Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

NAGA PERAK TERAKHIR


Permaisuri sakit parah. Menurut tabib istana, satu-satunya obat yang bisa menyembuhkannya adalah hati naga perak. Masalahnya, tinggal satu naga perak yang masih hidup. Dan tak ada yang pernah melihatnya. Meskipun begitu rakyat berbondong-bondong mencari naga perak. Karena bagi yang berhasil, Raja akan memberikan hadiah emas seberat tubuhnya.

Tak terkecuali Ramil, anak kepala desa, yang jauh dari kota raja. Sebetulnya Ramil tahu, kecil kemungkinan dia berhasil. Jangankan berkuda dan memanah, lari pun dia tak bisa. Pekerjaan sehari-harinya hanyalah makan dan tidur. Badannya berat seperti sekarung kacang.

"Aku harus mendapatkan naga itu," kata Ramil, lalu makan lebih banyak lagi. Karena semakin berat tubuhnya, semakin banyak emas yang akan didapatnya.

Ramil memanggil Demian, sepupunya, yang ia perlakukan seperti pelayan. Ramil merasa itu wajar saja karena Demian menumpang di rumahnya. Demian sudah tidak berayah-ibu. Kepala desa dan istrinya mengasuh Demian sejak kecil, tidak membedakan dengan Ramil. Sayangnya, mereka selalu sibuk. Kalau mereka tahu perlakuan Ramil terhadap Demian, pasti mereka tak akan setuju.

Namun Demian tak pernah mengeluh atau mengadu. Dia malah merasa iba pada Ramil. Tidak seperti dirinya yang sehat dan gesit, Ramil lemah dan sulit bergerak.

"Kita akan berburu naga perak," kata Ramil. "Siapkan segala sesuatunya."

Demian tercengang. Dia mendengar pengumuman raja, tapi tak ada keinginan untuk mencoba. Dia tak percaya hati naga perak adalah satu-satunya obat. Rasanya tak masuk akal, untuk menyelamatkan yang satu harus membunuh yang lain.

Selain itu, dia tidak yakin bisa menemukan naga perak. Kalau makhluk itu mudah dicari, pasti sudah ada yang menemukannya. Kalaupun ada yang berhasil menemukannya, apakah naga perak akan rela menyerahkan hatinya?

Demian menggeleng.

Ramil melemparnya dengan sendok. Demian dengan mudah berkelit.

"Kau berani menolak perintahku?"

"Bukan. Aku hanya berpikir, dia naga terakhir di dunia dan semua orang memburunya. Pasti dia bertahan mati-matian."

"Aku tidak peduli. Cepat bersiap. Penuhi kereta dengan makanan untukku. Dan kau, siapkan senjatamu. Kau yang akan bertarung dengan naga itu nanti."

Demian menghela napas. Selalu begitu. Bagian enak, untuk Ramil. Bagian sulit, untuknya. Yah, sebaiknya dia mengikuti saja kemauan Ramil. Toh, naga perak tak akan begitu bodoh menemui mereka. Jadi, anggap saja mereka sedang melakukan perjalanan berlibur. Dan itu pasti ada baiknya buat Ramil.

Perjalanan dimulai. Ramil menyuruh Demian memacu kereta ke arah pegunungan di utara. Menurutnya, naga perak pasti bersembunyi di sana, di antara tebing terjal bersalju yang sulit dijangkau manusia. Demian menurut saja. Dia duduk mengemudi sambil bersiul. Sementara Ramil makan lahap di dalam kereta. Berkali-kali dia memukul atap untuk memperingatkan Demian. Jangan terlalu cepat, guncangan kereta membuat makanannya tumpah ke baju. Jangan terlalu lambat, nanti mereka didahului orang lain.


Demian lebih suka kalau Ramil tertidur. Kereta akan diparkirnya di tanah lapang. Dia dan kedua kudanya juga perlu beristirahat.

Pada malam kelima, mereka sampai di kaki tebing. Perjalanan kereta berakhir di sini. Besok, balik arah dan pulang, pikir Demian, lalu membuat api unggun dan memasak. Dilihatnya Ramil turun dengan susah payah.

"Dakilah tebing itu, masuki gua-gua di atas sana. Bunuh si naga," katanya.

Demian menatapnya jengkel. "Bagaimana kau tahu di sana ada gua?"

"Jangan membantah. Pergilah! Aku menunggu di sini"

"Besok saja," kata Demian akhirnya.

Ramil tidak berani mendesaknya. Belum pernah suara Demian begitu tegas. Biarlah, pikirnya, tak ada orang lain di sini. Mereka masih menjadi orang pertama yang akan menemukan naga. Dia masuk lagi ke dalam kereta untuk tidur.

Demian berbaring menatap bintang-bintang. Memikirkan naga. Pasti kesepian sebatang kara di dunia. Dia masih lebih untung, punya paman dan bibi yang menyayanginya. Punya sepupu, walaupun menyebalkan.

Sebuah bayangan perak melintas cepat di atasnya, diikuti gemuruh angin yang menerbangkan debu dan kerikil. Kudanya meringkik ketakutan. Api unggun langsung padam. Demian menutup mukanya dengan tangan. Beberapa tetes cairan dingin jatuh mengenai lengannya.

Demian mengendusnya. "Darah."

Demian sampai di puncak tebing. Dijenguknya ke bawah, Ramil tak kelihatan. Syukurlah, dia tak terbangun. Demian tidak ingin Ramil tahu naga perak mendarat di sini. Terluka. Demian ingin memperingatkan naga itu untuk menjauh....


Terdengar geraman di belakangnya. "Manusia lagi! Dia pikir bisa mengambil hatiku selagi aku terluka!"

Naga perak itu ternyata besar. Demian hanya separuh kakinya. Sayap berduri dibentangnya, mengancam.

"Aduh, sayapmu robek-robek," kata Demian. "Dadamu terluka. Kakimu terikat. Oh, tega sekali mereka."

Naga menggeram, lalu terbatuk. "Mereka mengejar-ngejarku ke seluruh penjuru. Dengan licik menjerat kakiku sampai aku jatuh, lalu mengeroyokku. Mereka mencoba mengambil hatiku."

"Syukurlah kau bisa lolos," kata Demian.

"Untuk jatuh ke tanganmu, anak muda?" Naga mendengus, siap tempur lagi. Padahal jelas terlihat, dia sudah lemah.

"Tidak. Aku tidak berminat, kalaupun benar hatimu bisa menjadi obat." Demian mendekat pelan-pelan. Dia menunjukkan dirinya tak bersenjata. "Akan kulepaskan jerat itu."

Naga percaya. Segera Demian membebaskan kakinya. Lalu memeriksa luka di dadanya. "Aku membawa obat. Paman biasa merawat lukaku dengan obat ini. Akan terasa pedih, tapi segera menutup luka. Tahan ya."

Naga meraung ketika obat itu disiramkan pada lukanya.

Demian menepuk-nepuk naga. "Jangan berisik. Nanti Ramil mendengarmu."

"Aku sudah mendengarnya!" Ramil terkekeh. Dia sudah berdiri di depan mereka. Terngah-engah sehabis mendaki. "Demian! Diam-diam, kau ingin menguasai emas itu. Naga itu milikku, aku yang menemukannya!"

Ramil pun menyerang Naga. Naga mengangkat sayapnya dan menampar Ramil.

Ramil terlempar. Nyaris jatuh ke jurang kalau Demian tidak segera menangkap tangannya. Tapi Ramil berat sekali, tubuh Demian pun terseret ke bibir jurang.


Naga segera menahan Demian dengan kakinya. "Lepaskan dia," katanya.

"Tidak." Demian mencoba menarik Ramil ke atas. Sia-sia.

"Jangan lepaskan aku, Demian!" teriak Ramil.

Naga mendengus. "Manusia tak tahu diri. Sudah tak berdaya masih juga memerintah! Lepaskan dia, Demian."

"Jangan. Maafkan aku." Ramil terisak. "Aku menyesal, Demian. Aku berjanji akan bersikap baik padamu. Sungguh."

"Naga, bantulah aku," kata Demian. "Aku berhutang budi pada paman dan bibi. Ini kesempatanku membalas mereka. Ramil harus kubawa pulang dengan selamat."

Naga mengibaskan sayapnya. "Baiklah. Karena kau telah menyelamatkanku, aku akan membantumu. Bertahanlah sebentar. Aku akan terbang mengambil anak bodoh itu." Naga melepaskan kakinya. Demian langsung terseret Ramil, jatuh ke jurang. Naga cepat menangkap keduanya, dan menurunkan mereka di kaki tebing.

"Terima kasih, Naga," kata Demian. Ramil terlalu ketakutan untuk berbicara.

"Aku yang berterima kasih. Berkat kau, lukaku sembuh. Kini, aku harus pergi."

"Berhati-hatilah. Mereka akan terus mengejarmu, sampai permaisuri mendapatkan obatnya."

Naga menggeleng kesal. "Berikan ini kepada raja," katanya sambil melepaskan sekeping sisiknya. "Celupkan ke dalam air minum ratu. Bisa dipakai berkali-kali."

Demian menerima sisik sebesar telapak tangan itu. "Apakah ini manjur?"

Naga tertawa. "Entahlah. Hati naga juga belum tentu manjur. Manusia akan sembuh kalau dia mau sembuh. Sampai jumpa, Demian." Setelah berkata begitu, Naga membubung tinggi.

Demian membawa sepupunya pulang. Lalu diberikannya sisik naga kepada raja. Ratu pun sembuh. Ketika raja memberinya emas, Demian berkata, "Baginda, kalau hamba menerimanya, naga akan terus diburu karena senilai dengan emas. Sebaiknya hamba tidak mendapatkan apa-apa. Sisik itu hadiah naga untuk ratu. Sebagai tanda terima kasih Baginda kepadanya, hentikan saja perburuan naga." []

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro