Triangle: Seven
( '-') ~ Triangle | Seven ~ ('-' )
"Di sini rata-rata gedungnya sudah roboh dan ambruk, jadi puing-puing menumpuk dan memenuhi setiap sudut kota. Tidak ada harapan di bagian sana. Kalau di sini memang gedung-gedung dan bangunan lainnya tidak semua ambruk, tapi di sana tidak ada cukup logistik dan amunisi yang kita butuhkan. Satu-satunya wilayah terdekat yang bisa kita jangkau hanya di sini. Ada pangkalan militer yang ditinggalkan begitu saja di sana ketika evakuasi dan darurat militer dilakukan tiga bulan lalu. Lalu setelah pembersihan dengan meledakkan nyaris seluruh bagian distrik, mereka pergi meninggalkan pangkalan mereka begitu saja tanpa membawa apa pun. Jadi besar kemungkinan kita bisa menemukan banyak amunisi dan senjata baru di sana." Lui menjelaskan sambil tangannya mencoreti peta yang terbentang di atas meja persegi dengan tinta merah. Kami mengelilingi meja tersebut dan mendengarkan dengan serius. Ini adalah rencana pertama kami untuk menjalankan misi.
Menurut cerita Lui, di distrik seberang laut sana ada camp pengungsian yang dibangun. Tidak ada zombi (yang kalau kata Hoseok namanya Mimi) yang sampai ke seberang karena mereka tidak bisa berenang—kecuali kalau kau membawanya pakai helikopter atau pesawat terbang. Boleh dicoba jika memang otakmu tidak berada di kepala. Ha ha ha.
Oke, bukan saatnya lelucon.
Kami sekarang sedang berusaha mencari dan mengumpulkan amunisi tambahan untuk bisa menyeberang. Katanya ada sebuah perahu mesin rusak yang tersisa di dekat dermaga pantai kemarin. Beberapa badan kapalnya berlubang dan tidak bisa dipakai, harus diperbaiki dulu.
"Tapi bagaimana dengan Mimi?" Hoseok buka suara setelah dari tadi mendengarkan dengan mulut menganga (sok serius padahal aku yakin cuma seperempat yang dia mengerti). Andai saja ada nyamuk terbang, kurasa akan masuk terhisap ke mulutnya.
"Menurut alat pendeteksi yang dibuat Jimin, hari ini tidak ada gempa, jadi mereka pasti tidak akan bangun. Tapi kita tidak tahu apakah di sana ada gedung atau bangunan yang akan roboh atau tidak. Hanya itu masalahnya."
"Tidak apa, paling nanti kita tembak-tembakan atau paling tidak lempar granat seperti dua hari lalu. Kau pasti belum pernah lempar granat kan, Kak Jey? Seru tahu!" Rio, bocah yang setelah kupikir-pikir sebelas duabelas dengan Hoseok itu menyela. Menjelaskan seolah-olah melempar granat dan menembakkan pistol hanya tentang melempar telur ayam ke kepala orang yang sedang berulang tahun.
Aku mendengus.
"Benarkah? Jadi yang waktu meledak dekat gundukan puing-puing adalah granat ya? Kereen. Ngomong-ngomong siapa yang melempar? Kau, kah?"
"Tentu saja keren. Tapi bukan aku yang lempar. Kak Lui yang melakukannya. Dia itu super keren kalau sudah di lapangan tahu."
"Mau terus menggosip atau kita lanjutkan membahas rencana ini?" Lui bersedekap menatap dua bocah itu dengan raut galak, membuat keduanya langsung menutup mulut.
"Jarak tempat ini ke pangkalan militer sekitar 12 KM. Pangkalan militer itu kebetulan melewati dermaga, dan dari dermaga jaraknya sekitar 5 KM. Jimin akan turun di sana dan membetuli perahunya sementara Gos—maksudku Hoseok akan membantu di dermaga. Aku, Yoongi, dan Rio akan pergi ke pangkalan militer mencari amunisi dan bahan bakar."
"Tunggu! Kenapa aku tidak ikut ke pangkalan militer saja bersama Rio, aku kan pengen lempar granat juga," protes Hoseok tidak terima.
"Pergi sana kalau kau mau bertemu sama banyak zombi yang bisa hidup kapan saja menunggu getaran." Jimin menatap Hoseok dengan sinis, lalu membetulkan kacamatanya yang turun.
Aku tahu Hoseok kesal, tapi aku juga tahu bocah itu gentar ketika Jimin menyebut-nyebut tentang zombi yang bisa hidup kapan saja di pangkalan militer. Ya ... aku tahu sih, nyali Hoseok itu tidak seberapa, bahkan upilku saja jauh lebih besar.
"Sudah, waktu kita tidak banyak untuk berdebat," sela Lui. "Kau tidak punya keluhan kan Yoon? Sejak tadi kulihat diam saja seperti mayat. Tidak punya semangat hidup?"
Aku memutar mata. Malas menanggapi.
"Memang kapan Yoongi terlihat semangat? Semua semangatnya kan sudah disumbangkan pada Mimi yang aktif berlari." Hoseok tergelak setelah mengatakan itu diikuti Rio, lalu bertos ria. Sementara Lui, gadis itu terkekeh kecil.
Aku berdecak. "Kukira tadi Lui bilang kita tidak punya banyak waktu. Lui yang salah bicara atau pendengaran kalian yang bermasalah?"
Lui, gadis itu lagi-lagi terkekeh, kali ini lebih menyerupai tawa kecil. "Oke, ayo bersiap-siap, Kids!" serunya mengakhiri aksi menghakimi aku dan kediamanku.
Dua bocah-bocah kelewat aktif itu segera meraih flak jacket atau rompi pelindung militer (yang entah mereka dapatkan dari mana) sambil berebut memilih pistol dan pisau-pisau. Lui dan Jimin memakai perlengkapannya dengan tenang, begitu pula aku. Aku mengambil beberapa peledak, menyelipkannya di salah satu saku rompi, mengambil peluru untuk pistol-pistol yang akan kubawa, dan menyambar sebuah AKM (yang lagi-lagi aku tidak tahu mereka dapat dari mana) entah jenis apa itu lalu menyandangkannya ke bahu. Lui mengambil senapan yang sama dan menyandangnya juga setelah sebelumnya menyelipkan beberapa pistol ke holster pinggang dan paha. Kalau kupikir-pikir, gadis tergila di bumi ini yang tersisa adalah Lui. Lihat saja deretan senjata yang tak terhitung di tubuhnya.
Kami keluar dari tempat parkir gedung penjara tersebut dengan mengendarai mobil pick up yang di bagian kap depan dan samping-sampingnya bertuliskan 'POLICE' serta sirine di bagian atas. Sementara bak di bagian belakangnya akan digunakan untuk mengangkut benda-benda yang mungkin akan kami dapatkan.
"Good luck, Kak Jey!" sorak Rio sambil melongokkan kepalanya keluar kaca dan melambai-lambai setelah Hoseok dan Jimin turun di dermaga.
Medannya cukup sulit, namun Lui seperti alat penunjuk jalan. Gadis itu tahu banyak jalan-jalan yang tidak terlalu parah dan bisa dilewati mobil.
Setelah menurunkan mereka berdua, Lui langsung menuju pangkalan militer yang tadi kami bahas. Di sepanjang pantai tidak ada mayat-mayat, agaknya mereka memang mencari tempat yang berkemungkinan besar menghasilkan getaran seperti gedung-gedung ambruk. Lalu setelah melewati pantai, kami masuk ke jalan raya lagi. Jalannya rusak dan berlubang di sana-sini, tiang-tiang dan puing berserakan di sana. Untunglah Lui pengemudi andal, jadi dia bisa melewati itu semua. Tapi, masalahnya bukan pada jalannya. Masalahnya ada pada mobil.
Mesin mobil ini menghasilkan getaran pada tanah. Tanah-tanahnya menghantar getaran pada bangunan dan wilayah sekitarnya. Jika tadi kami masih aman karena lewat tepi pantai, kali ini berbeda. Kami masuk wilayah pemukiman yang mana mayat-mayat mulai terlihat berserakan dan puing-puing bergetar-getar di tanah ketika kami lewat.
"Sial!" umpatku. "Mereka akan segera bangun, kan?"
Lui yang entah sejak kapan mengunyah permen karet dan entah dapat dari mana (kuduga dipungutnya dari bawah kursi) itu terlihat biasa saja, asik mengunyah permennya ke kanan dan kiri.
"Hei, kubilang mereka akan bangun?! Tidak—mereka mulai bergerak, sial!" Mataku tak bisa lepas mengamati ke tepi jalan, di mana ada satu mayat yang kedua kakinya hilang, ususnya terburai dan membusuk mulai bergerak-gerak pelan. Ya—aku tahu mereka tidak bisa berlari. Tapi, hei! Bagaimana dengan yang punya kaki?!
"Kukira Kak Yoongi tidak bisa panik," ujar Rio dari kursi belakang sambil mengangkat bahu, lalu bocah itu dengan santainya mengeluarkan kepala lewat jendela.
"Ada beberapa yang mulai datang, Kak Lui!" sorak bocah itu. Alih-alih sorak ketakutan, itu malah sorak kegirangan.
Lui bukannya khawatir, malah menyeringai di tempat duduknya. "Habisi mereka, Rio!" soraknya menyemangati. Benar, Lui agaknya memang gadis gila. Tidak hanya dia, dua rekannya juga sepertinya gila.
Aku ingin mengerutkan kening dan mengatakan, "Kalian benar-benar gila ya?" tapi tidak jadi karena Lui lebih dulu menyeletuk, "Apa kau takut sekarang? Bukannya sudah kubilang kalian boleh bergabung dengan Triangle asalkan berani tidak takut bahaya."
"Wey, aku bukannya takut. Cuma agak kaget saja."
Lui tiba-tiba mengerem mobilnya dan membuatnya berputar sembilan puluh derajat ke kiri, lalu mobil masuk ke gang sempit. Kemudian setelah melaju kencang, mobilnya di rem mendadak lagi, membuat aku terdorong ke depan dan nyaris menghantam dashboard untuk kesekian kalinya.
"Kita sampai," ujarnya lalu turun. Aku mengikuti di belakang begitu juga Rio.
Ada gerbang besi setinggi lima meter di sana. Pintunya terbuka begitu saja dan satu engselnya copot, membuat pintunya tidak berdiri tegak.
"Bersiap! Di dalam bisa jadi ada banyak juga. Atau kalau kita beruntung mereka tidak terbangun."
Aku mengangguk, lalu Lui perlahan membuka gerbangnya. Tidak ada mayat atau apa pun di sana, yang ada hanya tumpukan ban berserakan, jeep-jeep tidak terpakai, dan sampah-sampah bertebaran bersama debu dan jelaga.
"Tunggu!" Rio yang berdiri di tengah, mengangkat tangannya, lalu kembali ke arah gerbang. Melongokkan kepalanya di sana. "Mereka datang! Sekitar tiga puluh!" teriaknya, membuat aku dan Lui segera menyiagakan AKM di tangan kami.
"Susah menembaknya, mereka bergerombol!"
"Lempar granat!" teriak Lui.
Kami pun berjalan menjauh ke arah bangunan-bangunannya. Rio mengikuti setelah menutup gerbang, lalu setelah dirasa jaraknya sudah cukup, bocah itu mengeluarkan sesuatu berbentuk silindris berwarna silver dari bawah flak jacket-nya, menarik pemantiknya, lalu membuat ancang-ancang dan melemparkannya kuat melewati atas pagar. Kami berdua, aku dan Lui berlari memasuki bangunan dan bersembunyi di dalam sementara Rio bersembunyi di balik bak kontainer di luar.
"Aman!" teriaknya kencang.
Aku menghela napas lega, lalu mengintip keluar, melirik Lui di seberang, lalu menata udara yang masuk tidak teratur ke paru-paruku.
"Hei, Yoon."
Aku mengangkat kepala dan menatap Lui lagi. "Apa?" tanyaku.
"Kau ... benar-benar tidak ingat aku ya?"
Aku menyipitkan mata, mengamati gadis itu dengan kening berkerut. [ ]
Thanks for reading. Secuil jejak Anda means a lot \(*°-°*)/
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro