Triangle: Eight
( '-') ~ Triangle | Eight ~ ('-' )
Aku meringkuk, merangkul kedua lututku dan membenamkan kepala di sana. Tulang-tulangku lunglai dan tidak pernah terasa kuat. Aku menjilati bibir bawahku yang mengering. Rasa asin dan anyir bersatu di mulutku.
Selama berada di sini, tidak sekali pun aku merasa tubuhku memiliki tenaga. Entah sudah berapa lama itu, aku lupa, yang jelas itu terasa sudah sangat lama. Kali pertama aku datang ke sini, suaraku masih kecil dan belum berubah jadi sebesar dan seserak sekarang. Kata Ibu Panti dulu, hal semacam itu namanya masa pubertas. Sebenarnya tidak hanya suaraku yang berubah, ada bagian lain juga. Tapi tidak mungkin, kan, aku ceritakan semuanya di sini?
Aku baru saja mau memejamkan mata, ketika pintu besinya dibuka oleh seseorang, lebih tepatnya oleh Pak Jaket Putih (begitulah aku menyebut namanya karena selama ini dia dan dua rekannya tidak pernah mengenalkan nama). Aku menjauhkan diri alih-alih berlari mengejarnya. Karena aku tahu, pertemuan dengannya tak pernah berakhir menyenangkan.
"Kemarilah, Nak!" panggilnya sambil menggerakkan kepala, menginstruksikan agar aku keluar.
Aku tetap diam di tempatku, menatapnya dengan kaki dan tangan bergetar.
"Aku yang ke sana atau kau yang ke sini? Kau tahu—" lalu dia mengeluarkan sesuatu dari sakunya, semacam alat suntikan, "Kalau aku yang ke sana, kau dapat bonus suntikan ini."
Aku menengguk ludah. Kurasa wajahku sudah pasi sekarang. Tidak, aku tidak ingin bonus atau apalah itu yang berada di tangan Pak Jaket Putih. Karena aku tahu akan semenyakitkan apa rasanya ketika cairan itu disuntikkan ke tubuhku. Mau tidak mau, aku beringsut dan berdiri, menghampiri Pak Jaket Putih dengan langkah yang lemah.
Sebenarnya tidak ada pilihan yang benar-benar tepat, dua-duanya sama-sama menyiksa. Tetap berdiam di sini, lalu disuntik cairan menyakitkan yang rasanya seolah-olah sendi-sendimu sedang dihancurkan, dan akhirnya tetap dibawa paksa juga untuk merasakan sakit lagi, atau menurut dan mengikuti kemauannya saja. Jika aku tidak bisa menghindarinya, lebih baik aku mengurangi hal menyakitkan yang aku terima.
Jika aku tahu akan begini jadinya, dulu aku lebih baik kabur saja dari panti asuhan dan menggelandang di jalanan daripada diadopsi dan di bawa ke tempat ini.
Aku mengikuti Pak Jaket Putih ke ruangan yang biasa aku kunjungi. Aku menyebutnya ruang eksekusi.
"Bagaimana keadaannya?" tanya rekan Pak Jaket Putih yang juga menggunakan jaket putih—aku menyebutnya Pak Kacamata karena kacamatanya besar dan tidak pernah lepas.
"Mengingat ini sudah nyaris tiga tahun sejak percobaan pertama, kondisinya cukup kuat."
Pak Kacamata mengangguk.
"Cepat selesaikan. Jangan membahasnya di depan bocah itu dan membuang-buang waktuku lebih lama!" Itu Root (dia menyebutkan namanya dulu padaku ketika menjemputku ke panti asuhan), wajahnya terlihat bengis berbanding terbalik dengan pertemuan pertama kami dulu (yang begitu ramah dan mudah senyum) dan dia tidak suka bertele-tele.
"Kemarilah, Nak," panggil Pak Kacamata menyuruhku mendekatinya. Aku pun mau tidak mau mendekat.
Dia mulai memasangkan benda yang menyerupai helm berwarna putih itu ke kepalaku. Ada banyak kabel-kabel panjang di bagian luarnya yang terhubung ke monitor besar dan beberapa ke mesin-mesin entah apa itu. Benda inilah yang perlahan-lahan menggerogoti ingatanku. Nyaris semua kenangan indahku (yang tidak seberapa), nama makanan kesukaanku, nama teman-teman sependeritaanku, umurku, bahkan aku nyaris lupa namaku sendiri. Anehnya kenangan burukku selama di panti asuhan hanya sedikit yang hilang (padahal aku berharap itu hilang semua).
Aku pun berbaring di atas tempat tidur, lalu di masukkan ke dalam benda seperti tabung yang direbahkan, berwarna silver, dan ada cahaya terang menyilaukan memenuhi bagian dalamnya setelah sebelumnya Pak Jaket Putih menyuntikkan cairan entah apa itu ke tanganku.
Aku menggigil ketakutan. Faktanya, entah sudah berapa ratus kali aku mengulang fase ini, tidak lantas membuatku terbiasa. Rasanya masih menakutkan dan membuatku panik seperti pertama kali aku masuk ke tabung ini dulu. Tapi aku tidak punya daya untuk melawan, selain hanya terpaksa mengikuti saja.
Lubang tempat aku dimasukkan pun tertutup sempurna. Aku pun segera memejamkan mata. Cahayanya sangat terang dan menyakitkan mata sampai-sampai meski aku sudah menutup mata, cahayanya masih terasa menusuk. Ini baru permulaan, siksaannya belum dimulai. Beberapa detik setelahnya, ada suara berdenyut naik di sekitar telingaku, lalu seperti persendianku diremas kuat-kuat lalu ditumbuk mesin penggiling. Aku mengerang kuat.
Kepalaku berdenyut kencang, telingaku berdenging, dan seolah-olah tulang-tulangku dicabut paksa. Aku berteriak keras.
"Tambahkan listriknya, Jinhyuk!"
Ada teriakan di luar. Aku bisa mendengarnya samar-samar.
"Ini gila! Lihatlah sel-sel darahnya mulai berubah. DNA-nya juga!"
"Sial! Kurasa kali ini kita akan berhasil, Kawan! Akhirnya setelah sekian lama!"
Entah teriakan apa itu, aku masih sibuk berteriak-teriak dan mengerang di sini. Ini benar-benar gila. Aku tidak pernah terbiasa dengan rasa sakitnya.
"Dia nyaris sempurna. Kita hanya perlu melakukan eksperimen akhir dan setelah itu mengujinya."
"Sial, aku masih tidak bisa berkata-kata. Ini mahakarya. Kita akan jadi ilmuwan termahsyur di seluruh dunia, Root!"
"Ya, diamlah. Kau mengganggu prosesnya."
Lalu ada bunyi melengking kuat. Tanda ini akan segera berakhir.
Aku masih meringis-ringis ketika tempatku berbaring ditarik keluar. Seluruh energiku benar-benar habis dan aku tidak sanggup berdiri.
"Antar dia ke selnya. Lalu bawa yang satunya lagi juga," ujar Root yang langsung diangguki Pak Jaket Putih.
Aku dipaksa berjalan sampai akhirnya sampai ke tempatku lagi. Segera aku membaringkan diri di tempat tidur kecil yang menempel ke dinding, membiarkan Pak Jaket Putih mengunci pintunya dengan gembok dan pergi.
"Hei, hei!"
Aku tidak tahu sudah berapa lama sejak aku mulai memejamkan mata. Tapi yang jelas, aku kembali membuka mata ketika ada yang memanggil-manggilku pelan.
Ada seorang anak perempuan di sana, di depan pintu selku. Rambutnya hitam, lurus sepinggang dan poni menutupi keningnya. Dia tersenyum ke arahku sementara di tangannya ada nampan dengan banyak bungkus roti dan tiga kotak susu.
Aku menatapnya dengan kening berkerut.
"Ayo kita makan," katanya dengan senyum cerah.
"Siapa kau?"
Alih-alih menjawab, dia malah cekikikan kecil. "Nanti saja kenalannya, kemari dulu. Kita makan bersama. Aku tidak biasa makan sendiri."
Dia terus-terusan melambai-lambaikan tangannya menyuruh aku mendekat. Mau tidak mau, aku mendekat, duduk di dekat pagar besinya.
"Ambil," ujarnya menggeser nampannya sampai tertumbuk besi pembatas. Dia meraih satu roti berukuran besar dan mulai membuka bungkusnya.
Mau tidak mau (sebenarnya mau banget karena ini kali pertama aku melihat roti setelah sekian lama) aku mengambil satu dan ikut membukanya juga.
"Namaku Luisia Anwar. Panggil saja Sia. Namamu siapa?"
Aku menoleh ke arah anak perempuan itu. "Min Yoongi. Ngomong-ngomong namamu terdengar aneh, tidak ada nama klannya."
"Itu karena ayahku bukan dari Distrik Korea ini, tapi dari distrik lain, namanya Distrik Sumatera. Nah, ibuku baru deh berasal dari sini."
Aku mengangguk-angguk. Sekarang aku mengerti kenapa kulitnya tidak berwarna putih tapi berwarna kuning langsat. Kalau kupikir-pikir warna kulitnya serupa dengan kulit Root.
"Bagaimana rasanya punya orang tua lengkap? Aku bahkan tidak pernah melihat mereka sekali pun."
Lui mengernyitkan kening. "Orang tuaku tidak lengkap ngomong-ngomong. Kata Papa, Mama meninggal ketika melahirkan aku, jadi aku cuma punya Papa." Lui mengangkat bahunya. "Rasanya—err, aku tidak tahu cara menjelaskanya. Sepertinya biasa-biasa saja. Papaku pendiam dan jarang bicara, hanya kadang-kadang dia begitu manis dan baik. Tapi dia super jenius."
Aku mengangguk-angguk. Lalu meraih sebungkus roti lagi (ngomong-ngomong ini bungkus ketiga) dan meraih satu kotak susu. Sejujurnya, aku tidak tertarik membahas tentang orang tua, Mama, Papa, atau apalah itu.
"Kita sepertinya seumuran. Berapa umurmu, Min?"
Aku menoleh lagi ke arah Sia yang sedang menyedot susu strawberry (yang sialnya terlihat lezat).
"Tidak tahu," jawabku seadanya lalu menggigit rotiku lagi, berusaha memalingkan mata dari susu strawberry yang sialnya hanya ada satu kotak; milik Sia.
"Umurku 15 tahun. Jadi umurmu juga 15 tahun. Soalnya kata Papa semua anak-anak di sini seusia denganku."
Aku hanya ber-oh panjang sambil mengangguk-angguk. Lalu menoleh ke arah Sia, "Susu itu—boleh aku minta?" tunjukku pada gadis itu.
Sia membelalak, menatap jariku (yang tidak sengaja menunjuk bawah lehernya) dengan tatapan aneh. "Su-susu apa?"
"Itu susu yang kau minum. Hanya tersisa satu itu, dan aku mau mencicipinya."
Aku membelalak, lalu menoleh ke seberang lagi. Memori tiga tahun lalu menguar kembali di kepalaku. Membuatku berada di ambang antara percaya dan tidak percaya.
"I-ini kau?! Sia? Benar? Kukira kau kembali ke Distrik Sumatera."
Lui menyeringai di seberang. "Hah, bisa-bisanya kau melupakanku."
"Tidak, kau terlihat berbeda dari tiga tahun lalu. Rambutmu pendek dan tidak ada poninya. Dan—"
"Aku cantik."
Sial. Aku ingin mengumpat, tapi kemudian aku tertawa pelan.
"Bukan waktunya tertawa, Min! Lekas bekerja dan cari amunisi sebanyak-banyaknya sebelum zombi-zombi itu datang lagi!" teriak, Lui (tidak, maksudku Sia) sambil berlari, melambai-lambai ke arahku dan memasuki ruangan-ruangan lain. [ ]
Thanks for reading. Secuil jejak Anda means a lot \(*°-°*)/
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro