Triangle: Nine
( '-') ~ Triangle | Nine ~ ('-' )
Aku duduk di pinggiran dermaga, di dekat kayu-kayunya yang beberapa bagian berlubang dan remuk. Sementara Jimin sedang membenahi alat-alat yang tadi digunakannya untuk membetuli bagian-bagian perahu yang berlubang, juga tidak lupa memeriksa keadaan mesinnya.
Aku menghirup udara dalam-dalam, lalu terbatuk sesudahnya. Ternyata mau siang atau pun malam, udaranya sama-sama menyesakkan dan bau debu. Ngomong-ngomong ini pengalaman pertamaku keluar di siang hari setelah berbulan-bulan.
"Sudah selesai kah, Kak Jimin?" tanyaku menatap pria yang kini sedang berjalan ke arahku.
"Sudah," jawabnya seadanya lalu berdiri di dekat pasir-pasir.
Dia tampak melirik-lirik arloji yang melingkar di tangannya dengan raut yang tidak bisa kuartikan.
"Pukul berapa sekarang, Kak?" tanyaku padanya.
Jimin tidak menjawab dan terus mengamati ke arah jalan yang tadi Lui lewati. Mengabaikan aku seolah-olah aku tidak ada di sana.
Huh, sombong!
Jadi, daripada terus berusaha berbicara pada manusia kaku kedua setelah Yoongi, aku berjalan-jalan di pinggir pasirnya, memunguti beberapa kulit kerang.
"CEPAT NAIK! MEREKA MENGEJAR!"
Aku menoleh cepat ke arah belakang, tepat ke arah mobil yang dikemudikan Lui. Pintunya dibiarkan terbuka dan Rio bergelayut di sana sambil mengayun-ngayunkan tangannya. Di belakangnya, sekitar dua puluh meter, segerombol Mimi-Mimi kelaparan berlarian dengan erangan-erangan kuat lagi menyeramkan.
"Sial!" umpatku lalu berlari, mengikuti Jimin yang juga berlari ke arah mobil yang melaju lumayan cepat.
Sial, jantungku berasa lari-larian tak kalah cepat di dalam. Aku jadi ingin menangis di tempat.
"Tunggu akuuuu!" teriakku mendekati arah datangnya mobil dengan posisi tangan dan kaki yang mulai bergetar.
"Kemari!" teriak Yoongi yang juga bergelantungan.
Jimin menyambar tangan Yoongi, dan pria itu masuk ke mobil.
Sekarang tinggal aku sendiri. Tolong, aku tidak mau mati di sini. Aku mempercepat lariku, sama cepatnya dengan detak jantungku di balik rongga dada.
"CEPAT KAK JEY!" teriak Rio terus mengulurkan tangannya.
Sedikit lagi, Jey! Hanya sedikit lagi. Aku pasti bisa.
Hap!
"Akhirnya!" seruku dengan napas memburu terduduk di samping Rio lalu menutup pintunya. "Aku nyaris saja mati," helaku masih terengah-engah.
"Kita belum aman, Kawan. Mereka bisa saja bangun dan menghadang di depan sana."
Tiba-tiba aku berjengit ngeri lagi mendengar ucapan Lui di depan. Bisa-bisanya dia menakuti orang di saat harus fokus mengemudi.
Rio tiba-tiba mengeluarkan setengah tubuhnya dari kaca, lalu menarik satu peledak dari bawah rompinya. "Ini yang dinamakan lempar granat, Kak Jey!" soraknya lalu melemparnya kuat-kuat setelah menarik tuas berbentuk cincin kecil di bagian kepalanya. Ledakan besar meledak di belakang diikuti mobil yang sedikit terdorong dan berasa melayang. Mimi-Mimi berhamburan di udara dengan bagian-bagian tubuh bercecer namun matanya masih bergerak-gerak dan mulutnya menguap-nguap.
Tidak berhenti di sana, Rio mengeluarkan AKM-nya dan mulai menembak. "Yuhuuuu! Kau harus coba Kak Jey!" serunya kegirangan.
Aku akhirnya memberanikan diri mengeluarkan setengah tubuh dari kaca dan menyiapkan AKM-ku.
"Masih ingat yang kuajarkan kemaren, kan, Kak? Sekarang kita latihan lapangan!"
Aku mengangguk, lalu membidik mereka. Kata Rio aku tidak harus membidik tepat, tembak saja asal-asalan asal cara memegangku benar. Jadi, aku hanya mencobanya.
"Yaa! Begitu Kak Jey!"
Aku memasang cengiran. Ternyata tidak buruk. Lalu kami kembali melanjutkan tembak-tembakannya.
"Terus habisi mereka, Nak!" seru Lui bersorak sambil membelok-belokkan mobilnya secara zig-zag.
Agaknya, daripada aksi menyelamatkan diri, ini lebih cocok disebut sebagai ajang seru-seruan.
Yoongi mengeluarkan tubuhnya juga, lalu mulai membantu menembaki Mimi-Mimi yang baru bangun dari sisi samping.
"Mereka berdatangan dari mana-mana!" seru Jimin sambil memeriksa entah apa itu di pangkuannya. Predator? Monitor? Condensor? Detector? Apalah itu.
"Sebentar lagi kita sampai," ujar Lui membelokkan mobilnya ke kanan secara mendadak, membuat aku terhuyung, nyaris jatuh keluar.
"Mereka berdatangan seperti semut," gumam Yoongi menghentikan tembakannya.
"Di depan! Bersiap tutup gerbangnya, Jim!" teriak Lui lalu menekan pedal gas sehabis-habisnya, "hitungan ketiga! Satu .... Dua .... Tiga—sekarang!"
Mobil meluncur melewati gerbang besi yang dibangun di depan bangunan penjara setinggi sepuluh meter. Jimin memencet remot rakitan kecil di tangannya dan gerbang tertutup.
"Pasang barikadenya!" teriak Lui.
Lalu Jimin tanpa menunggu menekan tombol lainnya. Tiang-tiang beton yang ditahan di tepi gerbang (yang awalnya aku tidak tahu gunanya buat apa) tiba-tiba penahannya lepas dan jatuh membentuk silang di depan gerbang besi.
Kami keluar dari mobil.
Aku menghela napas lega. Setidaknya, di sini kami aman. Bangunan ini dikelilingi tembok-tembok beton setinggi sepuluh meter, jadi Mimi tidak bisa masuk—kecuali mereka menggerogoti betonnya seperti melahap coklat.
"Aku akan memberesi mereka, kalian masuk saja duluan," ujar Rio kemudian.
Aku ingin bilang, "Biar aku bantu." Tapi tidak jadi karena Rio menyela lebih dulu.
"Kak Jey masuk saja ke dalam, aku tahu Kak Jey masih belum tenang dan masih shock."
"Biar aku yang bantu." Yoongi tiba-tiba menyela.
Lui mengangkat bahu kemudian masuk ke dalam, aku pun mengikuti. Jimin? Jangan ditanya. Orang itu sudah masuk lebih dulu ketika turun dari mobil.
"Semangat, Rio!" sorakku lalu melambaikan tangan. Bocah itu balas melambai ke arahku.
Lalu setelah aku masuk, bunyi ledakan beruntun terdengar bersama erangan-erangan menyeramkan Mimi.
Aku bergidik sambil memeluk kedua bahuku. Err, aku tidak bisa membayangkan potongan tubuh Mimi beterbangan di udara.
Aku melepas flak jacket, holster-holster yang di pinggang dan paha, lalu meletakkannya ke atas meja. Lui melakukan hal yang sama.
"Hei, tanganmu berdarah!" teriakku ketika melihat darah mengalir di sela-sela jari Lui.
Lui menatap jari-jarinya sebentar kemudian membiarkannya. "Sudah biasa. Paling nanti sembuh sendiri," jawabnya seolah-olah yang keluar dan mengalir dari sela-sela jarinya hanya lelehan air keringat.
"Tidak bisa begitu! Katanya perjuangan kita masih panjang. Kau tidak boleh mengabaikan luka sekecil apa pun." Aku berjalan mendekati gadis itu yang sibuk mencopoti softgun dari pinggangnya. "Di mana kotak P3K-nya?"
Lui berdecak. "Keras kepala," gumamnya. "Itu di sana, di atas tumpukan box kayu itu kalau aku tidak salah ingat."
Aku mengikuti arah tunjukan Lui. Sialnya, karena ruangan ini agak berantakan (baca: sangat kacau), kakiku tidak sengaja tersandung ujung balok kayu yang entah kenapa ada di sana. Tubuhku hilang keseimbangan dan ambruk, menimpa kotak-kotak kayu yang isinya entah apa. Bisa kurasakan betapa sakitnya tangan dan kepalaku.
Aku meringis, lalu melirik sikuku. Ada gerusan lebar di sana dengan darah mengalir. Perih.
"Dasar ceroboh! Kalau begini bukannya mengurangi masalah, kau malah menambahnya." Lui menghampiriku cepat, lalu memeriksa box kayunya. "Untunglah makanan di dalamnya tidak hancur," gerutunya.
Aku merengut. "Kenapa kau malah mengkhawatirkan makanannya? Seharusnya, kan, kau tanya keadaanku."
Lui berdiri tegak, lalu berbalik menatapku. "Maksudmu mengkhawatirkanmu? Apa yang perlu kukhawatirkan?"
Aku berdecak. Lui seolah-olah mengatakan bahwa makanan lebih penting daripada aku. Memang sih, makanan itu penting, tapi—hei, aku kan juga tidak kalah penting!
"Lihat, nih! Sikuku robek besar!" Aku mengangkat sikuku tinggi-tinggi, memamerkannya pada Lui.
Bukannya membelalakkan mata dan berlari menghampiriku, Lui malah mengangkat alisnya.
"Kubilang lihat sikuku berdar—" kalimatku tergantung di udara ketika aku, dengan dua mata kepalaku sendiri melihat kulit dan dagingku menyatu kembali, menutup bekas lukanya dan hanya menyisakan jejak darah.
Aku meneguk saliva getir, lalu menatap Lui.
Gadis itu menyeringai.
Seketika sendi-sendiku melemas. Aku kembali teringat ucapan penolakan Jimin terhadap kami waktu itu.
"Aku ini sebenarnya apa?!" [ ]
Thanks for reading. Secuil jejak Anda means a lot \(*°-°*)/
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro