Triangle: Five
( '-') ~ Triangle | Five ~ ('-' )
"Tunggu! Kenapa bajuku bisa berubah!"
Aku berteriak histeris ketika mendapati pakaian yang kukenakan beberapa hari ini sudah berganti menjadi kaus hitam dengan gambar tengkorak dan dua tulang menyilang di belakangnya. Celanaku juga sudah berubah, yang tadinya jeans hitam, berubah jadi celana training longgar. Aku melirik Yoongi yang masih belum sadarkan diri di sampingku.
Baju Yoongi juga berubah!
Aku kembali menatap ke arah Luisia dengan tatapan getir. "Siapa yang mengganti bajuku dan Yoongi? Apa kau yang melakukannya? Ke mana kau buang baju kami yang tadi? Apa kau mengamati tubuhku sebelumnya? Tidaaak!" Aku menangkupkan kedua tangan ke pipi, memikirkan hal-hal yang mungkin terjadi pada kami; aku dan Yoongi.
Dia memasang mimik aneh dengan bibir atas yang naik sebelah, lalu desisan kecil keluar. "Bukan aku yang mengganti. Lagian—hey, apa sih yang bisa dilihat dari tubuh kurusmu itu?"
Tunggu—apa katanya?
Sial. Sial. Tiga kali sial.
Pipiku bersemu.
Ini benar-benar penghinaan. Tapi aku tidak sempat memikirkan cara untuk membantah, jadi aku hanya tersenyum kecut.
Brak!
Yoongi tiba-tiba terbangun dan kakinya mendorong tubuhku sampai-sampai aku terjatuh dari atas tempat tidur kayunya. Tersungkur di atas lantai semen yang berdebu.
"Jung Hoseok!" panggil Yoongi keras-keras. "Kau di mana?!"
"Aku di bawah, Bodoh!"
Susah payah aku berdiri, mencoba mengabaikan pinggang dan jidatku yang nyeri lalu kembali duduk ke atas dipan.
Yoongi tampak menghela napas lega ketika melihatku. "Kukira kita sudah mati," gumamnya pelan.
"Kita tidak jadi dimakan Mimi, Lui yang menyelamatkan kita."
"Lui?"
Aku mengangguk, kemudian menunjuk Lui yang tetap diam mengamati kami dengan wajah datarnya. Yoongi mengangguk.
"Ransel kita di mana?" tanya Yoongi kemudian.
Aku baru mau membuka mulut, namun tidak jadi berbicara ketika ingat sejak tadi aku tidak menemukan keberadaan ransel kami di mana pun.
"Ransel kalian tertinggal di sana. Mungkin sudah hancur atau paling tidak tertimpa puing-puing."
"Tidak!" Aku sontak berdiri. "Makananku ada di sana. Makanan kita di sana semua, Yoon. Kalau begini kita harus makan apa? Apa iya kita harus mati kelaparan di sini?! Tidaaaak!"
"Diamlah. Kau berisik."
Ucapan judes Lui membuat teriakan histerisku hilang seketika.
"Ini tempat apa?"
Aku menoleh ke belakang, ke arah Yoongi yang menatap Lui lurus-lurus tanpa takut. Padahal kan bisa saja tatapan itu membuat Lui tersinggung, lalu tanpa ragu-ragu gadis itu menarik satu pistol dari holster di sepanjang kakinya dan ... duar!
Tamat riwayat Min Kaku Yoongi.
"Markas Triangle. Ya—sebut saja rumah kami."
Alih-alih melakukan seperti yang kupikirkan barusan, Lui malah menjawabnya santai sambil mengangkat bahu.
"Triangle?" beoku sambil menatap Lui menunggu penjelasan.
"Itu nama kelompok kami yang bertahan di sini."
"Kenapa Triangle?"
"Karena—menurutku keren saja."
Aku melongo. "Mana bisa begitu! Tidak keren sama sekali! Harusnya kan pakai filosofi yang membuat orang-orang menganga terpana sambil menggelengkan kepala dengan decakan kagum," protesku akhirnya karena merasa nama itu tidak keren.
"Hey, suka-suka aku dong."
"Tapi kan—"
"Diamlah Jung Hoseok." Yoongi akhirnya menyela kami sebelum ini menjadi perdebatan serius. Agaknya Yoongi mengerti betul tabiatku yang tidak akan mengalah sampai aku dinyatakan menang. Tapi mengingat banyaknya pistol dan pisau di tubuh Lui, aku pun akhirnya diam, namun Lui tidak melakukan hal yang sama.
Gadis itu tertawa sementara tangan lainnya menutup mulut dan matanya menatapku penuh ledekan. "Namamu lucu," katanya. "Baiklah—aku akan diam." Lui pun akhirnya mengangkat tangannya dan berusaha menghentikan tawa.
"Kalian pasti lapar, kan? Ikuti aku," ujarnya lalu menggerakkan kepala ke samping, mengode agar kami segera mengikutinya.
Aku dan Yoongi tetap diam dan tidak bergeming sampai akhirnya Lui membalikkan tubuhnya lagi. "Cepat ikuti aku jika kalian ingin makan. Yoongi dan kau, Jung—Gosok?" ujarnya lalu tiba-tiba tertawa dan menggelengkan kepala pelan.
"Hey, namaku Jung Hoseok! Bukan Jung Gosok," protesku tidak terima.
"Diamlah, Jung. Ayo kita ikuti saja dan makan dengan tenang. Aku lapar." Yoongi turun dari dipan dan mulai mengikuti Lui yang sudah berjalan lagi. Aku pun mau tidak mau mengikuti mereka.
Kami keluar dari ruangan tadi, berjalan di tempat yang seperti lorong kecil lalu berbelok sampai akhirnya mencapai ruangan lain yang lebih luas. Di tembok-temboknya penuh coretan cat tembak dan kardus-kardus juga berserakan. Lantainya kotor, cokelat tertutup debu dan tanah. Kapang bekas sarang laba-laba menjuntai dari langit-langitnya dan memenuhi setiap sudut. Dari pada tempat persembunyian manusia, di sini lebih tepat disebut sebagai rumah hantu. Hanya tinggal menambah suara segukan burung hantu dan lolongan anjingnya saja.
"Kau yakin kita tidak sedang diculik ke dunia lain?" bisikku pada Yoongi. Tetapi Yoongi tetap diam dan tidak menggubrisku sama sekali.
"Bisa saja kan, besok ketika bangun lagi kita berada di rumah kosong dengan alas daun pisang. Lalu Mimi yang mengamati dengan mulut menganga dan liur menetes."
"Tapi tidak ada satu pun batang pisang yang tersisa di distrik ini."
Aku terdiam mendengarkan ucapan Yoongi barusan. Benar juga, sih.
"Tapi—"
Arrgh! Rrrg! Aurk!
Aku langsung memeluk Yoongi ketika mendengar erangan-erangan familiar itu. Tidak. Aku tidak mau kejar-kejaran sama Mimi lagi.
Kami memasuki lorong yang di sampingnya berupa ruangan-ruangan dengan jeruji besi. Aku menjaga jarak dengan jerujinya dan memepet ke arah Yoongi.
"Tempat ini dulunya bekas penjara. Karena tidak terpakai lagi setelah orang-orang mengungsi dan darurat militer diberlakukan, kami yang menempati," ujar Lui di depan. Seolah-olah mengerti satu pertanyaan yang agaknya ingin ditanyakan Yoongi—karena aku sibuk ketakutan.
"Terus, apa tadi yang berbunyi?" tanyaku takut-takut.
"Well, mungkin kau menyebutnya mayat hidup? Zombie? Hantu? Mayat berjalan? The walking dead?"
"Mimi!" selaku cepat sebelum Lui mengabsen semua nama-nama seramnya Mimi.
"Ya, terserah kau saja," ujarnya tampak tidak peduli.
"Lalu kenapa mereka bisa ada di dalam jeruji sana?"
"Kami melakukan beberapa penelitian pada mereka. Ya—bisa saja, kan, kita menemukan formula yang bisa menghentikan wabah mengerikan ini."
Aku bergidik ngeri seketika. Kok bisa-bisanya mereka berani melakukan penelitian pada si gila Mimi? Kan bisa saja ketika mereka sedang meneliti, Mimi bangun dan menerkam kepala mereka. Errr.
Berbanding terbalik denganku, Yoongi malah terlihat biasa-biasa saja, datar seperti biasanya. Seolah-olah penelitian dan eksperimen Mimi bukan apa-apa. Tidak kaget dan tidak takut, seolah-olah yang baru saja didengarnya adalah, "Manusia itu makan nasi dan minum air, loh."
"Sekarang pukul berapa?"
Lui berhenti ketika mendengar pertanyaan Yoongi barusan, menatap Yoongi seolah-olah sedang menimbang-nimbang sesuatu. "Apa kau salah satu yang berpikir kalau zombi-zombi itu bangun di siang hari dan mati di malam hari?"
Yoongi tidak menjawab, namun tatapannya jelas menunggu Lui untuk melanjutkan.
"Sekedar informasi, mereka tidak hidup dan mati berdasarkan terang dan gelap. Tapi berdasarkan ada tidaknya gempa. Ah—atau paling tepat ada tidaknya getaran. Entah bagaimana ceritanya, tapi ada sesuatu yang aneh dengan sistem saraf sensorik mereka. Mereka memang mati, dan otaknya otomatis juga tidak berfungsi. Yang mana setiap impuls yang diterima oleh saraf akan dikirim ke otak, lalu otak yang akan memutuskan reaksinya sebelum dikirim kembali ke seluruh tubuh. Nah, seharusnya semua sistem saraf juga tidak akan berfungsi ketika saraf pusatnya sudah rusak dan tidak aktif alias yang punya otak meninggal. Tapi hal itu tidak berlaku pada mayat-mayat ini. Saraf sensorik mereka tetap bekerja, namun hanya menerima impuls berupa getaran, lalu setelah impuls tersebut diterima oleh tubuh mereka, mereka akan hidup kembali dan berubah jadi monster yang memakan apa saja dan mampu berlari kencang tanpa lelah. Ya ... kira-kira selama tujuh hingga delapan jaman, lah. Baru setelah itu mereka kembali mati dan menunggu sampai ada getaran lagi yang mana akan membuat mereka hidup kembali."
Aku menganga. Terkesima. Penjelasan Lui barusan sungguh mudah dicerna. Ha ha ha.
Tapi benar, sih, kalau kuingat-ingat lagi selama ini, sebelum Mimi-Mimi bangun pasti selalu ada gempa yang membuat getaran atau setidaknya getar dari gedung bertingkat yang ambruk, dan itu selalu bertepatan menjelang pagi atau paling tidak setelah terang.
"Pantas saja kami bisa dikejar-kejar kemarin padahal hari masih gelap. Sebelumnya ada gempa pelan di sekitar pantai."
Aku mengangguk-angguk takzim. Tapi ... tunggu! "Jadi selama ini Mimi-Mimi yang kita langkahi ketika malam bisa saja bangun jika ada getaran?!"
Aku nyaris serangan jantung di tempat. [ ]
Thanks for reading. Secuil jejak Anda means a lot \(*°-°*)/
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro