kau lakukan sebelum acara edufair kemarin? Maksudku, sampai lehermu sakit begitu." Aku melirik Rebecca penasaran. Meskipun si hantu sudah tidak ada, tapi aku ingin tahu apa tujuannya. Mereka tidak akan sengaja mengganggumu tanpa alasan, walau dalam beberapa kasus alasannya cukup konyol, seperti kau tidak sengaja meludah tepat di depan wajahnya atau berjoget dengan gerakan yang menyinggung.

"Tidak ada," katanya. Rebecca tampak sedang berpikir sejenak, kemudian seulas senyum tipis terbentuk di bibirnya. Dengan tatapan penuh rahasia, dia mencondongkan tubuh dan berbisik padaku. "Sebenarnya aku keluar dengan seseorang."

"Whooo." Sambil mengangkat alis, mulutku membentuk lingkaran kecil seperti ketika kau mengucapkan huruf 'u'. "Errick?"

"Dais, saat itu aku belum bertemu dengannya," Rebecca mengingatkan.

"Oh, benar juga." Kemudian mataku membulat. "Jackson?"

Rebecca mendelik sambil memberi isyarat bahwa Jackson yang di belakangnya mungkin akan mendengar. Sudah menjadi rahasia umum bahwa selama ini Jackson sedang berusaha meningkatkan status hubungan mereka dari teman menjadi pacar. Rebecca selalu menanggapinya sesantai mungkin. Sinyal 'kita berteman saja' yang dipancarkannya begitu kuat, sehingga aku dan William bahkan bisa merasakannya dan meringis saat memerhatikan sikap lembut Jackson yang hanya ditujukan pada cewek itu. Karena itulah Rebecca memintaku duduk di sebelahnya, sehingga William, mantan teman sebangkuku selama setengah tahun, terpaksa satu bangku dengan Jackson dan mengundang ledekan satu kelas atas betapa kontrasnya ukuran tubuh mereka.

Bukannya aku meremehkan perjuangan Jackson, tapi tidak kusangka secepat ini.

"Bukan dia," kata Rebecca, membuatku mengernyit. Siapa lagi cowok yang dekat dengannya selain Jackson? Kalau dia bilang William, aku akan segera berlari keluar dan melompat dari balkon koridor kelas ke tengah lapangan. "Ingat Charles?"

Aku menghembuskan napas, lega karena tidak perlu membahayakan nyawa. "Psikologmu ya? Tunggu. Psikologmu?"

"Dia bukan psikologku, Dais," jelas Rebecca sabar. "Nggak secara langsung. Kami bertemu saat aku konsultasi ke psikolog dulu, dan dia mahasiswa magang di sana. Lalu aku dijadikan objek penelitiannya."

"Kami jadi dekat setelah itu. Sebenarnya, dialah yang menginspirasiku untuk mengambil jurusan Psikologi. Dan sebenarnya ...." Pipi Rebecca merona saat dia melanjutkan. "Aku menyukainya. Sejak ... entahlah, mungkin pertama kali dia mengajakku berbicara?"

Aku terpana mendengar cerita Rebecca. Ini pertama kalinya dia menceritakan rahasia asmaranya padaku, dan aku mulai berpikir apakah begini rasanya punya teman dekat cewek? Menceritakan hal-hal kecil yang remeh, mengeluh betapa menderitanya saat masa itu tiba setiap bulan, lalu berbagi rahasia siapa cowok yang kau sukai. Selama ini, yang aku dan William lakukan adalah diskusi dan berdebat sehat.

"Lalu akhirnya aku menyatakan perasaanku. Bayangkan, Dais, aku yang memulai duluan," tambah Rebecca. Aku ingin bilang itu tidak masalah, karena aku pun begitu. Tapi Rebecca tidak memberiku kesempatan menyela.  "Charles bilang ini bukan ide bagus. Jadi selama hampir setengah tahun kami masih menjalin hubungan pertemanan seperti biasa sampai Kamis sore kemarin. Kami ...."

"Jadian," timpalku dengan tatapan penuh arti.

"Bisa tolong rahasiakan soal ini? Orangtuaku bahkan belum tahu," ucapnya malu-malu.

"Kenapa?"

"Charles enam tahun di atasku, Dais."

Aku menghitung dalam hati. Dua puluh enam. Astaga, itu tua sekali.

Baiklah, baiklah, aku tahu, Jordan juga lima tahun di atasku ketika aku menyukainya. Jadi apa hakku menghakimi, ya kan?

Tapi baik Jordan maupun Rylan tidak sampai dua puluh enam. Apalagi wujud Jordan masih kelas dua belas saat aku melihatnya.

Dua puluh enam!

"Aku tahu, aneh ya?" Rebecca tersenyum gugup.

"Tidak juga," sergahku, berharap Rebecca tidak mendengar pikiranku. "Maksudku, ini kan bukan sesuatu yang bisa kita kendalikan."

Rebecca membalas dengan kedikan bahu. "Bagaimana denganmu? Siapa cowok yang kau suka, Dais?"

Pipiku mendadak memanas saat Rebecca menyikutku main-main. "Siapa?" tanyaku balik, terdengar bodoh.

"Aku tahu, pasti ada seseorang." Rebecca mengedipkan sebelah matanya. "Giliranku yang menebak. William?"

"Bleh." Aku mengibas tanganku. Saking banyaknya yang menggoda kami, aku sampai kebal mendengarnya. Aku dan William memang dekat sejak kelas sepuluh, tapi tidak ada satu pun hal berpotensi romantis yang pernah terjadi di antara kami. Bayangkan saja Dumbledore dan McGonagall berkencan. Aneh kan? Tepat.

"Kalau begitu Jackson?" bisiknya hati-hati.

"Hoeeekkss." Aku mengeluarkan bunyi muntahan yang terlalu keras sehingga perhatian satu kelas tertuju pada kami. Sialnya, saat itu bertepatan dengan nama Jackson yang dipanggil oleh Lao Shi Lin di depan.

"Cari masalah ya kau?" tantang Jackson dengan mata melotot saat dia melangkah ke sampingku—tepatnya persis di samping Rebecca. Suara kekehan tinggi yang dibuat-buat terdengar dari barisan paling belakang, jelas sekali menikmati pertikaian kami. Aku mengumpat dalam hati, berharap kejadian konyol ini tidak membuka gerbang permusuhanku dengan Jackson lagi.

Untunglah bel istirahat berbunyi, sehingga Jackson yang sudah hampir menaiki podium kelas berseru, 'Yes!' sambil mengepalkan tinju, kemudian melupakan segalanya.

Atau tidak, karena dia menunjukku dan mendekatiku dengan langkah mengancam, bagai predator yang menargetkan mangsa untuk makan malam.

"Bukan kau, bodoh," kataku sambil memutar bola mata saat Jackson berhenti di samping mejaku.

"Jadi siapa, Dais?" desak Rebecca.

"Apanya yang siapa?" tanya Jackson bingung.

"Rahasia cewek," ucapku penuh gaya, kemudian beranjak untuk mengambil kesempatan kabur. "Aku ke toilet."

"Mau kutemani?" tawar Rebecca.

"Eh, tidak perlu," kataku, masih tidak terbiasa dengan kebiasaan ke toilet bersama ala cewek-cewek.

"Iya, jangan, Bec," kata Jackson setuju. "Daisy kan mau muntah. Nanti bau. Mau ke kantin?"

Sambil berjalan keluar kelas, aku menyuarakan muntahan yang menjijikkan ke arahnya. Jackson membalas hal yang sama, tidak kalah keras. 

Mungkin ini yang namanya kualat, karena setiba di toilet, mendadak aku jadi mual. Bau karbol, kataku pada diri sendiri. Limbah yang tidak dimusnahkan, tambahku ketika membuka salah satu bilik terdekat. Hadiah wangi semerbak, decakku di bilik sebelah.

Bam!

Pintu ditutup.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro