Part 23 Terlambat
Sebuah asa terkadang membuat angan melayang tinggi. Karena setiap asa, pasti memiliki sebuah harap untuk segera terpenuhi. Begitulah normalnya manusia, saat sudah menjalani ikhtiyar, tahap selanjutnya adalah pengharapan yang sangat besar kepada Allah akan mewujudkan apa yang ia ingini.
Hari ini telah sepekan Alfi dinyatakan terlambat haid, setelah rutin sebulan ia minum madu. Pagi yang cerah, tapi tak secerah wajah Alfi yang kini tampak lesu. Entah sudah berapa kali ia menguap, tangannya terus menutup mulutnya yang menganga.
Alfi yang kini sedang rebahan beralaskan karpet tampak tersenyum saat mengingat penuturan seseorang yang sangat ia harapkan itu akan benar adanya.
"Waaah bawaannya ngantuk terus dan agak pusing? Jangan-jangan kamu hamil." Ingin ia berteriak sekencang-kencangnya waktu itu mengucapkan kata 'aamiin'. Berharap apa yang dikatakan orang itu menjadi nyata.
Dalam diam Alfi asyik dengan angannya 'Jika memang aku hamil, aku harus lebih rajin ibadah. Lebih banyak ngaji dari pada pegang, Lebih banyak baca selawat dan zikir. Intinya, aku harus lebih bisa memanfaatkan waktu dengan hal yang bermanfaat,' batin Alfi seraya tangannya mulai mengelus-ngelus perut.
"Allahumma sholli 'ala Sayyidina Muhammad, wa'ala ali Sayyidina Muhammad, jika Engkau perkenankan dalam perut ini akan hadir sebuah janin ya Allah. Jadikanlah ia anak yang salih atau salihah." Mata Alfi sontak berkaca-kaca, penuh harap Allah mengabulkan doanya di bulan ini. Tangannya terus mengelus perutnya sembari membaca selawat atas Nabi.
"Sayang, pagi-pagi kok udah ngelamun aja. Ngelamunin apa?" Alfa yang baru datang membeli sarapan langsung mendekati sang istri dan mencium pipi Alfi dengan gemas. Pasalnya, sudah beberapa kali ia memanggil sang istri. Namun tak kunjung ada jawaban.
"Huh, Mas ngagetin aja, ih," ucap Alfi yang terkesiap dan langsung menggelitik pinggang Alfa.
"Hehe, lah kamunya ngelamun. Mas udah dari tadi manggil, nggak nyahut-nyahut."
"Emang iya?"
"Ya iyalah, Sayang." Kembali Alfa mencium pipi Alfi dengan sedikit menekannya.
"Hehehe ya maaf, Mas. Aku kan lagi bahagia dalam khayalan, jadi tak menghiraukan kenyataan."
"Ish, ish, ish. Emang lagi khayalan apa pagi-pagi. Nggak baik lo Sayang ngehayal, entar kalau kesurupan jadi brabe, dong."
"Hmmm na'udzubillah. Na'udzbillah min dzalik, Mas."
"Udah ah, dari pada kamu ngelamun, kita sarapan sekarang ya. Setelah itu baru kita jalan-jalan." Alfa mengeluarkan dua bungkus nasi dari dalam plastik yang tadi di bawanya.
"Emang jadi mau jalan-jalan, Mas?"
"Lah emang kenapa? Kamu nggak lagi sakit, kan?" tanya Alfa sembari tangannya menempel di kening sang istri.
"Kok hangat, Sayang. Kamu sakit, ya?"
"Hanya sedikit kurang enak badan aja kok, Mas." Alfi menyungging senyum seraya menggenggam tangan Alfa yang tadi berada di keningnya. Menenangkan laki-laki di hadapannya yang kini terlihat khawatir.
"Nanti kalau udah sarapan ternyata udah enakan, kita harus jadi jalan-jalannya ya."
"Yang penting nggak boleh maksain diri ya. Jangan zalimin diri sendiri."
"Siap, Sayaaang." Kini Alfi yang mengecup pipi sang suami, membuat Alfa tersenyum menatap sang istri dan kekhawatiran tak lagi tampak dari wajahnya.
Selang lima belas menit berlalu, sepasang suami istri itu telah menyelesaikan aktivitas sarapannya. Kini keduanya sedang duduk berdua di balkon lantai atas dengan ditemani satu gelas ukuran jumbo.
"Oh iya, Mas. Kemarin ada yang bilang sama Alfi. Kalau sering ngantuk, lesu dan pusing itu salah satu tanda-tanda hamil lo, Mas. Dan sekarang, Alfi ngalamin itu. Alfi juga udah sepekan ini telat datang bulan." Alfa yang menyimak dengan seksama penuturan sang istri tampak bibirnya mengulas senyum. "Semoga ya, Sayang."
"Aamiin. Mas juga pengin segera punya anak, kan?"
Alfa yang mulai menyesap teh hangat itu terhenti. Netranya menatap manik mata sang istri yang kini tampak serius menunggu jawabannya. "Kalau ditanya pengin, pasti penginlah, Sayang. Tapi tetap, semuanya kita pasrahkan kepada Allah, ya."
Alfi tersenyum lalu mengangguk. "Alfi udah berharap banget bulan ini keinginan terwujud, Mas."
"Nggak ada salahnya berharap. Yang penting jangan berlebihan, ya. Tetap harus tawakkal 'alallah." Alfi menganggukkan kepala beberapa kali lalu berucap, "Insyaallah, Mas."
---***---
Sang bagaskara kini bersinar menyengat. Langit biru tampak cerah dihiasi semburat awan putih bersih tanpa ada warna kelabu.
"Cuacanya cukup panas ya, Mas," ucap Alfi sembari mengusap keringat di keningnya dengan tisu.
"Iya, Sayang. Lumayan bikin haus. Hehe."
Keduanya saat ini sedang berteduh di bawah pohon besar yang menaungi orang-orang yang berada di bangku yang berbentuk melingkar memutari pohon itu.
"Mas beli air mineral dulu, ya. Kamu tunggu di sini."
"Alfi penginnya yang dingin boleh?"
"Yakin nanti nggak bikin kepala pusing? Panasnya terik lo, Sayang. Kalau langsung di minumin es entar malah pusing gimana?"
Alfi menatap Alfa sendu. Ia bingung harus berkata apa. Dalam hatinya ingin sekali meminum minuman dingin, tetapi tak mau pusing akibat hal itu.
"Mas beliin jus buah dengan es sedikir aja, ya."
'Ide yang bagus,' batin Alfi lalu mengangguk dengan antusias.
Alfa pun beranjak dan mulai berjalan ke arah kiri. Namun, setelah beberapa langkah berjalan ia baru teringat sesuatu yang menyebabkan ia harus kembali.
"Kamu mau jus buah apa?" tanya Alfa begitu dirinya telah berdiri di dekat Alfi.
"Oh iya lupa nggak bilang, hehe. Es apa aja boleh, Mas. Yang penting manis dan dingin."
"Lah, yang manis, kan kamu dan yang dingin itu Mas. Lengkap dong, tinggal jus buahnya," ucap Alfa dengan senyum-senyum, sengaja menggoda sang istri.
"Hehehe Mas bisa aja."
"Ya udah, Mas jalan dulu ya."
"Iya, Hati-hati nyeberangnya."
Alfa mengangguk lalu kembali melanjutkan langkahnya menuju kedai penjual jus buah yang berada di bagian pojok alun-alun ini.
Sepeninggal sang suami, Alfi yang melihat ke sekitar, seketika tersenyum saat melihat anak kecil yang sedang digandeng oleh laki-laki, sedangan perempuan di sampingnya tampak menggendong bayi di dekapannya.
Laki-laki dan perempuan itu sudah bisa dipastikan jika keduanya adalah sepasang istri. Tampak keduanya saling bercakap-cakap dan diselingi dengan tawa penuh kebahagiaan. Apalagi saat anak kecil yang di gandengnya itu bergelayut manja, hingga laki-laki itu menggendong dan mengangkat tubuh mungil itu ke atas. Anak kecil itu tampak tertawa lepas, sang istri di sampingnya hanya geleng-geleng kepala seraya tersenyum melihat apa yang di lakukan sanh suami.
'Ya Allah ... semoga suatu saat nanti hamba dan suami hamba bisa merasakan posisi kebahagiaan seperti mereka,' kata Alfi dalam hati seraya mengelus perut di balik kerudung lebarnya.
Begitu dua orang yang tadi ia lihat telah berlalu dan semakin menjauh. Akfi berniat mengambil gawainya dari dalam tas. Bosan juga jika hanya diam menunggu tanpa ada yang bisa dilakukan. Namun, baru saja ia berhasil mengeluarkan benda pipih itu, tiba-tiba terdengar dari arah kirinya teriakan orang-orang yang tampak dengan cepat berkerumun.
Alfi pun terkejut, dengan cepat ia memasukkan kembali gawainya. Lalu bergegas berjalan menuju kerumunan orang-orang itu dengan pikiran tak enak.
Napasnya yang sempat memburu, langsung terhempas lega saat mendengar suara seseorang memanggilnya.
"Sayang."
Benar saja, yang berjalan dari sampingnya adalah suaminya.
"Ya Allah ... Mas. Ada apa di sana?"
"Ada anak kecil jatuh"
.
.
.
.
.
Bersambung
Pasuruan, 18 September 2021
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro