Part 2 - Menata Hati
Dulu--sebelum menikah--curhatan teman mengenai persoalan kesedihannya menunggu kehadiran buah hati, seakan menjadi angin lalu buat Alfi. Sabar, nanti kalau udah rezeki pasti dapet. Usaha terus, jangan menyerah. Ucapan ini sangat mudah mengalir dari lisannya, menasihati sang sahabat yang kenyataannya memang menikah lebih dulu saat itu.
Ya Allah ... baru kerasa sekarang, ternyata menunggu buah hati hadir itu rasanya seperti ini. Gundah, sedih, sesak, terus menghias hati. Helaan napas kembali menguar. Tak henti pikiran Alfi memikirkan nasib hidupnya.
"Ini, Sayang. Mas bikinin coklat hangat buat kamu." Alfa yang beberapa menit lalu melayani pelanggan, tiba-tiba datang menghampiri dengan membawa lepek dan segelas coklat.
Alfi benar-benar terharu, bibirnya tak bisa menahan senyum akibat kebahagiaan menyeruak dalam hati. Ia merasa sangat beruntung memiliki suami yang begitu perhatian. "Jazakillah khoir, Zauji."
"Aamiin ... waiyyaki, Zaujati."
"Kamu masih inget nggak oleh-oleh dari Mas? Waktu Mas yang ikutan rapat di kantor NU?"
Alfi yang baru saja usai menyesap coklat dari lepekan itu tampak memicingkan kedua matanya, pertanda tak paham dengan apa yang dimaksud sang suami.
"Ana urid, anta turid, Allahu yurid."
Alfi pun akhirnya mengangguk, baru paham saat sang suami melafalkan kalam itu. Membuat Alfi mengingat perjelasan lafal yang berarti saya ingin, kamu ingin, Allah juga ingin. Diantara keinginan itu kita pasti tahu keinginan siapa yang lebih berkuasa terwujud. Sudah pasti Allahu yurid, karena keinginan Allahlah yang pasti mengalahkan keinginan para makhluknya yang tak memiliki daya apa pun untuk mewujudkan keinginannya sendiri, kecuali atas kehendak dari-Nya.
"Jadi ... apa pun yang kita hadapi itu semua telah menjadi kehendak-Nya. Kita tak bisa apa-apa. Setelah ikhtiyar, mari kita berusaha untuk tawakkal. Sabar dan ikhlas menerima apa pun takdir yang telah di tetapkannya."
"Iya bener, sih, Mas. Tapi ...."
"Nggak ada tapi, Sayang. Kita sama-sama berusaha menata hati, ya. Belajar mensyukuri apa yang telah Allah anugerahkan. Jangan sampai, hati yang fokus atas harapan yang tak tergapai, membuat rasa syukur dalam hati kita terbengkalai."
Hati Alfi seketika terketuk, saat mendengar kalimat terakhir sang suami. "Astaghfirullahal'adzhim ... ampuni hambamu yang lupa bersyukur dan terus mengeluh ini ya Allah."
Air mata kembali mencelos, Alfi buru-buru mendekap sang suami. "Astaghfirullah iya, Mas. Alfi terlalu sibuk menuntut, hingga lupa untuk bersyukur."
---***---
Pagi yang cerah, mentari seakan malu-malu menyapa dunia, masih dengan dengan sinar jingganya. Apalagi, awan yang seharusnya berwana putih masih tampak kelabu, ikut menghiasi langit biru, menambah indahnya pemandangan pagi ini tampak begitu syahdu.
Alfa dan Alfi kini sedang menikmati pagi dengan jalan-jalan pagi sehabis rutinitas waktu subuh. Tanpa alas kaki keduanya berjalan beriringan. Sesekali kedua tangan merenggang ke atas dan ke samping, berniat merenggangkan otot-otot kaku.
Kegiatan olahraga pagi seperti ini sering Alfa dan Alfi lakukan saat akhir pekan. Jalan-jalan pagi sambil berolahraga santai sembari tadabbur alam. Benar-benar menyenangkan bukan?
Hampir setengah jam keduanya melakukan aktivitas jalan pagi di pinggir jalan raya yang masih tampak tak begitu ramai lalu lalang kendaraan.
Setelah itu Alfi segera masuk rumah untuk menyiapkan sarapan pagi.
Alfa segera ke lantai atas untuk mengurus tanamannya. Iya, laki-laki berpostur tubuh lebih tinggi sedikit dengan sang istri itu sangat hobi menanam.
Tepat pukul tujuh lewat tiga puluh menit. Alfi menaiki setiap anak tangga dengan membawa nampan yang berisi sepiring nasi lengkap dengan lauk dan sayurnya, satu gelas minuman dan sesachet garam gunung.
"Sayang, sarapan sudah siap! Yuk makan, yuk," ucap Alfi agak berteriak. Pasalnya di ruang lantai atas ini, terdengar juga senandung selawatan yang diputar sang suami, menemani aktivitasnya.
Alfa yang terlihat asyik menyemai tampak tak menggubri sama sekali. Alfi pun langsung meletakkan nampan di atas karpet, kemudian menghampiri sang suami.
"Sayang, makan, yuk." Alfa menoleh lalu berucap, "Bentar ya, Yank. Tinggal dikit lagi ini tanggung."
"Lagi ngapain, sih. Sampai comot gini." Alfi masuk dan kembali dengan membawa tisu. Ia pun mengusap keringat yang membasahi wajah sang suami dan membersihkan debu yang telah basah, mengotori bagian pelipisnya.
"Uluh-uluh, nakalnya nih debu, menghalangi kegantengan suami aku."
Alfa sontak tertawa. "Hahaha ada apa ini. Kok pagi-pagi udah gombalin, Mas?"
"Ih, su'udzon. Emang nggak nyadar kalau suami Alfi ini kan paling ganteng sedunia."
"Ah, masak?"
"Iyalah. Masaknya udah selesai. Udah pada siap dilahap, tuh."
"Hahaha. Istriku pagi-pagi bikin gemes, sih." Alfa mencubit pelan pipi sang istri, membuat pipi Alfi bukan kemerahan, tetapi kecokelatan.
"Iiihhh! Mas Alfa! Pipi Alfi kan jadi kotor Mas." Alfi sontak mengerucutkan bibirnya karena kesal. Tangannya bergerak cepat menghapus pipi yang ternoda oleh debu itu dengan tisu.
Alfa yang semakin gemas melihat wajah kesal sang istri pun langsung mengecup singkat bibir Alfi.
Alfi yang mendapat serangan mendadak itu melotot, terkejut dengan apa yang di lakukan sang suami.
"Mas Alfa!" teriaknya saat melihat laki-laki yang kini menjadi pujaan hatinya itu lari terbirit-birit dengan tawanya yang masing terdengar.
Dibalik kekesalan yang dirasakan Alfi, kebahagianlah yang lebih mendominasi dalam hatinya saat ini. Alfi merasa sangat-sangat beruntung hidup bersama Alfa sebagai suaminya.
Ketepautan usia enam tahun di antara keduanya, merupakan sesuatu yang pas buat Alfi karena Alfa memang merupakan sosok dewasa dan selalu bijak dalam mengambil keputusan.
Sosok penyabar dan selalu tenang dalam hal apa pun.
Berbeda dengan dirinya yang tipikal grusah-grusuh, tak sabaran hampir setiap melakukan apa pun.
Tak lama, Alfi pun segera menghampiri Alfa. Meletakkan nampan di atas alas yang biasanya menjadi tempat makan berdua dengan sang suami.
"Jangan lupa garamnya dulu, Mas." Alfi menyodorkan sebungkus garam ke arah sang suami. Alfa pun langsung mencelupkan jarinya ke dalam garam itu, kemudian menyesap jemarinya. Sontak mata Alfa memicing, "Ih, asssiiin."
Alfi tertawa. "Namanya juga garam, Mas. Pasti rasanya asin. Kalau manis mah namanya gula. Kalau pahit mah namanya jamu."
"Iya-iya Bu Gulu," ucap Alfa berpura-pura cadel dengan mengangguk-anggukkan kepala. Seperti murid yang sangat patuh terhadap titah gurunya.
Alfi sontak terbahak. Tingkah lucu sang suami selalu saja menghibur hatinya. Pantas saja, sehari saja tak bertemu. Tumpukan rindu benar-benar membuat dirinya gelisah dan tak sabar ingin segera bertemu.
Menyesap garam sebelum makan adalah sunah dan sering dilakukan oleh Rasulullah. Begitulah yang pernah didengar keduanya saat mendengar pengajian dari Habib Taufiq Assegaf. Karena itulah, keduany berusaha melakukan hal itu untuk mengikuti sunah Baginda Rasulullah SAW.
Hidup akan lebih berkah, jika kita mengikuti setiap apa yang diajarkan Rasulullah SAW.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro