Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Part 24 Harapan

Setelah menghabiskan jus avokad. Keduanya masih duduk santai, sepertinya terik matahari yang cukup menyengat membuat Alfa dan Alfi enggan beranjak. Lebih memilih berteduh dalam naungan pohon besar yang semilir angin mulai terasa menyejukkan.

"Untung kita tadi ke makam lebih pagi ya, Mas. Menjelang siang kayak gini malah semakin penuh orang yang datang," ucap Alfi saat netranya melihat di tepi jalan depan masjib baru saja berdatangan beberapa becak yang memuat para peziarah. Jika dilihat dari jumlah becak datang yang hampir bersamaan itu, sepertinya mereka rombongan memakai kendaraan bus.

"Iya, Yank. Setelah ini mau langsung pulang?"

"Emm, Alfi mau beli baju dan perlengkapan untuk bayi dulu boleh?"
Alfa yang mendengar permintaan sang istri tertegun. 'Kok baju bayi? Buat apa? Masak ia belum ketahuan positif udah mau beli aja,' pikir Alfa masih tampak bergeming.

Alfi yang seakan mengetahui isi pikiran suami sontak terkekeh. "Jangan mikir kalau Mas kita mau beli itu untuk calon anak kita, ya. Alfi mau beli itu karena baru ingat ada teman Alfi lahiran dua hari yang lalu."

Alfa tampak menghela napas cukup panjang. Tampak laki-laki itu menampakkan gigi putihnya seraya menggaruk belakang kepalanya yang tak gatal. "Hehe, kirain."

"Tapi, kalau mau dibeliin sekalian juga nggak apa-apa, sih, Mas," ucap Alfi dengan tatapan penuh semangat.

"Belum waktunya, Sayang. Sabar dulu, ya."

"Iya iya, Mas. Lagian Alfi cuma bercanda, kok. Yuk." Alfi beranjak dan menarik tangan sang suami agar ikut bangkit.

---***---

Melodi gemericik hujan membawa semilir angin yang menyejukkan suasana malam ini. Sepi, lalu lalang kendaraan tak seramai malam biasanya. Mungkin efek rinai malam ini, membuat banyak orang enggan keluar dan memilih mendekam di dalam rumah.

Begitupun Alfa dan Alfi, saat malam dan belum mengantuk. Biasanya keduanya akan duduk santai di balkon. Namun, malam ini keduanya menyelimuti diri  di dalam kamar.

"Sayang," panggil Alfa yang kini sedang mengelus-elus kepala Alfi yang tiduran di pahanya.

"Hmmm," jawab Alfi yang masih menatap layar gawainya.

"Kalau kamu nanti positif hamil, Mas mau pulang setiap hari."

Iya, semenjak sepekan lalu. Alfa kebagian masuk kerja jadwal pagi, karena ia pindah bagian menjadi OB.

"Mas mau ngajiin setiap hari buat anak kita, ngaji Al Quran, ngaji kitab bersama dia."

Alfi terdiam, menatap haru atas ucapan sang suami. 'Sebegitu besarnya ternyata harapanmu untuk calon anak kita, Mas. Aku nggak menyangka, belum juga anak ini lahir, pengorbananmu telah terencana, kamu abaikan rasa lelahmu demi calon buah hati kita.'

Alfi terkesiap saat tiba-tiba sebuah tangan bergerak-gerak di depannya. Ia menangkap tangan itu, lalu memandang wajah suami yang kini tampak tersenyum. "Kok malah melamun?"

"Hehe, Alfi terharu dengan rencana Mas untuk calon anak kita."

Alfa semakin merekahkan senyumnya, lalu mengecup kening sang istri. "Mulai sekarang, kamu jangan dulu ngerjain yang berat-berat ya. Semoga memang benar, bulan ini kita mendapatkan kabar bahagia."

"Tapi, Mas. Kalau ternyata nanti akhirnya Alfi malah datang bulan lagi gimana?"

"Itu berarti kita harus lebih bersabar lagi, Sayang," ucap Alfi sembari mencubit hidung Alfi pelan.

"Mas nggak akan marah sama Alfi, kan?"

"Marah kenapa?"

"Karena ternyata Alfi nggak hamil."

Alfa seketika tertawa mendengar pertanyaan yang menurutnya lucu. Bukankah hal lucu jika ia marah terhadap sesuatu hal yang bukan kuasa manusia? Pantaskah ia menghakimi sang istri, jika memang kenyataannya dia belum hamil?

"Sayang, sayang, kamu jangan mikir yang aneh-aneh, deh. Ngapain mas marah sama kamu. Semuanya sudah ada yang mengatur, Sayang. Jangan terlalu dipikirin, ya. Yang penting apa pun takdir Allah, kita harus berusaha menjalaninya dengan sabar dan ikhlas."

"Iya, Mas. Makasih, ya. Mas sudah mau jadi suami Alfi. Alfi beruntuuung banget mempunyai suami Mas Alfa."

"Mas juga beruntung, Sayang. Punya istri cantik dan salihah kayak kamu."

"Aamiin."

"Ya udah, tidur yuk, Sayang. Udah ngantuk, nih," ucap Alfa begitu usai ia menutup mulutnya karena mulai menguap. Alfi mengangguk lalu bangkit dan berpindah posisi tidur di samping suaminya.

"Doa dulu, Sayang," ucap Alfa yang baru saja selesai mematikan lampu kamar.

"Iya, Sayang."

---***---

Gelapnya malam kini telah lenyap akibat peran mentari telah tiba gilirannya menyinari bumi. Para makhluk pun hampir semuanya telah terbangun dari lelapnya dan tampak memulai aktivitasnya hari ini dengan penuh semangat.

"Mas berangkat kerja ya, Sayang." Tampak Alfa telah siap dengan jaket yang ia kenakan.
Alfi buru-buru menghampiri usainya ia mencuci piring.

"Teletabis," ucap Alfa sembari merentangkan kedua tangannya. Alfi menyambutnya dengan menghamburkan tubuhnya ke pelukan Alfa. "Hati-hati di jalan ya, Sayang. Semoga mendapat rezeki yang halal, barokah dan manfaat."

"Aamiin yaa Robbal'alamin. Kamu juga jaga diri di rumah, ya." Alfi mengangguk lalu mempersembahkan senyum terindah untuk suaminya.

"Huek." Tiba-tiba Alfi merasakan perutnya mual begitu pelukannya terurai.

"Kenapa, Sayang?"

"Nggak tahu, nih, Mas. Habis minum kok jadi enek. Huek." Alfi langsung menghirup napas dalam seraya mengelus-elus lehernya sendiri. Mulutnya berusaha menetralkan rasa di lidahnya.

"Hehehe, udah nggak apa-apa, kok Mas."

"Beneran?"

"Iya, Sayang." Alfi lalu berjalan menuju kotak penyimpanan helm, mengambilnya kemudian menyerahkan kepada suaminya.

"Oh iya, Mas. Besok kalau pulang beliin test pack, ya."

"Iya Insyaallah, Sayang."

Sepeninggal sang suami berangkat kerja. Alfi ke belakang untuk menemui Ahmad di kamar. Pukul lima lewat 30 menit masih terlalu pagi buat Alfi bersiap-siap ke sekolah. Masih ada waktu tiga puluh menit untuk bermain dulu dengan Ahmad.

Tak bertemu Ahmad sehari saja, rasa rindu menyeruak di hati Alfi. Meski Ahmad bukan darah dagingnya, bukankah keduanya masih punya hubungan darah? Jadi tak heran, jika wajah Ahmad dan Alfi ada kemiripan. Begitu kata orang-orang.

"Loh si Ahmad udah bangun ya, Dek." Alfi menyapa sang Adik yang sedang menemani Ahmad.

"Iya, Mbak udah dari tadi jam lima." Alfi tersenyum sembari mengangguk-anggukkan kepala. Kini netranya menatap Ahmad yang kakinya bergerak-gerak ke atas lalu ke bawah.

"Assalamualaikum, Sayang. Wah ... padahal belum mandi. Kok kamu wangu gini, sih," ucap Alfi seraya mencium pipi Ahmad bertubi-tubi.

"Eh, Mbak Alfi sarapan, yuk Mbak," sapa Dewi yang kini tampak membawa beberapa piring di tangannya.

"Silakan, Dek. Mbak tadi udah sarapan sama Mas Alfa."

"Titip Ahmad dulu kalau gitu ya, Mbak," ucap Dani yang sejak tadi sibuk dengan gawainya dan duduk di samping Ahmad.

Alfi mengangguk kemudian menggantikan posisi Dani duduk di samping kiri Ahmad. Ia menatap Ahmad intens dengan senyum merekah di bibir seraya tangannya mengelus perutnya. 'Benarkah dalam perut ini akan ada dedek bayi yang nanti akan seperti kamu ya, Ahmad?' batin Alfi.

.
.
.
Bersambung
Pasuruan, 19 September 2021


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro