Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

2. Asia Tenggara

"Tidak banyak roh yang langsung pergi dari dunia ini setelah mereka meninggal." Ayah Ellen menjelaskan sambil menarik sebuah kursi plastik rendah dan duduk di hadapanku. Dia mengenakan kaus lama yang kelihatannya seolah memudar dari hitam menjadi biru gelap dan celana pendek longgar, jenis yang biasa akan dipakai para ayah di rumah saat menerima tamu.

Ruangan ini mungkin hanya setengahnya dari ruang tamu rumahku, padahal rumah Ellen tidak memiliki sekat untuk membatasi area meja makan dan kursi kayu panjang tempat tamu duduk. Walau sudah lewat satu bulan, ornamen-ornamen imlek masih terpasang, sehingga ke mana pun mata memandang, aku akan menemukan tempelan pernak pernik bergambar kuda dan gantungan lampion mini—serius, lampionnya ada di dalam ruangan, persis di bawah lampu. Ada lukisan dewa yang cukup besar di hadapanku, mendominasi setengah sisi dinding hingga aku hampir tidak menyadari bingkai berisi foto keluarga mereka yang kaku di sampingnya. Dengan kehadiran Ellen di sebelahku dan Katrine yang merosot malas di sebelahnya, Jeremy yang duduk di kursi meja makan seraya mengamati kami, serta Ibu Ellen yang ikut bergabung sambil berdiri di belakang suaminya dengan lengan terlipat, ruangan ini terlihat sangat penuh.

Aku jarang berkunjung ke rumah Ellen, walau ayahnya beberapa kali mengundangku. Tapi ketika itu terjadi, suasananya selalu begini, seakan kami sedang mengadakan rapat keluarga serius dan aku akan mendengarkan penjelasan panjang lebar dari ayahnya sambil mati-matian menahan kantuk.

Baik, aku mengerti dengan kekhawatirannya soal 'gadis-remaja-yang-baru-melihat-dan-tidak-tahu-bagaimana-cara-menghadapi-dunia'. Ayah Ellen telah berbaik hati memberi konseling—yang sebenarnya tidak benar-benar kubutuhkan—dan memberi tips serta daftar panjang mengenai apa yang harus dan tidak harus kulakukan pada para makhluk yang sudah meninggal tapi masih asyik jalan-jalan di sekitar kita. Secara keseluruhan, dan dia sudah mengulangnya berkali-kali, kira-kira begini sarannya:

Yang harus dilakukan: berbicara baik-baik.
Yang tidak boleh dilakukan: takut (karena ini akan memberi makhluk itu peluang untuk menguasai kita dengan leluasa).

Tentu saja, aku punya versi yang lebih bagus, yang tidak berani kuungkapkan keras-keras demi kesopanan:

Yang harus dilakukan: mengurusi diri sendiri.
Yang tidak boleh dilakukan: ikut campur.

Bukannya menyombong, tapi selama tiga bulan karir paranormalku, aku berhasil mengurangi hal-hal yang tidak diinginkan ketimbang Ellen yang terus dicap orang aneh di sekolah karena kedapatan berbicara sendiri atau tersentak tiba-tiba—beberapa hantu tidak tahu tata krama. Ellen tidak pernah menyetujui caraku, karena menurut prinsip yang keluarga mereka anut, sudah jadi tugas umum paranormal untuk menolong hantu tersesat dan membasmi dunia dari roh jahat.

Sekarang, setelah melihat salah satu makhluk itu menempel di tubuh Rebecca, aku tahu kalau aku tidak bisa pura-pura tidak lihat dan mengabaikannya begitu saja.

Dan, sialnya, hantu itu bukan Casper si hantu ramah baik hati.

Aku masih ingat ketika siang tadi, kami berkumpul di ruang kelas yang sudah kosong. Semua perabot ditumpuk dan disusun sedemikian rupa ke dinding, sehingga menyisakan area luas yang kosong di tengah dengan beberapa meja dan kursi untuk pameran. Beberapa x banner masih dibiarkan di tempatnya karena acara masih berlanjut hingga besok, yang ternyata merupakan sebuah kesalahan besar ketika kulihat Jackson mengeluarkan pulpen dan menggoreskan kumis di wajah salah seorang model yang tersenyum lebar.

"Jackson ...," tegur Rebecca yang duduk di salah satu kursi. Dia menggerakkan leher sambil memijit, kentara sekali merasa tidak nyaman. Aku mencoba tidak melirik makhluk yang masih bergelantungan di belakangnya, yang mulai menjepitkan kaki ke kursi seakan sengaja ingin menambah beban.

"Tidak kelihatan kok," bela cowok berandal itu, lalu menyimpan pulpen sambil menyeringai mengagumi karyanya.

"Oke, kita mulai diskusi," kataku setelah menatap semua anggota yang hadir. Aku tidak tahu apa sudah lengkap, dan tidak mungkin kuabsen satu per satu lantaran jumlahnya dua puluh orang.

"Jadi sudah selesai naskahnya?" tanya Jakson sambil melompat ke bangku, yang tentu saja disusun di atas meja alih-alih berada di lantai.

Bagus. Baru dua hari yang lalu kami sepakat soal tema drama, dan sekarang dia mengira aku adalah keturunan Shakespeare.

"Kita akan bahas plotnya," umumku sambil mendongak padanya. Posisi Jackson membuat dia tampak seperti raja dan aku adalah anak buah yang sedang melapor.

"Ini sih seharusnya kau bahas dengan Google," kata Jackson.

Aku berdecak sambil berkacak pinggang. Hubunganku dengan Jackson memang tidak pernah baik sejak awal bertemu, sampai akhirnya kami terlibat dalam insiden yang membuatnya hampir melompat dari atap apartemen. Walau dia sudah berhenti menggangguku, tapi rupanya 'menyebalkan' memang nama belakangnya.

Persis seperti kakak laki-lakinya.

Yang omong-omong, sudah meninggal dan sempat menghantui kamarku.

Dan omong-omong, bukan, itu bukan Jordan.

Sial. Lupakan Jordan. Siapa dia? Tidak penting.

"Daisy bilang akan ada perubahan plot," ucap William.

"Jadi begini," kataku sambil mengeluarkan catatan yang sudah kutulis, "Juliet dijodohkan dengan Paris. Lalu dia bertemu dengan Romeo dan saling jatuh cinta."

"Seingatku itu plot asli," komentar Jackson.

"Kemudian," tambahku tanpa menghiraukan anak itu, "Paris dan Romeo berduel. Romeo mati. Lalu Romeo jadi hantu."

Sebuah dengusan terdengar dari salah satu murid yang menyenderkan tubuh ke tumpukan meja. Sambil menyipitkan mata, aku menoleh untuk memerhatikan yang lain, dan menerima berbagai reaksi yang beragam. William menatapku dengan mulut setengah terbuka, Rebecca masih sibuk memijat leher, dan yang lain ada yang serius mendengarkan, sementara sisanya menatapku geli.

"Masa aku jadi hantu?" seru Jackson tidak terima.

"Ini bakal seru dan romantis," kataku meyakinkan. "Setelah itu Juliet dan Paris menikah. Romeo dalam wujud hantu mencoba terkoneksi dengan Juliet, lalu membimbing Juliet untuk mencari bukti dan membongkar ke polisi. Kita akan bikin adegan seolah Romeo memasuki tubuh Paris dan berbincang dengan Juliet."

"Memangnya hantu bisa masuk ke tubuh manusia?" tanya Kevin.

"Bisa. Apalagi jika punya koneksi dengan orang itu," jawabku, sengaja melirik penuh makna pada William yang mengalihkan pandangan dengan pucat. Kurasa aku terlalu percaya diri, sehingga beberapa anak mulai menatapku aneh, jadi buru-buru kutambahkan, "Di drama kita, tentu saja begitu."

"Ini ide yang keren, kayak detektif!" seru Fei, yang akan menjadi sutradara kami.

Jackson tampak ingin membantah, tapi segera kuberi tatapan tajam yang mengancam sambil menggeleng pelan. Biasanya, dia akan menganggap ini sebagai bendera perang dan mulai menginjakku habis-habisan (tidak secara harfiah, sih), tapi kali ini Jackson membungkam mulutnya, seakan menyadari sesuatu.

Ini aneh, tapi di antara tiga temanku itu, justru Jackson yang paling memiliki koneksi kuat denganku. Terkadang dia memberiku tatapan curiga saat aku memandang titik-titik tertentu, dan dia yang paling tidak banyak bertanya ketika aku mendadak mengajak bergeser atau pindah ke suatu tempat.

"Akhirnya, Paris akan ditangkap dan Juliet tetap hidup. Tidak ada acara bunuh diri. Jadi, bagaimana Rebecca?" Aku menoleh padanya, bergidik saat si hantu mulai memainkan rambut gadis itu.

"Aku ikut saja, Dais," jawab Rebecca. "Maaf, aku tidak terlalu konsentrasi. Sepertinya aku kelelahan."

Aku mengerang dalam hati. Siapa pun akan merasa kelelahan yang luar biasa jika ditempeli begitu. Tapi aku tidak bisa mengatakannya di depan Rebecca, apalagi berteriak untuk mengusir si hantu yang semakin senang melihat Rebecca menderita. Terpaksa aku meminta Jackson dan William mengambil alih dan mulai mengatur apa yang perlu disiapkan masing-masing tim, kemudian mendekati Rebecca dan mencoba diam-diam melakukan kontak mata dengan makhluk parasit itu.

Dibanding Rebecca, gadis itu bertubuh kecil. Usianya mungkin tidak lebih dari dua puluh, tapi aku tahu dia bukan gadis SMA lagi menilai dari riasan tipis serta ujung rambut pendeknya yang pirang. Ketika gadis itu akhirnya menyadari pandanganku, alih-alih terkejut dengan mulut membulat seperti yang dilakukan para hantu lain, dia mengangkat wajah dan tersenyum penuh ketertarikan.

"Kau bisa melihatku," katanya.

Aku mengangguk sekilas. Apa yang kau inginkan, huh? Enyahlah.

"Sejak kapan kau mengalami gejala ini?" tanyaku, tentu saja pada Rebecca.

"Sepertinya dari pagi," jawab Rebecca. "Aku ingat bermimpi buruk semalam. Kurasa itu membuat posisi tidurku menjadi tidak nyaman, lalu leherku pegal dan aku jadi lelah gara-gara kurang tidur."

Selama beberapa saat aku menimbang akan memberitahu Rebecca apa yang sedang terjadi. Tapi itu berarti aku harus menyeretnya ke suatu tempat yang sepi supaya Rebecca tidak menarik perhatian orang ketika, semisalnya, Rebecca akan berteriak atau semacamnya.

Tapi, itu juga berarti aku harus menjawab seribu pertanyaan yang menyusul, seperti sejak kapan aku bisa melihat? Bagaimana sejarahnya? Dan aku harus menjelaskan soal hantu cowok yang kusukai, yang notabene adalah kakak laki-lakinya.

Benar. Jordan adalah kakak laki-laki Rebecca.

Rebecca akan kecewa. Bukan karena aku suka pada saudaranya (kuharap). Tapi Rebecca akan menyalahkanku karena tidak memberitahukan fakta bahwa dia dulu sedang berbincang dengan Jordan yang mendekam di tubuh Rylan.

Salah siapa, sih?

"Kau, um, mungkin harus berdoa," saranku. Kedengarannya payah. Apalagi aku bukan tipe orang religius yang menghapal semua ayat Alkitab. "Terutama sebelum tidur."

Rebecca hanya tersenyum. Hantu di belakangnya terbahak. Aku memelototinya.

"Jika ada kekuatan jahat yang menempel, dia akan segera dimusnahkan," kataku lagi.

Setelah terdiam beberapa saat, akhirnya Rebecca berkata, "Aku tidak tahu kalau kau tipe yang berpihak pada supranatural."

Aku menepuk bahu Rebecca, sengaja membenamkan kuku ke lengan makhluk di sekitar lehernya. "Percayalah. Hal yang tidak masuk akal belum tentu tidak benar."

"Akan kucoba," ujar Rebecca lambat-lambat.

"Apa sih maumu?" desis si hantu.

"Karena kau teman dekatku, aku tidak akan membiarkan siapa pun mengganggumu," ucapku lagi penuh penekanan.

Oke, aku pasti terlihat super aneh karena Rebecca hanya mengerjap dengan bingung.

Tapi setidaknya si hantu mulai paham, dan dia hanya tersenyum lebar dan menantang. "Coba saja."

Kata-katanya terngiang di kepalaku, bahkan aku sampai tidak fokus mendengarkan apa yang diteriakkan Jackson di akhir diskusi. William mengoceh soal ide-ide lagu yang muncul di kepalanya, tapi aku tidak bisa mencerna satu pun kata dari mulutnya. Sepertinya Jackson sempat mengajakku berbicara, yang tidak kusadari sama sekali karena terlalu fokus memerhatikan Rebecca yang berjalan ke parkiran bersama penumpang tak diundang yang menoleh padaku.

Kau tahu kenapa ada aturan tidak boleh takut? Rasa takut melemahkan rohmu. Ketika itu terjadi, mereka akan menguasaimu. Kemudian kau tidak memiliki kendali lagi atas apa yang kau ingin mereka perlihatkan padamu. Ini pertama kalinya ada hantu yang melawanku, dan beginilah hasilnya. Sebuah mimpi buruk.

Akhirnya aku melihatnya berdarah-darah dengan tangan terpotong.

Aku tidak tahu berapa lama aku terduduk di lantai gedung TK (kau harus melewati gedung ini dulu sebelum mencapai parkiran) dengan wajah pucat sambil memeluk botol minum. William sudah pulang, tapi Jackson yang sedari tadi mendesakku mulai agak panik dan menyodok lenganku. Setelah memastikan padanya kalau aku tidak akan kesurupan, aku berjalan cepat ke rumah yang jaraknya tidak jauh dari sekolah, buru-buru berganti pakaian, lalu menelepon Ellen Tenggara, satu-satunya teman sesama paranormalku, kalau aku akan ke rumahnya saat itu juga.

Waktu sudah menunjukkan pukul empat sore ketika aku tiba di sini, dan sebenarnya aku tidak mengharapkan kehadiran ayahnya. Tapi di sinilah beliau, menyambutku dengan senyuman puas bagai Shinichi Kudo yang melihat kasus di depan mata, apalagi ketika mendengarku bertanya, "Bagaimana cara mengusir hantu yang membandel?"

Jika aku melihat karena 'bantuan' Jordan, keluarga Tenggara seluruhnya adalah paranormal. Ellen dan Jeremy telah memiliki kelebihan itu sejak lahir, dan mereka jugalah yang sempat menolongku—juga Jordan, serta Jackson dan William—tiga bulan yang lalu. Jika aku adalah Harry Potter, Ellen adalah Dumbledore-ku. Atau Obi-Wan Kenobinya Anakin Skywalker. Atau Aslan-nya Lucy. Tahu, kan, semacam mentor.

Oke, mungkin bukan Ellen persisnya, melainkan ayahnya.

Omong-omong namanya Asia Tenggara.

Pak Asia, ayah Ellen, melanjutkan ceramahnya. "Biasanya ada dua alasan kenapa mereka masih di sini. Mereka tersesat dan tidak tahu bagaimana caranya pergi, atau mereka tidak mau."

Tanpa sengaja aku melirik Katrine, satu-satunya makhluk semi transparan yang ada di rumah ini.

"Aku memang tidak mau, tapi aku tidak bandel," katanya saat merasa diperhatikan.

Katrine jelas bukan bagian dari anggota keluarga Tenggara, karena selain kulitnya yang terlalu pucat—yang bukan karena faktor statusnya sebagai hantu—dia memiliki mata yang paling besar di sini, dan aku tidak yakin Pak Asia akan membiarkan anak-anaknya menindik hidung. Secara teknis Katrine adalah sahabat Ellen, dan hampir seperti asisten yang muncul kapan saja dibutuhkan untuk membantu menyelesaikan urusan dunia perhantuan.

"Katanya para hantu tidak boleh mencelakai manusia," kataku.

"Atau dia akan menjadi roh jahat," timpal Jeremy. "Dan metode pengusirannya jadi akan berbeda."

"Tapi bagaimana kalau dia mengganggu? Seperti, membuatmu merasa tidak nyaman sepanjang hari," tambahku.

"Apa tujuannya?" tanya Pak Asia.

"Tidak tahu," desahku. "Aku bahkan tidak tahu namanya. Dia sama sekali tidak mau menjelaskan apa pun. Tahu-tahu saja sudah menempel di tubuh temanku dan hanya tertawa saat kubilang akan mengusirnya."

"Rebecca?" tanya Ellen. Punggungnya menempel pada sandaran kayu sofa yang tidak dilapisi bantal.

"Kau sudah lihat?" tanyaku balik. "Apa kau berbicara padanya?"

"Tidak," jawabnya, tanpa ekspresi seperti biasa. "Itu wilayah kekuasaanmu."

Aku menahan diri untuk tidak berdecak. Ellen memang pernah menyinggung soal pembagian daerah kekuasaan, yang menurutku konyol banget, karena rasanya seperti menjadi kepala geng preman atas makhluk-makhluk tak terlihat. Ternyata dia benar-benar serius, dan menganggap Rebecca di luar urusannya.

Tapi kan aku masih baru!

"Butuh bantuan?" tawar Katrine.

"Tolong dong," sambarku cepat, hampir menangis lega.

Kulihat Pak Asia bangkit dari kursinya, lalu bergerak ke sebuah lemari kayu besar untuk mengambil gulungan tali perak. Sambil menggumamkan sesuatu, dia menggunting sedikit dengan panjang kira-kira sepuluh senti.

"Lingkarkan ini di tangan atau kakinya jika dia tidak menurut," kata Pak Asia sambil menyerahkannya padaku. "Ingat, bicara baik-baik dulu."

"Apa ini?" tanyaku penasaran. Bentuknya seperti benang tebal biasa, hanya saja berwarna perak dengan sedikit kilat.

"Kau tidak akan mau tahu," jawab Pak Asia dengan senyuman tipis.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro