Triangle: Ten
( '-') ~ Triangle | Ten ~ ('-' )
"Cepat!"
Aku berlari zig-zag menghindari puing dan benda-benda lain. Sial. Tidak pernah kusangka akhirnya akan begini. Kami malah lari-larian dikejar zombi.
"Mereka semakin banyak, Kak!" teriak Rio dari sampingku yang larinya tidak kalah cepat.
"Mereka itu kalau sudah mencium bau mangsa, pasti larinya jadi cepat! Kenapa sih mereka harus agresif!" protes bocah itu lagi entah pada siapa.
"Diam dan lari saja!" tukasku dengan napas memburu. Untunglah sebelum bencana ini datang aku biasa melakukan lari pagi, jadi lari bukan sebuah masalah.
"Mereka datang dari timur dan barat!" teriakan lain yang berasal dari earbuds menyambar telingaku. "Terus lari ke utara!" tambahnya lagi.
Aku menoleh pada Jimin yang berlari tak kalah cepat di belakangku sambil tangannya terus mencengkram tablet detector rakitannya erat. Aku mengangguk, begitupula Rio di sampingku. Kami terus berlari lurus ke arah utara.
Untunglah di antara kami ada Jimin, sosok jenius yang bisa mengubah alat apa saja jadi multifungsi. Detector yang di tangannya itu awalnya hanya i-pad yang kami temukan di rumah terbengkalai yang ditinggalkan pemiliknya. Layarnya rusak parah entah bekas kejatuhan apa. Tapi di tangan Jimin, i-pad rusak itu bisa jadi alat yang sangat berguna.
Seharusnya kami tidak berlari-larian seperti sekarang kalau saja alat pendeteksi Jimin tidak berulah. Entah apa yang salah, pagi-pagi tadi sebelum kami berangkat katanya tidak akan ada gempa selama dua puluh empat jam ke depan, eh tau-taunya ketika tengah malam, bumi bergoyang-goyang pelan.
Memang cuma getaran pelan, tapi itu cukup untuk membuat saraf-saraf sensorik 'mereka' yang mati jadi bereaksi kembali. Jadilah kami berkejar-kejaran sekarang.
"Mobilnya kau parkir di mana?" Jimin berbicara di belakang.
"Di Blok 4 depan Youth Medicalcenter. Dua kilometer lagi!" balasku.
"Sial! Kakiku tergores besi!" Rio mengumpat dan aku dapat mendengarnya dengan jelas karena alat yang terpasang di telinga kami.
"Mereka berkurang!"
Aku menoleh ke arah Jimin yang helaan napasnya terdengar menderu di telingaku, naik turun beraturan. Dia berlari mulai melambat. Aku pun memelankan lariku.
"Ada apa, Jim?" tanyaku tak kalah tersengal.
"Mereka putar arah. Tidak mengejar kita lagi."
"Sukurlah," gumam Rio yang menumpu tangannya ke lutut segera setelah sampai ke sampingku.
Aku pun menghela napas lega.
Huft. Nyaris tiga bulan aku melakukan perjalanan dari Distrik Utara ke tempat ini, belum pernah sekali pun kami lari-larian dikejar zombi. Karena detector Jimin kami bisa memperkirakan semuanya dahulu sebelum memulai perjalanan dan mencari tempat persembunyian jika akan ada perkiraan gempa. Alat Jimin juga bisa mendeteksi adanya bangunan-bangunan yang berkemungkinan runtuh, tapi hanya sekitar jarak beberapa kilometer. Setidaknya berkat itu kami bisa lebih waspada. Nah, mungkin hari ini hari sialnya kami.
"Mereka semua berbelok ke arah barat," ujar Jimin yang baru sampai.
Aku mengerutkan kening. "Ada apa di sana?"
Jimin mengangkat bahunya. "Tidak tahu," jawabnya. "Tapi ada yang aneh. Ada sesuatu yang lain di sana, mereka juga bergerak. Tadinya kukira itu mayat-mayat, tapi mereka malah berlari mengejarnya. Selama ini tidak pernah aku melihat mereka mengejar sesamanya."
Aku menyambar tablet Jimin cepat dan memperhatikannya. Rio ikut-ikutan melongokkan kepalanya ke sana.
"Apa tuh?" ujarnya. "Apa manusia juga? Tapi tidak mungkin, kan, ada manusia yang selamat setelah pembersihan besar-besaran pakai bom atom? Ya——kecuali mereka punya ruangan anti bom juga."
Aku diam-diam mengangguki ucapan Rio. Mustahil bagi manusia biasa untuk selamat dari bom atom yang memporak-porandakan seluruh distrik. Kecuali mereka punya ruangan anti bom juga. Tapi itu tidak mungkin. Ruangan itu masih dalam tahap penelitian Papa dan teman-temannya. Setelah Papa dan dua temannya jadi buronan tingkat tinggi, seluruh anggota keluarga mereka diblokir dari semua akses yang tersedia, tidak boleh keluar distrik, dan saat proses evakuasi, nama kami tidak dimasukkan. Aku yang kebetulan sejak setahun lalu pindah ke sini, jadi tidak bisa kembali ke Distrik Sumatera.
Papa dan temannya seolah tahu apa yang akan terjadi. Mereka melakukan penelitian ruangan anti bom. Ruangannya di bawah tanah dan bom jenis apa pun tidak mempengaruhi bagian dalamnya. Tepat seminggu setelah penelitiannya rampung, mereka tertangkap.
Aku bergerak ke arah gang dua bangunan sepuluh lantai; ke arah barat. Entah kenapa instingku memaksaku untuk ke sana.
"Lui, tunggu!" teriak Jimin dan Rio bersamaan.
Lariku semakin cepat ketika di ujung sana mereka mulai berkerumun. Gawat. Di sana kan, ada gedung roboh yang memblokir jalan. Makhluk apa pun itu, aku yakin tidak akan selamat jika ke sana.
Aku menarik satu granat yang tersangkut di saku flak jacket-ku, menarik tuasnya dan sekuat mungkin kulempar granat itu ke arah kerumunan zombi lalu setelahnya aku bergerak bersembunyi di belakang bangunan tinggi terdekat. Jimin dan Rio juga terlihat melakukan hal sama di belakang sana.
Setelah ledakannya habis, aku mengintip. Bagian-bagian tubuh beserta organ manusia menyebar di mana-mana.
Aku menarik dua softgun dari holster paha kiri dan kanan. "Apa masih banyak yang akan datang, Jim?" tanyaku, lalu menembaki satu dua zombi-zombi yang baru datang.
"Sepertinya yang lain akan segera bangun karena getaran granat tadi. Untuk sekarang hanya sekitar lima orang yang sedang menuju ke sana," balas Jimin. "Kau mau apa, sih, Lui? Kita tidak punya banyak waktu. Ayo segera kembali sebelum mereka datang lagi."
Aku tidak menggubris, dan fokus menembaki kepala mayat-mayat hidup itu. Jika menembaki kepala mereka, mereka akan mati (sementara) dan hidup jika ada getaran lagi. Setelah memastikan tidak ada yang datang, aku mendekati puing-puing tadi. Sisa-sisa api masih menyala sedikit dan asap-asap serta debu mengepul menjadi satu. Aku melihat tas ransel yang hancur beserta makanan-makanan di dalamnya menebar ke mana-mana.
Zombi iseng mana yang membawa-bawa ransel berisi makanan?
Lalu dengan cepat aku mendaki gundukan bukit bangunan yang hancur, yang semakin hancur setelah ledakan tadi. Puing-puingnya tidak setinggi sebelum-sebelumnya, jadi tidak butuh waktu lama bagiku untuk sampai ke atas dan mataku dengan cepat mencari apa yang aku cari, menyenterinya.
Dua orang pemuda (agaknya manusia) terkapar di bawah sana tidak sadarkan diri dengan posisi satu memeluk tubuh yang lain. Luka bakar memenuhi sekujur tubuh mereka, berwarna merah kehitam-hitaman, bercampur dengan jelaga dan debu. Beberapa dagingnya melepuh dan baju yang mereka kenakan hangus terbakar.
Awalnya memang terlihat seperti mayat mengenaskan korban ledakan. Tapi, lama-kelamaan luka-luka melepuh itu menyatu kembali dan membentuk kulit yang baru.
Di detik itu, aku segera sadar bahwa mereka bukan manusia. "Mereka ... mutan?" beoku.
"Ayo kita pergi." Entah kapan datangnya, Jimin sudah berdiri di sampingku dan menatap dua orang di bawah sana datar.
"Tapi——kita harus menolong mereka."
"Bukan saatnya memikirkan untuk menolong orang lain saat ini, Lui. Tidak——mereka bukan orang, mereka monster."
"Tapi mereka tetap manusia, Jimin!"
Jimin beralih menatapku. "Mereka yang menyebabkan bencana ini, Lui! Mereka yang membunuh Ayah, Paman Root, dan Paman Namjoon."
Aku balas menatap Jimin memelas. "Bukan mereka yang membunuh Papa, Ayahmu, dan Paman Namjoon. Tapi orang-orang tidak bertanggung jawab itulah yang merampas penemuan mereka dan menyalahgunakannya."
"Apa pun itu, tetap saja mereka yang menjadi pemicu semuanya. Kalau bukan karena mereka, orang-orang itu tidak akan merampasnya dari Paman Root, Ayah, dan Paman Namjoon lalu seolah-olah tahu segalanya mereka melakukan penelitian juga. Dan jika saja penelitian mereka tidak gagal, jika saja orang tua kita tidak melakukan penelitian, bencana ini tidak akan terjadi dan orang tua kita tidak akan pernah menjadi kambing hitam mereka. Tidak akan ada bencana dan tidak ada tembak mati."
Aku menghela napas. Benar. Memang benar yang Jimin bilang. Jika orang-orang yang mengaku elit distrik itu tidak merebut paksa penelitian orang tua kami dan melakukan penelitian gagal (yang buntutnya malah menjadikan orang tua kami sebagai dalang dari kegagalan mereka), mungkin bencana ini tidak akan terjadi.
"Ingat buku besar yang ditinggalkan Papa dan ayahmu setelah Paman Namjoon tertangkap? Bukankah mereka bilang formulanya bisa saja ditemukan melalui darah subjek eksperimen mereka?"
Jimin diam, namun aku tahu dia masih tidak setuju denganku.
"Itu mereka subjek eksperimennya! Astagaaa, Jimin. Mereka itu eksperiman Paman Jinhyuk—ayahmu, ayahku, dan Paman Namjoon. Dua-duanya! Ingat, kan, kalau mereka melakukan penelitian pada lima subjek, tiga di antaranya sudah lama gagal dan dua dicuri oleh Tukang Fitnah Keji."
"Jadi?" Jimin mengerutkan keningnya.
"Kau tiba-tiba bodoh apa bagaimana? Kita ambil saja darah mereka dan kau bisa melakukan penelitian. Daripada meneliti zombi-zombi yang sampai sekarang belum menghasilkan apa-apa itu, kan?"
"Aku tetap tidak setuju!"
Aku mengulum bibir——berpikir keras. Yang terpenting bagiku saat ini, bawa saja mereka ke markas dulu, masalah setelahnya akan kuurus nanti.
"Kita bawa ke markas. Kau ambil sampel darahnya, lalu setelah mereka sadar kita bisa suruh mereka pergi. Bagaimana?"
"Kak! Mereka sudah dekat!" teriak Rio tiba-tiba yang entah sejak kapan memegangi tablet Jimin dan berusaha mendaki puing-puingnya.
"Cepat! Kita bisa turun dan terus lari ke depan. Ada jalan pintas yang bisa mencapai Youth Medicalcenter dalam waktu lima menit kalau berlari," seru Rio lagi lalu mulai menuruni puingnya.
"Rio! Bawa mereka!" teriakku dari atas lalu mulai turun setelah Jimin menghela napas.
Rio memikul satu, sementara aku memapah yang satunya lagi sebelum Jimin akhirnya mengambil dan memikulnya.
Selain mereka mutan hasil eksperimen orang tuaku, ada alasan lain aku ingin membawa dan menyelamatkan mereka. Aku mengenal salah satunya—yang saat ini sedang Jimin pikul. Teman lamaku. [ ]
Thanks for reading. Secuil jejak Anda means a lot \(*°-°*)/
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro