Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

21. Nasihat Jelangkung

Aku sudah terbiasa bertengkar dengan adik-adikku. Well, justru akur dengan mereka adalah hal yang tidak terlalu wajar bagiku. Kami mempermasalahkan hal-hal kecil, memperebutkan segalanya, menyalahkan apa pun. Lily pernah dengan sengaja menghabiskan jatah es krimku dan sebagai gantinya aku mengambil kembali buku binder yang pernah kuberikan padanya. Beberapa jam kemudian kami menonton film bersama di kamar dan melupakan masalah tadi.

Intinya, kau tidak pernah khawatir jika punya konflik dengan saudaramu, karena kalian toh juga akan berbaikan tanpa harus mengucapkan maaf.

Nah, masalahnya Rebecca bukan saudaraku, jadi aturan itu tidak berlaku. Usaha terbaik yang kulakukan hanyalah menghampirinya saat latihan drama Jumat kemarin, menggumamkan maaf dengan suara yang terdengar seperti ada segumpal kapas di mulutku. Entah tidak dengar atau tidak peduli, Rebecca malah menghampiri Jackson yang memanggilnya tanpa menoleh padaku.

Biar kuberitahu rasanya: seperti ditonjok Hulk. Tidak ada yang lebih menyakitkan ketimbang teman baik yang mengabaikanmu, apalagi tidak mau memaafkanmu. Aku memilih dicekik Mila sekali lagi—OMONG-OMONG DI MANA DIA?

"Oke, adegan selanjutnya favoritku," Fei mengumumkan. "Juliet dan pelayannya berbincang di kamar, lalu hantu Romeo berusaha berkomunikasi dengan Juliet. Walaupun Juliet tidak bisa melihatnya, entah bagaimana dia bisa merasakan kehadiran Romeo."

"Sedih," keluh Jackson saat William mulai memainkan nada Once Upon A December.

Aku tidak sempat menyaksikan adegan mereka karena harus mengatasi masalah tim tata panggung di sudut kelas yang berdebat apakah mereka harus membuat bunga di antara rerumputan atau cukup rumput saja. Kubilang itu bukan masalah besar, tapi Levina, sang ketua tim, mengotot kalau kehadiran sebatang bunga saja bisa mempengaruhi nilai drama kami.

"Tidak perlu repot-repot bikin bunga, letakkan saja Daisy di sana," saran Anthony yang tiba-tiba muncul di belakang mereka.

"Kau tahu mereka tidak bisa mendengarmu," kataku sambil memutar bola mata.

"Ide bagus," kekeh Levina, "Daisy itu kan bunga."

"Apa?" tanya yang lain dengan wajah bingung.

"Tadi ada yang menyarankan ...." Levina menoleh ke sekitar dengan wajah pucat. "Eh, tunggu. Sumpah tadi ada suara dari belakang."

"Belakangmu dinding, Lev," jawab temannya.

Masih menganga, aku melirik Anthony yang terkekeh dan menghilang untuk muncul lagi di sampingku. Kuseret dia menjauh dari tim tata panggung yang mulai bergidik dan menceritakan pengalaman-pengalaman seram.

"Kenapa kau muncul di sini?" bisikku.

"Kapan akhirnya kau mengerti rasa terima kasih karena ada hantu baik yang melindungimu dari bahaya?" decak Anthony sambil duduk di salah satu meja kosong di sampingku. Saat itu memang jam pulang sekolah, tapi kelas masih ramai oleh anggota kelompok dramaku. Para pemain latihan di depan kelas, tim tata panggung menyusun meja dan membuat properti entah apa yang hanya Tuhan bisa tahu bagaimana hasilnya nanti, sedangkan tim tata busana terlihat lebih kompak dan meyakinkan, karena mereka benar-benar menjahit sendiri gaun untuk Juliet dari kain-kain yang dikumpulkan.

"Aku sedang latihan drama. Memangnya bahaya apa yang akan terjadi?"

"Bahaya sedang menghampirimu sekarang," jawab Anthony serius.

Belum sempat aku membalikkan tubuh ke arah pandang hantu itu, tiba-tiba sebuah tepukan keras menghantam pundakku. Aku sudah hampir mengeluarkan senjata dari saku kemeja—tali perak pendek yang diberikan Pak Asia kemarin—sampai akhirnya tersadar kalau itu Jackson.

"Kapan sih kau dan Rebecca berbaikan? Lihat, mereka sudah semakin dekat. Aku nggak suka melihatnya," keluh Jackson sambil mengedikkan dagu ke arah William yang mengajari sedikit nada keyboard pada Rebecca. Fei tampaknya sibuk menceramahi Rio, pemeran Paris, jadi ini adalah kesempatan break bagi sisa pemain.

"Apa kau sadar kalau Rebecca sudah punya ... pacar?" tanyaku sambil menggeleng prihatin. Rebecca dan William yang semakin dekat adalah hal yang bagus, tapi jika sampai berkencan, itu sesuatu yang mustahil. Aku bahkan tidak bisa membayangkannya.

Sambil bersandar ke ujung meja, Jackson berdecak. "Dokter gila yang sudah tua itu kan?"

"Sebenarnya psikolog," koreksiku. "Dan dia tidak tua-tua banget. Lumayan tampan, selera busana bagus, mirip Lee Min Ho."

"Tsk. Aku tidak akan pernah percaya dengan om tua itu. Pasti dia menggunakan kemampuan psikologis untuk menghipnotis Rebecca. Kau tahu, Rebecca lebih pantas dengan cowok seumuran dia." Jackson menunjuk dirinya sendiri.

Aku berdeham, tidak tahu bagaimana cara menyampaikannya. "Uhm, sebenarnya ...."

"Mereka sudah putus?" tanya Jackson penuh harap.

"Mereka baru saja jadian, Jackson."

"Kau juga suka Charles? Makanya kemarin kalian bertengkar? Cinta segitiga? Pantas saja kau tidak cemburu saat Rebecca dekat dengan William. Kupikir kau suka William."

Aku memukul bahu Jackson cukup kuat hingga dia mengaduh. "Kau kira aku sepertimu, yang fokus utamanya di masalah cinta?"

Di sampingku yang lain, Anthony terbatuk sambil menggumamkan nama Jordan. Aku harus pura-pura tidak mendengar.

"Jadi kenapa kalian bertengkar? Rebecca tidak mau cerita. Siapa Mila? Dasar cewek-cewek penuh rahasia rumit."

"Hantu," jawabku, yang membuat Jackson menoleh padaku dengan wajah menegang. Dia menatapku tanpa kedip seakan sedang memastikan bahwa aku tidak bercanda.

"Mantan pacar Charles," tambahku lagi. "Tahu kan, dia sudah meninggal tapi tidak ingin melepaskan pacarnya. Jadi Rebecca diganggu. Mila mengatakan Bertha merencanakan sesuatu untuk Rebecca, itulah kenapa aku tidak ingin dia hadir ke pesta besok."

Kukira Jackson akan tertawa atau semacamnya, tapi di luar dugaan, dia hanya mengangguk pelan. "Sudah kuduga."

"Apa?" tanyaku bingung.

"Sudah kuduga Charles memang bukan orang yang tepat. Kalau Rebecca bersamaku, tidak akan ada masalah," jawab Jackson enteng.

"Tepat," kata Anthony menyetujui.

Aku menempeleng kepalanya. "Hei, perasaan bukan sesuatu yang bisa kau paksakan. Lagipula ini bukan salah Charles sepenuhnya."

"Berani-beraninya kau." Jackson balas menusuk dahiku dengan telunjuknya. "Belum kapok kena tinju?"

"Sialan." Teringat trauma, aku mengelus sebelah dahiku yang pernah bengkak akibat tidak sengaja ditonjok Jackson beberapa bulan yang lalu.

Tiba-tiba Jackson menatap kepalan tangannya sambil tersenyum, lalu meninju pelan ke udara kosong di depannya. "Aku ingin bergelut lagi."

Kalimat itu dibalas oleh Anthony dengan pukulan di belakang kepalanya. Jackson, yang tidak merasakan apa pun, tetap melanjutkan, "Gara-gara Anthony, aku suka berkelahi."

"Gara-gara aku?" kata Anthony tidak percaya.

"Dulu kami sering bermain smack down. Sampai Mama capek menegur kami. Tapi aku selalu kalah. Jadi aku senang setiap bergulat dengan orang lain dan menang."

"Itu karena mereka takut padaku, jadi mending mengalah dulu," kekeh Anthony.

"Setelah dia meninggal, aku berhenti." Jackson melompat duduk ke meja, menatap ke langit di luar jendela kelas yang kecil. Anthony ikut duduk di sebelahnya. Selama beberapa saat kami terdiam canggung karena aku tidak tahu harus membalas apa.

Kemudian Jackson berkata lagi. "Tahu tidak salah satu alasan aku suka Rebecca? Kami sama-sama pernah kehilangan kakak laki-laki."

"Kau tahu soal itu?" tanyaku terkejut.

"Rebecca pernah cerita. Kau pikir kami seasing itu ya?" decaknya. "Itu percakapan mendalam pertama kami."

"Apa saja yang kau tahu?"

"Kalau kakak laki-lakinya meninggal dalam kecelakaan? Sudah lebih dari empat tahun yang lalu sih. Tunggu, jangan bilang kau belum tahu."

"Aku tahu," kataku. Lebih banyak darimu, tambahku dalam hati.

"Jadi aku mengerti bagaimana rasanya kehilangan kakak. Dan betapa rindunya."

Aku menepuk pundak lebarnya dengan pelan. "Apa yang akan kau katakan padanya jika dia di sini?"

Setelah terdiam beberapa saat, tiba-tiba Jackson mendengus. "Nggak ada. Aku bakal kunci lehernya. Anehnya terkadang aku merasa seolah dia ada di sini."

"I-iyakah?" tanyaku gugup. Anthony mulai bergeser menjaga jarak.

"Soalnya jiwa bergulatku seperti bangkit lagi," katanya sambil menatap kedua tangannya seakan baru saja memperoleh kekuatan super.

Anthony menempeleng kepala adiknya lagi. Kali ini menghasilkan efek nyata sehingga Jackson hampir terjatuh.

"Kenapa sih kau?" tukasnya marah padaku.

"Itu bukan aku," decakku ikut kesal. Kupelototi Anthony yang seharusnya di sampingnya, tapi hantu itu malah menghilang. Akhirnya kuberi penjelasan asal. "Ada hantu iseng yang tidak suka kau duduk di teritorinya."

Gurat kekesalan pada wajah Jackson perlahan lenyap. Dia memutar bola mata dengan sok berani, tapi berpindah juga ke sisiku yang lain. Sambil menundukkan kepala supaya kami sejajar, dia berbisik kepadaku, "Omong-omong soal Charles, aku memang punya insting tidak bagus terhadapnya. Sekarang, ditambah fakta kalau dia punya hantu mantan yang bergentayangan, aku yakin sekali dia bukan pria yang tepat untuk Rebecca."

"Yah, pendapat yang sangat objektif yang keluar dari seorang laki-laki cemburu," komentarku.

"Aku Romeo-nya, ingat?" Jackson mengangkat alis dengan pongah. "Masa kau tidak pernah nonton film sih? Satu-satunya alasan arwah orang meninggal tidak ingin melepaskan orang hidup di dunia ini ya karena mereka masih berhutang padanya. Ngerti tidak, Charles punya hutang besar pada Mila."

Aku mengangguk tanpa sadar. Masuk akal, karena Mila sempat mengatakan dia memberi banyak hal ke Charles. Barangkali Mila sempat meminjamkan sejumlah uang yang belum sempat dibayar.

"Tapi jika Charles membayar, toh Mila juga tidak bisa menggunakan uangnya."

"Ini bukan soal uang, Daisy." Jackson menatapku seakan aku bodoh. "Jika kita tidak bisa mencegah Rebecca ke pesta besok, berarti hanya satu-satunya cara yang bisa dilakukan."

"Apa?"

"Kau harus hadir."

"Tapi aku tidak diundang."

"Tidak hanya kau sendiri. Bawa juga teman paranormalmu."

"Ellen? Dia juga tidak mungkin diundang."

"Hei, Romeo, kalau sudah selesai berselingkuh silakan kembali ke panggung," panggil Fei sambil menepuk tangannya.

"Itulah kenapa kalian disebut Paranormal." Jackson menepuk pundakku sebelum melangkah pergi. "Datang tak diundang, pergi tak diantar."

"Itu Jelangkung."

Jackson tidak menghiraukanku lagi. Ketika dia sudah berada di depan kelas, dia berseru, "Guys, Daisy suka William! Rebecca, menjauh darinya, nanti Daisy cemburu!"

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro