Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

DUA

***

"Hai! ketemu lagi." Tedi menyapa Lukman yang sedang menyantap makan siang di rumah makan di sebelah lembaga kursus.

Lukman mengangkat tangannya membalas sapaan Tedi. Dia tidak bisa menjawab karena saat ini mulutnya sibuk mengunyah makanan. "Makan, Mas, Dek." Lukman membalas cepat sapaan Tedi setelah menelan makanannya.

"Iya nih kita juga mau makan."

Setelah basa-basi sebentar dengan Lukman, Tedi memindai seluruh area rumah makan, mencari bangku kosong untuk dirinya dan Asha. Ramai sekali. Sepertinya semua yang mendaftar di lembaga kursus itu makan di tempat ini pikir Tedi, karena tidak mungkin mereka menjelajah Pare untuk makan siang dan meninggalkan koper mereka begitu saja di teras lembaga kursus atau masjid.

Tedi kembali mengalihkan perhatiannya ke Asha yang berdiri di sampingnya. "Lo duduk di sini aja." Tedi menunjuk bangku kosong di depan Lukman.

"Lo sendiri gimana?" tanya Asha khawatir. Dirinya tahu Tedi belum makan siang sama seperti dirinya.

"Lo dulu. Gue mah gampang. Gantian atau duduknya pisah gak masalah, kan? tanya Tedi lalu Asha mengangguk sebagai jawaban. "Ambil makanannya di sana." Tedi menunjuk kerumunan orang yang berbaris rapi.

Asha kembali mengangguk kemudian melangkah ke etalase tempat makanan di hidangkan. Sebenarnya Asha sudah malas melakukan apapun. Seandainya saja Tedi bisa membaca pikirannya, saat ini Asha ingin sekali dilayani oleh Tedi. Diambilkan makan siang sehingga dia bisa duduk, menunggu dengan santai bukan mengantre. Meskipun dia sudah bosan menunggu, setidaknya hal itu lebih nyaman daripada menghabiskan tenaganya dengan berdiri. Mau makan aja susah banget. Apa di sini enggak ada tempat sekalian dengan pelayanan lengkap?

Pertanyaan Asha menggantung tanpa jawaban. Dia belum keliling Pare dan tidak ada niat juga untuk mencari jawaban itu. Siapa yang mau keliling Pare di tengah gempuran sinar matahari?

Dari tempatnya berdiri Asha memandang etalase makanan. Menu makanannya sih tidak ada yang aneh. Yang jadi masalah untuknya adalah rasa masakan itu sendiri. Apakah cocok di lidahnya yang akrab dengan pedas? Sedangkan masakan Jawa terkenal dengan rasa manisnya. Karena tidak mau mengambil resiko, akhirnya Asha mengambil secentong nasi putih dan satu potong telur dadar. Jika rasanya tidak cocok, setidaknya dia hanya menghabiskan sepotong telur dadar sehingga tidak membuang-buang makanan.

Setelah menentukan makan siangnya, Asha kembali mengantri saat menuju meja kasir yang berada tepat di sebelah etalase makanan.

"Namung niki mawon dahare, Dek?" tanya pegawai kasir rumah makan ketika Asha meletakkan piring di hadapannya.

Asha terdiam. Pengetahuannya terhadap Bahasa Jawa nol besar. Dia tidak tahu harus menjawab apa. Dari kalimat tadi telinganya hanya menangkap kata 'dek'. Lagi pusing malah disuruh nebak arti kalimat lagi! Kenapa enggak pake Bahasa Indonesia aja sih, Mbak? Enggak semua orang ngerti Bahasa Jawa kali.

"Cuma makan itu? Itu artinya." Asha menoleh ke samping saat sebuah suara menghancurkan kebuntuan otaknya. Rupaya dia, pria yang tadi disapa Tedi. Asha mendesah lega karena tidak perlu menarik Tedi ke meja kasir hanya untuk menterjemahkan Bahasa Jawa ke Bahasa Indonesia.

Thank God, gue enggak perlu menunjukkan ketololan gue terhadap Bahasa Jawa lebih lama, batin Asha.

"Iya. Ini aja," jawab Asha cepat dalam Bahasa Indonesia. Setelah memberikan uang kepada kasir Asha segera berbalik menuju mejanya. Tak lupa ia mengucapkan terima kasih ke si penterjemah.

Enggak ada larangan curi-curi pandang ke cowok ganteng, kan, selama dia gak tahu? Lagian mukanya adem banget. Bisa balikin mood gue.

Beberapa kali Asha mencuri pandang ke arah si penolong setelah kembali ke bangkunya, dia sedang antre membayar air mineral dingin. Untung saja Tedi sedang mengambil makanan jadi Asha bisa bebas memperhatikan cowok ganteng itu, dan tentunya bebas dari godaan Tedi.

"Mata lo tetep on kalo ada cowok ganteng. Enggak peduli bete and capek." Sindiran ini yang sering diucapkan Tedi jika mata Ashha sedang jelalatan.

Asha tidak menyangka di antara ratusan wajah lelah, glowing in bad way a.k.a berminyak karena kepanasan dan bau asam dari tubuh yang belum mandi sejak kemarin, Asha melihat kepiawaian Tuhan dalam memahat wajah hambanya.

Si penterjemah memiliki wajah persegi dengan dagu yang tegas dan garis rahang yang kuat seperti orang Eropa. Jarang Asha menemui orang biasa yang memiliki wajah fotogenik. Kalau dia lagi jalan di mall dan kebetulan ketemu dengan talent scout pasti langsung diajak gabung jadi model iklan atau model fashion, tinggi badannya juga mendukung. Asha yakin tinggi badan si penteremah di atas 180 cm.

***

"Nanti ya tunggu jam dua. Siswa yang lama baru keluar dari camp jam dua. Tunggu dulu aja di sini."

Kepala Asha semakin cenat-cenut saat mendengar jawaban itu untuk kesekian kalinya dari tutor atau pemilik lembaga kursus ini. Asha yakin bukan cuma dirinya saja yang mengalami hal ini. Para siswa lama ini tidak berperasaan! Mereka pasti merasakan apa yang Asha rasakan sekarang, kan? Lalu kenapa mereka tidak bermurah hati? Apa ini jenis perpeloncoan terselubung?

"Gue bisa kena heat stroke, Ted. Kalo satu jam lagi panas-panasan kayak gini."

"Minum dulu jus jeruknya," rayu Tedi agar Asha mau bersabar sebentar lagi.

Kali ini Tedi tidak mengomel karena sikap tidak sopan Asha padanya. Sinyal kepayahan sudah diterima mata Tedi sejak satu jam yang lalu. Sejak itu pula tangan Tedi tidak berhenti mengipasi wajah Asha yang memerah dari samping. Sedangkan Asha dia cuma menunduk, menghindari silau cahaya matahari di balik topinya. Terbesit keraguan di benak Tedi, apa Asha bisa bertahan di sini selama satu bulan? Kalau dia tiba-tiba roboh saat gowes sepeda gimana?

"Gue pusing, gue ke Bali aja deh atau di tempat lo. Ini sih lo nyiksa gue."

Lukman yang duduk tak jauh dari mereka kembali mendengar suara gadis yang dipanggil Asha oleh kakaknya. Kenapa hari ini gue sial terus? Headset tertinggal di mobil jemputan dari stasiun Kediri menuju Pare, dilanjutkan dengan keluhan tanpa jeda sejak dua bersaudara itu duduk di dekatnya.

Dengan tubuh lelah karena perjalanan dari Pekalongan ke Pare semalam Lukman tidak sanggup mengejar mobil itu, lagipula dia tidak tahu mobil itu berkeliling ke lembaga kursus yang mana untuk mengantar para calon pelajar. Lukman tidak ingin berburuk sangka pada orang yang tidak dia kenal, tapi kemungkinan ini selalu ada. Bisa saja headset sudah diambil orang lain. Jadi percuma berusaha untuk mencarinya jika persentase keberhasilan hanya dua 20%, tidak sebanding dengan tenaga yang dia keluarkan.

Berbagai cara telah dilakukan Lukman untuk menghindar, diantaranya: mencoba sepeda, makan siang lebih cepat bahkan alasan Lukman menghabiskan makan siangnya dengan cepat karena was-was Asha akan duduk di seberangnya. Bagaimana jika gadis itu tiba-tiba berkeluh kesah padanya? Selain itu Lukman juga merasa kasihan pada kakaknya yang bersandar pada dinding luar rumah makan sambil merokok ketika menunggu bangku kosong.

Saat ini mereka bertiga terdampar di undakan tangga masjid dengan matahari di atas ubun-ubun karena tidak ada kanopi di atasnya. Tempat yang biasanya dipakai untuk meletakkan sandal hari ini berfungsi menjadi tempat duduk dadakan. Pojokan teras masjid sudah ditempati orang lain saat mereka makan siang jadi tidak bisa duduk di sana lagi.

Lukman tidak mungkin mencari tempat lain untuk menunggu. Tadinya tempat ini adalah tempat terbaik karena dia masih dapat melihat kopernya dan tidak mungkin mendengar keluhan itu lagi. Menurut pengamatannya gadis itu selalu mengeluh panas pastinya dia akan mencari tempat menunggu yang lebih teduh, tapi ternyata perkiraannya salah.

Suasana semakin riuh setelah shalat Zuhur. Pelajar terus berdatangan dengan koper besar mereka. Benda itu mulai menginvasi bagian dalam masjid karena teras lembaga kursus dan masjid berubah menjadi lautan koper, untung saja tidak diprotes oleh marbot masjid.

Sepeda yang lalu lalang saat sedang dicoba lalu sepeda yang terparkir memanjang di sebelah masjid membuat suasana semakin semrawut. Bahkan beberapa kali sepeda-sepeda itu roboh karena tidak sengaja disenggol oleh seseorang. Lukman sempat membantu membereskan sepeda-sepeda itu untuk membunuh waktu, tapi lama-lama kesal juga dengan kecerobohan yang berulang sehingga dia memutuskan untuk menghemat tenaga.

Lama banget, kapan dimulainya? Tanpa sadar dia jadi ikut mengeluh.

***

Aloha teman-teman.
Update sesuai jadwal yaaaa. Yaitu Senin dan Kamis. Jadi tungguin aja. Belom pasti sih pagi, siang atau malem updatenya.

Jangan lupa vote dan komen. Kritik juga boleh kok asal jangan hate speech aja.

Di rumah
Bae

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro