Part 13 Mandul
Kumpul bersama keluarga, menciptakan keharmonisan dan keakraban jalinan kasih sayang. Di saat sedang bersantai adalah waktu yang pas untuk melakukan hal itu.
Seperti saat ini, Alfi sedang duduk bersantai di teras rumah orang tuanya bersama sang adik, Dani. Tadinya Dewi dan kedua orang tuanya juga duduk berkumpul di situ. Namun, karena si kecil Ahmad menangis, Dewi segera masuk. Bapak dan Ibu pun ikut masuk karena ada pekerjaan yang harus diselesaikan.
"Susah amat ya, Mbak cari kerjaan. Udah usaha ngelamar ke beberapa pabrik. Belum ada satu pun yang keterima," ucap Dani sembari sesekali memainkan ponselnya.
"Sabar, Dik. Rezeki Allah yang ngatur, manusia hanya bisa berikhtiyar."
"Iya, sih, Mbak. Saat masih berdua dengan Dewi, sih. Kita berdua bisa menahan segala keinginan. Kebutuhan pun bisa dikompromi. Mau buka usaha lain juga belum punya modal lagi. Malu, Mbak. Nebeng orang tua terus buat memenuhin kebutuhan keluarga. Apalagi sekarang udah punya Ahmad. Jadi beban pikiran aku kayak yang makin bertambah. Makin pusing." Iya, selama ini Dani sudah mencoba juga membuka usaha dimodalin orang tua. Namun, sampai sekarang belum ada perkembangan mengenai hasilnya.
"Iya juga, sih. Tapi mau gimana lagi, Dik. Semuanya telah menjadi ketetapan Allah. Kamu sedang diuji dalam hal pekerjaan, teruslah berdoa agar Allah melapangkan dan melancarkan rezekimu. Bukankah setiap makhluk yang Allah ciptakan, sudah mempunyai takaran rezekinya sendiri-sendiri. Sabarlah dulu, Allah tak akan menguji hambanya melebihi kadar kemampuannya."
"Iya-iya, Mbak InsyaAllah. Bantu doain juga ya, Mbak."
"Pasti, Dik insyaAllah."
Obrolan keduanya belum juga berlanjut dengan pembahasan lain. Tiba-tiba datang seseorang yang mengendarai motornya parkir di halaman rumah Alfi.
"Mbak, mau beli."
Alfi mengangguk lalu tersenyum. "Aku balik dulu, ya." Dani pun mengangguk dan membalas senyum juga dari bibirnya.
Usai melayani pembeli. Alfi duduk di hamparan karpet dan bersandar ke dinding di belakangnya. Tampak ia menghela napas cukup panjang, pandangannya sendu menatap arah depan.
"Sayang." Alfa yang baru saja usai mandi memanggil sang istri. Namun yang dipanggil terlihat masih bergeming, tak menyahut sedikit pun.
"Sayang." Sekali lagi Alfa memanggil dengan meninggikan sedikit volume suaranya. Tetap saja, Alfi masih asyik larut dalam lamunannya, hingga tak mendengar suara sang suami.
Alfa yang melihat istrinya bengong, tampak menggeleng-gelengkan kepala. "Sayangku, istriku, cintaku," ucap Alfa dengan cepat dan suara lebih tinggi di dekat telinga Alfi.
Alfi pun langsung terkesiap. "Astaghfirullah, Mas Alfa ngagetin aja, sih, pelan-pelan dong manggilnya." ucap Alfi sembari mengelus-elus dadanya, diikuti napas yang sedikit memburu akibat terkejut.
"Lah ... kamunya dari tadi bengong. Mas dikacangin, padahal udah dua kali manggil dengan suara paling lembut sayangku, istriku, cintaku." Alfa pun langsung duduk di sebelah Alfi dan ikut bersandar santai.
Alfi yang tertangkap basah dirinya melamun hanya bisa nyengir seraya menggaruk-garuk kepalanya yang tak gatal. "Hehe, maaf Mas."
"Kamu mikirin apa, hm?"
Alfi tampak menghela napas lagi, mengingat apa yang dialami adiknya, ia turut bersedih hati. "Itu lo, Mas. Kasihan Dani, sampai sekarang belum nemuin pekerjaan. Mana lagi sekarang udah punya anak, kan."
Alfa pun mengangguk-anggukkan kepala paham. "Namanya juga orang hidup di dunia, Yank. Ujian pasti Allah berikan kepada hambanya, Begitu pun kita, kan? Kamu ingat ayat Al Quran surat Ali Imran? Yang bunyinya kayak gini. Amhasibtum antadkhulul jannata walammaa ya'lamillaahulladziina jaahaduu minkum waya'lamashshoobiriin. Artinya : Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum nyata bagi Allah orang-orang yang berjihad di antara kamu, dan belum nyata orang-orang yang sabar.
"Wah ... mantep, nih Pak Ustadz suamiku. Emang bener banget, itu Mas. Kita diuji sama-sama masalah rezeki. Dani diuji dalam hal pekerjaannya, sedangkan kita diuji hal keturunan." Alfa mengangguk mantap sambil berucap, "Nah, bener."
"Waduh, Alfi jadi malu dengan apa yang Alfi katakan ke adik tadi, Mas. Sok-sokan Alfi dengan entengnya bilang dia untuk bersabar. Padahal Alfi sendiri kan sering banget tak sabar dalam penantian ini. Tak sabar menunggu impian kita untuk terwujud, Mas."
Alfi menunduk lalu berucap, "Astaghfirullaha min qoulim bila amalin. Laqod nasabtu bihi naslallidzi 'uqumi. (Aku mohon ampun kepada Allah dari ucapan tanpa disertai amal # Aku telah menasabkan diriku dengan perkataan itu, bagaikan seorang yang mandul mengharap keturunan)" Petikan Qosidah burdah ini Alfi lantunkan, saat mengingat dirinya hanya bisa menasihati dengan ucapan. Namun, dirinya sendiri masih sulit untuk menerapkan.
---***---
Baru saja Alfi meletakkan sapu di tempatnya setelah usai menyapu seluruh penjuru ruangan rumahnya. Terdengar ibunya memanggil. "Alfi."
"Iya, Bu?" Alfi sedikit berteriak diikuti langkah kakinya ke belakang, menghampiri sang ibu.
"Lagi sibuk, Nak?"
"Enggak, Bu. Baru aja beres nyapu. Kenapa?"
"Tolong gantiin gendong Ahmad, ya. Ibu mau ke belakang, ngasih makam ayam."
Alfi mengangguk dan mengambil alih Ahmad ke gendongannya. Ia pun membawa bayi mungil itu ke teras rumah, lalu menimang-nimang pelan sembari menatap wajah ganteng itu yang kini tampak mengerjap-erjapkan matanya--terlihat mengantuk.
Baru saja Alfi akan melantunkan suara merdunya. Tiba-tiba datang tetangga yang menyapa dan menghampiri dirinya.
"Wah ... si Ahmad udah mandi ya. Hmmm wanginya," ujar Emak Tini usai mencium pipi Ahmad.
"Lucu banget ya, Fi. Ahmad pipinya gembul."
"Iya, Mak. Bikin gemes yang liat, penginnya nyubitin. Hehe."
"Ibunya Ahmad ke mana, Fi? Kok kamu yang gendong?" tanya Emak Tini sambil ia menggeser tubuhnya beberapa langkah. Kemudian duduk di kursi kayu yanh tak jauh dari posisi berdiri Alfi saat ini.
"Mungkin lagi mandi, Mak."
"Oh."
Hening beberapa menit. Alfi terus menimang Ahmad yang sedikit lagi akan terlelap.
"Kamu udah berapa tahun nikah, Fi? Belum isi?" tanya Mak Tini masih dengan pertanyaan yang sama dan sering dilontarkan.
Di lubuk hati Alfi terbesit kejengahan saat mendengar pertanyaan itu. Pasalnya, hampir setiap kemari. Mak Tini ini selalu menanyakan dirinya sudah hamil atau belum. Alfi tampak menghela napas cukup panjang, perlahan bibirnya mengulas senyum saat pikiran positif yang muncul di benaknya saat ini.
'Mungkin Mak Tini sebegitu pedulinya sama aku. Sampai-sampai ia selalu menanyakan hal yang sama tak bosan-bosan. Bukankah kemarin-kemarin beliau juga memberi saran untuk aku minum kelapa muda dan makan tauge agar rahimku subur. Astaghfirullah ya Allah. Ampuni hati kotor hamba ini.'
"Alhamdulillah udah dua tahun lebih aku nikah, Mak. Tetapi belum isi sampai sekarang." Alfi menghadap ke arah Mak Tini sembari tersenyum setelah menjawab pertanyaannya.
Mak Tini tampak memandang Alfi dengan serius. "Waduh, udah lumayan ya, Fi. Udah usaha juga kan, ya. Apa jangan-jangan kamu sebenarnya mandul, Fi?"
.
.
.
Bersambung
Pasuruan, 06 September 2021
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro