Ketika Malaikat Berbisik
Catatan:
Kutemukan cerpen ini di HD lama. Kutulis lebih dari satu dekade lalu. Tokohnya anak-anak tapi bahasanya untuk usia remaja.
Aku post biar enggak hilang saja.
_____________________
Ada momen yang sering terputar ulang di benak Alit, terpicu oleh hal-hal sekecil apa pun. Momen ketika Ibu mendongeng untuknya, dan mereka bercakap-cakap sesudahnya. Alit ingin tahu bagaimana Ibu bisa pandai bercerita, mengarang kisah-kisah fantastis, yang setiap malamnya selalu berbeda. Kata Ibu, pada setiap dongeng dan cerita, ada bisikan malaikat pada mulanya, mengaduk dan menghidupkan lagi pengetahuan terpendam si pengarang.
"Bagaimana cara malaikat berbisik?" tanya Alit polos.
"Dengan banyak cara. Bisikannya ada di desau angin, tarian api, dengung sayap lebah, gugurnya kelopak bunga, percakapan orang, gurat raut wajah. Juga ada di udara, aroma masakan, tanah humus, kepulan asap kendaraan, dan di antara huruf-huruf yang kaubaca. Ketika kau membuka pancaindra, kau tahu malaikat ada di sampingmu, membisikimu dengan ide-ide segar."
"Bagaimana aku tahu ia malaikat, bukan setan?" tanya Alit lugas.
"Nuranimu bisa membedakannya," sahut Ibu. "Dan malaikat itu seperti nuranimu, condong pada kebaikan, kejujuran, dan manfaat bagi orang lain."
Alit mengangguk, menatap buku-buku cerita yang dipinjamnya dari perpustakaan sekolah. "Aku ingin bisa mengarang. Seperti mereka, seperti Ibu. Tapi kalau aku sudah bisa mengarang cerita sendiri, aku tidak mau Ibu berhenti mendongeng untukku."
Ibu menciumnya. "Tidak, anakku. Kau akan selalu mendengar cerita-cerita Ibu, walaupun Ibu tak ada lagi di sisimu. Malaikat akan membisikkannya kepadamu. Bukalah pancaindramu."
Dan Alit membuka penglihatan, pendengaran, penciuman, dan perabanya. Ia bahkan makan tanpa pilih-pilih dan senang berbicara untuk melatih lidahnya. Ibu benar, hal-hal kecil pun bisa membuatnya mendengar bisikan malaikat, yang kadang mengulang kata-kata Ibu, tapi lebih sering lagi memberinya gagasan baru.
Seperti kertas-kertas itu, ia langsung tahu ada bisikan malaikat di dalamnya. Tertumpuk di atas tutup bak sampah rumah nomor satu, ditindih batu agar tidak terbawa angin, seolah sengaja disediakan untuknya. Ada penggalan cerita dan dongeng menakjubkan di dalamnya. Hanya penggalan. Kadang bagian awal, tengah, atau akhir cerita. Kak Fika menyebut kertas-kertas itu pemborosan. Untuk apa draf yang tidak memuaskan dicetak juga?
Tetapi menurut Alit, si pengarang sengaja menulis sedikit-sedikit untuk dilanjutkan oleh orang lain, oleh dirinya.
Pertama kali Alit menemukan tumpukan kertas itu sebulan lalu, ia sampai memberanikan diri memencet bel di pagar untuk bertanya kepada penghuni rumah, apakah kertas-kertas itu benar dibuang, bukan terbuang. Sayang sekali, sebalik kertas masih kosong, bisa digunakan untuk corat-coret. Tapi pembantu rumah itu menyatakan, nonanya sangat sangat mampu membeli kertas baru. Jadi, ambil saja, jangan menolak rezeki.
Maka, Alit memulung rezeki istimewa itu setiap hari, untuk dirinya sendiri. Toh masih banyak plastik, kaleng, kardus, koran, dan barang-barang bekas lainnya yang bisa Ayah jual. Ayah, tanpa banyak kata, mendukung Alit. Dengan senang hati, ia menunggu Alit di belokan jalan menuju kompleks perumahan baru itu. Alit dari sekolah, Ayah dari berkeliling kampung memulung. Kompleks itu tujuan terakhir sebelum mereka pulang bersama-sama. Sebetulnya, pemulung dilarang masuk. Tapi Pak Ujang, satpam kompleks, adalah teman kerja Ayah dulu. Menurut Pak Ujang, terlalu banyak kemubaziran di bak-bak sampah mereka, sudah seharusnya dimanfaatkan. Jadi, Pak Ujang pasang badan melanggar aturan itu untuk beberapa pemulung tertentu. Ayah dan Alit membalas kebaikannya dengan kerapian dan kebersihan dalam memulung.
Awalnya, Alit membantu Ayah memulung keliling kompleks. Tapi sejak kertas-kertas itu muncul, Alit dibebaskan dari tugas. Ia menekuni kertas-kertas itu di teras gardu, sampai waktunya mereka pulang.
Dalam setumpuk kertas setiap harinya, Alit menemukan sedikitnya penggalan tiga cerita berbeda. Bisikan malaikatnya. Menyulut gairah dan membubungkan imajinasinya. Sedapat mungkin, Alit menyambung tulisan itu di tempat. Tapi kalau waktunya tak cukup, ia akan memikirkannya sampai jauh malam sambil berbaring lasak di balai-balainya.
Adalah keharusan baginya mempertemukan Maura dan Lerian dengan orangtua mereka dalam kisah Istana Kaki Langit. Atau, ia memutar otak untuk menemukan pencuri cincin permata tanpa petunjuk sama sekali. Menurutnya, ini lebih mudah ketimbang menemukan judul yang cocok untuk cerita itu kemudian. Di lain cerita yang tak berjudul pula, ia ditantang untuk membuat kekacauan agar akhir kisahnya adalah perang antarsuku. Alit tidak menyukai akhir yang buruk, maka kata tamat di sana ia hapus. Dan perang antarsuku itu ia jadikan awal cerita. Alit puas dengan hasilnya: perundingan dan perdamaian.
"Ibu, dalam mimpi nanti, giliran aku yang akan bercerita untukmu," gumam Alit, lalu ia tertidur dengan senyum puas.
Pagi-pagi sekali ia biasa bangun untuk menyambungkan imajinasinya itu dengan kata-kata di kertas. Huruf-huruf cetak yang bercampur tulisan tangannya menjadi harta karunnya sekarang. Ia simpan di dalam kardus bekas mi instan di kolong tempat tidur. Setiap cerita, diberinya tanggal dan nomor (karena Alit tidak selalu berhasil menemukan judul yang tepat). Nomor 58 adalah cerita terakhirnya.
Siang ini, Alit memaksa kaki-kaki kurusnya bergerak cepat. Ia sudah terlambat setengah jam. Angin terperangkap dalam seragam merah putihnya yang terlalu besar. Bercampur keringat galau, menggigilkan tubuh kecilnya. Ia khawatir kertas-kertasnya jatuh ke tangan pemulung lain. Larinya tidak melambat, karena Ayah tidak ada di belokan itu. Mudah-mudahan sudah masuk dan mengamankan kertas-kertasnya. Ia langsung menerobos portal kompleks. Pak Ujang tidak terlihat di gardunya. Barangkali sedang patroli.
Tumpukan kertas itu masih ada di tempatnya. Dengan lega, Alit meraihnya. Ia tak berharap pemilik rumah, terutama nona pemberi kertas ini, akan keluar menyapanya. Tak pernah. Tapi Alit memandang juga jendela-jendela di lantai dua. Entah mengapa, ia yakin, nona itu ada di sana, dan sedang memerhatikannya sekarang. Dan ia menengadah hanya untuk berterima kasih, seperti biasanya.
Duduk bersandar di dinding gardu, Alit melahap penggalan cerita ke-59:
... "Langit hendak runtuh, itu sebabnya aku berlindung di sini, satu-satunya tempat aman. Kenapa aku harus memberikannya kepadamu, Gajah? Aku tidak mau, walaupun kau satu-satunya gajah yang tersisa di dunia ini. Ooh, jangan merengek begitu. Baiklah. Demi kelestarian dan keseimbangan alam, aku mengalah. Turunlah ke sini. Aku akan naik melalui belalai dan badanmu .... Bagus. Nah, selamat tinggal, Gajah bodoh! Langit tidak runtuh, aku hanya mengakalimu agar bisa keluar dari lubang jebakan buatan manusia ini."
Aku menggeleng-geleng muak. Dari mana manusia mendapatkan ilham untuk menjuduli cerita seperti itu Kecerdikan si Kancil? Aku lebih suka membusuk di dalam lubang ini ketimbang memiliki "kecerdikan" seperti itu.
Tiba-tiba, terdengar langkah berdebum di atas. Gajah melongok ke dalam. Kupikir, alam hendak menguji tekadku saat itu juga. "Oh Gajah, kuberitahu saja sekarang, langit tidak akan runtuh, dan aku berada di dalam lubang ini karena kecerobohanku---"
"Lucu sekali, Kancil! Di saat seperti ini, kau masih bisa melawak." Gajah tertawa. Lalu ia mendorong batu-batu besar ke dalam lubang untuk panjatanku keluar. "Berhati-hatilah setelah ini, Kancil. Misimu itu penting sekali demi kelestarian hutan kita."
Ah, sebetulnya misiku sangat pribadi. Aku ingin meralat dongeng-dongeng tentang diriku. Aku bukan pencuri dan penipu yang memperdayai makhluk lain demi keuntungan sendiri. Bukan aku pula yang menumbuhkan sifat licik dan korup dalam diri manusia, sampai-sampai aku harus ditangkap dan tidak diberi ampun. Hah! Tak ada fitnah yang lebih keji dari itu. Aku, Tragulus kanchil, tidak bisa lagi berdiam diri. Maka kumulai perjalananku untuk menemui manusia dan menuntut pemulihan nama baik. Siapa sangka seisi hutan menggantungkan harapan pada misiku ....
Spontan, Alit membalik-balik kertas mencari kelanjutannya. Dan ia mendesah kecewa. Tapi hanya sebentar. Senyum meretas bibirnya ketika malaikat membisikinya gagasan berantai. Bukankah setiap kali Ayah mendongeng tentang si Kancil, Alit juga selalu memprotes jalan ceritanya? Dan kalau ia diberi kesempatan, ia akan mengocehkan alur baru yang membuat Ayah dan Kak Fika tercengang-cengang. Ya, Alit tahu benar apa yang diingini Kancil. Tapi ia akan menyambung cerita itu nanti saja. Ia tak sabar ingin membaca cerita ke-60.
Darahnya berdesir. Namanya disebutkan dalam judul. Judul yang begitu lugas sederhana. Dan untuk pertama kalinya, ia mendapati nama pengarang tercantum di bawahnya.
Cerita untuk Alit
Oleh Krisan Larinka
"Krisan Larinka." Alit menyuarakannya dengan lembut, hampir takzim. Nama itu sekali lagi digetarkan lidahnya, dan Alit merasa seolah sudah lama mengenal pemiliknya. Apalagi ketika ia menemukan profil singkat di halaman yang ternoda tinta.
Krisan Larinka (16), suka membaca, menulis, dan bersahabat dengan siapa pun dan apa pun, termasuk Leukemia yang menyergapnya dari belakang. Ia ingin meninggalkan jejak di dunia ini berupa tulisan bermanfaat sebanyak mungkin sebelum mati.
Alit mengerutkan kening, tak suka kata-kata terakhirnya. Ia kembali ke halaman cerita.
.... Gadis itu tercenung. Enam belas tahun ia jalani masa kecil, lalu masa remajanya, dengan ceria. Ia menjadi sumber kebahagiaan keluarga dan lingkungan terdekat. Selalu berangan-angan saat dewasa menjelang, ia akan lebih berkilau lagi bagi seisi dunia. Namun tiba-tiba mentarinya tenggelam, bulannya surut, bintangnya pun memudar. Konon, kisahnya akan berakhir dalam beberapa bulan lagi. Itu pun harus ia jalani dengan deraan rasa sakit dan sukma merana. Rambut panjangnya yang indah berguguran, kulitnya menghitam di sana-sini bagai terbakar, mual muntah diare silih berganti sepanjang hari.
Gadis itu memutuskan untuk menutup pintunya. Hanya orangtuanya yang boleh masuk. Sisa usia ia berikan kepada mereka saja. Sekadar membalas jasa telah menghadirkannya ke dunia. Sekadar menunjukkan, usaha pengobatan ini sia-sia.
Seekor capung hinggap di jendela. Sayap birunya menerawangkan cahaya surga. Mata majemuknya berkilau cerdas.
"Kau datang untuk menjemputku, bukan?" tanya si gadis tanpa ragu.
"Tidak," jawab Capung. "Aku hanya ingin menemanimu. Agar sisa hidupku bermanfaat."
"Apakah kau sakit juga?"
Capung tertawa. "Tidak. Maaf, bukan aku tidak berempati dengan sakitmu. Aku hanya geli, gadis sepintar dirimu tidak tahu siklus hidup capung. Masa hidup kami jauh lebih singkat ketimbang manusia. Kami hidup sebagai nimfa di dalam air sekitar lima tahun. Lalu menjadi capung dewasa, yang hanya memiliki empat bulanan, untuk terbang menjelajah, berkembang biak, dan melakukan apa pun agar hidup kami bermakna."
"Oh, kita sama." Gadis itu mendesah, lalu tersenyum getir. "Tidak banyak yang bisa kita lakukan dalam waktu sesingkat ini, bukan?"
"Salah! Kita bisa melakukan apa pun kalau mau, selagi ada waktu. Hidup singkat tapi bermakna jauh lebih baik ketimbang hidup lama tanpa manfaat bagi diri sendiri dan orang lain."
Gadis itu terdiam. Pelan-pelan, binar itu kembali menyala di matanya. Seperti sinar mentari di ujung malam. Secercah terang yang menjanjikan harapan. Ia mulai membaca dan membaca, mencari cara untuk membuat sisa hidupnya lebih bermakna. Lalu kepalanya menjadi sarat hasrat yang mendesak untuk dituangkan. Ia pun memaksakan diri untuk duduk dan mengetik di komputernya. Halaman demi halaman. Cerita demi cerita. Ia baca lagi print-out-nya sambil terbaring kelelahan. Setiap halaman yang mengandung kesalahan dan kekurangan, ia remas dan buang. Seakan ia memiliki semua waktu di dunia ini untuk menghasilkan kesempurnaan. Tapi apalah artinya tulisan sempurna tanpa pembaca?
"Lihatlah di bawah sana!" kata Capung.
Seorang anak pemulung sedang asyik meluruskan kertas-kertas dari bak sampah. Dan duduklah ia begitu saja di trotoar untuk membaca. Sementara ayahnya, yang berjalan terseok-seok, mendatangi bak-bak sampah lain.
Dengan teropong, gadis itu mengamati anak pemulung lebih dekat. Bocah lelaki itu sedang membaca sepenggal cerita karyanya, lalu tiba-tiba mengeluarkan pensil dan menulis di kertas yang sama. Apa yang ditulisnya dengan ekspresi berubah-ubah seperti itu? Si gadis rela menyerahkan sisa hidupnya untuk tahu. Tapi bocah itu memasukkan kertas-kertasnya ke dalam tas, lalu menyusul sang ayah.
Esoknya, pada jam yang sama, pemandangan itu berulang. Esoknya lagi, si gadis tidak lagi meremas kertas-kertas yang hendak dibuang. Ia bahkan sengaja memberikan halaman-halaman tertentu dari karya-karyanya yang sudah sempurna. Ia minta pembantunya menumpuk kertas-kertas itu dengan rapi di atas bak sampah. Lalu ia menunggu.
Anak itu muncul lagi. Melesat bersemangat menuju kertas-kertasnya. Ia duduk di teras gardu dan membaca. Sesekali menulis dengan pensilnya. Mungkinkah anak itu melanjutkan ceritanya? Bagaimana kisah versinya? Siapa anak itu?
Gadis itu mencari tahu dengan segala cara. Anak itu bernama Alit. Putra bungsu Pak Suwarna, mantan mandor bangunan. Ibunya meninggal ketika Alit baru naik kelas tiga, walaupun Alit tak pernah mau mengakuinya, sebab Ibu selalu mengunjunginya lewat mimpi, dan mendongeng untuknya seperti biasa.
Setahun setelah istrinya wafat, Pak Suwarna jatuh dari lantai tiga gedung yang dibangun, dan mengalami cedera punggung. Ia tak mungkin lagi bekerja seperti dulu. Kehidupan mereka pun ikut terempas. Pak Suwarna memulung untuk menghidupi keluarga dan menyekolahkan kedua anaknya. Tak ada yang diizinkannya putus sekolah. Tapi Alit tahu, keadaan akan semakin sulit bagi mereka.
"Setidaknya aku bisa melakukan sesuatu untuk Alit," kata gadis itu kepada Capung. "Bukan hanya memberinya penggalan cerita untuk dilanjutkan. Kumpulan ceritaku ini ... akan kuberikan semuanya kepada Alit. Papa akan menerbitkannya, Capung. Kau tahu, lebih banyak pembaca berarti lebih banyak manfaat."
Mata gadis itu semakin terang, sebuah tekad di titik kulminasi. "Oh aku juga ingin membaca tulisan-tulisan Alit. Kau lihat kan, bagaimana ia menatap jendelaku? Aku yakin ia anak yang cerdas. Versinya bisa diterbitkan bersama bukuku. Lalu, Papa bisa memberinya beasiswa. Investasi untuk seorang penulis hebat di masa depan. Dengan begini, aku bisa pergi sambil tersenyum, Capung."
Capung mengiyakan melalui mata majemuknya yang berkilau ....
Alit mengerjapkan matanya yang basah. Didekapnya kertas itu, dan ia bangkit memandang rumah nomor satu. Lama ia mempertimbangkan apakah akan memencet bel di pagar atau meneriakkan nama Krisan seperti anak-anak kampung memanggil temannya agar keluar rumah. Tidak keduanya. Kebimbangan memberati langkah dan lidahnya. Alhasil, ia hanya terpaku memandang jendela di lantai dua.
Saat itulah dua orang satpam tak dikenal meringkusnya tiba-tiba. Masing-masing memegangi satu tangannya. Alit terlalu terkejut untuk melawan. Ketika kertas-kertasnya terlepas berhamburan, barulah ia memekik dan meronta. Ia ingin memunguti bisikan malaikatnya, kisah hidup dan masa depannya dalam cerita ke-60. Tetapi mereka menarik Alit pergi. Kertas-kertasnya terinjak-injak kaki mereka. "Kertasku!"
"Diam kau, maling kecil!" Salah satunya membentak.
Alit tercengang. "Aku bukan maling! Aku memulung. Ayahku ada di sini. Ayaaaah!"
Alit memanggil-manggil Ayah lagi. Ayah pasti ada di sini. Orang-orang itu membawanya masuk ke sebuah bangunan kecil di tengah kompleks. Alit ketakutan melihat dua orang lelaki lagi di sana, yang marah-marah berbicara dan menunjuk, pada dirinya dan pada lelaki kelima yang baru terlihat oleh Alit.
"Ayah!" Alit meronta. Begitu terlepas, ia menubruk sosok yang terpuruk di sudut.
Ayah memeluknya. Tangannya bergetar lebih keras dari biasanya. Mata Alit menyusuri tangan hitam kering itu ke bahu. Kemeja Ayah robek di pundak. Alit melepaskan diri dari pelukan Ayah untuk mengamati wajahnya. Pipinya basah air mata.
"Ayah kenapa? Apa yang mereka lakukan pada Ayah?"
"Ssssh!" Ayah membenamkan kepala Alit di dada. "Me-me-reka hanya salah paham. Se-semuanya a-akan baik-baik saja."
Alit tidak melihat semuanya akan baik-baik saja. Pastilah orang-orang itu yang melukai hati Ayah. Dari penampilan mereka, Alit yakin orang-orang itu penghuni kompleks. Mereka tampak marah. Tapi marah karena apa?
"Apa salah ayahku?" teriak Alit lantang dan jernih, mengatasi suara-suara mereka.
Orang-orang itu menoleh. Lelaki yang memegang ponsel menjawab, "Anak kecil biasanya jujur. Katakan, apa kamu disuruh ayahmu mengamati rumah-rumah di sini?"
"Ah! Kalau sudah dididik jadi maling, mana bisa jujur, Pak! Lihat saja, dia pura-pura menjadi anak sekolah!" seru salah satu satpam.
"Ya. Kami lihat sendiri, dia sedang mengawasi rumah Pak Radian. Mungkin itu target berikutnya," timpal satpam satu lagi.
Pemegang ponsel menatap Alit, galak. "Aku sudah menelepon polisi. Mereka menuju kemari. Kalau kamu tidak mau ikut ditangkap, mengaku saja!"
Alit mengerti sekarang. Pasti telah terjadi sesuatu yang buruk di sini. Tampaknya pencurian. Dan mereka menuduh Ayah pelakunya, menganggap dirinya mata-mata.
"Ayahku bukan pencuri, Ayah pemulung," kata Alit tegas. "Dan aku memang anak sekolah, kelas lima."
Lelaki bertubuh paling kecil mendengus. "Mana ada maling mengaku!"
"Kalian jahat!" ledak Alit. "Ayahku orang paling jujur di dunia ini. Ayah di-PHK setelah kecelakaan di tempat kerja. Tangannya selalu gemetar dan kakinya lemah, bicara pun susah, sekarang Ayah hanya bisa memulung. Lihat, lihat kaki Ayah!" Alit menyingkap celana panjang Ayah. Dulu, kaki-kaki itu padat berotot, sanggup menahan beban lima kali bobotnya sendiri. "Kalian kira, ia mampu memanjat pagar tinggi, kalau berjalan saja sulit?"
Orang-orang itu terkejut, mundur selangkah. Lalu saling pandang.
"Dia masih bisa mengintai rumah-rumah kita, mencari-cari kesempatan untuk kawanannya beraksi. Jangan tertipu penampilan, Pak!"
"Entahlah, Pak Suma. Mungkin kita sudah keliru bertindak," sahut lelaki berponsel.
"Tanyakan saja pada Pak Ujang," sela Alit. "Pak Ujang kenalan baik Ayah."
"Ujang sudah dipecat minggu lalu. Kerjanya tidak becus. Dalam seminggu, terjadi dua pencurian di rumah-rumah yang ditinggal penghuninya." Lelaki berponsel menjawab geram.
"Ujang membolehkan pemulung masuk ke kompleks, itu masalahnya! Sudah kubilang, mereka itu sumber masalah!" seru Pak Suma, masih dengan sikap mengancam.
Alit tertegun. Kasihan Pak Ujang. Alit yang semula tidak paham benar istilah pasang badan, kini mengerti, Pak Ujang mendapatkan kesulitan karena niat baiknya.
"Tanyakan saja pada Krisan Larinka," cetus Alit, nekat. "Dia ... kenal aku."
"Apa?" Pria berponsel terbelalak.
"Kak Krisan kenal aku. Dia ... nona di rumah nomor satu."
"Aku tahu itu. Tapi bagaimana mungkin?" Nadanya berubah khawatir dan curiga.
"Pak Radian, jangan-jangan mereka berniat jahat terhadap putrimu," dengus Pak Suma.
Ayah hanya menggeleng-geleng, sambil berusaha menyingkirkan Alit ke belakang tubuhnya. Tapi Alit bergeming.
"Kami tidak kenal Kak Krisan. Tapi Kak Krisan kenal kami. Kak Krisan tahu Ayah orang baik. Tolong, tanyakan saja padanya!"
"Sudah lama Krisan tidak pernah keluar rumah. Kamu bohong!"
"Papa! Alit benar. Aku mengenal mereka." Di pintu, gadis itu berdiri nyaris tegak, tapi kemudian sempoyongan. Perawat di sampingnya buru-buru memegangi, memapahnya ke dalam.
"Krisan! Kau keluar rumah!" Pak Radian terlompat dari posisi jongkoknya. Suaranya terdengar takjub dan gembira. Tapi kemudian berubah cemas dan heran. "Kenapa kau ke sini? Suster, ke mana topinya? Kenapa tidak dipakaikan jaket?"
Perawat itu tergeragap. Krisan menyentuh lengan Pak Radian. "Tenang, Papa. Aku tidak apa-apa. Tolong, lepaskan saja Alit dan ayahnya. Mereka tidak bersalah. Aku tahu."
Pak Radian memandang teman-temannya. Pak Suma berdiri dengan gelisah. Kedua satpam bergegas membantu Ayah duduk di kursi yang disodorkan Pak Radian. Kata maaf berhamburan. Ayah hanya mengangguk-angguk. Air matanya meleleh.
"Terima kasih, Kak," kata Alit. Ia ingin menyalami Krisan, tapi tangannya kotor.
Krisan mendekatinya. "Alit, apakah aku keliru menggambarkanmu di cerita?"
Ali menggeleng. "Malaikat tak pernah keliru membisikimu."
Krisan tampak heran, lalu tersenyum. "Ya, kau benar. Jadi, kau suka cerita untukmu?"
Alit mengangguk. Tapi buru-buru menggeleng. "Tidak, kalau Kak Krisan pergi."
"Ah, aku hanya pergi ke tempat ibumu. Aku bisa terus bercerita untukmu. Kau suka?"
Alit mengangguk pelan. Krisan tersenyum lagi, lalu menoleh kepada Pak Radian. "Pa, berjanjilah memberi Alit beasiswa untuk melanjutkan sekolah."
Pak Radian tercengang. "Ng ... itu ... tidak mudah. Eh, maksud Papa, ini mendadak sekali, Sayang. Kita akan membicarakannya lagi nanti, oke?"
Alit mendesah tanpa sadar. Ia ragu, ceritanya akan berakhir sesuai harapannya. Tapi dirasakannya getaran tangan Ayah pada jemarinya. Alit menoleh, mendapati senyum miring Ayah. "Aa-yah ma-masih sa-sanggup menyekolahkanmu lebih tinggi lagi."
Lalu malaikat pun membisikkan kata-kata Ibu, "Kau bisa menyelesaikan cerita-cerita Krisan sebelumnya. Pasti kau juga mampu mengarahkan alur dalam cerita ke-60. Itu hidupmu. Milikmu."
Alit tersenyum dan mengangguk yakin. []
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro