24. Skandal
Tidak hanya Jackson yang kebingungan saat Rebecca berjalan cepat dengan kitten heelsnya, sementara kami mengikuti di belakang bagai bodyguard. Jackson menyenggolku dan memberi tatapan bertanya, tapi hanya kubalas dengan kedikan bahu. Aku harus mengendap dan berlindung di belakang tubuh besar Jackson saat melewati pintu ruangan, lalu berbisik pada Rebecca untuk duduk di tempat yang kutunjuk. Tapi Rebecca malah menggeleng pelan, tatapan matanya lurus ke atas panggung pada Helga yang memanggilnya dengan heboh bagai bertemu selebriti.
Oke, tampaknya tak ada seorang pun yang repot-repot menyadari kehadiranku, jadi kulangkahkan kaki dengan santai, duduk di kursi tadi bersama Jackson yang berwajah bego, kemudian memandang Rebecca yang berjalan ke depan panggung. Rebecca memang bukan tipikal anak pendiam yang canggung di kelas atau semacamnya, tapi aku belum pernah melihatnya sepercaya diri itu. Sorot mata ramah dan cerianya yang biasa kini berubah tegas. Senyumnya mengingatkanku dengan Bu Mia, guru Kimia galak, ketika membagikan soal ulangan dan tahu tidak akan ada seorang pun yang mendapat nilai sempurna walaupun kami diperbolehkan membuka buku catatan.
Ekspresi menang. Rebecca tahu apa yang akan dilakukan dan yakin sekali semuanya akan dibawah kendalinya. Entah dari mana kepribadian itu muncul, mengingat setengah jam yang lalu dia masih terisak dan meratapi pacarnya yang kemungkinan besar berkhianat.
"Oi, lihat, Charles kabur!" seru Anthony sambil menyenggol lenganku, tepat saat aku baru saja ingin mencari sosok psikolog muda itu.
Kutolehkan kepalaku ke arah yang ditunjuk Anthony. Charles tidak sulit ditemukan, walaupun dia hanya mengenakan kemeja hitam lengan panjang dengan rompi abu-abu satin. Dia adalah salah satu dari sedikit pria dewasa di ruangan ini, dan walaupun tidak setampan Rylan—
Tunggu. Mataku menangkap sosok jangkung Rylan yang berjalan di pinggir ruangan. Dia tidak melihatku, tentu saja, karena perhatiannya didedikasikan untuk Rebecca yang sudah menaiki panggung dan melakukan test mic.
"Halo, kau akan membiarkan Charles pergi?" tanya Katrine, yang kedengarannya lebih ingin menyusul Charles ketimbang khawatir dia kabur.
"Kenapa aku harus mengejar dia?" tanyaku. "Dia kan bukan pacarku."
Aku meluruskan kepala ke arah panggung lagi, menyaksikan Rebecca yang kini mulai berpidato singkat tentang ucapan ulang tahun untuk Bertha dan menceritakan bagaimana mereka bertemu dan dekat. Segalanya terlihat baik-baik saja seakan mereka benar-benar bersahabat dengan tulus.
"Kau tidak merasakannya, Daisy?" bisik Jeremy di sampingku.
"Yeah, ternyata Rebecca pandai berpura-pura jika dia mau," komentarku serius.
"Soal Charles, bego," kata Anthony tidak sabar.
"Insting," jelas Jeremy. "Ada hal yang nggak beres. Mila nggak terlihat di mana pun. Aku merasakan energi yang aneh dari Charles."
Wajahku menegang. "Oh sial. Jangan bilang Charles kerasukan Mila."
"Tidak tahu kalau belum mencari tahu," geleng Jeremy. "Kau keluar bersama Anthony. Aku dan Katrine di sini."
Katrine sempat mengeluh, tapi akhirnya dia mengangkat bahu dan merebahkan tubuh di kursiku saat aku bangkit dan berjalan keluar bersama Anthony. Sekali lagi, tidak ada yang menyadariku bolak-balik pintu ini selama berkali-kali. Pelayan yang berdiri di dekat pintu pun hanya melirikku sekali dan kembali berfokus pada panggung.
"Aku ingat pas dulu berulang tahun ke-tujuh belas, nyaris nggak ada acara yang berarti. Keluargaku masih berduka akibat kematian ...."
Suara Rebecca di panggung mulai teredam seiring pintu yang menutup. Tidak membuang waktu, kulangkahkan kaki ke depan lift, merasa membuang waktu karena pintu lift tidak kunjung terbuka, kemudian berlari ke arah tangga. Toh ini hanya lantai dua.
"Bagaimana kau tahu Charles ke bawah bukannya ke atas?" tanya Anthony tiba-tiba.
"Jadi bagaimana, kau mau aku berteriak memanggilnya atau menyuruh patung Poseidon ini mencarinya?" balasku ketus sambil ngos-ngosan. Kami sudah berada di bawah tangga melengkung, dan aku menyandar ke pegangan marmer dengan pasrah saat tidak menemukan jejak Charles di mana pun. Kulirik patung emas besar di antara dua tangga melingkar—wujud pria berambut panjang yang mengangkat trisula, sesuai tema hotel yang bernuansa bawah air—dan setengah berharap karya seni itu mendadak berkedip dan mengatakan bahwa aku adalah salah satu keturunannya.
Yeah, Daisy, beda genre. Urusanmu adalah hantu, bukan makhluk mitologi Yunani.
"Aku tahu." Detik kemudian Anthony berlari, sehingga mau tidak mau aku mengikutinya dan mengabaikan sepasang hantu muda yang menghampiriku di dekat pintu keluar.
"Jangan sekarang!" teriakku tanpa memelankan langkah sambil melambaikan tangan pada mereka, yang malah mengundang tatapan tidak bersahabat dari gadis berseragam biru di balik meja resepsionis. Kudengar seorang tamu yang sedang membayar mulai berbisik pada resepsionis itu soal betapa tidak sopannya remaja jaman sekarang, tapi aku tidak punya waktu untuk berbalik dan menjelaskan.
Anthony membawaku ke gedung parkir yang terpisah dengan hotel, matanya berpindah dari satu titik ke titik lain dengan cepat, kemudian dia bersorak pada sebuah mobil hitam yang menyala. Kali ini Anthony tidak menungguku lagi. Dalam sekejap dia sudah duduk di atas kap mobil Charles, dan aku masih harus melanjutkan langkahku yang terasa lamban.
Ketika tiba di depan sedan hitamnya, barulah kusadari apa yang terjadi. Anthony entah bagaimana melakukan sesuatu pada mesin mobilnya sehingga kendaraan tersebut hanya meraung tanpa bergerak sama sekali ketika Charles menginjak gas.
"Wow, bagaimana ... hah ... kau melakukannya?" tanyaku kagum, masih terengah.
"Rahasia hantu," ucap Anthony penuh misterius. Dia berbalik pada Charles yang memukul setir dengan frustrasi. "Sekarang keluar kau, dasar pengecut!"
Seakan mengikuti instruksi Anthony, Charles akhirnya keluar dari mobil dan menatapku berang seakan ini adalah salahku. "Kenapa kau di sini?"
Sambil mengatur napas, aku mengusap buliran keringat di dahi dan melipat lengan supaya terlihat seperti paranormal profesional. "Seharusnya aku yang bertanya begitu."
"Urusan orang dewasa."
"Dasar pembohong!" Anthony melempar sebuah kerikil ke Charles hingga mengenai pipi pria itu. Charles, yang kebingungan dari mana batu itu berasal, mengaduh sambil mengelus pipi mulusnya.
"Seperti, menghadiri acara ulang tahun anak SMA?" dengusku. Di kepalaku, aku sudah menampar Charles habis-habisan dan berteriak, "Rasakan! Ini untuk tangisan Rebecca yang terkhianati!"
Tapi Paranormal profesional tidak seharusnya bermain tangan di awal pertemuan, kata Ellen. Jadi aku masih berusaha mengontrol napas, menghitung satu, dua, tiga, empat, kenapa Charles belum menjawab?
"Itulah kenapa aku tidak ingin Rebecca datang," desahnya.
"Oh, supaya hubunganmu dan Bertha tidak ketahuan?" balasku dengan nada meninggi. Aku tidak berbakat bersosialisasi dengan orang asing. Tapi soal tuduh-menuduh, aku juaranya, sehingga sekarang bisa dipastikan aku terlihat sangat mengintimidasi dan seharusnya Charles sudah berkeringat dingin.
"Kau tahu Bertha akan mengumumkan hubungan terlarang kalian yang menjijikkan. Mungkin kau juga tahu apa yang akan dilakukan Bertha sekarang, yang akan menghancurkan Rebecca, tapi kau memilih kabur," lanjutku.
"Di mana kalian bertemu, pedofil? Tempat penitipan anak?" tanya Anthony.
"Kita tujuh belas, bukan tujuh tahun," bisikku pada Anthony.
Charles menggeleng, tidak terima dengan ucapanku, karena dia tidak mungkin bisa mendengar Anthony. "Karena Rebecca akan salah paham. Kalian salah paham. Aku bahkan tidak tahu apa yang Bertha rencanakan—"
"Jadi kenapa kau di sini?" tanyaku tidak sabar. "Menawarkan jasa konsultasi jiwa gratis untuk anak remaja?"
Aku sering membaca atau menonton soal kasus perselingkuhan, dan tidak ada satupun yang berhasil kupahami. Menjalin hubungan romantis dengan seseorang saja sudah merupakan sebuah kegiatan yang luar biasa. Kau akan mencurahkan energi, waktu, dan perasaan lebih banyak untuk orang itu—dan bahkan membagi jiwamu, jika lagu-lagu romansa itu benar. Maksudku, lihatlah, aku mencintai seseorang—atau setidaknya satu jiwa, secara teknis—dan hasilnya adalah diriku yang menyasar di kuburan. Bisa kau bayangkan jika dua orang?
"Bertha adalah sepupu Mila," kata Charles akhirnya. "Dia mengundangku dan aku tidak bisa menghindar karena dia terus mengungkit soal Mila. Rebecca tidak tahu soal ini."
Aku mengerjap, sama sekali tidak menyangka kalimat yang keluar dari mulut Charles. Sepertinya lebih mudah menerima fakta bahwa Charles dan Bertha diam-diam punya skandal.
Barangkali dia berbohong, suara skeptisku bergema di kepala. Dia kan psikolog.
"Itu bukan alasan ...." Nadaku terdengar tidak terlalu yakin.
"Man, kalian punya isu," komentar Anthony. Kemudian dia meliriku sambil menunjuk Charles. "Bagaimana bisa dia merahasiakan banyak hal pada pacarnya? Dulu aku memberitahu password Facebook-ku ke pacarku."
"Itu karena isinya kosong," balasku ke Anthony. Dulu aku memang sempat iseng mencari-carinya di sosial media, dan tampaknya Anthony hanya membuat akun supaya tidak ada yang berseru, 'Loh, kau tidak punya Facebook?!'
"Jika Bertha benar-benar sedang mengganggu Rebecca sekarang, aku harus ke sana." Charles mematikan mesin mobil, lalu hendak melangkah sebelum aku mencegahnya.
"Jangan khawatir, dia baik-baik saja," kataku.
"Tadi kau bilang—"
"Rebecca sudah punya cara untuk menghadapi situasi itu," kataku meyakinkan, walau aku sendiri tidak punya bayangan bagaimana Rebecca akan melakukannya. Tapi melihat sorot matanya tadi, aku jadi percaya kalau nasib Bertha lah yang perlu dicemaskan.
Kecuali Mila datang dan menghancurkannya.
Dan jika Mila muncul, akan ada Jeremy dan Katrine yang menghadapi.
"Semuanya aman," ucapku lagi, kali ini lebih pada diri sendiri. "Sebenarnya tujuan utamaku mengejarmu untuk mencari Mila."
"Mila?" tanya Charles, wajahnya menegang. "Dia di sini?"
"Duh, kalau dia sedari tadi di sini, kita tidak akan sempat punya waktu untuk berbincang santai," dengus Anthony.
"Sudahlah, Anonim, dia toh tidak bisa mendengarmu." Aku menepuk pundak Anthony, kemudian kembali menatap Charles. "Kau tahu kalau aku juga melarang Rebecca ke pesta. Tapi alasanku lebih keren. Mila pernah mengancam sesuatu yang katanya mungkin saja dia akan muncul di sini dan membahayakan Rebecca."
"Kalau begitu kita harus membawa Rebecca pulang." Charles hendak melangkah kembali, yang lagi-lagi kucegah.
"Tidak membantu," kataku. "Dengar, sudah tidak ada gunanya lagi. Sekarang kita yang akan mencari Mila. Tapi ternyata dia tidak muncul di mana pun, jadi itu aneh."
"Ada yang memanggilku?"
Aku dan Anthony menoleh ke sumber suara halus di belakang. Dalam kondisi normal, jika kau akhirnya menemukan sesuatu yang kau cari sedari tadi, reaksi pertamamu adalah lega kemudian berteriak, 'Nah, itu dia!' sambil berseri. Kami memang memantau dan menanti kehadiran Mila sedari tadi, namun ketika dia sudah berdiri di tiga meter di depan matamu sambil melangkah congkak, aku tidak bisa merasa merasa senang sedikit pun.
"Apa itu dia?" tanya Charles kebingungan.
"Hai, apa kabar!" seru Anthony dengan nada dibuat-buat. "Masih terlihat bagus setelah kabur dari penjara ya?"
"Minggir," kata Mila dingin.
Tubuhku sudah berbalik sepenuhnya. Kedua tanganku mengepal, diam-diam membentuk ancang-ancang seandainya Mila memilih baku hantam sebagai salam pembuka. Anthony juga melakukan hal yang sama di samping. Kedua mata tajam Mila terarah lurus ke titik di antara kami. Hal yang tidak kusadari, ternyata perintah itu ditujukan padaku dan Anthony sekaligus.
Karena tahu-tahu saja Mila malah menyerang Charles.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro