Telur Misterius
Bentuknya bulat sempurna. Kupikir telur penyu. Tapi penyu hanya ada di Bumi. Telur ini dari cincin Uranus. Warnanya kelabu berbintik hijau. Ayah membawa telur itu untuk Ibu dari penjelajahan terakhirnya. Ibu senang meneliti hewan liar angkasa. Dia tahu banyak soal itu. Tapi tidak tentang telur langka ini. Telur misterius ini entah akan menetas menjadi apa.
"Guntur, kamu yakin bisa menjaganya?" Ibu ragu.
"Beres, Bu. Setiap 10 menit, telur direndam air selama 10 detik. Lalu dikeringkan. Lakukan pada pukul 17.00 sampai 19.00."
"Bagus. Ibu bisa pergi dengan tenang. Ayah akan pulang sebentar lagi dengan Halilintar."
Halilintar, robot pengasuhku, mengalami kerusakan. Ayah membawanya ke rumah pemeliharaan.
Aku sendirian. Masih ada setengah jam sebelum mengurus telur itu. Enaknya melakukan apa ya?
Aha, mainan kuno itu!
Aku mengoleksi mainan abad ke-21. Di antaranya ada play station. Aku berhasil membongkar dan menyalakannya lagi. Sungguh lucu. Masih pakai kabel listrik dan kepingan dvd. Zaman sekarang, semuanya tinggal sentuh. Energi tubuh bisa dialirkan untuk menyalakan peralatan. Energi otak bisa membuat film dan game sesuka kita.
Tapi yang kuno justru membuatku penasaran. Aku pura-pura menjadi anak abad ke-21. Duduk di lantai, menghadap televisi, memegang alat kontrol. Game-nya sepak bola. Permainan kuno juga. Aku sudah tahu aturannya.
Mulai. Mengejar bola, merebutnya dari lawan, menggiring ke gawang, tendang! Goool! Cihui, aku jagoan. Mengasyikkan juga. Pantas, menurut sejarah, PS membuat anak-anak di masa itu kecanduan berat. Mereka jadi malas belajar, malas bermain ke luar.
Awas!
Gol!
Aduh, timku kebobolan. Tunggu saja, akan kubalas! Aku gigih berjuang. Tapi baru pada menit terakhir, aku berhasil menggolkan lagi.
"Guntur, sedang apa?" Ayah duduk di sampingku.
Ayah sudah pulang? Ya ampun! Jam berapa ini? Pukul 18.00! Kenapa alarm otakku tidak berbunyi? Oh, berbunyi sebetulnya, tapi tidak kudengar.
Telur itu!
Oh, tidak!
Ia meleleh seperti es krim. Ibu akan marah sekali. Tak ada gantinya! Aku tertegun-tegun.
Ayah bisa menebak apa yang terjadi. Ia menarik napas berat. "Kamu tahu apa yang harus kamu lakukan?"
Aku mengangguk. Mengakui keteledoranku dan meminta maaf kepada Ibu. Mungkin Ibu akan menyita mainan kuno itu. Tak apa, aku rela. Gara-gara aku, Ibu tak akan pernah mengenal binatang dari telur itu. [AN]
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro