Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Triangle: Six

( '-') ~ Triangle | One ~ ('-' )

Aku mengeringkan rambut dengan handuk kecil berwarna putih yang kudapat dari rekan Luisia; Rio. Dia remaja laki-laki berusia 16 tahun. Kulitnya putih, rambutnya gondrong, ikal, dan diikat ekor kuda. Rahangnya tegas dan matanya tajam padahal usianya baru enam belas. Lalu fakta yang paling menyebalkan adalah proporsi tubuh dan tingginya yang melebihi tinggiku. Dasar tidak sopan, mana boleh tumbuh mendahului yang lebih tua. Tapi karena Rio anak yang ceria dan asik diajak bicara, aku menyukainya dan memaklumi kekurang ajarannya.

Ada tiga orang yang bersembunyi di sini. Orang-orang yang menamai diri mereka Triangle. Jujur, aku baru bertemu dan berbicara dengan Luisia dan Rio saja, sementara rekannya yang satu lagi terlihat pendiam dan cenderung menyendiri. Eum—aku agak segan mendekatinya.

"Ah, segarnya." Aku menghirup napas dalam-dalam sambil tersenyum lebar.

"Seperti inilah Jey yang sesungguhnya! Keren dan wangi!" sorakku pada diriku dan siapa saja yang mendengar aku bersorak.

Ini adalah hari pertama setelah berhari-hari tubuhku lupa bagaimana rasanya mandi dan menyentuh air. Ternyata air masih terasa dingin dan menyegarkan.

Aku mengalungkan handuknya ke leher hendak menghampiri Yoongi yang entah sedang mengotak-atik apa itu. Sementara Lui duduk di kursi busa yang beberapa bagian sudah mengelupas dan robek lalu busanya menyembul keluar di sisi seberang. Gadis itu tampak asik mengusap-usap pistol kecilnya dengan kain dan sesekali menggigiti roti sandwich yang disusunnya di piring.

Aku ingin berteriak dan menyapa Lui yang tampak begitu fokus (kalau beruntung aku akan meminta rotinya. Hehehe) namun tidak jadi ketika aku tidak sengaja menangkap gadis itu basah-basah sedang melirik-lirik ke arah Yoongi.

Hey, ini mencurigakan!

Cara Lui menatap Yoongi itu terlihat sangat janggal.

Aku menyipitkan mata sambil bersedekap, mengamati Lui dan Yoongi bergantian. Ada apa di antara mereka?! Lebih tepatnya ada apa dengan Lui?! Bukan seperti yang aku pikirkan, kan?

"Kak, Jey! Kau sudah selesai mandi?!"

"A! Copot kepalaku!"

Aku terlonjak kaget ketika entah dari mana datangnya, Rio merangkulku dan berbicara keras tepat di telingaku.

"Hey, aku hampir kena serangan jantung, tahu!" Aku menatap Rio tajam sambil mengerucutkan mulut sementara yang kutatap malah tertawa.

"Lucu sekali terkejutnya. Astagaa," ujarnya masih cekikikan. "Copot kepalaku! Hey, mana bisa kepala dicopot begitu saja."

"Ada apa lagi Rio?" tanya Lui ketika melihat kami. Pistolnya sudah ditaruh ke atas meja dan roti sandwich-nya sudah habis. Tidaaaak!

Yoongi pun melakukan hal yang sama seperti Lui——menatap ke arah kami dengan kening berkerut.

"Rio tuh kurang ajar. Dia mau membuat aku kena serangan jantung."

"Tidak, kok. Tidak segitunya juga tauuu. Tapi Kak Jey lucu." Rio kembali cekikikan. "Ngomong-ngomong Kak Jey terlihat keren setelah mandi," tambahnya.

Aku langsung menoleh ke arah Rio sambil menyipitkan mata. "Benarkah?"

Rio mengangguk. Sontak saja aku tersenyum lebar dan ikut mengangguki. "Aku setuju denganmu!" balasku lalu merangkul Rio dan kami berjalan menghampiri Yoongi.

"Apa sih itu, Yoon?" tanyaku melongokkan kepala ke arah benda-benda yang sejak tadi mencuri fokus Yoongi.

"Aku menyuruhnya merakit pistol."

Alih-alih Yoongi yang menjawab, Lui menyela dari tempat duduknya. "Kau juga harus punya senjata untuk melindungi diri. Manusia mana di saat seperti sekarang yang tidak punya apa-apa untuk membela diri ketika sedang terancam? Ya ... kecuali kau ingin cepat mati," tambahnya lalu menghampiriku dan menyerahkan pistol yang tadi diusap-usapnya dengan kain.

Aku menerimanya dengan mata berbinar. Ini kali pertamaku memiliki senjata api sendiri—sebelum-sebelumnya cuma pakai ketapel.

"Kalian bisa pergi jika merasa sudah baikan."

Aku mengangkat kepala dan menatap Lui dengan kening berkerut. Lalu menatap Yoongi yang bersedekap dan menyandarkan tubuhnya ke dinding. Apa maksudnya kami diusir?

"Tapi Kak, mereka kan bisa saja tetap tinggal di sini bersama kita." Rio berbicara lebih dulu. Raut wajahnya jelas sekali tidak setuju dengan ucapan Lui barusan. "Mereka bisa bergabung dengan kita dan pergi bersama-sama."

Lui tampak diam, menunggu. Lalu mengendikkan bahu. "Ya—aku sih tidak keberatan," ucapnya enteng.

"Nah, Kak Jey kalian bisa tinggal bersama kami! Bergabung dengan Triangle." Rio menatapku memelas. Tapi aku tidak bisa langsung menjawab iya. Aku menoleh ke arah Yoongi, meminta pendapatnya.

Bukannya bicara, Yoongi malah diam saja seolah tidak mengerti tentang kode-kodeku.

"Kalian bisa bergabung dengan Triangle. Tapi kalian harus berani dan bersedia menghadapi bahaya. Bagaimana?"

"Tidak! Tidak bisa begitu."

Kami semua menoleh. Seseorang, lebih tepatnya rekan Lui yang kuceritakan tadi datang mendekati kami dengan ekspresi tidak bersahabatnya. "Kita tidak bisa begitu saja mengajak mereka bergabung dengan kita. Kita tidak tahu mereka sebenarnya apa dan apa tujuan mereka."

Hey, aku agak tersinggung dengan ucapan orang ini. "Kita tidak tahu mereka apa?"

Hah, dikiranya kami ini zombi apa?! Sudah tidak ramah, tidak pandai menempatkan kata pula.

"Tapi tidak ada salahnya mereka bergabung dengan kita. Kurasa tujuan kita dan tujuan mereka sama. Sama-sama ingin pergi ke tempat yang lebih baik dan meninggalkan tempat terkutuk ini."

Ya, bagus Lui. Itu maksudku tadi. Karena sudah dikatakan Lui, jadi aku tinggal mengangguki setuju.

"Kurasa juga tidak apa mereka bergabung dengan kita. Mereka tidak punya tampang-tampang orang jahat, tuh. Kak Jimin tidak bisa menuduh mereka begitu saja tanpa bukti." Kali ini Rio yang angkat bicara. Aku kembali mengangguki setuju.

"Tepat sekali. Sekarang kau adikku," bisikku pada Rio yang lagsung mengacungkan jempolnya sambil tersenyum bangga.

"Aku tetap tidak setuju!"

"Apa aku butuh persetujuanmu untuk membiarkan mereka tinggal bersama kita?"

"Tapi bukan ini kesepakatan kita sebelumnya, Lui."

Lui menyeringai. "Kenapa kau jadi dungu Park Jimin? Bukankah bagus jika mereka bergabung dengan kita? Kita jadi punya banyak tenaga dan bisa bekerja lebih cepat untuk menemukan jalan keluarnya. Apa otakmu tidak bisa digunakan untuk berpikir tentang keuntungan-keuntungan yang akan kita dapatkan? Kukira kau orang yang paling realistis."

"Tapi—"

"Pikirkan tentang kesepakatan yang kita buat sebelumnya. Bukankah akan lebih baik jika mereka ada di sini?"

Orang itu, Jimin, tampak berpikir. Menimbang-nimbang ucapan Lui.

"Kalau Kak Lui yang bicara, pasti Kak Jimin bakal nurut," bisik Rio ke telingaku. Membuatku menoleh pada bocah itu dengan tatapan penasaran.

"Kenapa?" balasku berbisik.

"Karena Kak Jimin suka Kak Lui."

Aku terkesiap dengan mata membelalak. Lalu lekas-lekas menutup mulut karena mereka menatap ke arahku.

"Ya—lagian itu juga tergantung mereka. Jika mereka ingin pergi, ya sudah, mereka tidak akan tinggal bersama kita. Pilihannya ada di tangan mereka." Lui mengangkat bahunya lalu menatap aku dan Yoongi bergantian.

Yoongi tampak tenang, terlihat tidak terganggu sama sekali dengan percekcokan yang baru saja terjadi. Mengabaikan tatapan menusuk Jimin yang solah-olah berteriak, "Jangan coba-coba jawab iya atau kugorok lehermu!"

Tapi—yah, namanya juga Min Yoongi. Manusia kaku yang tidak akan pernah sadar jika nyawanya sedang terancam. Dia malah mengangguk-angguk takzim sambil bilang, "Baik, kami akan ikut dengan kalian." [ ]

Thanks for reading. Secuil jejak Anda means a lot \(*°-°*)/

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro