TIGA PULUH DELAPAN
***
Asha menatap satu per satu sumber masalahnya di Pare. Dari tatapan mata mereka Asha bisa melihat kebingungan di mata Dimas, kesal di mata Sekar dan ... sesal di mata Lukman. Asha segera mengalihkan tatapannya karena takut dianggap main mata dengan Lukman padahal di sebelahnya ada Sekar. Rasanya tidak mungkin Lukman menyesal.
Ketika mengayuh sepeda di Jalan Asparaga Asha melihat Sekar sedang jongkok di pinggir jalan. Jemarinya yang lentik kotor karena mencoba membetulkan rantai sepeda yang lepas. Asha yang melihatnya tidak tega lalu menawarkan bantuan. Asha bisa saja mengantar Sekar ke tempatnya menyewa sepeda dengan menarik sepeda itu. Sekar meletakkan tangannya di pundak Asha kemudian Asha mengayuh sepedanya pelan-pelan. Alih-alih berterima kasih atas ajakan Asha, Sekar malah mengatakan, "Bukan masalah kamu."
Asha yang terpancing emosi kemudian membalas. "Emang bukan masalah gue, tapi kalian bertiga punya masalah sama gue." Setelah mengatakan itu Asha memfoto Sekar kemudian dikirim ke Lukman disertai pesan.
Asha : Gue lagi sama Sekar. Lo enggak penasaran sama yang kita omongin. Datang ke sini.
Asha : Berbagi lokasi terkini
Tak lupa Asha mengirimkan pesan serupa untuk Dimas. Masalah di antara mereka tidak akan tuntas seratus persen tanpa Dimas.
Asha : Dim. Temenin ngeteh
Asha : Gue lagi di sini
Asha : Berbagi lokasi terkini
Lesung pipi Dimas hilang berganti heran saat tiba dan melihat Asha bersama dua sahabatnya. Asha melambaikan tangan ke Dimas ketika melihat kedatangannya. "Sini, Dim, duduk." Asha menepuk bangku kosong di sebelahnya. Dimas menurut.
Setelah semuanya berkumpul, Asha menarik napas dalam-dalam. Berharap dia bisa mengontrol emosinya saat berbicara dengan Sekar dan Lukman. Asha tidak ingin dicap sebagai cewek ambekan yang hobi ngamuk. "Ada yang-"
"Kenapa kalian enggak ajak gue?!" Suara protes Rohman mengagetkan mereka semua. Tiba-tiba saja pria itu duduk di sebelah Lukman. Membuat Lukman bergeser ke tengah dan semakin dempet dengan Sekar. Meskipun bisa menampung tiga pantat di atasnya, tapi bangku itu tidak nyaman jika kelebihan muatan.
Kata-kata yang telah disususn di kepala Asha buyar karena suara Rohman. "Kenapa lo bisa di sini, sih?" Asha bangkit lalu menarik lengan Rohman, memaksanya berdiri.
"Ini tempat nongkrong gue sama temen gue. Lo udah sembuh?" Rohman menyentuh kening Asha. "Udah nongkrong lagi."
"Yang sakit tuh perut gue. Ngapain lo pegang kepala gue?" Teman-temannya hanya tahu Asha sakit maag tanpa disertai demam.
"Kalo gue pegang perut lo entar gue ditonjok Lukman."
Bener-bener nih anak. Asha memukul pundak Rohman dengan kencang sampai membuat si pemilik bahu meringis.
"Mulut lo enggak ada remnya banget. Cepetan pergi! Mereka jadi enggak nyaman duduknya."
"Gue boleh gabung, kan?" bertanya ke Lukman, Sekar dan Dimas kecuali Asha. "Gue bisa ambil bangku dari meja lain."
"Enggak!" Asha dengan tegas menolak. Jika ada Rohman di sini rencananya pasti gagal total. "It's a doble date. Couple only." Asha mendorong tubuh Rohman supaya menjauh dari mejanya disaksikan oleh tiga orang dengan tatapan heran dan pasrah.
Sebelum memasuki inti acara, sekali lagi Asha menoleh ke arah Rohman yang sedang menatap ke arahnya. Asha melihat kebingungan di wajah Rohman, siapa pun akan bingung jika melihat double date, tapi wajah para pelakunya malah terlihat serius. Tidak ada rona bahagia sebagai sepasang kekasih atau teman akrab.
Asha lalu mengarahkan kepalan tangannya ke Rohman. Mengancam akan menonjok pria itu jika kembali ke mejanya. Setelah mendapatkan kembali ketenangannya Asha mulai menyusun kata per kata yang sempat menghilang di kepalanya.
"Kalian pacaran?" tanya Dimas. Dia tidak bisa menutupi resah dalam nada bicaranya.
"Enggak," jawab Asha dan Lukman kompak lalu keduanya saling memandang karena kaget dengan kekompakan mereka.
"Gue kumpulin kalian bertiga karena mau ngelurusin satu hal. Gue bukan selingkuhan Dimas dan sampe detik ini gue sama Dimas cuma temen."
"Bohong! Pelakor mana ada yang ngaku," sanggah Sekar.
"Kalo enggak percaya tanya aja sama Dimas langsung." Asha melempar tanggung jawab menjelaskan ke Dimas. Dia kesal dengan Sekar yang ngeyel.
"Asha enggak bohong. Aku suka Asha, tapi sampai hari ini kita belum jadian. Untuk masalah putus, kamu tahu jelas penyebab kita putus, Kar. Bukan karena cewek."
Dimas menjelaskan dengan tenang dan cukup jelas menurut Asha. Jika mereka masih tidak mengerti atau menolak mengerti itu artinya kepala dan hati mereka yang bermasalah karena penjelasan itu datang dari sumber utamanya. Asha tidak ingin tahu alasan mereka putus karena hal itu tidak penting untuknya. Masalahnya sendiri saja cukup membuat dunianya jungkir balik.
"Jadi sekarang udah jelas. Gue harap kalian berdua setop tuduh gue pelakor. Kalo masih belum puas bisa tanya lagi ke Dimas. Lo enggak keberatan, kan, jelasin berulang-ulang sampe mereka ngerti?"
"Tentu enggak kalo itu bisa buat kamu senang." Jawaban Dimas memenangkan Asha, tapi membuat Sekar semakin meradang.
Sifat dua sahabat ini sungguh bertolak belakang. Dimas yang terus terang dan tidak segan menunjukkan perhatiannya, sedangkan Lukman lebih memilih menyimpannya sendiri. Pantas Sekar jadian dengan Dimas karena Dimas pasti luar biasa mengejar Sekar sama seperti yang dia lakukan ke Asha. Mungkin sampai saat ini Sekar tidak tahu jika Lukman menyukainya.
Asha menghela napas. Hampir saja dia lupa mengatakan pesan khusus untuk Dimas karena terlalu berimajinasi tentang cinta segitiga mereka. Semoga Dimas tidak marah dengan keputusan sepihak darinya.
"Makasih buat semuanya, Dim, tapi kita enggak usah ketemu lagi ya."
"Kenapa?"
"Gue enggak mau diseret ke dalam masalah kalian lagi. Mereka enggak akan percaya kalo kita tetep ketemu."
"Itu masalah mereka. Yang perlu kamu pikirin cuma kita." Dimas semakin gelisah. Dia tahu ke mana arah pembicaraan Asha. Dimas tidak peduli jika kalimatnya menyakiti Sekar. Saat ini yang penting adalah Asha. Ketakutan yang selama ini bersemayam dalam hati Dimas menjadi kenyataan, Asha mematahkan usahanya.
"Enggak akan ada kita, Dim?"
"Kapan move on, Sha? Raymond udah meninggal." Terpaksa Dimas menyebut nama Raymond. Sosok yang selama ini memiliki hati Asha.
"Ray emang udah pergi, tapi bukan berarti perasaan gue buat dia ikut mati, kan, Dim."
***
Dimas meninggalkan cafe setelah Asha pergi dan baru kembali ke camp empat saat evening class di mulai. Lukman mengantar Sekar sampai ke camp lima setelah membetulkan rantai sepedanya yang lepas. Sekar bilang tidak perlu diantar, tapi Lukman tetap melakukannya karena takut rantai sepeda itu lepas lagi sebelum Sekar tiba di camp lima. Besok dia akan mengantar Sekar untuk mengganti sepedanya meskipun harus membayar biaya sewa penuh selama dua minggu untuk sepeda baru.
Tidak ada semangat di mata Dimas seperti biasanya. Dimas jadi pendiam dan ketika kelas malam selesai dia langsung keluar, duduk di teras sambil merokok. Melamun lagi padahal selama di evening class dia juga melamun terus sampai banyak coretan bedak di wajahnya.
Lukman tidak tega melihat kedua sahabatnya hacur. Dia sudah memutuskan untuk menyimpan perasaannya lebih lama. Tidak mungkin dia mengungkapkan perasaannya saat Sekar masih menyukai Dimas. Lukman sudah tahu seperti apa akhirnya. Bisa dikatakan saat ini Dimas berada di posisinya, mengejar Asha ketika dihatinya masih ada Ray. Kejadian di cafe tadi seperti siraman air es di kepala Lukman.
Dimas tahu kesempatan yang dia miliki kecil, tapi tetap berusaha bahkan menyusul Asha ke Pare. Optimis adalah sifat Dimas yang tidak Lukman miliki. Jika dalam rencana Lukman ada persentase kegagalan sebesar tiga puluh persen maka dia akan menunda atau menghentikan rencananya. Untuk apa nekad dan berjuang keras jika hasilnya gagal.
Lukman menyesal karena sifat buruknya ini membuat dia salah paham dan menyakiti Asha. Seandainya saja dia nekad membaca seluruh percakapan pesan antara Asha dan Celia atau bertaya pada Dimas untuk menustaskan penasaran dalam dirinya, semua ini tidak akan berakhir seperti ini. Setidaknya di antara mereka ada yang bahagia, Dimas bisa bersama Asha meskipun tidak mudah.
Sekarang Lukman bisa menebak alasan bubarnya Sekar dan Dimas. Pasti karena sifat posesif dan cemburuan Sekar. Pada Lukman saja, sahabatnya Sekar sering kesal jika pesannya dibalas lama apalagi ke pacarnya sendiri. Long distance relationship anatara Pekalongan dan Jakarta semakin memperburuk sifatnya.
Sekar sangat menyukai Dimas sejak SMA. Wajar jika timbul rasa cemburu dan ingin memiliki, tapi semua rasa itu bisa mengahancurkan segalanya jika tidak dikendalikan.
Seandainya punya mesin waktu. Gue pengen ngulang minggu ketiga gue di Pare.
Membayangkan tentang mesin waktu membuat Lukman ingat status WA Asha minggu lalu. Saat weekend meeting Miss April bertanya, "What will you do if you have time machine?"
Beberapa jam kemudian setelah weekend meeting selesai Asha memasang foto dengan kalimat penuh pengharapan. Saat itu Lukman tidak mengerti, tapi sekarang setelah mengerti malah membuatnya semakin merasa bersalah.
I wish i could turn back time to when everything was perfect. Papah, u and me.
***
Semoga kalian suka bab ini. Nano-nano waktu nulisnya.
Xoxo
Bae
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro