Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

10. Aksi Pertama

"Katamu dia pulang pukul tujuh," kataku dengan nada menuntut. Sudah hampir setengah jam kami mondar-mandir di halaman parkiran rumah sakit, menunggu di dekat sebuah mobil SUV hitam berdasarkan petunjuk Anthony.

Setelah menceritakan apa yang kuketahui tentang Charles padanya—dan membiarkan Anthony tertawa mengejekku selama satu menit penuh karena ternyata aku belum berani memberitahu Rebecca segalanya—Anthony langsung pergi dan kembali lagi satu jam kemudian dengan membawa informasi lengkap mengenai identitas lengkap Charles, jam kerjanya, serta nomor plat mobilnya. Aku tidak mengatakannya dengan keras, tapi hasil kerja Anthony cukup mengagumkan. Jadi aku makan malam lebih cepat, lalu buru-buru meminta Papa untuk mengantarku ke rumah Ellen.

Tidak akan ada orangtua yang curiga pada anak perempuannya yang menghabiskan malam bersama teman ceweknya dengan menonton film sambil membuat makanan ringan. Walaupun teman itu adalah cewek datar yang kemungkinan tidak tahu cara bersenang-senang selain berinteraksi dengan hantu.

Baik, baik, tidak seharusnya aku menghakimi karena lihat apa yang kulakukan untuk bersenang-senang: nongkrong di rumah sakit untuk menyergap psikolog!

Jeremy yang mengantarku, karena Ellen tidak bisa mengendarai sepeda motor dan keluarga Tenggara tidak memiliki kendaraan yang rodanya lebih dari dua kecuali pick up tua. Kami praktis terlihat seperti sepasang anak remaja tersesat yang berjongkok di pinggir jalan, ditemani dua hantu remaja lainnya, dan aku bersyukur belum ada yang mengusir kami pergi.

Halaman parkiran bukan area terburuk di rumah sakit ini, tapi penghuninya jauh lebih banyak dari yang terlihat di kompleks sekolahan. Kehadiran Anthony dan Katrine yang jelas-jelas berinteraksi dengan kami sudah mencolok dan mengundang perhatian dari sesama rekan mereka, tapi belum ada yang berani mendekat berkat tubuh Anthony yang nyaris sebesar gorila dan lirikan sinis Katrine. Kendati demikian, tetap saja risih menjadi pusat perhatian makhluk apa pun.

Ditambah kecemasan soal hukum Pascal yang belum benar-benar kuhapal. Semua murid kelasku mungkin sedang latihan menghitung tinggi cairan di pipa U sekarang, dan yang kulakukan adalah mengulang rumus P = F/A dan berharap aku membawa serta buku cetak Fisika ke sini.

"Mungkin dia punya masalah," kata Jeremy. Butuh beberapa saat bagiku untuk menyadari kalau dia sedang membicarakan Charles, bukannya diriku.

"Tentu saja. Tidak ada ID card, dia tidak bisa pulang," kata Katrine.

"Oh, tidak, kau membuatnya dalam masalah." Aku mengangkat sebuah kartu plastik yang diikat ke tali lanyard hijau dengan syok. Anthony mencurinya supaya aku bisa mengenali wajah Charles Winata, M. Psi.

"Ups. Bukan aku yang memegang kartu itu," kata Anthony sambil mengangkat kedua tangannya.

"Kembalikan padanya, Ton!" perintahku sambil melempar kartu itu ke arahnya. Anthony membiarkan benda itu menembus dirinya hingga jatuh kepala Jeremy yang berjongkok di atas batu rendah.

"Hei, Daisy menyakiti tuanmu, balas dia, Katrine!" seru Anthony sambil menunjukku.

"Maaf," ucapku merasa bersalah sembari menghampiri Jeremy. Anak itu berdiri dan menyerahkan kartu Charles padaku, pandangannya menerawang jauh ke arah pintu masuk rumah sakit.

"Itu orangnya," gumam Jeremy.

Aku berbalik untuk mengikuti arah pandangnya. Bahkan jika Jeremy tidak memberi isyarat pun aku pasti akan menyadari kehadirannya. Charles bertubuh sedang untuk ukuran pria, tapi gaya berpakaiannya-kaus pas badan berkerah tinggi, celana khaki, kacamata berbingkai emas-serta rambut hitam yang ditata mirip aktor Korea, dia terlihat seperti bukan staff rumah sakit. Sulit dipercaya jika dia pernah menerima bantuan sosial dari Mila dulu.

"Eh, tampan juga ya?" kata Katrine sambil menyodokku.

"Dia punya pacar, Kat." Aku mengingatkan. "Dan terlalu dewasa."

"Aku sudah dua puluh tujuh, bocah. Kalau masih hidup," kekeh Katrine. Lalu dia berbisik di telingaku. "Omong-omong, senang rasanya mendengar respon yang normal. Ellen biasa hanya memandangku seakan aku punya kelainan. Padahal sebaliknya."

Aku tidak sempat membalas Katrine, karena Charles sudah tiba di depan kami. Perhatian pria itu berfokus pada ponsel di tangannya, hanya melirik kami sekilas tanpa rasa tertarik, kamudian menekan remote kunci mobil.

"Kak Charles!" panggilku.

Dia menoleh padaku dengan kernyitan di wajah. Tangannya sudah meraih gagang pintu. "Ya?"

"A-aku menemukan kartu ini di jalan," kataku sambil mengangkat tali hijau itu tinggi-tinggi.

Kedua mata Charles melebar. Dengan cepat dia menghampiriku, lalu mengambil kartu plastik dengan raut tidak percaya. "Astaga, jadi benar-benar terjatuh saat jam makan siang tadi. Terima kasih, Dik."

"Sebenarnya bukan hanya itu." Jeremy tiba-tiba bergabung dan sudah berdiri di sampingku. "Daisy ingin berbicara padamu, Kak."

Diam-diam aku mengutuk Jeremy yang ikut campur. Ini terlalu cepat. Bisa-bisa Charles mengira aku gadis remaja gila yang mengidolakannya.

"Daisy?" Nada Charles menyiratkan seolah dia pernah mendengar nama itu.

"Mungkin Rebecca pernah menyebutku," gumamku, lebih kepada diri sendiri.

"Kau teman Rebecca?" Sekarang tatapan Charles sudah jauh lebih menghangat. Melihat reaksinya, aku jadi percaya diri kalau semua ini akan berjalan lancar.

"Yeah," kataku cerah. "Aku Daisy, dan ini Jeremy ... um, temanku, Kak. Apa di sini ada tempat yang bagus untuk berbincang?"

***

Benar, kan, segalanya berjalan dengan lancar.

Buktinya, Charles langsung membawa kami ke kantin dan mentraktir cokelat panas. Awalnya dia menawarkan makan malam, tapi dengan sopan aku dan Jeremy menolak dengan alasan sudah kenyang. Charles menjadi orang yang ramah dan mengatakan Rebecca pernah bercerita bahwa aku adalah satu-satunya teman sekolahnya yang tulus, membuatku jadi tersipu.

"Kenapa kalian bisa di sini?" tanya Charles. "Apa kalian menunggu seseorang?"

"Sebenarnya kami ingin mencarimu, Kak," kataku, memutuskan tidak berbasa-basi lagi.

"Aku?" Charles menunjuk diri dengan kedua alis terangkat. Ada beberapa gestur tubuhnya yang membuatku teringat dengan Rebecca. Entah Rebecca yang tanpa sadar meniru Charles atau sebaliknya.

"Soal Rebecca," tambahku lagi.

Raut wajahnya mendadak cemas. "Kenapa dengan Becca? Apa ada yang mengganggunya di sekolah?"

Aku mengangguk.

"Geng Bertha?"

Aku menggeleng.

"Bertele-tele sekali, Daisy," komentar Anthony yang duduk di samping Charles. Di belakangny, Katrine mengangguk menyetujui.

"Siapa?" tanya Charles.

Kulirik Jeremy sekilas, tapi tidak ada gunanya karena dia sedang tenggelam dalam lautan cokelat panas yang dalam. Jeremy tidak menyadari tatapanku dan terus menghirup aroma cokelat dalam damai.

"Mila."

Nama itu memberi efek drastis pada Charles. Kerutan ramah di bibirnya lenyap dalam sekejap. Rasanya seakan semua sel darah meninggalkan kepala pria itu, sehingga aku nyaris saja ingin menawarkan cokelat panasku padanya.

"Maaf?" tanyanya pelan.

"Mantan pacar Kakak," tambahku lagi. "Kakak pasti tahu kalau leher Rebecca pernah sakit. Itu ulah Mila. Mila tidak suka melihat kalian bersama."

Charles menggeleng. Dia bersandar ke kursi plastik kantin rumah sakit dan menatapku penuh penilaian. Aku tidak tahu apakah biasanya para psikolog akan melakukan ini pada klien mereka, tapi jika iya, aku berharap supaya tidak perlu berakhir satu ruangan dengan mereka. "Kau suruhan Bertha ya?"

"Hah?" Giliranku yang kebingungan.

"Hanya teman seperti Bertha Soehardi yang akan membuat rencana busuk seperti mengancamku supaya menjauhi Rebecca.

"Tidak, aku memang Daisy." sergahku. Sial, seandainya aku sudah punya KTP. "Hanya aku yang tahu soal Kakak dan Rebecca."

"Jadi kenapa kau melakukannya, Daisy?" Charles sekarang mencondongkan tubuhnya, memberiku tatapan dalam seakan mencoba menembus ke pikiranku.

"Karena Rebecca butuh bantuan. Aku serius. Mila tidak akan sekedar menyakiti lehernya nanti. Dia memberiku waktu tiga hari untuk membuatmu putus dengan Rebecca, yang berarti tinggal dua hari lagi."

"Maksudnya kau berkomunikasi dengan Mila?" tanya Charles tenang.

"Aku tahu ini pasti tidak masuk akal bagimu. Tapi, ya, Mila masih bergentayangan di dunia ini. Dia belum ingin meninggalkanmu."

"Jadi kau bisa melihat hantu." Charles mengangguk. Reaksinya kelewat kalem hingga rasanya tidak benar.

"Dia sedang mempelajarimu, Daisy," kata Katrine. "Dia pasti mengira kau punya masalah mental."

"Kau bisa baca pikiran ya?" tanya Anthony penasaran pada Katrine.

"Yeah, khusus untuk cowok cakep," kata Katrine dengan jenaka, yang dibalas oleh decihan Anthony.

"Rambutnya pendek, dicat pirang terang. Dia punya mata kucing yang tajam dan senyuman yang lebar," kataku.

"Apa kau melihat fotonya dari Rebecca, Daisy?" tanya Charles pelan. Aku jadi membenci kelembutan palsunya.

"Aku tidak pernah melihat fotonya sama sekali. Tapi, apa Rebecca tahu pakaian terakhirnya sebelum meledak di pesawat adalah kaus ketat putih dengan tulisan Gucci dan celana jins biru sobek-sobek?"

Senyum Charles memudar dalam sedetik. Dia melirik arloji, lalu mengeluarkan dompetnya dan menyerahkan selembar kartu nama. "Ini alamat kantorku di rumah. Kalau kau ke sana aku akan memberimu diskon."

Nada suaranya dingin lebih cepat ketimbang coklat panas di depan kami. Charles memaksakan senyum tipisnya yang terakhir, lalu berdiri dari kursi dan meninggalkanku yang terpaku. Baru saja dia berjalan dua langkah, mendadak Charles berhenti dan berbalik padaku dengan wajah pucat. Selama sesaat kukira dia menyesal telah mempermalukanku, tapi ternyata ada sepasang tangan yang mencengkram lengannya kuat, menahannya untuk pergi.

"Aku minta maaf harus melakukan ini," kata Jeremy sambil menggeleng, sama sekali tidak terlihat merasa bersalah. Dengan isyarat anggukan kecil, Katrine menarik Charles dan mendorong bahunya supaya kembali duduk ke kursi.

"Nah, duduk dengan manis di sini sambil mendengarkan kami," bisik Katrine di telinganya. Aku tidak yakin apakah Charles bisa mendengar, tapi dia bergidik sambil memiringkan kepalanya tidak nyaman.

"Apa-apaan ini?" tanya Charles tergagap.

"Bukan apa-apa kok," kataku setelah berhasil mengumpulkan harga diri, "yang tadi namanya Katrine. Dia tidak senang kalau ada yang kabur sebelum semua masalah selesai."

Charles membelalakkan matanya dan melayangkan pandangan ke sekitar dengan panik. "Maksudmu?"

"Aku tidak hanya bisa berbicara dengan Mila, Kak," kataku. Sisa rasa kesal tadi membuat nada bicaraku terdengar menusuk. "Tapi semua orang yang sudah meninggal."

Lebih tepatnya, yang sudah meninggal dan tidak bisa move on. Tapi Charles tidak perlu mendengar penjelasan panjang lebar.

Reaksi Charles tidak seperti yang kubayangkan. Sambil menunduk, dia mencengkram pinggiran meja dengan kuat hingga aku khawatir dia akan pingsan di tempat. Aku menoleh pada Jeremy untuk meminta bantuan, tapi dia hanya mengedikkan bahu, kemudian dengan pelan mendorong cangkir cokelat panasnya ke depan Charles.

"Minumlah, Kak. Belum kusentuh," tawar anak itu.

"Nak, kau mungkin sudah menghirup habis semua rasa cokelat itu," celetuk Anthony. Katrine terkekeh menyetujui.

Charles menggeleng, entah sedang menolak kenyataan atau cokelat bekas Jeremy. Dia mengangkat kepalanya, menunjukkan wajahnya yang super kalut.

"Aku sering memimpikannya," gumam Charles dengan suara rendah. Dia menyugar rambutnya, lalu menatap langit-langit kantin yang sederhana sebelum menautkan jari di atas meja. "Sudah berkali-kali aku memberi terapi ke diri sendiri dan aku yakin bisa menjalani hidup dengan baik tanpanya, tapi Mila sering muncul hampir dalam setiap malam tidurku."

Rasanya aneh, tapi ini jadi seperti sesi konsultasi kejiwaan. Kuis singkat: jika manusia normal berkonsultasi dengan psikolog, kepada siapa psikolog berkonsultasi?

Cenayang.

"Dia masuk ke mimpi Kakak," kata Jeremy.

"Wow, mereka bisa melakukannya?" tanyaku terperangah. Itu informasi baru untukku.

"Bisa. Tujuh puluh persen alasan kau memimpikan orang meninggal adalah mereka memang sedang mengunjungimu." Jeremy tersenyum seakan itu adalah fakta yang menyenangkan.

"Kau pernah muncul dalam mimpiku!" tukasku sambil menunjuk Anthony.

Hantu itu hanya mengerutkan sebelah alisnya. "Huh? Tolong, deh. Aku belum unlock skill itu."

"Mungkin itu kasus tiga puluh persennya," kata Katrine menenangkan.

Charles, yang tidak bisa melihat kepada siapa kami berinteraksi, tampak sangat terganggu. Dia menggeleng frustasi, seolah sedang menyangkal apa yang muncul di kepalanya. "Mila bilang dia tidak akan meninggalkanku selamanya. Beberapa kali aku mimpi buruk kalau dia menarik tanganku."

"Horor," komentar Anthony, yang tentu saja tidak akan didengar Charles.

"Kalau tidak salah, tadi katanya Mila berambut pendek pirang ya?" tanya Jeremy sambil memandang ke luar jendela kantin yang lebar. Nada datarnya membuatku tidak sadar apa yang sedang terjadi saat itu, sampai Katrine mengikuti arah pandang Jeremy dan terkesiap.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro