Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

29. Bayangan

"Daisy, kau belum sempat makan malam." Mama mengingatkan saat aku berkata padanya kalau akan keluar sampai entah jam berapa.

"Aku akan makan di luar," kataku cepat sambil mengambil tas dari gantungan dinding dan memasukkan beberapa barang penting—tabung tali, ponsel, sejumlah uang, dan kartu pelajar (jangan tanya kenapa). Aku sudah mengganti celana rumah pendekku dengan jins biru, hal paling pertama yang bisa kuraih dari lemari, dan kurasa tidak sempat lagi memikirkan apakah kaus biru muda polos ini terlihat keren di luar.

"Bersama Charles?" tanya Mama hati-hati. "Daisy, maaf karena Mama merasa kita harus membicarakan ini. Mama tahu kau punya selera pada pria yang agak lebih tua—"

"Ma," potongku, merasa luar biasa tidak nyaman. "Charles itu pacar Rebecca. Atau mantan. Entahlah. Dan alasan dia kemari karena mereka sedang bertengkar atau semacamnya."

"Oh, jadi kalian punya selera pada—"

"Dengar, dengar." Aku jadi merasa tidak enak karena harus memotong Mama dua kali. "Boleh nggak kita bicara soal ini nanti? Aku buru-buru banget."

"Buru-buru bertemu Rylan?"

"Ma," rengekku.

Mama menunjuk layar ponselku. Tersadar, aku segera mengangkat telepon dari Rylan dan menjelaskan seadanya soal apa yang kuketik di WhatsApp tadi. Aku tidak bisa menyebut Rebecca berada dalam bahaya di depan Mama, tapi intinya aku mendesak Rylan untuk segera datang karena kami harus segera menyusul Rebecca.

Anthony kusuruh mencari Katrine dan Ellen untuk menyampaikan soal itu, kemudian menemani Rebecca untuk memastikan dia baik-baik saja. Sudah lima menit berlalu sejak Anthony pergi, dan absennya kabar dari hantu itu membuatku tidak bisa tenang. Aku mulai berpikir seharusnya para hantu juga dibekali semacam ponsel atau apa supaya bisa ditelepon kapan saja.

"Oh, jadi kalian punya misi untuk menghubungkan kembali Rebecca dan Charles." Mama menyimpulkan setelah mendengar percakapanku dengan Rylan.

"Benar," jawabku. Apa lagi? 'Bukan, Ma, tapi Rebecca dan Charles diteror hantu dan hanya aku dan Rylan yang bisa membantu mereka. Plus Ellen dan keluarganya. Jadi paham kan, kami sedang dalam misi penyelamatan heroik.'

"Apa kalian tidak agak sedikit terlalu serius?" Mama mengikutiku yang berjalan ke luar kamar hingga ke teras rumah. "Pertengkaran dalam hubungan itu wajar, dan lagipula kalian masih SMA."

Aku menatap Mama sejenak, ingin menangis karena tidak bisa memberitahukan hal yang sebenarnya. Kutundukkan kepalaku untuk menyembunyikan raut bersalah yang mungkin akan dibacanya, lalu berpura-pura fokus mengikat tali sepatu. "Rebecca sedang luar biasa sedih, Ma. Dia butuh bantuanku."

Syukurlah, saat aku sudah berdiri tegak, mobil Rylan sudah tiba di depan rumah. Dia membuka jendela dan mengklakson, mengangguk singkat pada Mama tanpa senyum. Tidak sopan.

"Omong-omong," panggil Mama sebelum aku pergi, "siapa tahu jika kau tidak nyaman dengan kamarmu, kau bisa beritahu Mama. Mungkin ventilasi yang kurang atau apa, karena hawanya selalu tidak enak."

"Aku baik-baik saja," kataku sambil tersenyum menenangkan.

Mama masih menatapku dengan khawatir. "Hati-hati, Daisy."

Mungkin benar bahwa insting seorang ibu itu kuat, karena ternyata aku benar-benar butuh nasihat itu.

***

"Pak Charles belum datang. Silakan mendaftar untuk mendapat nomor antrian," kata si resepsionis wanita bertubuh kecil untuk ke sekian kalinya.

"Aku tidak butuh konsultasi. Kami hanya ingin ke ruangannya untuk mencari seorang teman," balasku frustrasi.

"Maaf, Bu, selain dokter atau staff rumah sakit, kami tidak boleh memberi akses ke ruang praktek di luar jam konsultasi."

"Charles Winata adalah teman dekatku," kata Rylan. "Dia meminjam barang penting milikku dan aku membutuhkannya sekarang."

Si resepsionis tampak gugup mendongak pada Rylan yang jauh lebih tinggi darinya. Matanya nyaris tidak berkedip. "Mo-mohon supaya menunggu hingga Pak Charles tiba."

"Ada yang mencariku?" Suara familier dari belakang kami menyapa. Belum pernah aku selega ini melihat kemunculan sosok itu. Berkebalikan denganku, Rylan menatap Charles dengan tatapan tidak bersahabat, kentara sekali berkontradiksi dengan hal yang diucapkannya pada resepsionis barusan.

Kami tidak membuang waktu. Kuceritakan soal Rebecca yang mengaku menemui 'Charles', namun kini tidak terlihat di sudut rumah sakit mana pun. Charles mengantar kami ke ruang prakteknya, menunjukkan tidak ada siapa pun yang berada di sana. Ketika aku mengerang putus asa dan berputar-putar dengan panik di ruangan, Rylan menemukan jepit rambut di kursi pasien.

"Itu bisa milik siapa saja," kata Charles. Dia benar.

Rylan menyarankan untuk mengecek rekaman CCTV, tapi Charles bilang itu terlalu ekstrem dan dia tidak punya waktu untuk menghubungi pihak keamanan.

"Jadi apa yang bisa kau sarankan? Duduk-duduk dan mengobrol dengan pasienmu sementara orang yang katanya kau peduli menghilang tanpa jejak? Aku tidak tahu apa yang Rebecca lihat darimu, tapi kau bahkan tidak pantas menjadi temannya," dengus Rylan jijik.

Walau berusia empat tahun lebih tua dari Rylan, Charles hanya terhenyak di kursinya tanpa bisa membalas perkataan Rylan yang sudah berjalan keluar dari ruangan. Aku tidak tahu harus kasihan atau ikut puas, karena setelah dipikir-pikir Rylan ada benarnya. Jadi kutinggalkan Charles dan mengikuti Rylan.

Seperti dugaan, pihak keamanan juga enggan memberikan akses rekaman CCTV karena menganggap alasan kami tidak jelas. Rylan tidak membuang waktu untuk membujuk. Dia memutuskan menghampiri beberapa hantu dan bertanya apakah mereka melihat Rebecca. Tindakan nekad kalau kubilang, tapi entah bagaimana Rylan bisa menghindari teror hantu yang memintanya melakukan sesuatu.

"Tidak ada yang memerhatikan Rebecca. Bahkan para hantu. Dasar payah." Rylan memukul setir dengan frustrasi, masih sambil mencoba menghubungi ponsel Rebecca untuk keseribu kalinya. Tidak tahu harus berkata apa, aku hanya bersandar di jok samping dan berdoa pada Tuhan supaya Anthony cepat-cepat memberi kabar.

"Hei. Di sini ternyata." Tiba-tiba Katrine muncul di jok belakang kami.

"Di mana Anthony?" tanyaku cepat.

"Itu anehnya. Anthony tidak kembali lagi sejak menemani Rebecca. Sisi positifnya, kita tahu Rebecca tidak sendirian. Sisi negatifnya, kita tahu kalau Rebecca sedang menghadapi sesuatu yang serius, karena itulah Anthony tidak bisa meninggalkannya," jelas Katrine. "Itu kata Pak Asia."

"Tidak membantu," kata Rylan dingin.

"Setidaknya hargailah usaha kami," ucap Katrine tersinggung. "Mila sedang mencari Anthony sekarang. Dan aku akan menghubungkan kalian dengan keluarga Tenggara. Mereka sedang menuju ke sini."

"Katakan pada mereka kalau tidak ada gunanya," ucap Rylan.

"Abaikan dia," pintaku saat Katrine melempar pandangan terluka pada Rylan. "Ke mana kita harus mencari Rebecca?"

"Pertanyaan bagus," dengus Rylan.

Aku hampir melempar ponselku yang berdering saking antusiasnya. Ketika mendapati si penelepon berasal dari nomor tidak dikenal, aku mengangkatnya dengan setengah hati.

"Daisy Wu?" Suara Charles menyapa.

"Dari mana kau mendapat nomorku?"

"Bertha. Barangkali dia dapat dari Benjamin juga," balasnya.

"Kami punya grup kelas di WhatsApp. Kau punya informasi soal Rebecca?"

"Aku mengirimkan sesuatu ke WhatsAppmu. Coba cek." Sebelum aku sempat menjawab, Charles sudah memutuskan sambungan.

Dengan tangan gemetaran, aku mengunduh video yang dikirimkan nomor Charles, menyaksikan rekaman CCTV dari sudut pandang pojok atas ruangan praktek Charles. Kugeser layar ponselku supaya Rylan juga bisa melihat dengan jelas.

Dari rekaman tersebut, tampak Rebecca masuk sendirian dan duduk di kursi pasien sambil berbincang dengan udara kosong. Beberapa saat kemudian Rebecca mengeluarkan ponsel dari saku, meneleponku, lalu tiba-tiba punggungnya menegang. Dengan wajah kaku, dia menyimpan kembali ponselnya dan terkejut saat mendongak pada sesuatu yang tidak terlihat di atasnya. Mendadak Rebecca bangkit perlahan, berjalan seperti robot ke luar pintu, lalu ruangan kembali gelap.

"Ulangi lagi dari sepuluh detik terakhir," perintah Rylan.

Aku mengikuti permintaannya, dan kami kembali menyaksikan Rebecca yang mendongak dengan wajah terkejut.

"Dia melihat sesuatu," kataku dengan bisikan. "Tapi tidak ada siapa pun."

"Ulangi lagi. Ada sesuatu."

Kali ini aku melihat kalau Rebecca tidak sekedar berhadapan dengan udara kosong. Ada sosok gelap yang tadinya kukira adalah bayangan Rebecca, tapi mulai terlihat tidak masuk akal karena tidak mungkin bayangannya bisa bergerak sendiri.

Ketika Rebecca berjalan keluar, aku memerhatikan ada bayangan lain yang mengikutinya dari belakang.

Bayangan itu berbentuk seperti manusia.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro