Triangle: Two
( '-') ~ Triangle | Two ~ ('-' )
Kami berjalan sekitar empat jam, menyusuri kota yang hancur tidak berbentuk, hanya berisi puing-puing membukit dan asap beserta debu. Gedung-gedung runtuh ke bawah tidak berbentuk. Mobil-mobil dan motor-motor berserakan di jalan dengan kondisi yang buruk, bahkan sebagian hancur dan gepeng tertimpa beton, lalu debu-debu dan bau-bau lainnya memenuhi. Bau apeknya terus saja berlalu-lalang ke lubang hidungku, sampai-sampai aku sudah tidak tahu mana yang bau udara atau bau debu-debuan.
Kurasa sekarang sudah nyaris tengah malam. Gelapnya semakin pekat saja. Apalagi ditambah kabut-kabut di atas yang terus menutup cahaya bulan sabitnya.
"Yoon, bisa kita berhenti sebentar?" tanyaku pada Yoongi. Serius, kakiku sudah terasa benar-benar lelah dan pegal. Aneh saja rasanya kenapa kakiku tidak patah dari tadi mengingat bagaimana sulitnya medan yang kami lalui dan sejauh apa itu. Pffftt.
"Kita cari tempat yang datar dan tidak berpuing-puing, setidaknya jauh dari gedung-gedung yang berkemungkinan runtuh."
"Masalahnya itu di mana? Perasaan dari tadi kita lompat dan panjat puing-puing terus."
Yoongi mendesis, kemudian mengarahkan senternya ke wajahku di belakang. "Kau mau saat sedang duduk tiba-tiba gedung yang belum roboh itu ambruk menimpamu? Mengubur tubuh pengeluhmu itu?"
"Ya ... enggak, sih."
"Makanya diam dan jalan saja."
Ya, mau tidak mau aku kembali berjalan lagi. Memaksa sepatu baru yang seminggu lalu kuambil dari toko yang kami temukan—yang kini sudah jelek dan nyaris robek—untuk terus berjalan. "Ayo, Jey. Teruslah berjalan. Kau dilahirkan sebagai pejalan. Ayo berjalan. Ayo. Ayo."
"Diamlah Jung! Sorakanmu membuat mayat-mayat itu bangun lagi."
Aku langsung memasang wajah penuh rengutan mendengar interupsi Yoongi di depan sana yang dengan tanpa rasa bersalah tetap berjalan santai. Aku ingin mengomel-ngomel dan menyerapah, namun alih-alih melakukan itu, aku hanya mengerucutkan mulutku lalu bergumam pelan, "Huu. Dasar galak! Tidak asik! Manusia kaku!"
"Aku bisa dengar," ujar Yoongi tidak menoleh dan terus menyenteri ke depan. Sesekali dia melompati puing-puing dan sesekali menyelip di antara dua mobil yang melintang memenuhi jalan.
Aku menyejajarkan langkah dengan Yoongi ketika puing-puing dan benda lainnya berkurang, tersisa gedung-gedung dengan kaca bolong dan beberapa sisi bagian hancur. Kacanya berserakan di jalanan, bergabung dengan debu-debu dan beton yang hancur.
"Ngomong-ngomong yang tadi itu beneran hantu?" tanyaku mencoba membuka percakapan lagi. Ya ... sepertinya aku ini memang dilahirkan dengan mental baja. Meskipun Yoongi garang, aku tetap saja tidak bosan mengajaknya bicara, entah karena Yoongi memang semenyenangkan itu orangnya atau karena tidak ada manusia lain yang bisa kuajak bicara selain dia. Sepertinya opsi kedua lebih memungkinkan.
"Entah. Tidak peduli juga," jawabanya masih fokus menatap ke depan.
Aku tidak menyerah, aku kembali menoleh ke arah Yoongi di sampingku. "Kalau beneran hantu, terus hantu itu mengikuti kita bagaimana?"
"Terserah, tidak peduli."
"Kalau ternyata hantu itu vampir penghisap darah yang bisa terbang bagaimana?"
"Entahlah."
Aku mendengus. "Ada tidak jawaban selain entahlah, tidak peduli, terserah, tidak tahu? Kau itu-"
Yoongi menahan pundakku, kemudian meletakkan telunjuk ke mulut. Aku melakukan apa yang dia perintahkan.
"Ada cahaya," bisikku kemudian.
Yoongi mengangguk, lalu kami berjalan perlahan, mencari tahu cahaya apa itu. Semakin dekat, cahayanya semakin jelas. Berwarna oranye redup, sesekali mengerjap-ngerjap.
"Itu lampu jalan?" Aku bermonolog sendiri, lalu menoleh pada Yoongi.
Yoongi tampak sama berpikir kerasnya denganku. Matanya yang sipit itu tampak semakin menyipit.
"Tapi kan tidak ada listrik lagi di distrik ini sejak tiga bulan lalu."
Yoongi mengabaikanku kemudian kembali berjalan mendekati lampu jalan itu. "Ini aneh," gumamnya. "Seharusnya tidak ada listrik lagi yang mengalir di sini seperti ucapanmu."
"Bukankah sejak tadi memang sudah aneh? Jalannya terlalu bersih untuk ukuran kota yang hancur. Lihatlah puing-puingnya tidak seberapa. Bangunan-bangunannya juga tidak hancur separah yang kita lewati kemarin-kemarin dan tadi."
Untuk pertama kalinya Yoongi menoleh kepadaku dengan ekspresi menyetujui, biasanya dia akan langsung mendamprat dengan kata-kata pedas atau paling tidak kata-kata jutek.
Aku mendahului Yoongi, kemudian berjalan mendekati tiang lampu itu. "Hey, di atas ada panel suryanya tuh. Pantas saja bisa hidup," sorakku, membuat Yoongi berjalan cepat-cepat menghampiri dan ikut mendongak ke atas.
Biasanya, sepanjang jalan semua tiang-tiang listrik dan lampunya sudah roboh, bahkan ada yang patah dan sebagian malah hancur tertimpa gedung-gedung yang ambruk. Atau, kalaupun ada, pasti bolanya sudah putus dan rusak.
Aku mengedarkan pandangan, menelisik sekitar secara teliti. Baru aku sadari satu fakta lagi. Di sini banyak bangunan-bangunan seperti ruko dan toko-toko. Tanpa sengaja, aku menyenter ke arah sepatuku. Uh, aku baru sadar seberapa kotornya itu. Dan ... hei, lihat bajuku juga bau, apek bekas keringat dan tidak diganti selama berhari-hari. Lalu mataku menatap kembali ke arah bangunan-bangunan berjejer di pinggir jalan sana, dan tiba-tiba insting ingin memperbaharui sepatu dan bajuku muncul. Aku berjalan mendekati Yoongi. "Yoon," panggilku pelan, berusaha terlihat kalem.
"Apa?" jawabnya yang entah menyenteri apa, sejak tadi terus memutar-mutar badan.
"Kita cari minimarket atau toko yuk."
Yoongi berhenti sebentar, kemudian menoleh ke arahku. "Ngapain?"
"Ya ... tidak ada. Cuma—hey, apa kau tidak lihat sepatuku sudah rusak. Dan ... itu bajumu juga robek, perlu diganti tahu!"
Yoongi mengernyitkan dahi. Melirik bajunya yang robek sebentar. "Terus kau mau mencuri?"
Aku memasang tampang memelas. "Ayolah, ini tidak mencuri tahu. Ini keadaan darurat untuk bertahan hidup. Mumpung bangunan-bangunan di sini belum hancur semua. Pasti tidak susah menemukan satu toko pakaian."
"Tidak. Curian kita kemarin masih ada." Yoongi berbalik dan kembali berjalan, mengabaikanku begitu saja.
"Yoon, ayolah! Sepatuku sudah mau robek tahu! Berdebu! Bau! Dekil! Tidak keren!"
Aku berusaha merengek semaksimal mungkin. Berdoa semoga Yoongi luluh dan akhirnya mau kuajak memasuki beberapa toko untuk mencari sepatu dan baju baru.
"Tidak ada yang akan menilai penampilanmu saat ini, jadi apa gunanya? Makanan kita yang terpenting."
Aku mendengus lagi kemudian menghentakkan kaki. "Ah, tidak asik. Yoongi tidak asik! Min Yoongi tidak asiiiik!"
"Auuugh!" Aku mengerang ketika Yoongi berhenti dan langsung menyentil samping kepalaku (soalnya ada senter di jidatku).
"Diam," pelototnya dengan suara pelan, kemudian mengarahkan senternya ke arah samping.
Aku nyaris saja muntah, namun tidak jadi karena teringat yang kumakan tadi roti coklat satu-satunya yang kami punya.
Ada potongan tubuh manusia di sana. Bagian dada saja, sementara dari perut ke bawah entah ke mana, dari leher ke atas juga entah ke mana. Tersisa usus-usus dan beberapa organ yang sudah membusuk, dikerubungi oleh lalat-lalat dan ... entah apa itu yang bergerak-gerak. "Sumpah, aku ingin muntah," ujarku kemudian menutupkan kedua tanganku ke mulut erat-erat.
Tidak hanya di sisi sana, di bagian sananya lagi ternyata ada yang lain. Tubuh dengan kepala nyaris copot, kakinya hilang sebelah sementara bagian tengkoraknya pecah. Pertamanya hanya satu mayat, lalu bertambah jadi dua, lalu tiga, lalu perutku berasa benar-benar diaduk dan akhirnya ... "Aku tidak tahan lagi. Hueeek!"
Aku berlari ke tepi, memuntahkan isi perutku di sana, memuntahkan roti coklat yang kumakan tadi siang. Oh, rotiku yang malang.
Alih-alih membantu menenangkanku, Yoongi malah geleng-geleng kepala takzim.
"Serius aku tidak mau lagi kembali ke sanaa." Aku bergidik. Kami sudah menjauhi tempat dengan mayat-mayat mengerikan itu. Itu jelas bukan Mimi. Kalau pun itu Mimi, aku tidak yakin mereka bisa hidup dan berlari kencang seperti biasa. Bisa bayangkan bentuk-bentuknya?
"Wow. Kita di tepi pantai?" Aku berhenti bersama Yoongi, menatap ke depan. Ada ombak kecil yang menyapu-nyapu. "Benar, ini pantai!" teriakku histeris. Sudah berapa lama ya aku tidak melihat pantai?
Aku nyaris saja berlari sambil berteriak kencang ke arah datangnya ombak saking senangnya kalau saja Yoongi tidak menahanku dan mengatakan, "Kau tidak mencium bau busuk ini? Bisa jadi di sana ada lebih banyak mayat lagi."
Langkahku menyurut seketika. "Ya sudah, ayo kita pergi saja!" Lalu aku buru-buru berjalan cepat, mendahului Yoongi. Tidak. Tidak ada lagi mayat-mayat menjijikkan.
Aku tidak dengar jelas, tapi aku yakin ada suara kekehan di belakangku. Saat aku menoleh, Yoongi berdehem dan memasang wajah datar. [ ]
Thanks for reading. Secuil jejak Anda means a lot \(*°-°*)/
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro