Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

14. Permainan Horor Benaran

Seharusnya hari Kamis adalah hari sekolah favoritku. Tidak banyak buku pelajaran yang dibawa hari ini, dan bahkan aku bisa memakai kantong kresek untuk mengisi buku Biologi dan Bahasa Inggris jika mau. Tapi bukan itu intinya. Kami memulai hari dengan jam olahraga, yang seharusnya akan kusambut dengan sukacita karena Pak Suwardi mengeluarkan sekumpulan bola voli. Bukannya aku jago olahraga atau semacamnya, tapi aku suka kegiatan pukul-memukul, terutama voli, karena lambunganku selalu sempurna—Pak Jo, guru Fisika kami, pasti bangga melihatnya.

Jadi kau pasti paham betapa malunya diriku saat aku gagal melakukan servis dua kali berturut-turut. Bola itu sudah memantul beberapa kali, hampir menggelinding jauh ke selokan, sebelum akhirnya kutangkap dengan wajah memerah. Ini hal yang wajar terjadi pada sebagian besar murid cewek, tapi tidak pernah ada sejarah Daisy Wu payah dalam voli.

"Ayo, Daisy!" teriak Rebecca beberapa meter di sampingku setelah aku kembali ke posisi semula. Di tim lawan, Bertha dan kawan-kawan tidak repot-repot memelankan tawa mereka.

"Smash!" Your face, tambahku dalam hati.

Aku memandang bola putih ringan itu yang akhirnya meluncur ke arah Bertha. Tidak siap dengan serangan awalku, cewek itu hanya berdiri diam sambil melongo bodoh, sampai akhirnya Fei mengambil alih dan memukul bola itu sebelum mengenai wajahnya yang mulus. Aku tidak memerhatikan siapa dari timku yang membalas, dan siapa berikutnya lagi, karena Bertha tiba-tiba menjerit.

"Kau gila ya?" seru Bertha setelah mulai sadar. Sambil menghentakkan sepatu, dia melangkah mendekati jaring dan menatapku marah. Permainan voli yang baru saja berlangsung itu pun dihentikan. Bahkan tim voli cowok ikut berhenti dan menyaksikan kami.

Kubalas Bertha dengan tatapan sebingung mungkin. "Huh?"

"Sudah, Bertha," kata Fei sambil menepuk bahunya. Sebelah tangannya lagi sibuk memeluk bola, sesuatu yang tidak akan dilakukan sebagian cewek lain karena takut kaus mereka kotor.

"Daisy sengaja menembakku!" Bertha menunjukku dengan marah.

Dari berbagai sudut pandang, tentu saja yang kulakukan itu logis, dan aku bisa membalas Bertha dengan mudah karena dialah yang bertindak kekanakan di sini. Seharusnya kujawab semacam, 'Tentu saja, Bertha, karena terakhir kali kuingat, kau ini anggota tim lawanku, bukannya manekin.'

Alih-alih mencibir dan terlihat keren, aku malah mematung dengan wajah yang kuyakini pasti pucat. Keringat membasahi dahiku, yang kuyakini bukan akibat pemanasan sekilas atau pukulan pertama tadi. Di mata semua orang sekarang, aku sedang ketakutan karena teriakan Bertha.

Karena mereka, termasuk Bertha, tidak bisa melihat Mila yang berdiri di belakang cewek itu.

Mila tidak mengatakan apa pun. Dia hanya tersenyum mengerikan sambil menyentuh pundak Bertha, seakan memberi semangat saat cewek itu masih mengomeliku dengan kalimat tidak penting. Tanpa sadar aku menoleh pada Rebecca, yang menatapku prihatin, kemudian sepertinya salah mengartikan isyaratku dan malah berjalan mendekat.

Oh, tidak. Sial. Tenggat waktu itu. Ini hari terakhir.

Aku menggeleng pelan untuk menyuruhnya tetap di tempat, tapi Rebecca masih melangkah, dan seakan dalam gerak lambat, mataku berpindah antara Rebecca, semua murid yang menonton, lalu Pak Suwardi yang malah berbincang dengan guru olahraga SMP di lapangan sepak bola.

"Sini!"

Segalanya terjadi begitu mendadak. Detik berikutnya, tahu-tahu saja Bertha sudah merebut kasar bola dari tangan Fei yang sempoyongan, Rebecca sudah berdiri di sebelahku, lalu Mila sudah menghilang. Bertha tersenyum sambil membuat ancang-ancang, tatapannya malah tertuju pada Rebecca alih-alih diriku. Pelototan ganjil Bertha yang tidak biasalah yang membuatku segera menyadari apa yang sedang terjadi. Mila sudah memasuki tubuh Bertha.

Hantu itu tidak memberi peringatan. Dia mengangkat sebelah kepalan tangannya, memukul keras bola hingga meluncur dalam gerakan menukik tajam tepat ke arah Rebecca. Teman dekatku itu tentu saja belum sempat mencerna apa yang sedang terjadi. Selagi Rebecca mematung, aku bergerak gesit dan melompat untuk melakukan service yang tidak kalah kuat. Kurasakan tanganku yang memanas, tapi belum sempat kuurus bekas kemerahan itu, sebuah serangan lain datang dan refleks kubalas dengan kedua tangan dari arah menyamping. Lupakan teknik-teknik yang dipelajari di buku. Kami tidak lagi bermain voli, tapi hanya melempar bola untuk meremukkan tulang satu sama lain.

Bola melambung tinggi kali ini. Aku menengadah bersama semua murid lain yang ber-ooh, lalu perlahan memerhatikan benda itu jatuh ke atas kepala Bertha. Beberapa murid cowok berseru heboh, para cewek menjerit, dan Pak Suwardi akhirnya menoleh dan sadar ada yang tidak beres di sini. Bagai dalam gerakan lambat, bola meluncur semakin dekat ke arah Bertha ... lima meter ... empat meter ... tiga meter ... lalu Bertha melompat.

Sial, hantu itu jago juga.

Dia bukannya tumbang tertimpa bola atau semacamnya seperti yang diperkirakan semua orang. Malahan Bertha berhasil melakukan service mematikan—kubilang mematikan karena bola itu berputar cepat dan menembus lubang pada jaring, barangkali memperlebar bolongannya, dan entah kenapa tubuhku tidak bisa digerakkan kali ini. Seakan Mila juga ikut meluncur bersama bola itu. Jadi yang kulakukan hanya berdiri menunggu takdir seperti tokoh dalam sinetron yang akan ditabrak mobil di tengah jalan.

Entah bagaimana kedua tanganku berhasil menangkap bola itu walau akhirnya aku terjatuh dengan bahu menghantam lantai lapangan dan terbatuk. Rasanya perutku seperti ditinju Hulk. Sebelum aku sadar apa yang terjadi, Mila mendadak berdiri beberapa meter di depanku, berbentuk tidak utuh dan berdarah-darah, yang refleks membuatku menjerit dan melempar bola ke kepalanya.

Jeritan yang lebih keras terdengar, disusul bunyi peluit Pak Suwardi. Sepertinya aku mendengar Anthony yang memanggilku juga, tapi semuanya jadi menggelap. Lelah sekali. Aku ingin tidur.

***

Aku tidak tidur, tentu saja. Pandanganku masih sehitam seperti saat kelopak mataku ditutup. Aku bisa merasakan sepasang tangan besar yang mengangkatku, lalu menaiki tangga dengan agak susah payah, dan samar-samar mendengar omelan betapa diriku ternyata lebih berat dari kelihatannya. Sesaat kukira itu Anthony, dan cemas apa yang akan dikatakan orang jika melihat tubuhku melayang sendiri di udara. Barulah ketika tiba di ruang penuh bau minyak angin, perlahan aku mendapatkan kembali penglihatan dan sadar ternyata Jackson yang membopongku. Sementara di tempat tidur seberangku, Pak Suwardi sedang membaringkan Bertha yang pingsan.

"Aku tidak pingsan," kataku sambil duduk tegak, lalu nyaris terjatuh lagi sebelum akhirnya Jackson menahanku. Di belakangnya, Rebecca memandangku cemas.

"Sekarang jelaskan apa yang terjadi di lapangan," tuntut Pak Suwardi sambil berdiri di depanku dan berkacak pinggang. Lucu, karena seharusnya beliau yang mengawasi lapangan, jadi kenapa Pak Suwardi malah bertanya?

Tapi jika dia memerhatikan kami pun tidak ada gunanya. Aku tidak bisa bilang kalau Mila merasuki Bertha, sehingga dia menjadi agresif dan ingin menyerangku dan Rebecca dengan bola voli.

"Kami bermain voli, Pak," jawabku, tidak sepenuhnya berbohong.

"Saya minta kalian latihan voli karena minggu depan akan ambil nilai. Bukan begini namanya kalau latihan." Pak Suwardi menunjuk Bertha yang pingsan. Saat telunjuknya bergerak, kumis tebalnya ikut bergoyang sesuai irama. Dalam kondisi normal aku pasti akan menganggapnya lucu, tapi sekarang aku menciut dan berharap benar-benar pingsan saja.

"Mereka tidak sengaja, Pak," bela Rebecca

"Bertha yang mulai, Pak," kata Jackson bersamaan dengan Rebecca, tapi suaranya lebih keras.

"Bapak jelas-jelas lihat Daisy yang lempar bola itu ke kepalanya," tukas Pak Suwardi. "Lihat sekarang siapa yang pingsan."

"Maaf, tidak sengaja, Pak," gumamku, mencoba tidak terdengar menggerutu. Bukan salahku kalau fisikku lebih kuat. Oke, aku juga tidak bisa menyalahkan Bertha yang pingsan, karena aku sendiri pernah hampir merasakan yang seperti itu, walau dia tidak kejang-kejang atau semacamnya.

Pak Suwardi mendesah. "Pokoknya saya tidak mau melihat ada kasus seperti ini lagi. Kita tunggu Bertha sadar dan kamu harus minta maaf ke dia. Sementara saya harus melapor ke wali kelasmu."

Aku hanya bisa menatap kepergian Pak Suwardi dengan tatapan nanar. Helga dan Ismelda, teman Bertha yang menemani di tempat tidur sebelah, mendengus puas ke arahku. Jika di sinetron, mereka adalah pemeran antagonis yang sempurna, dengan suara hati menggema keras diiringi ekspresi sinis yang memakan waktu setidaknya satu menit.

Tapi, tidak ada yang mengalahkan pemeran antagonis Mila.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro