Triangle: Four
( '-') ~ Triangle | Four ~ ('-' )
Aku membuka mata, mengerjap-ngerjapkannya beberapa kali karena mataku tiba-tiba terasa perih diterpa cahaya. Langit-langit di atas terlihat memburam dan berbayang-bayang. Jadi aku mengerjap terus hingga akhirnya semua terlihat jelas. Baru kusadari ternyata langit-langitnya berwarna putih tulang, dinding di sampingnya juga berwarna serupa.
Aku ingin duduk, namun ketika tubuhku baru terangkat seperempat, tiba-tiba telingaku berdenging kuat, dan kepalaku terasa begitu nyeri seperti ditusuk besi kuat-kuat serta berputar-putar cepat. Aku menumpu sebelah tanganku ke arah samping, ada benda silindris panjang di sana. Jadi, aku mencengkramnya erat sementara tangan satu lagi memegangi pelipis kanan.
Beberapa saat, akhirnya nyeri itu reda dan tubuhku berasa tidak oleng lagi. Aku pun meluruskan duduk, melihat sekeliling.
Di samping tempatku tertidur tadi ternyata ada seseorang. Remaja laki-laki. Terlihat seusia denganku. Dan yang terpenting dia menatapku serius tanpa berkedip seolah-olah sedang melihat sebuah keajaiban terjadi.
Ey, ayolah-
Tunggu. Namaku siapa? Aku ini apa? Dan kami ada di mana? Kenapa aku tidak bisa mengingat apa-apa?
Padahal aku ingin meledek ekspresi serius pemuda di sampingku ini, yang sampai kini masih mengamatiku seksama.
"Namaku siapa?" tanyaku akhirnya. Aneh saja rasanya. Aku bisa berbicara, tapi aku tidak ingat apa-apa tentang diriku sendiri.
"Hoseok. Namamu Jung Hoseok. Umurmu 18 tahun," jawabnya cepat masih dengan mata yang tidak berkedip.
"Ooh. Jadi namaku Jung---apa? Jung Kodok?"
"Jung Hoseok."
"Ah, Jung Hoseok," anggukku akhirnya. "Tapi ... namanya tidak cocok denganku. Tidak keren. Bagaimana kalau Jey saja?" kritikku pedas pada namaku sendiri. Sesaat aku ingin marah pada yang menjelek-jelekkan namaku, tapi tidak jadi karena ternyata yang mengatakan namaku jelek adalah aku sendiri.
Pemuda itu memutar matanya, terlihat enggan menanggapi dan---meledek? Tuh kan, namaku benar-benar jelek. Apa iya namaku memang itu? Bisa saja, kan, orang ini mengganti namaku dan memperburuknya karena namaku keren.
"Terserah kau saja, Jung," katanya lalu berlalu begitu saja, pergi meninggalkanku yang masih tidak tahu apa-apa ini sendiri.
Aku baru mau membuka mulut untuk berteriak ketika Si Tatapan Serius datang menghampiriku lagi. Aku jadi harus menelan teriakanku dan mendengarnya sendiri di dalam kepalaku. Bergema-gema, nyaring, dan memekakkan telinga. Wah---tungggu! Kenapa aku memikirkan hal aneh begini? Apa aku ini sebelumnya pasien sakit jiwa?
Aku ingin bertanya, tapi Si Tatatapan Serius lebih dulu mengulurkan sesuatu ke depan puncak hidungku. "Ini. Minumlah," katanya.
Aku pun mau tidak mau meraih sesuatu itu (yang ternyata berupa sekotak susu coklat) dan meminumnya. Aku ingin memasang gaya elegan dan minum dengan anggun, atau paling tidak memasang gaya sok jual mahal, tapi mulutku malah mengingkarinya. Aku menyeruput susunya cepat-cepat sampai terdengar bunyi 'glek, glek, glek'. Tiba-tiba aku merasa seolah-olah aku belum minum dan makan selama berminggu-minggu.
"Ah, enaknya," gumamku sambil memejamkan mata ketika susunya telah habis dalam beberapa tegukan.
"Lagi," pintaku sambil mengerjap-ngerjap menatap Si Tatapan Serius.
Dia mengerutkan dahi dan matanya menyipit.
"Aku bilang, aku mau lagi-"
"Yoongi. Namaku Min Yoongi. Umurku 19 tahun dan aku lebih tua darimu."
"Nah, Yoongi, boleh tidak aku minta susunya lagi? Tapi---hei, kenapa kau membahas tentang siapa yang lebih tua?" Aku tiba-tiba teringat lagi tentang ucapan Yoongi barusan. Tanpa dia beri tahu pun, aku tahu kalau dia lebih tua dariku karena dia sudah menyebutkan umurnya.
"Karena orang sepertimu akan bersikap sesuka hati dan memanggil nama orang semaunya saja. Jadi kuberi tahu di awal agar kau tidak memanggilku aneh-aneh."
Aku mendesis tidak terima atas tuduhan yang diberikan Yoongi barusan, namun tetap diam ketika Yoongi berbalik dan pergi. Sepertinya mengambil susu kotak lagi buatku. Aku tentu saja tidak mau ambil resiko dengan protes padanya yang berujung dia marah dan bilang, "Tidak ada susu buatmu! Cari sendiri sana! Dasar tidak tahu diri!"
Wow, wow, tidak akan kubiarkan.
Tak lama ketika aku asik mengoceh dengan pikiranku sendiri, Yoongi kembali, mengulurkan dua kotak susu padaku. Tentu saja aku langsung menyambarnya cepat. "Makasih, Kak Yoongi," kataku dengan senyum lebar lalu membuka satu kotaknya.
Yoongi mendengus, namun dia akhirnya tersenyum. Entah gemas, entah geli, entah perpaduan dua-duanya.
"Minum yang banyak, Adik Kecil," ujarnya lalu mengusap puncak kepalaku pelan.
Pelan, lembut, dan anehnya aku merasa nyaman sampai-sampai rasanya aku mau tidur karena tiba-tiba aku mengantuk.
Tidak. Itu tidak terjadi. Karena tiba-tiba entah bagaimana ceritanya, ledakan keras memekakkan telinga meledak di sekitar kami, api menyembur besar berwarna merah menyala, dan Yoongi yang menghambur ke arahku, menutupi tubuh kurusku dengan tubuhnya sendiri.
***
"YOONGI!"
Aku berteriak keras dengan napas tersengal dan keringat membanjiri pelipisku. Setelah duduk dan mematut-matut sekitar seksama, dan mendapati Yoongi terbaring di sampingku, akhirnya aku menghela napas lega.
Cuma mimpi, Jey.
Aku baru mau menghela napas lagi untuk yang kedua kalinya ketika mataku tak sengaja menangkap sosok seorang gadis yang tengah mengamati sambil bersedekap. Alisnya naik sebelah seolah sedang menunggu sesuatu. Dan aku ... tiba-tiba saja menelan ludah gusar.
"Aaa! Hantuuu! Hantu! Ada hantu perawan di sini! Hantunya seram! Hantunya cakep. Yooon, ada hantuuuu!" Aku histeris, mengguncang-guncang tubuh Yoongi di sampingku.
"Hei, siapa yang kau sebut hantu?"
Aku terdiam beberapa saat. Dia bisa bicara! Lalu, ragu-ragu aku menunjuknya. "Kau---bukan hantu?"
Dia tertawa. Tapi bukan tawa cekikikan mengerikan. Tawanya merdu.
Dia geleng-geleng kepala masih dengan sisa-sisa tawa. "Tidak sopan sekali. Sudah kutolong malah aku dikatai hantu."
Aku mengamati lagi dia dengan serius, memastikan dia manusia sungguhan dan bukan hantu. Rambutnya hitam legam, lurus, dan dipotong pendek sampai sebatas leher. Kulitnya kuning langsat---berbeda sekali dengan kami yang berkulit putih dengan mata sipit. Dia memakai rompi yang di bagian depannya terlihat punya banyak saku. Dan---hei, bahkan kakinya penuh holster yang berisi pistol dan ... apa itu pisau? Tunggu! Apa tadi? Pistol?
Tiba-tiba aku beringsut ke belakang sedikit, menatap gadis itu semakin khawatir. Tampangnya saja yang cantik, tapi di tubuhnya banyak senjata.
"Kau kenapa sih?" tanyanya terlihat heran. "Kena sambelit? Wajahmu pucat dan berkeringat dingin, seperti orang yang selama beminggu-minggu tidak buang hajat saja."
"Tidak, kok!" bantahku cepat. Enak sekali mulutnya berbicara yang tidak-tidak tentang pencernaanku.
"Ya sudah," katanya sambil mengendikkan bahu. "Ngomong-ngomong namaku Luisia, orang-orang di sini memanggilku Lui."
Aku tercengang ketika mendengar kata 'orang-orang'. Jadi maksudnya di sini ada manusia lain begitu? Selain kami berdua? Eh, bertiga maksudku. Tapi Lui beneran manusia kan? Bukan Mimi yang berevolusi jadi gadis cantik?
Aku menggelengkan kepala, mencoba berpikir normal sampai akhirnya aku sadar. Sejak tadi aku berada di dalam ruangan. Duduk di atas dipan. Dinding ruangannya kusam, sebagian catnya mengeropos, dan beberapa sudut terlihat berantakan karena banyak kotak-kotak kardus dan box kayu menumpuk. Dan ada beberapa lampu dengan cahaya kuning terang di sini. Ini di mana sih? [ ]
Thanks for reading. Secuil jejak Anda means a lot \(*°-°*)/
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro