Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

3. Pengintai Rahasia

Setelah mendengar kuliah lanjutan dari Pak Asia selama hampir satu jam, akhirnya dia menunjukkan tanda bahwa aku sudah boleh angkat bokong. Langit sudah hampir gelap di luar dan Jeremy menawarkan untuk mengantarku pulang. Kubilang tidak perlu repot-repot karena aku akan menelepon Papa, tapi seluruh keluarganya memaksa.

Oke, hanya Pak Asia, Katrine, dan Jeremy, sih. Tapi Ellen dan ibunya pada dasarnya memang tidak banyak bicara.

Lima menit setelah mengiyakan, aku segera menyesalinya. Bukannya aku keberatan naik motor tua yang tidak ada pegangan besi di belakang, tapi kami tidak dibekali pelindung kepala, dan aku tidak bisa mengajukannya karena Jeremy sendiri memutuskan kalau helm tidak dibutuhkan dalam perjalanan kurang dari tiga kilo meter. Sambil menggigit bibir, aku menunduk menatap salah satu lutut yang kucengkram, berharap bisa tiba di rumah tanpa kurang satu pun anggota tubuh. Papa akan membunuhku jika tahu.

Jeremy tidak langsung pergi ketika kami tiba sudah di depan rumahku. Dia terdiam sejenak tanpa ekspresi, seolah sedang menerawang entah ke mana. Aku yakin dia bukan sedang mengagumi SUV hitam pasaran Papa yang terparkir di halaman.

"Terima kasih," kataku cepat setelah melompat dari sepeda motor, diam-diam berharap dia cepat-cepat pergi sebelum Papa keluar dan menginterogasinya. Rambutku jadi sedikit kusut akibat terpaan angin.

Anak itu masih bergeming. Aku menoleh, mengernyit karena tidak menemukan apa pun yang aneh dari perpaduan cat warna krem dan cokelat muda rumahku. Tidak ada jemuran memalukan di halaman atau teras yang akan menarik perhatian. Lonceng angin yang digantung di depan pintu juga tidak kelihatan norak. Lagipula, Jeremy tidak mungkin melihat itu, karena aku pasti juga akan menyadarinya.

"Apa?" tanyaku gelisah.

"Aku bisa merasakan kehadiran mereka tanpa melihatnya," kata Jeremy tiba-tiba tanpa memandangku. Sama seperti Ellen dan semua keluarga Tenggara lainnya, wajahnya minim ekspresi. Tapi Jeremy memberi kesan horor tersendiri karena terkadang bibirnya melengkung tipis dan dia menatapmu penuh misteri seakan dia menyadari sesuatu yang tidak kau ketahui. Kulit gelapnya tampak kekuningan di bawah sorotan cahaya lampu yang menerangi kompleks perumahan. "Terkadang aku juga bisa sedikit merasakan aura."

"Apa itu salah satu kemampuan Paranormal?"

Jeremy menoleh padaku. "Kurasa itu bakat tambahan."

"Mencengangkan," kataku.

"Apa kau bisa merasakannya, Daisy?"

"Well, tidak. Aku tidak butuh bakat tambahan." Aku bergerak tidak nyaman sambil melirik Papa yang mengintip dari balik tirai jendela. Astaga, kapan Jeremy akan pergi?

"Kau akan punya bakat tambahan," ucap Jeremy yakin.

"Apa kau juga peramal?"

"Itu kakak perempuanku."

"Ellen adalah peramal?" Aku tidak bisa menahan diri untuk berseru keras. Kedua mataku terbelalak.

"Belum," jawab Jeremy kalem, kemudian menepuk bahuku dengan serius—dia memang selalu serius, tapi ini ekstra serius lagi. "Daisy, ada yang mengintaimu."

Kata-kata itu seakan mengirim sihir yang mengutukku menjadi patung saat itu juga. Aku mengerjap, tidak mampu bergerak sedikitpun, sementara Jeremy akhirnya mencengkram pegangan rem motor.

"Siapa?" Suaraku terdengar seperti bisikan. Aku berusaha mengingat-ingat siapa pun yang pernah mampir, mulai dari kakek-kakek yang mencari istrinya, anak laki-laki yang menangis, sampai seorang gadis pucat yang sekedar ingin jalan-jalan. Tidak ada satu pun dari mereka yang datang lebih dari sekali.

"Aku tidak tahu." Jeremy mengedikkan bahu, lalu bisa-bisanya menyunggingkan senyum tipis padaku. "Tapi dia tidak jahat."

👻👻👻


Kurasa aku menghabiskan waktu cukup lama untuk memandangi kepergian Jeremy dan terbengong di halaman, sehingga Papa mulai berteriak memanggilku untuk masuk. Berusaha menghalau ucapan anak itu, aku berjalan dengan langkah berat, sesekali mencuri pandang ke sekeliling dan setengah berharap menemukan sebuah sosok yang bersembunyi di balik pot atau semacamnya.

"Katanya ke rumah Ellen?" Papa menyambutku dengan mata menyipit curiga. Kedua tangannya diletakkan di pinggang.

"Itu Jeremy, adiknya," jelasku.

"Dia sudah punya SIM?"

Aku tidak pernah paham soal sterotip ibu yang protektif dan ayah yang cuek. Papa jelas-jelas tidak lolos dalam kategori ayah cuek yang hobi memberi uang jajan tanpa basa-basi pada anak-anaknya. Terkadang dia melontarkan seribu pertanyaan sebelum aku melangkah ke luar pintu, padahal aku hanya akan bekerja kelompok. Mamalah penyelamat di rumah ini, kemudian mengingatkan Papa kalau aku sudah hampir dewasa dan seharusnya memiliki sedikit privasi.

Bagaimana pun, aku akan punya KTP tahun ini.

"Well," jawabku. Aku tidak tahu usia minimal untuk memiliki SIM, tapi bayangan anak yang baru lima belas tahun yang mendapat surat izin itu mendadak terasa tidak masuk akal. "Jaraknya, kan, dekat."

Walaupun Papa tidak puas mendengar jawabanku, dia hanya menghela napas dan akhirnya menyuruhku mandi.

"Kita akan makan malam dengan kakekmu," umumnya.

Aku mengerutkan dahi sambil merebahkan diri ke sofa. "Grandpére?"

"Yang mana lagi? Kakek kita, kan, tinggal satu," sahut Lily, adikku, yang berdiri di pintu dapur sambil memeluk setoples kecil kacang yang dibuka. Dia sudah memakai gaun biru pastel berlengan panjang dengan renda putih di ujung roknya. Bahkan rambutnya sudah dijepit rapi.

"Lily!" tegur Papa.

Mama, yang baru saja turun dari tangga, menyerahkan sebuah gantungan berisi gaun yang bermodel persis dengan Lily, hanya saja berwarna krem. "Pakai ini biar kompak."

"Jangan bilang kalau Rose juga pakai—"

"Aku siap! Aku siap! Aku siap!" Teriakan adik perempuanku yang berumur enam tahun menggema disertai derapan kuat di sepanjang tangga. Tentu saja dia memakai gaun yang sama dengan warna merah muda.

"Awas jatuh!" teriak Papa cemas, buru-buru bergerak ke dasar tangga untuk menangkap Rose, yang berhasil menyelinap melalui bawah tangannya dan mengemis kacang Lily.

"Kenapa tiba-tiba?" tanyaku curiga.

"Sudah lama kita tidak makan malam bersama kan? Kebetulan Rylan pulang, jadi ini kesempatan bagus untuk kumpul bareng keluarga," jelas Mama. Setelah menaruh gaunku di sandaran sofa, Mama menghampiri Rose dan merebut toples kacang di pelukannya. "Tidak ada camilan sebelum makan malam."

Nama itu memberi efek yang hampir sama dengan penampakan makhluk halus. Aku mencengkram pegangan sofa, mencoba terlihat rileks dan tidak peduli.

"Aku tidak ikut," kataku kaku.

"Semua harus ikut," ucap Papa tegas tanpa mengangkat wajahnya dari layar tablet yang sedang diisi daya. Apa katanya soal tidak boleh menyentuh ponsel yang sedang terhubung dengan colokan listrik?

"Aku lelah," desahku sambil merebahkan diri ke sofa.

"Kita hanya perlu duduk dan makan, bukannya, bukannya lari maraton," tukas Lily.

"Diam, Lily," kataku.

"Grandmère Joanne mengharapkan kehadiran kalian," ucap Mama, yang sudah berada di depan untuk menarik tanganku. Ketika aku tidak menunjukkan pergerakan sedikitpun, Mama memberi lirikan penuh arti. "Lagipula ini pertama kalinya Rylan kembali sejak tiga bulan yang lalu."

Itu dia.

Dia adalah makhluk terakhir yang ingin kulihat setelah orang-orang mati. Bukan karena penampilannya menyeramkan atau semacamnya, justru sebaliknya—tubuh kurus setinggi satu koma sembilan meter, mata cokelat gelap dalam di bawah alisnya yang lebat, dan suara lembut yang selalu menenangkanku tenang di setiap kesempatan. Bukan, bukan juga karena kami punya skandal dan putus dengan dramatis atau semacamnya. Begini, setelah momen yang pernah kami lalui selama beberapa saat dulu, ada fakta yang harus kau ketahui: aku bahkan tidak pernah mengenal Rylan.

Karena selama itu, jiwa yang berinteraksi denganku dalam fisik itu adalah Jordan.

Iya, iya, Jordan yang itu. Sekarang kau paham kan dengan reaksiku barusan?

Lalu, karena menjelaskan pada semua orang bahwa Rylan telah dirasuki sahabatnya sehingga empat tahun memorinya hilang adalah ide buruk, akhirnya aku membiarkan pada dokter memvonisnya transient global amnesia, dengan menghubungkan cedera akibat kecelakaan terakhirnya (jatuh dari ketinggian delapan lantai—serius) dan kecelakaan empat tahun yang lalu (jatuh dari jembatan di atas laut—dua kali serius). Papa sering bercanda (tentu saja tidak di depan Rylan) bahwa malaikat pelindungnya pasti kuat sekali. Aku tersenyum kecut setiap mendengarnya karena tidak ada makhluk lain yang muncul di kepalaku selain dia.

Aku bersyukur karena tidak perlu bertemu dengan wajah yang akan mengingatkanku pada Jordan lagi. Grandmère Joanne, ibu angkat Rylan yang menikah dengan kakekku belum lama ini, mengirimnya ke Singapur untuk lebih fokus pada bisnis keluarga  sambil memulihkan kesehatannya di sana (aku curiga sebenarnya dia berharap aku dan putranya menjaga jarak, yang, well, tidak perlu repot-repot dia cemaskan sih). Jadi, setelah tiga bulan hidupku berjalan dengan lancar, kenapa dia harus kembali lagi?

"Katanya dia akan pergi lagi Minggu ini," bisik Mama.

Sambil memejamkan mata, aku membiarkan kepalaku terkulai lemas ke atas sandaran sofa. Mama memang tidak pernah menuduh dengan keras, tapi aku tahu dia diam-diam menyadari perasaanku yang tidak wajar ini. Yang tidak Mama tahu adalah, bukan Rylan yang kusukai.

"Aku benar-benar lelah. Ada setumpuk tugas kelompok dan harus kejar deadline malam ini," desahku.

Mama terlihat prihatin saat menyentuh dahiku, lalu kerutan di dahinya berkurang ketika mendapatiku tidak sedang demam. "Kita akan cepat-cepat pulang setelah makan," janjinya.

"Tidak bisa begitu, itu tidak sopan," ucap Papa.

"Serius, aku di rumah saja," bujukku.

"Tapi Mama tidak memasak makan malam," kata Mama.

"Ada mi instan."

Selama sesaat Papa tampak ingin membantah. Tapi entah karena isyarat dari Mama atau suara rengekan yang mirip tangisan dari mulutku, akhirnya dia terdiam (kenapa Bu Ria tidak memilihku jadi pemeran drama? Aktingku sempurna). Kemudian Papa memberi daftar panjang nasihat soal apa yang harus dilakukan ketika sendiri di rumah: jangan membuka pintu untuk orang asing; matikan semua peralatan listrik yang tidak dipakai; pastikan kompor dalam keadaan tidak menyala setelah digunakan; tutup semua gorden; oh, dan segudang aturan lain yang terdengar seolah mereka akan pergi bertempur dalam waktu lama sementara gelombang besar zombie akan menyerang rumah.

Tentu saja aku tidak membantah dan mencari perkara yang akan membuat Papa berubah pikiran. Kukunci pintu rumah sambil mengulangi untuk kesekian kali bahwa aku mendengarkannya, mengintip mobil Papa yang menghilang di jalan, lalu merebahkan tubuh ke sofa dengan lega.

Selamat. Phew.

Aku tidak pernah keberatan tinggal sendirian di rumah. Bahkan sejak sadar bahwa aku tidak pernah benar-benar sendiri, aku tetap menikmati momen sunyi tanpa ocehan Papa dan teriakan Rose, lalu membawa piring ke kamar sendiri tanpa mengundang nada protes dari siapa pun.

Sampai mendadak salah satu novel di rak sudut kamarku terjatuh.

Setelah meletakkan mangkuk mi ke meja perlahan, aku mengambil buku yang tergeletak di lantai, lalu menyelipkannya kembali ke celah kosong di tingkat teratas sambil mengawasi sekitar dengan mata tajam. Tidak ada siapa pun. Maksudku, jika itu sesuatu yang berwujud tidak padat, aku juga pasti bisa melihat di mana dia bersembunyi.

Belum pernah ada yang berusaha menakut-nakutiku sebelumnya selain gadis di belakang Rebecca—dan aku tidak yakin apakah itu termasuk menakuti dengan sengaja atau hanya aku yang terlalu lemah. Lagipula, mereka tidak perlu melakukannya. Jika ada yang tersinggung, mereka hanya tinggal mengatakannya tepat di depan wajahku dan aku akan meminta maaf dan berjanji bahwa aku tidak akan mengulanginya lagi. Sederhana. Terakhir kali ada hantu iseng di kamarku adalah tiga bulan yang lalu ... itu saat aku belum bisa melihatnya dan tidak tahu kalau dia adalah saudara laki-laki musuh bebuyutanku yang hobi menyiksa novel. Seperti Jordan, dia juga ikut pergi. Tapi yang ini tidak kusesali.

Aku menghela napas, meyakinkan diri bahwa aku pasti tidak meletakkan buku dengan benar sehingga guncangan akibat pintu yang dibuka membuatnya terjatuh. Terserah, deh, tapi ini jawaban yang paling logis. Tidak ada makhluk halus yang bersembunyi dan bermain 'ciluk-ba'. Tidak ada yang mengintai, seperti yang dikatakan Jeremy.

Dengar, tidak ada.

Untuk menegaskan hal itu, aku memutar lagu One Direction, membiarkan ketukan dan seruan semangat membahana di kamarku. Pikiranku sudah teralihkan sepenuhnya oleh suara merdu Harry Styles ketika aku menyingkirkan mangkuk kosong dan membuka laptop—lihat, aku tidak benar-benar berbohong kan. Ponsel di atas mejaku bergetar, sehingga aku melepaskan pandangan dari layar laptop setelah mengetik judul 'ROMEO & JULIET: twist version'.

Ternyata Dave, sepupuku.

'Kenapa kau tidak ikut?'

'Sibuk,' balasku.

'Dasar sok sibuk.' Dave membalas. Dia masih mengetik. 'Wait. I smell something fishy.'

'Pasti bau mulutmu sendiri.'

'Payah, Daisy.' Ada emotikon marah di sebelah katanya. Dia mengetik lagi. 'Kau dan Uncle Rylan putus ya?'

'DAVID,' balasku cepat sampai hampir salah ketik. 'KAMI TIDAK PERNAH JADIAN. PAHAM TIDAK?'

Sepupuku mengirim emotikon tersenyum miring yang menyebalkan, lalu mengirim pesan lagi, 'Tapi Uncle Rylan jadi aneh lho. Dia nggak membalas sapaanku. Senyum pun tidak.'

Yeah, dengusku dalam hati, selamat bertemu dengan Rylan yang sebenarnya.

Tapi alih-alih berkata demikian, aku hanya membalas, 'Mungkin stres pasca trauma.'

Ya Tuhan, aku bisa terdengar cerdas juga.

Dave tidak membalas lagi, dan aku yakin bahwa itu adalah masa di mana dia akhirnya disibukkan dengan makanan. Kulanjutkan ketikan di laptop, mengira akan menulis selancar air keran yang mengalir deras di toilet luar, tapi kenyataannya aku tidak tahu kalimat apa yang akan keluar dari mulut Juliet saat bertemu dengan Romeo di pesta dansa.

Maka aku merebahkan tubuh ke tempat tidur, memejamkan mata dan mencoba sekuat mungkin untuk membayangkan gaun-gaun mengembang, lantai marmer yang mengkilap, dan jatuh cinta pada pria tampan. Sulit, mengingat Romeo yang kubayangkan adalah Jackson.

Suara air keran.

P

unggungku menegak secepat kilat, lalu buru-buru keluar untuk mematikan keran di atas ember kecil yang tumpah. Papa akan marah besar jika tahu aku lupa mematikannya. Setelah menghembuskan napas lega, aku mengeluarkan mangkuk dan mencucinya, kemudian kembali ke kamar dan membanting diri  ke kasur dengan tangan terentang.

Kurasa aku pasti ketiduran, karena tahu-tahu saja ada suara bola karet yang memantul di lantai, semakin lama semakin jelas. Hawa dingin yang tiba-tiba merayapi kulitku, padahal aku belum menyalakan AC, membuatku menyadari apa yang sedang terjadi.

Aku mendapat pengunjung.

Seharusnya kubuka mataku, lalu kusapa dia seperti yang selalu kulakukan pada yang lain. Tapi mendadak suara Jeremy bergema di kepalaku.

Ada yang mengintaimu.

Apa yang lebih parah dari seorang penguntit? Seorang hantu penguntit. Sebaiknya aku lanjut tidur saja.

Tapi dia tidak jahat, tambahku dalam hati, dan nyaris saja kuteriakkan dengan keras.

Perlahan, aku memaksa kelopak mataku yang berat terangkat, lalu mengerjap beberapa kali ketika menyadari kamarku dalam kondisi gelap. Aku membiarkan pintu kamarku tidak ditutup, sehingga cahaya dari luar ruangan yang masuk cukup membantuku untuk membuktikan bahwa tidak ada sosok apa pun di sini.

Tapi dia ada, beberapa detik sebelumnya, karena jika tidak, bola karet bergambar pokemon tidak akan memantul lemah dengan sendiri dan menggelinding ke bawah ranjangku. Dan udara di sekitarku juga mulai kembali normal.

Siapa dia?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro